Suasana tegang dan panas sangat terasa di ruang tengah keluarga Kailandra. Pria tampan berusia tiga puluh lima tahunan itu sampai harus berdiri dan beradu tatapan tajam dengan Kasih---sang mama.
"Tundukkan pandanganmu, Kai. Cukup sudah Mama mengalah selama ini. Cukup mama membiarkanmu hidup sesuka hati. Sekarang saatnya kamu menunjukkan baktimu pada Mama. Urus perusahaan dan berikan Mama keturunan. Bukankah kalian sudah hampir enam tahun menikah? Kenapa kalian belum memiliki keturunan juga?" Kasih melirik sinis pada Karina---istri Kailandra.
"Ma, keturunan itu tidak bisa dipaksakan. Ini hanya masalah waktu. Tuhan belum memberikan kami kepercayaan untuk mempunyai seorang anak," kilah Kailandra dengan suara yang sedikit meninggi.
"Kai, kamu hidup di jaman apa? Hingga mendapatkan keturunan pun kamu cuma bisa menunggu pasrah tanpa usaha. Banyak teknologi kedokteran yang bisa mengusahakan istrimu agar bisa hamil, Kai. Inseminasi atau bayi tabung misalnya," tegas Kasih.
"Ma, kami masih ingin lebih banyak waktu berdua. Memiliki anak belum menjadi prioritas kami saat ini, " sahut Karina.
Kasih seketika menatap menantunya dengan kekesalan yang amat kentara. Lalu perempuan tersebut berkata, "Ingat, Karina, dari awal saya tidak pernah menyetujui pernikahan kalian. Dan jangan kira Mama bodoh. Kalian memutuskan menikah karena apa? Mama tahu persis alasannya. Lakukan saran Mama untuk melakukan bayi tabung. Atau Mama akan membuat Kai menikah lagi dengan perempuan pilihan Mama." Kasih meninggalkan ruangan tersebut dengan langkah kaki yang menghentak.
Kailandra menghempaskan bokongnya di atas sofa. Dia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Kailandra seperti sedang menata hati untuk mengendalikan emosi yang sebenarnya sudah membuncah. Baru dua hari kembali ke tanah air, sang mama sudah memberikan permintaan yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya.
"Sudah aku bilang, kan? Kembali ke Indonesia hanya akan menimbulkan masalah. Di sini, pernikahan dianggap sempurna kalau sudah mendapatkan anak. Menantu dianggap idaman jika sudah memberikan cucu," cerocos Karina dengan nada dan wajah yang kentara kekesalannya.
"Kita turuti saja kemauan Mama," putus Kailandra.
Karina beranjak dari duduknya dan berdiri tepat di depan Kailandra yang masih bersandar malas di sandaran sofa. "Bagaimana bisa kita mau menuruti Mama, Kai. Jika selama ini kamu ha--,"
"Kita bisa melakukan bayi tabung." Kailandra buru-buru memotong ucapan istrinya yang belum selesai.
"Bayi tabung?" raut wajah Karina yang tadinya keras seketika berubah lembut. Suara perempuan itu mendadak lirih.
"Kenapa? Tidak mau? Atau Aku memang harus menikah lagi?" Kailandra menggertak istrinya.
Karina menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Tidak, Kai. Kamu tidak boleh menikah lagi. Aku mau coba bayi tabung." Suara Karina terdengar bergetar dan ragu-ragu saat mengatakannya.
Kailandra berdiri, lalu melangkahkan kaki menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Sedangkan Karina tampak sedang berpikir keras. Lama terdiam, akhirnya perempuan yang dinikahi Kailandra di luar negeri tanpa kehadiran Kasih itu keluar rumah dan meminta driver untuk mengantarnya ke suatu tempat.
Hampir satu jam perjalanan, akhirnya Karina sampai juga di depan sebuah rumah yang pernah di datanginya beberapa tahun yang lalu. Tepatnya sebelum dia ke luar negeri dan menikah dengan Kailandra.
"Semoga dia belum pindah dari sini." Karina turun dari mobil dan berjalan mendekati sebuah rumah sederhana tanpa pagar yang sangat asri dan bersih.
Di dalam rumah yang dituju Karina, sesosok perempuan dengan rambut tergerai sebahu sedang duduk di samping anak perempuan berusia tujuh tahun.
"kei ... kalau membaca jauhan dikit dong. Nanti mata Kei sakit." perempuan bernama Kailani itu sedikit menarik punggung sang putri ke belakang.
"Bunda, Kei mau ro--," Keiko tidak meneruskan ucapannya begitu mendengar suara pintu rumahnya diketuk beberapa kali.
"Boleh Keiko buka pintunya, Bun?" tanyanya.
"Biar Bunda saja. Kei pindah ke kamar dulu bacanya." Kailani berdiri terlebih dahulu, memastikan Keiko masuk ke dalam kamar lalu dia mulai melangkahkan kaki untuk membukakan pintu.
Mendengar suara daun pintu dibuka, Karina segera berbalik badan. Ada raut kelegaan yang tergambar jelas di wajah perempuan tersebut. Beberapa tahun berlalu, sosok yang ingin ditemuinya itu, ternyata tidak banyak berubah. Malah semakin terlihat segar dan cantik.
"Syukurlah, kamu ternyata masih di sini. Kamu tidak lupa, kan? Kamu punya hutang satu janji kepadaku. Dan sekarang aku mau menagih janjimu itu." Karina tanpa basa-basi langsung mengucapkan kata demi kata tanpa beban.
Sama halnya seperti Karina. Kailani pun tidak melupakan sosok yang sangat berjasa dalam proses kelahiran Keiko itu. Jika tidak ada Karina, mungkin putri satu-satunya itu tidak akan mungkin selamat.
"Silahkan masuk, Kak Karina." Kailani membuka daun pintunya lebih lebar. Keduanya lalu masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
"Terimakasih ... Aku di sini hanya sebentar. Jadi tolong dengar baik-baik permintaanku. Aku tidak mau ada penolakan. Karena pertolonganku, kamu tidak kehilangan nyawa anakmu, bukan? Maka sekarang, aku memintamu memberiku satu nyawa sebagai balasannya." Karina menatap Kailani yang duduk tepat di seberangnya dengan santai. Seolah ucapannya adalah hal yang biasa.
"Nyawa? Maksudnya bagaimana, Kak?"
"Suamiku ingin mempunyai anak. Sampai detik ini, dia tidak tahu jika aku memang bermasalah dengan rahim dan sel telurku. Aku ingin meminjam rahimmu, sekaligus meminta sel telurmu untuk dibuahi suamiku. Tenang saja, tidak akan ada persetubuhan antara kamu dan suamiku. Kita hanya akan melakukan proses bayi tabung." Lagi dan lagi. Karina mengatakannya dengan enteng.
"Itu artinya, saya akan mengandung anak saya sendiri dengan bapak biologisnya adalah suami Kak Karina? Lalu setelah lahir, saya harus menyerahkan pada Kak Karina?" Kailani bertanya untuk meyakinkan diri akan pemahamannya.
"Tidak salah. Persis yang aku mau. Selain itu, kamu juga harus membantuku melakukan sesuatu ...." Karina meminta Kailani untuk mendekat. Perempuan itu membisikkan sesuatu yang dijadikannya sebuah kesepakatan bersama.
Kailani sesekali menarik napas begitu berat. Janji suatu saat akan membalas budi pada Karina, haruskah dibayar dengan cara seperti ini? Sungguh Kailani masih merasa ragu. Begitu banyak hal yang harus dipertimbangkannya. Apalagi apa yang dibisikkan Karina barusan sungguh bertentangan dengan prinsip hidupnya selama ini.
"Kamu tidak berhak menolak. Ingat! Hutang nyawa, harus dibalas dengan nyawa. Janjimu harus ditunaikan. Jika kamu menolak, sama saja kamu masih menggadaikan anakmu sendiri padaku," tekan Karina.
Kailani masih di antara kegamangan hatinya, hanya bisa mengangguk lirih. Dalam hati, dia menyelipkan doa agar keputusannya kali ini tidaklah salah.
"Aku akan membuat kesepakatan secara tertulis dan berkekuatan hukum. Yang aku bisikkan tadi, hanya kamu dan aku yang tahu. Jangan pernah kamu membicarakannya bersama orang lain. Bebaskan dirimu dari hutang budi dengan melakukan semuanya sebaik mungkin sesuai mauku," tegas Karina sambil berdiri.
Sesuai kesepakatan yang dibuat oleh Kailani dan Karina semalam, keduanya kini bertemu di sebuah rumah sakit khusus untuk program bayi tabung. Tidak ada antrian panjang layaknya sebuah klinik kandungan pada umumnya. Karena pasien dan dokter memang bertemu berdasarkan waktu yang sudah dijanjikan.
"Suamiku masih dalam perjalanan. Jadi sekarang kesempatanmu untuk memeriksakan kondisi rahim dan sel telurmu. Aku yakin, hasilnya pasti akan bagus," ucap Karina dengan semangat yang menggebu-gebu.
Tanpa membuang waktu, ditemani Karina, Kailani menjalani sejumlah pemeriksaan. Tidak sampai di akhir prosedur, Karina terpaksa meninggalkan Kailani sendirian karena suaminya sudah datang. Perempuan tersebut tentu tidak ingin sang suami menaruh curiga pada rencana yang sudah disusun dengan matang.
"Dokter Khalid masih ada satu pasien. Kita tunggu sebentar." Karina mengusap lengan Kailandra. Dia paham benar jika suaminya tersebut tidak suka menunggu.
Hampir sepuluh menit berlalu. Belum ada tanda-tanda pintu ruangan pemeriksaan dibuka. Kailandra jelas semakin uring-uringan. "Lain kali, pastikan dengan benar jadwalnya. Kalau seperti ini, kamu membuang waktuku saja," sungut Kailandra.
"Iya, Aku minta maaf. Seharusnya jadwal untuk konsultasi kita memang sudah dimulai. Mungkin ada masalah dengan pasien yang ditangani sekarang." Karina mencoba meredam kekesalan sang suami.
Bersamaan dengan itu, pintu ruangan Dokter pun terbuka. Kailandra malah memalingkan wajah ke sisi lain. Pria tersebut benar-benar tidak bisa menutupi kekesalannya. Bahkan ketika perawat memanggil nama Karina, dia malah tidak segera berjalan mengikuti langkah sang istri. Kailandra memilih menyibukkan diri dengan telepon genggamnya.
"Kai, ayo!" Karina memanggil suaminya dengan volume suara yang sedikit ditinggikan.
Ingat betul dengan kesepakatan yang dibuat, Kailani memilih acuh pada Karina dan suaminya. Perempuan tersebut menundukkan pandangan. Bahkan saat dia bersimpangan jalan dengan Karina, tidak ada kontak apa pun yang dilakukan.
Hingga Kailandra menyadari panggilan dari Karina. Pria itu buru-buru membalikkan badan dengan cepat tanpa melihat ke berbagai sisi terlebih dahulu. Tabrakan antara kepala seseorang dengan dadanya pun tidak bisa dihindarkan.
"Maaf, saya tidak melihat kalau ada orang di depan saya," Kailani mengatakan tanpa mendongakkan kepalanya sedikit pun. Dia terus mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit akibat benturan dada yang lumayan keras tadi.
"Lain kali, kalau jalan lihat-lihat, Bu." Kailandra mengatakan dengan suaranya yang khas tanpa melihat wajah perempuan yang membuatnya kesal tersebut.
"Iya, Pak, Maaf."
Kailandra hendak melangkahkan kakinya kembali. Namun, niat itu seketika urung ketika perlahan rambut yang tadinya menutupi wajah Kailani tersibak pelan seiring dengan gerakan perempuan tersebut menegakkan wajahnya.
Keterkejutan rupanya bukan hanya milik Kailandra semata. Kailani pun mengalami hal yang sama. Sesaat, mata keduanya saling beradu pandang. Bibir keduanya mendadak terkunci rapat.
"Kai ...," panggil Karina. Suara tersebut membuyarkan lamunan sesaat Kailandra dan juga Kailani.
Kailani bergeming. Ingin menyapa, namun bibirnya seakan terkena lem perekat. Sementara Kailandra, malah dengan entengnya memberikan senyuman sinis. Tanpa perasaan, bahkan pria itu sengaja menabrak pundak Kailani dengan salah satu lengan kekarnya.
"Ya Tuhan. Apakah dia suami dari Kak Karina?" Kailani mendudukkan dirinya di ruang tunggu yang tadi digunakan oleh Kailandra dan Karina.
Andai saja tidak menunggu hasil pemeriksaan, ingin rasanya Kailani segera kabur dari tempat di mana dia berada saat ini. Sungguh dia sama sekali tidak menyangka akan dipertemukan kembali dengan Kailandra dalam situasi seperti sekarang.
Berbeda dengan pemeriksaan Kailani yang berlangsung lama. Pemeriksaan pertama Kailandra dan Karina berlangsung cukup singkat. Belum juga hasil yang ditunggu Kailani diberikan. Sepasang suami istri tersebut sudah keluar dari ruangan Dokter.
Sama-sama menunggu hasil tes dan juga vitamin yang diberikan, Karina dan Kailandra duduk kembali di sofa tunggu yang hanya berjarak satu meteran dari tempat Kailani berada.
"Lagi program kehamilan juga?" Karina pura-pura menyapa dengan ramah.
Kailani menjawabnya dengan sebuah anggukan disertai senyuman tipis. Bagaimana kini jantungnya berdegup, hanya Kailani dan Tuhan yang tahu. Lalu perempuan tersebut kembali menundukkan kepalanya sembari mereemas tepian baju atasan yang dikenakannya.
"Program anak pertama? Atau anak kedua?" Karina kembali mengakrabkan diri. Sementara Kailandra semakin sinis melirik ke arah Kailani. Bedanya, pria tersebut kini tidak buru-buru meninggalkan Karina seperti biasa.
"Anak kedua," jawab Kailani seperlunya.
"Oh, sudah anak kedua. Eh, sebentar aku mau ke toilet dulu." Karina bergegas ke toilet begitu merasakan telepon genggam yang berada di dalam tas yang ada di pangkuannya bergetar beberapa kali.
Tinggallah Kailani dan Kailandra berada di ruang tunggu berdua saja. Sejak kejadian tujuh tahun silam, dia selalu berharap agar dipertemukan kembali dengan Kailandra. Begitu banyak yang ingin Kailani luruskan.
"Bang Kai apa kabar?" Kailani memulai percakapan dan menyapa dengan hati-hati.
"Kamu bisa lihat sendiri, bukan? Aku jelas jauh lebih baik sekarang. Apa kamu mengharapkan Aku masih sebodoh dulu? Atau kamu malah berharap Aku menjadi pria naif yang tidak lagi berani mencinta karena trauma? Hah ... jangan harap." Kailandra menjawab dengan intonasi suara dan wajah yang sama sinisnya.
"Tidak, Bang. Sama sekali bukan begitu. Saya ikut bahagia melihat Abang bahagia. Menemukan perempuan yang mencintai dan dicintai Abang dengan sempurna." Kailani terlihat tulus saat mengatakannya. Tatapan mata perempuan tersebut begitu teduh meski dia tahu lawan bicaranya sama sekali tidak peduli.
"Benarkah? Kamu sungguh-sungguh bahagia atau sekedar memastikan jika apa yang sudah kamu lakukan terhadapku dulu bukanlah hal yang salah? Dengar baik-baik Kailani Hapsari, kebahagiaanku saat ini, tidak akan mengurangi sedikit pun kebencianku padamu. Jangan mencari pembenaran dengan bersembunyi di balik kebahagiaan dan kesuksesanku sekarang." Kailandra bangkit dari duduknya. Lalu ia melangkahkan kaki meninggalkan ruangan tunggu entah menuju kemana.
Hanya selisih hitungan detik, Karina kembali muncul di hadapan Kailani. Perempuan tersebut sepertinya tidak tahu menahu dengan adanya perdebatan yang baru saja terjadi. Karina malah tersenyum lebar. Ditinggalkan Kailandra sendirian seperti sekarang, memang bukanlah hal yang luar biasa. Hal ini justru dianggap keuntungan tersendiri bagi Karina. Dengan begitu, dia bisa berbicara lebih lama dengan Kailani tanpa takut dicurigai oleh Kailandra.
"Suamiku masih harus mengkonsumsi berbagai vitamin. Karena kami menginginkan bayi kembar. Tunggu kabar selanjutnya dariku. Cukup dengan satu kelahiran, kami sudah mempunyai dua anak sekaligus. Sambil menunggu vitamin suamiku habis, tolong jaga kesehatan dan pola makanmu baik-baik. Tidak perlu khawatir, aku akan memberimu uang untuk itu. Gunakan sesuai keperluanmu. Aku sama sekali tidak keberatan." Karina mengulurkan sebuah kartu debit terbitan salah satu bank swasta berwarna hitam bertuliskan titanium card.
Kailani bergeming. Pandangan perempuan tersebut kosong ke depan. Dia bahkan mengabaikan kartu yang disodorkan oleh Karina tadi. Bukan masalah uang yang ada di pikirannya sekarang. Melainkan tentang kesepakatan yang sudah dibuatnya bersama Karina.
"Bagaimana mungkin Aku mengandung anak Bang Kai? Takdir apalagi ini Tuhan," lirihnya dalam hati.
Meski dengan pergumulan batin yang tidak sederhana, Kailani terpaksa tetap menjalani proses bayi tabung sesuai kesepakatannya dengan Karina. Bisa dikatakan, saat ini Kailani merasa berada di titik kehidupan yang sangat sulit. Namun apa daya, perjanjian hitam di atas putih pada kertas berkekuatan hukum membuat perempuan tersebut tidak bisa mundur lagi.
"Kei sama papa dan mama dulu, ya? Bunda satu bulan ini ada kerjaan ke luar kota. Bunda akan selalu hubungi Kei sebelum Kei tidur. Nurut sama papa dan mama, ya. Yang rukun sama Kenzi." Kailani memeluk putri cantiknya sekali lagi.
"Iya, Bunda." Keiko mengangguk sambil membalas pelukan sang bunda.
"Yuk, Kei. Kita mainan bareng," ajak Kenzi---anak dari mantan suami Kailani yang usianya hanya selisih beberapa hari saja dari Keiko.
"Bunda hati-hati, ya." Keiko mencium pipi Kailani. Lalu dia melepaskan diri dari pelukan bundanya dan langsung berlari menghampiri Kenzi dengan senyuman yang sumringah.
Kailani bangkit dari posisi berdiri dengan lututnya karena tadi harus menyamakan tingginya dengan Keiko. perempuan tersebut menyunggingkan senyuman pada Kenzo---mantan suaminya dan juga pada Keira---istri sah Kenzo saat ini.
"Maaf ya, Kei. Aku jadi ngerepotin. Aku janji, begitu urusanku selesai, Aku akan segera menjemput Keiko," ucap Kailani. Begitu lembut dan sopan.
"Keiko juga anakku, Kai. Jangan bicara seakan kamu sedang menitipkan seorang anak pada pengasuhnya. Fokus saja pada urusanmu." Keira menepuk-nepuk pundak Kailani dengan ramah.
Setelah berbasa-basi sebentar, Kailani pun berpamitan pada Kenzo dan Keira. Meski hubungan ketiganya sempat memanas akibat peristiwa yang sangat dramatis lebih dari tujuh tahun yang lalu, tetapi akhir-akhir ini mereka memilih untuk merendahkan ego masing-masing demi kepentingan Keiko.
Dari sana, Kailani langsung menuju rumah sakit di mana dia akan melakukan simulasi suntikan HCG untuk mematangkan sel telur. Dokter akan mengajarkan pada Kailani cara melakukan suntikan yang benar. Berikutnya, Kailani bisa dibantu orang lain melakukannya sendiri di rumah.
Proses pematangan yang dilakukan selama tujuh hari berturut-turut akhirnya selesai sudah. Kini saatnya Kailani kembali menemui dokter untuk melakukan tahapan bayi tabung selanjutnya.
Pada awalnya, beban pikiran Kailani sudah mulai lepas saat mendatangi rumah sakit tersebut. Namun, begitu mengetahui Karina datang bersama Kailandra, hatinya pun kembali gelisah tak menentu.
"Kebetulan lagi. Sepertinya memang jadwal kita barengan terus ya." Karina menyapa Kailani dengan gayanya yang sok akrab. Sementara Kailandra tidak menoleh sedikitpun ke arah dua perempuan yang duduk berjejer di samping kirinya.
"Iya, Kak." Kailani menjawab singkat.
"Jangan panggil aku kak. Panggil saja Karina. Bagaimana kalau kita bertukar nomor ponsel. Sama-sama melakukan program bayi tabung, sepertinya kita bisa saling berbagi informasi." Karina memberikan benda pipih berteknologi tinggi miliknya kepada Kailani. Sungguh sebuah akting yang sangat sempurna.
"Saya Kailani." Lagi-lagi perempuan tersebut membalas dengan singkat. Dia menerima ponsel lalu menuliskan sepuluh angka di sana. Sesaat kemudian, Kailani kembali memberikan benda pipih tersebut pada Karina.
"Terimakasih," ucap Karina sembari berdiri.
Bersamaan dengan itu, nama Karina dipanggil. Perempuan tersebut seketika menatap suaminya dengan tatapan sedikit memelas. "Kai, aku masuk sendirian saja, ya? Aku yakin kamu juga tidak nyaman kalau melihatku disuntik. Lagipula ini hanya sebentar."
"Terserah kamu saja. Tapi jangan sampai kamu mengeluh kalau aku tidak mendampingimu selama proses bayi tabung anak kita. Sesibuk-sibuknya aku, pasti akan meluangkan waktu untukmu. Cuma lelaki yang tidak bertanggung jawab yang membiarkan istrinya menjalani proses sepenting ini sendirian." Bukannya fokus pada sang istri, Kailandra malah melirik sinis pada Kailani saat mengucapkannya.
Karina langsung melebarkan senyumannya. Sampai sejauh ini, semua memang berjalan mulus sesuai dengan apa yang direncanakan. Perempuan tersebut melangkah tanpa beban memasuki ruang tindakan.
Sepeninggalan Karina, Kailandra menggeser duduknya lebih jauh dari Kailani. Pria tersebut kembali menyibukkan dirinya dengan ponsel. Sementara Kailani berusaha untuk tetap bersikap tenang dan tidak terpengaruh dengan sikap sinis Kailandra. Dia hanya bisa menarik napas dalam sembari mengucap doa dalam hati, semoga keputusannya kali ini tidaklah salah.
Suasana seperti itu terus terjadi di setiap pertemuan yang bisa dikatakan sengaja tidak sengaja antara Kailandra dan Kailani. Sindirian halus disertai tatapan sinis penuh kebencian bukanlah hal yang langka. Hingga lambat laun, tepatnya saat proses pengambilan sel telur di rahim Kailani yang bersamaan dengan pengambilan sel sperrma Kailandra terjadi, Karina merasakan kejanggalan sikap yang ditunjukkan suaminya dan juga Kailani.
"Aku mau tanya ke suster sebentar. Ada yang kelupaan tadi," Karina mencoba mencari alasan untuk meninggalkan Kailandra dan Kailani berdua saja.
"Jauhi istriku, Kai. Jangan dekati dia dengan alasan apa pun," ucap Kailandra, memulai pembicaraan setelah ketegangan yang sempat terjadi beberapa saat yang lalu.
"Kenapa bukan istri Abang saja yang Abang larang," jawab Kailani. Dibuat setenang mungkin.
"Aku terlalu mencintainya, Kai. Aku tidak mau membuat dia kecewa. Dia menyukaimu karena belum tau siapa kamu dan bagaimana sifat aslimu. Seorang pengkhianat, sampai kapan pun akan tetap menjadi pengkhianat," tekan Kailandra. Sengaja mengucapkan kalimat yang sekiranya bisa membuat Kailani tidak merendahkannya.
"Berhenti menyebutku pengkhianat, Bang. Semua tuduhan Abang itu sama sekali tidak benar. Apa yang Abang tuduhkan, tidak lebih adalah hasil dari pikiran Abang sendiri yang tidak jernih. Emosi dan keegoisanlah yang mengantar Abang dalam kebencian dan dendam yang tidak pernah selesai. Seolah hanya Abang yang benar dan akulah tempatnya salah." Nada bicara Kailani mulai meninggi.
"Kenapa kamu membentak suamiku, Kai?" Karina yang sedari tadi hanya bersembunyi di balik pilar tembok besar di sisi kanan tempat Kailani dan Kailandra berada, muncul melerai perdebatan yang sedang panas-panasnya.
"Dia tidak membentakku," sahut Kailandra dengan cepat. Entah ingin membela Kailani, atau hanya sekadar ingin menutup masa lalunya rapat-rapat.
Karina mengernyitkan keningnya, apa yang baru saja dibicarakan Kailandra dan Kailani begitu jelas terdengar. Siapa pun, pasti bisa menyimpulkan kalau di antara keduanya pernah terjalin hubungan yang berujung dengan permusuhan.
Dari sana, Karina semakin gencar mencari tahu tentang masa lalu Kailani dan juga suaminya. Dari salah seorang sumber terpercaya, akhirnya, perempuan tersebut mengetahui sedikit banyak tentang masa lalu mereka.
"Aku tidak bisa tinggal diam. Antara kebencian, dendam, dan cinta yang masih terpendam itu sangat tipis perbedaannya. Tidak ... Aku tidak boleh memberi kesempatan pada Kailani untuk berdekatan dengan Kailandraku. Lihat saja Kailani yang malang, Aku akan membuat Kailandraku semakin membencimu," batin Karina sembari menampilkan senyuman yang begitu licik.
Hingga seminggu berlalu, tibalah saatnya mereka melakukan pengambilan sel telur dari rahim Kailani dan juga sel speerma milik Kailandra. Baru kemudian dokter akan melakukan proses inkubasi yang memakan waktu sekitar 16 sampai 20 jam.
"Kai, ada sedikit perubahan rencana. Jadi begini." Karina membisikkan sesuatu ke telinga Kailani di tengah-tengah jeda waktu mereka menunggu Kailandra yang masih belum selesai proses pengambilan speermanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!