"Prang!"
"Prang!"
Dua piring kaca terbang hampir mengenai wajah Zena. Tubuhnya terasa bergetar hebat dan shock. Ia tidak menyangka bisa mengalami ini di hari pertamanya sebagai seorang istri.
"Istri macam apa kamu! Baru menikah saja sudah membuatku murka! Makanan apa yang kamu suguhkan? Apa kamu tidak pernah diajarkan memasak? Oiya, aku lupa, masakan yang kamu ketahui hanyalah makanan kampung! Pantas!" Rey terengah-engah larut dalam emosinya.
Baru saja semalam mereka bermesraan di malam pertama. Walau sebenarnya Zena sudah merasakan perlakuan kasar itu sejak semalam. Rey merengut kesuciannya dengan paksaan, kasar dan membabi buta. Jauh dari impian Zena, malam pertama yang indah di isi dengan kemesraan, kelembutan dan kasih sayang. Ternyata hanya tinggal impian, pernikahan indah itu sirna begitu saja.
Zena diam sejenak dan berjalan mendekati Rey. Tidak sengaja kakinya menginjak beberapa pecahan kaca yang berserakan di lantai. Ia mengiris kesakitan dan terlihat darah mulai menetes keluar dari telapak kakinya. Sekuat mungkin ia menahan rasa sakit dan mulai berjalan ke arah Rey.
"Maafkan aku Mas. Aku belum tau sama sekali apa makanan kesukaan Mas. Kalau dari awal aku tau, pasti aku akan belajar dulu," Zena bicara sambil menunduk, ia tidak sanggup menatap suaminya yang terlihat seperti monster.
Rey mundur beberapa langkah dari Zena dan berteriak.
"Arrgh..! Persetan! Apa aku harus beritahu dulu, apa saja makanan orang kota?! Kamu harusnya pakai otak dong, kamu menikahi siapa! Huh! Mood aku hari ini rusak gara-gara kamu!" Rey membentak Zena tanpa henti.
Zena berjalan ke ruang tengah mencari kotak P3K. Darah di telapak kakinya tidak berhenti menetes dan berceceran di lantai.
"Heh! Siapa suruh kamu pergi?! Aku belum selesai bicara!" Rey menarik kuat bahu Zena, hampir membuatnya terjatuh.
"Maaf Mas, kakiku kena pecahan kaca. Aku obati dulu," Zena meringis kesakitan di bagian kaki dan bahunya.
"Maaf! Maaf! Apa hanya kata itu yang bisa kamu lontarkan?! Lihat lantai ini, darah di mana-mana! Kamu harus segera bersihkan, aku jijik melihat darah!"
"Baik Mas,"
"Aku makan di luar saja! Lama-lama bisa kelaparan menunggu kamu belajar masak! Huh!" Rey pergi begitu saja sambil meracau. Tanpa ada rasa iba sedikitpun dengan istrinya yang sedang terluka.
Blam!
Zena terkejut mendengar suara bantingan pintu dari ruang tamu. Ia segera membersihkan luka dengan memakai alkohol, meneteskan obat merah dan menutupi luka dengan perban. Setelah lukanya sudah di tutup, ia berjalan sedikit pincang dan berhati-hati menuju ke dapur. Lalu ia langsung membersihkan pecahan kaca yang berserakan.
Tak terasa air mata mengalir deras di pelupuk matanya. Zena teringat seorang pria yang pernah hadir dalam hidupnya. Pria itu pemuda yang baik dan penyayang. Hubungan mereka terjalin hanya sebentar saja dan berakhir tanpa penjelasan apapun saat itu. Tiga tahun sudah berlalu, tidak terdengar kabar lagi mengenai pria itu.
Zena selalu mengingat pria itu di setiap masalah yang sedang ia hadapi. Sebagai penguat diri, bahwa dihidupnya pernah ada seorang yang betul-betul memperlakukannya dengan sangat baik. Jika rasa itu timbul, ia bisa merasakan dirinya menjadi lebih baik.
Sama halnya hari ini, Zena membiarkan dirinya larut dalam angan dan kenangan bersama pria tersebut.
Dia bernama Farhan Faig. Farhan adalah cinta pertamanya di masa SMA dulu. Farhan Faiq, sosok pemuda yang sederhana, pintar dan rajin. Tapi jika dinilai dari fisik, Rey jauh lebih tampan dan terawat. Walaupun begitu, Zena sangat mencintai Farhan, begitu juga sebaliknya.
Mas Farhan, kenapa nasibku begini? Andai saja kamu ada di dekatku, pasti aku merasa kebahagiaan itu. Mas, aku rindu.
Berlahan Zena mulai merasakan hatinya menjadi kuat kembali. Ia tau, ini salah karena dirinya sudah bersuami. Memang tak elok memikirkan lelaki lain selain suami sendiri. Tapi ia butuh penguat diri agar bisa kuat kembali dan tidak larut dalam kesedihan.
Setelah mengumpulkan pecahan kaca dan membereskan dapur, Zena istirahat sebentar di kamar sambil membuka youtube. Ia mencari resep-resep modern yang biasa di makan orang kota metropolitan. Ada spageti, omlet, steak, capcay dan lainnya. Terdengar asing baginya, nama-nama makanan tersebut. Banyak juga nama bumbu dan sayuran yang tidak ia ketahui sama sekali.
Di kampung, Zena sudah terbiasa makan tahu, tempe, ikan asin, sayur asem, lodeh dan lainnya. Ia tidak pernah merasakan makanan modern dan butuh waktu untuk beradaptasi.
Tapi demi menyenangkan suami dan tugasnya sebagai seorang istri, ia menyimak satu persatu resep dan cara pembuatannya, sambil mencatat di sebuah buku.
Satu jam menonton youtube, Zena sudah menuliskan empat resep sekaligus. Dimulai dari cara memasak yang termudah dan yang tersulit.
"Hallo Nina, kamu sibuk nggak hari ini?" Zena menelepon sahabatnya. Nina adalah sahabat masa kecilnya. Tamat SMA, ia ingin mengadu nasib, pindah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Saat pesta pernikahannya kemaren, Nina di undang dan sempat hadir.
"Hallo pengantin baru. Ada apa nih? Bukannya kamu sekarang lagi honeymoon? Kamu masih di Jakarta kan?" Nina balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Zena.
"Masih di Jakarta Nin. Kalau kamu tidak sibuk, tolong temani aku belanja keperluan dapur,"
Zena berusaha menutupi kesedihannya hari ini dengan mengalihkan pembicaraan. Benar yang dikatakan Nina, harusnya hari ini ia sedang menikmati honeymoon bersama Rey, tapi entah mengapa tidak ada pembicaraan atau rencana ke arah sana. Walau tidak harus keluar rumah, tapi setidaknya Rey mau menyisihkan waktu bersantai bersama istri yang baru dinikahinya.
Tapi kenyataan malah jauh berbeda.
"Aku ada waktu hari ini, kebetulan tadi izin pulang. Kita janjian saja," jawab Nina.
"Baik. Sebentar lagi aku akan bersiap-siap. Kita bertemu di tempat biasa,"
"Oke,"
Klik!
Zena mematikan ponselnya. Ia bergegas mengganti pakaian yang lebih tertutup. Tidak lupa ia mengirimkan pesan lewat WA ke Rey.
[Mas, aku izin keluar mau belanja keperluan dapur. Aku di temani Nina]
[Awas kamu jangan lama-lama! Aku ingin di layani setelah kamu pulang. Dan jangan habiskan uangku untuk keperluanmu yang tidak penting! Ingat itu!]
[Baik Mas]
Astaghfirullah, masih sempat-sempatnya Mas Rey minta dilayani lagi. Semalam sudah berapa kali dia menjamahku. Apa dia tidak memikirkan sama sekali kakiku sedang terluka? Tidak adakah permintaan maaf? Kalau bukan karena Bapak, aku tidak akan pernah mau dinikahi monster seperti Rey!
Zena berusaha menguatkan hatinya dan menghibur diri sendiri dengan menghadirkan sosok Farhan di pikirannya.
Mungkin ini sudah takdirku dan nasib yang tidak bisa aku rubah sama sekali.
Zena bergegas mengambil tas dan langsung pergi. Kebetulan rumah yang ia tempati tidak jauh dari jalan besar, sehingga tidak sulit ia mendapatkan angkot atau kendaraan umum lainnya. Ia memutuskan untuk naik angkot saja, walau di rumah ada beberapa mobil yang terparkir. Ia tidak bisa menyetir mobil dan membawa motor.
Zena berjalan ke depan gang yang berjarak hanya enam meter.
...****************...
Setelah menemukan angkot, Zena langsung naik.
Lima belas menit kemudian, angkot yang ditumpanginya berhenti di samping sebuah Mall yang besar. Ia dan penumpang lainnya ikut turun. Setelah membayar ongkos, ia langsung berjalan ke dalam Mall melalui pintu depan.
Pagi itu pengunjung Mall masih terlihat sedikit. Setelah masuk ke dalam, Zena langsung ke lantai dua menggunakan lift. Setelah sampai, ia langsung keluar dari lift menuju ke salah satu cafe yang baru dibuka. Terlihat dari jauh sosok Nina, sudah menunggunya sambil merokok.
"Hai Nina, sudah lama menunggu?" tanya Zena, langsung mengambil kursi dan duduk.
"Baru saja. Aku sudah pesan makanan. Kamu mau makan apa?" tanya Nina sambil mengepulkan asap rokok.
Zena sudah mengetahui kalau Nina sudah terbiasa merokok, jadi baginya pemandangan seperti ini tidak terasa asing lagi. Nina banyak mengalami perubahan setelah tiga tahun merantau ke Jakarta. Ia tak banyak mengetahui tentang kehidupan Nina, ia tidak mau ikut campur kehidupan Nina. Tapi jika Nina ingin bercerita tentang apa saja, ia pasti siap mendengarkan.
"Tidak usah. Aku sudah sarapan tadi pagi, masih kenyang," tolak Zena secara halus.
"Bagaimana semalam? Berapa ronde?" Nina senyum-senyum dengan pertanyaannya sendiri. Mungkin ada perasaan sedikit sungkan untuk bertanya hal yang demikian. Tapi tidak dengan Nina, ia suka ceplas ceplos tanpa melihat situasi apapun.
"Yah, seperti pengantin baru pada umumnya lah. Malu kalau diceritakan," Zena menjawabnya dengan bijak. Ia tidak mau ada seorangpun tau urusan rumah tangganya. Apalagi malam pertamanya dilalui dengan kesedihan yang mendalam. Sebisa mungkin Zena menyimpan rapat-rapat, agar semua orang hanya melihat rumah tangganya baik-baik saja.
"Yah.., beneran nih nggak mau cerita?" tanya Nina sambil mengisap sisa rokoknya. Ada nada kecewa dari pertanyaannya.
"Ih, apaan sih kamu kok kepo. Entar kamu juga merasakan kok apa yang aku rasakan. Udah ah, kita bahas yang lain saja," Zena berusaha sebisa mungkin mengalihkan pembicaraan.
"Bukan aku kepo Zen, tapi sebenarnya aku pengen tau. Kenapa pagi-pagi kamu pergi ke Mall dan belanja untuk keperluan dapur? Kan bisa pesan makanan online jika kamu dan Rey lapar? Ngapain juga kamu repot-repot masak? Tidak ada ART di rumah Rey?" pertanyaan demi pertanyaan dari Nina malah semakin banyak. Zena tidak menyangka, Nina bisa menangkap keanehan yang terjadi pada dirinya.
Zena tidak bisa berkelit, karena kenyataannya memang jelas, jika ada sesuatu yang ia sembunyikan.
"Oh itu, kita berdua sudah sarapan kok. Hari ini hari pertama aku menjadi seorang istri, jadi aku ingin membuat masakan kesukaan suami. Untuk ART kita sepakat tidak menggunakan jasa itu. Semua pekerjaan rumah sekarang aku yang urus, apalagi kita belum punya anak," Zena berusaha mencari rangkaian kata yang masuk akal. Ia terpaksa berbohong dengan apa yang sudah dialaminya pagi ini.
Pelayan cafe datang membawa pesanan Nina. Setelah meletakkan makanan dan minum, pelayan pergi.
"Kita ngobrol sambil aku makan ya Zen. Sudah tidak tahan lagi menahan lapar, perutku keroncongan," Nina menyuapi makanan ke dalam mulutnya. Sisa rokoknya tadi sudah dimasukkan ke dalam asbak yang ada di atas meja.
"Kamu kenapa hari ini tidak kerja Nin? Apa boleh izin sesuka hati?" Zena sebenarnya ingin tau apa pekerjaan sahabatnya ini, tapi ia takut bertanya.
"Semua karyawan di Perusahaan tempat aku bekerja mendapatkan jatah libur dua kali dalam satu bulan, itu di luar tanggal merah. Kebetulan aku ada hubungan special dengan Manager, jadi yah aku manfaatkan saja. Sekarang aku di sini karena izin tapi bukan termasuk jatah liburku,"
"Baguslah ada jatah libur dua kali dalam satu bulan. Walau kamu lagi dekat sama Managernya, bukan bearti bebas minta izin dong? Nanti kamu bisa di pecat. Apalagi kalau ada karyawan lain yang iri, bisa-bisa mereka melaporkannya ke atasan," Zena menasehati Nina karena ia tidak ingin sahabatnya mendapatkan masalah di kemudian hari. Apalagi sekarang susah sekali mendapatkan pekerjaan.
"Tenang Zen, aku bisa mengatasi masalah aku sendiri. Hidup di kota metropolitan ini harus pinter-pinter mencari celah dan mengambil kesempatan. Kalau hidup lurus-lurus saja, kita bisa ketipu, kelaparan, bahkan diinjak-injak orang lain yang lebih berkuasa dan kaya raya. Jika tidak mampu bertahan, lebih baik kita balik ke kampung daripada menderita di kota ini," Nina masih mengunyah makanannya.
Yang dikatakan Nina ada benarnya. Zena menyadari betul, ucapan Nina barusan sedang dia alami sekarang. Rey berkuasa atas dirinya karena merasa hebat dan memiliki segalanya. Sedangkan ia hanyalah seorang gadis kampung yang sederhana. Mungkin jika istrinya Rey seorang gadis kota, berpendidikan dan kaya raya, ceritanya akan jadi berbeda.
Tapi Nina, tidak baik memanfaatkan orang lain untuk memenuhi semua keinginan kita.
Zena ingin menyampaikan kalimat ini, tapi ia urungkan karena tidak mau memperpanjang urusan Nina.
"Sudahlah, tidak usah kamu pikirkan. Sekarang nikmati dulu masa-masa indahmu sebagai pengantin baru. Tapi kamu jangan lupakan ucapanku tadi dan jangan jadi bego hidup di kota ini. Kamu harus mandiri dan memanfaatkan sesuatu yang menurutmu itu baik. Toh nanti kamu bisa belajar sendiri, betapa kerasnya hidup di kota," Nina menyuapi makanan terakhirnya ke dalam mulut.
"Iya sih, masih banyak lagi yang harus aku pelajari. Di awal saja aku tidak tau makanan apa yang biasa dihidangkan orang kota, sampai-sampai aku harus belajar melalui youtube. Suamiku menyukai makanan yang modern. Seleranya berbeda jauh denganku," tanpa disadari, Zena mengeluh. Sedikit saja ia salah bicara, Nina bisa menangkap apa yang terjadi dengannya pagi ini. Untungnya Zena hanya membahas tentang keluhan masakan dan tidak memperpanjang keluhannya.
"Kamu enak Zen, punya suami berduit, cakep pula. Kurang apa coba? Nih, aku beritau salah satu yang bisa kamu manfaatkan dari kekayaan Rey. Kamu belajar nyetir mobil atau motor, agar tidak bergantungan dengannya tentang urusan jalan-jalan. Masa' kamu punya semuanya tapi masih naik angkot? Apa kata tetangga?" Nina menyeruput minuman yang masih tersisa. Ia sudah selesai makan dan lanjut lagi merokok.
Apa yang dikatakan Nina memang benar. Semua tetangga, keluargaku sudah tau kalau aku memiliki segalanya. Belum tentu Mas Rey bersedia mengantarkan aku setiap mau keluar atau sekedar belanja keperluan rumah. Tapi, apakah aku diperbolehkan menyentuh kendaraan yang di miliki Mas Rey?
Zena gamang. Kenyataan tidak semudah dengan ucapan.
"Iya Nin, tapi kan aku baru sehari menjadi istrinya Mas Rey. Belum pantas aku merasa memiliki apa yang ia sudah miliki. Nanti Mas Rey berpikir, aku istri yang matrealistis, belum apa-apa sudah menguasai hartanya. Biarlah mengalir begitu saja, yang penting aku belajar dan berusaha menjadi istri yang baik sesuai keinginannya,"
"Kamu kan sudah sah jadi istrinya. Jadi apapun yang dia miliki, otomatis milik kamu juga. Tapi terserah kamu deh, yang penting ingat perkataanku tadi. Manfaatkan sesuatu itu dengan baik, karena kita tidak tau nasib kedepannya," Nina menghisap rokoknya.
"Iya Nin," hanya ucapan singkat yang keluar dari mulut Zena.
"Udah ah, kita pergi dari sini yok. Kamu jadi kan belanjanya?" tanya Nina sambil mematikan rokok dan membereskan isi tasnya.
"Ya jadi dong. Tapi kita nggak lama ya, takutnya suamiku pulang lebih dulu ke rumah," Zena baru ingat isi pesan WA Rey tadi. Jika sampai dia terlambat pulang, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Ciee.., pengantin baru mau asoy.. Oke. Aku bayar dulu ya," Nina bergegas berjalan ke kasir untuk membayar makanan yang di pesannya.
Setelah selesai, Zena dan Nina pergi turun ke bawah menaiki lift. Dilantai bawah adalah tempat khusus makanan dan peralatan dapur.
...****************...
Zena mengambil troli yang berada di depan pintu masuk. Ia dan Nina berjalan ke bagian bumbu dapur. Ada berbagai macam bumbu yang di tidak ia ketahui, apalagi berupa bubuk. Tidak seperti di kampung, hampir semua bumbu di ulek dulu sebelum digunakan. Malah kebanyakan di kampung, kebun atau halaman rumahnya ditanami bumbu masak. Jadi tidak perlu lagi repot-repot beli ke pasar.
"Na, ini lada hitam buat apa ya?" tanya Zena. Baru kali ini ia menemukan lada berwarna hitam dan tidak tau sama sekali kegunaannya buat apa.
"Lada hitam ini lebih tajam pedasnya dari pada lada biasa Zen. Biasanya digunakan untuk pizza, seafood, sebagai tambahan bumbu selain dari rasa pedas cabe. Begitu sih yang aku ketahui, karena biasanya aku makan di restoran ada pilihan menu lada hitam. Misalnya kepiting saos lada hitam, dalam bahasa Inggris namanya black pepper," jelas Nina secara rinci. Tidak heran jika Nina mengetahuinya karena ia menyukai makanan apa saja dan juga hobi memasak.
Zena mengambil lada hitam sebanyak dua bungkus. Ia membutuhkan lada itu, karena cocok dengan menu masakan yang sudah ditontonnya di youtube. Kebanyakan menu modern memakai lada ini.
Selain lada hitam, Zena juga membeli bumbu lain. Sambil mencari kebutuhan dapur, ia terus saja bertanya ke Nina mengenai masakan apa saja yang caranya lebih praktis dan modern.
Nina menyarankan Zena untuk membuat sandwich, omlet keju, nasi goreng seafood, roti bakar isi sosis untuk sarapan.
"Kalau kamu mau lebih praktis lagi, tinggal beli nugget dan goreng. Sepraktis itu, kita cari nugget di sana yuk, sosis sama bakso juga. Makanan cepat saji itu selain praktis juga awet di simpan. Simpannya dalam freezer," Nina menarik tangan Zena menuju ke box es berisi segala macam merk nugget, sosis dan bakso.
"Freezer itu apaan ya?" Zena tidak tau sama sekali, terasa asing ditelinganya mendengar kata itu. Ia ikut memilih dan membaca keterangan di setiap bungkusan yang diambil.
"Freezer itu fungsinya untuk membekukan makanan. Kalau kulkas dua pintu, biasanya ada di pintu kulkas paling atas. Bedanya freeezer berfungsi sebagai pembeku dan yang satu lagi berfungsi sebagai pendinginnya saja," Nina semangat sekali menjelaskannya ke Zena.
Nina sudah mengambil beberapa plastik nugget, sosis dan bakso. Lalu ia masukkan ke dalam troli.
"Aku rasa ini sudah cukup Zen. Nanti kan bisa beli lagi ke sini. Kamu harus ingat merknya apa. Itu yang aku pilih merk yang biasa digunakan restoran atau hotel bintang lima, selain rasanya enak, kwalitasnya juga bagus. Dan pasti harganya mahal. Yah.., sekali-kalilah kamu makan enak dan mewah, duit suami kamu kan banyak. Pasti dia sudah terbiasa makan yang beginian dan tau harga," Nina masih nyerocos sambil mendorong troli ke rak roti tawar.
Zena merasa cemas melihat belanjaannya sudah banyak di dalam troli. Ia takut Rey akan marah jika uangnya banyak terpakai.
Tapi kan semua ini untuk makan dia juga. pikir Zena.
Ia segera menepis pikirannya, jikapun Rey marah, ia siap terima resiko daripada bolak balik lagi ke Mall hanya untuk membeli bahan makanan.
"Aku mau membeli sayur Na," Zena melewati rak berisi roti tawar.
"Zen, sini! Kamu harus beli roti tawar sebagai pelengkap," Nina mengambil dua bungkus roti tawar.
Zena berbalik arah dan ikut membantu Nina. Tidak sampai di situ, Nina juga mengambil selai coklat merk Nuttela ukuran besar, meses dan keju. Zena tidak bisa mencegahnya karena memang semua itu ada di dalam daftar menu yang ia catat.
Roti tawar cocok sekali buat sarapan dan cara menyajikannya juga mudah.
"Sudah, sekarang kita ke tempat sayur mayur. Untuk sayuran, kamu bisa masukkan ke dalam plastik dan ikat. Atau bisa kamu masukkan juga ke dalam box kecil berbahan plastik, biar sayurnya awet, lalu masukkan ke dalam kulkas bagian bawahnya," terang Nina.
Zena mengambil alih troli dari tangan Nina, biar gantian.
"Nih, namanya brokoli. Mirip-mirip kembang kol, tapi harganya lebih mahal. Kamu kukus atau rebus sebentar tanpa garam dan bumbu saja, sudah terasa enak. Biasanya balita suka banget sayur ini," sepertinya Nina tau semua seluk beluk perdapuran. Tidak hanya mengandalkan penampilan saja, ternyata ada sisi lain yang bisa diandalkan selain memasak, ia juga jago dalam hal penyajian makanan.
"Sampai kesukaan balitapun kamu tau Na, jago bener," puji Zena.
"Anak Bos aku suka brokoli, taunya dari sana," Nina mengambil dua ikat kangkung baby dan memasukkannya ke dalam troli.
"Sayurnya cukup itu saja Na, nanti kelamaan di kulkas, jadi nggak segar lagi. Aku butuh cabe," Zena berjalan maju mengambil cabe yang sudah di bungkus plastik.
"Lho, kamu butuh selada, tomat dan mentimun. Itu pelengkap burger atau isian roti tawar yang kita ambil tadi," Nina dengan cepat mengambil apa yang disebutkannya tadi. Ia tidak peduli dengan larangan Zena, karena ia tau persis apa yang dibutuhkan sahabatnya. Apalagi Zena baru menempati rumah Rey, pastilah bahan makanan tidak ada.
Sekali lagi Zena menuruti kemauan Nina. Ia tidak bisa menolak karena lagi-lagi sesuai dengan apa yang ia tonton di youtube.
Setelah semua kebutuhan dapur lengkap, Zena dan Nina langsung ke kasir. Terlihat troli yang di bawa Zena sudah seperti gunung.
Tidak perlu antrian panjang, Zena langsung membayar belanjaannya. Total keseluruhan, satu juta dua ratus lima puluh ribu. Ia kaget bukan kepalang. Tidak menyangka sama sekali, kalau belanjaannya sudah lebih dari satu juta.
"Na, belanjaanku banyak banget. Duh, aku takut suamiku marah, bagaimana ini?" ada rasa penyesalan terlihat dari raut wajah Zena. Bagaimana ia menjelaskannya ke Rey nanti?
"Hah! Cuma segitu kamu bilang mahal?! Nggak salah tu Zen? Belanjaan segini untuk beberapa hari kedepan sudah termasuk murah Non. Kamu belanjanya di kota bukan di kampung, jangan norak deh," Nina membantu angkat belanjaan dari kasir.
Zena terdiam mendengar ucapan Nina. Ia hanya takut Rey marah, itu saja alasan yang sebenarnya.
"Oiya, kamu bawa belanjaan pakai apa?" tanya Nina.
"Aku naik angkot Na," Zena bingung bagaimana caranya mengangkat tiga kantong besar ke dalam angkot, sedangkan Nina beda arah tempat tinggalnya. Dan untuk mendapatkan angkot, Zena harus berjalan keluar dari Mall sekitar sepuluh meter. Dipastikan akan menguras tenaga.
"Duh Zena...! Kamu itu istri orang kaya dan hidup di kota besar. Udah canggih gini, kamu kan bisa pesan online. Nggak perlu repot nyari angkot, hadeh..!" Nina gemes melihat betapa lugunya seorang sahabatnya Zena dan tidak tau apa-apa.
Nina tidak habis fikir, mengapa Zena bisa menikah dengan Rey yang bertolak belakang dengan kehidupan sahabatnya.
Apakah ini murni dikatakan jodoh? Atau di paksa berjodoh?
"Maaf merepotkanmu Na, aku tidak tau cara pesan secara online. Hp-ku juga masih jadul, tidak bisa download banyak aplikasi," dengan lugunya Zena berkata demikian, ia tertunduk malu di depan Nina.
Sebagai teman yang baik, Nina berinsiatif untuk membantu Zena. Tidak ada pilihan lain selain ikut mengantarkannya.
"Baiklah, biar aku yang pesankan taksi online. Aku juga ikut, supaya kamu tidak kerepotan membawa kantong-kantong ini. Tapi aku tidak mau masuk ke dalam rumahmu, soalnya aku lagi terburu-buru. Setelah mengantarmu di depan rumah, aku langsung pulang ya," ada rasa iba di dalam hati Nina saat melihat sahabatnya. Nina berharap suami Zena mau membelikan Hp baru dan mengajarkannya tentang teknologi.
Setelah memesan taksi online, mereka berdua menunggu beberapa menit di depan Mall. Akhirnya taksi yang di tunggu datang, mereka bergegas masuk. Barang bawaan dimasukkan ke dalam bagasi mobil oleh supir taksi.
Taksi online melaju ke arah alamat yang dituju.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!