...Aku sadar kalau aku tidak bisa hidup tanpamu, dan walaupun aku tidak penah mengatakannya tetapi selamanya, selamanya aku kan selalu mencintai dirimu....
...----------------...
Aku berjalan perlahan memasuki pintu gerbang kampus baruku, ketika segerombolan mahasiswa berduyung-duyung masuk melewati pintu gerbang juga sama sepertiku. Di lihat dari penampilan mereka yang tampak akrab satu sama lain, pasti mereka bukan mahasiswa baru. Wajah mereka tampak tidak berbeda jauh dengan usiaku. Aku yakin mereka mahasiswa tingkat dua yang usianya hanya terpaut setahun denganku.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk kuliah. Kampus ini tidak mengadakan kegiatan ospek karena merupakan universitas nomer satu dan teramat sangat khusus di negara ini. Sekian lama aku belajar dengan giat agar mendapatkan beasiswa di universitas ini. Mendapatkan beasiswa di universitas ini bukanlah sebuah pilihan tetapi keharusan bagiku. Maka sejak dulu belajar adalah prioritas utamaku dalam hidupku. Aku bercita-cita memperbaiki nasib keluargaku dengan menimba ilmu disini. Hampir semua orang-orang dalam pemerintahan, adalah lulusan universitas swasta ini.
Terjun dalam dunia politik adalah cita-citaku. Bukan hanya untuk memperbaiki nasib keluargaku melainkan juga ingin membangun Negara ini. Karena hal tersebut aku memilih jurusan administasi Negara.
Langkah kecilku hampir tidak terdengar suara. Aku memang sengaja membuat langkahku agar tak bersuara. Aku tidak ingin mahasiswa lain menatap atau memperhatikan aku. Aku bukanlah orang yang senang diperhatikan oleh orang yang tidak ku kenal. Aku memang bukan pemalu tapi aku tidak suka menjadi bahan perhatian orang. Tak ada satu pun orang yang ku kenal di universitas ini. Tidak ada teman SMA ku yang berhasil masuk ke universitas ini sepertiku. Bahkan kalau adapun aku tetap kesepian karena sejak SMA dulu aku tidak suka memiliki teman dan lebih memilih membaca buku saat jam istirahat. Satu-satunya sahabatku adalah Gary, yang dua tahun lebih tua dariku. Setelah lulus sekolah dia membantu ayahku di rumah makan kecil milik ayahku yang menyatu dengan rumah kami.
Lima puluh persen mahasiswa di tempat ini adalah mahasiswa beasiswa, dan sisanya merupakan anak-anak konglomerat di Negara ini. Gedung kampus beasiswa juga di pisah dengan gedung kampus konglomerat. Sebuah bundaran yang di tengah-tengahnya terdapat patung kuda putih yang sedang berdiri dengan dua kaki menjadi batas pemisah gedung-gedung tersebut. Pembedaan dan perbedaan tersebut sangat terlihat jelas. Hampir semua mahasiswa konglomerat membawa mobil mewah saat memasuki kampus. Hal tersebut dapat di simpulkan bahwa segerombolan mahasiswa tadi merupakan mahasiswa beasiswa. Mungkin aku bisa mulai berteman dengan para mahasiswa beasiswa lainnya nanti.
"Kehilangan sesuatu?"
Tiba-tiba terdengar suara di hadapanku sehingga membuat langkahku terhenti dan menengadahkan kepalaku yang dari tadi berjalan dengan tertunduk. Aku melihat seorang pria yang ukuran tubuhnya sama seperti Gary, bahkan ketika melihatnya mengingatkanku pada Gary. Aku tahu pasti bukan karena wajah mereka mirip, tetapi karena posisi kami yang sangat dekat, dan hanya Gary lah satu-satunya pria di dunia ini yang selalu memposisikan dirinya sedekat pria di hadapanku sekarang ini. Saking dekatnya aku dapat melihat bola mata pria tersebut yang berwarna cokelat terang, aku juga dapat mencium aroma tubuhnya yang beraromakan bunga lily seperti namaku, Lily.
Sesaat aku terdiam karena pria tersebut dan tersadar kembali setelah pria itu mengulang pertanyaanya. "Kau kehilangan sesuatu?" Saat tersadar aku mundur tiga langkah untuk menjauh darinya dengan cepat.
"Apa?" Aku malah balik bertanya seperti orang bodoh. saat ini aku berharap wajahku tidak memerah karena malu.
"Mau aku bantu carikan?" Pria itu tampak begitu ramah.
Aku tidak tahu harus jawab apa. Memangnya apa yang hilang? Aku tidak kehilangan apapun.
"Dari tadi kau berjalan pelan dan wajahmu tertunduk. Pasti mencari sesuatu kan? Ayo aku bantu cari." Pria itu tersenyum mengingatkan aku pada boneka kucingku yang tersenyum sepanjang waktu di kamar. "Benda apa yang hilang?"
"Cincin?" Jawabku dengan spontan dan dengan nada bertanya. Aku benar-benar bodoh. padahal tidak ada apapun yang hilang. Jawabanku membuat pria itu segera menatap ke bawah untuk mencarinya.
"Bagaimana bentuk cincinnya?" Tanya pria itu lagi dengan mata yang masih mencari-cari cincin yang sesungguhnya memang tidak ada di bawah. Bahkan dia tidak aneh dengan nada bicara ku saat menjawabnya.
"Wa... warnanya perak." Kata ku. "Tapi tidak usah dicari lagi."
"Kenapa?"
"Mungkin sudah benar-benar hilang." Aku mencoba menghentikan pria itu mencari cincin yang sejak awal tidak ada. Pria itu menatap ku lagi. "Tidak perlu di cari. Biarkan saja hilang." Dia terus menatap ku. Aku tidak tahu apa maksud tatapannya.
Karena merasa tidak ada masalah lagi aku mulai kembali melangkahkan kaki ku. Aku memutar balik karena tahu lorong ini adalah lorong penghubung antara gedung beasiswa dan gedung konglomerat. Dan aku sama sekali tidak berniat menjejakan kaki di gedung yang bukan untuk diriku.
"Tunggu!!" Seru pria yang sama sekali tidak aku kenal. Mau apa lagi dia? Aku berhenti tepat di langkahku yang kelima, dan tidak berniat untuk menoleh ke arahnya.
"Bisa kasih tahu bagaimana bentuknya? Aku akan terus cari."
Mendengar kata-katanya sedikit membuatku kesal dan sedikit lagi merasa lucu. Bagaimana dia mau menemukannya sedangkan cincin itu tidak pernah ada. lagi pula kenapa dia berniat sekali ingin menemukannya? Dasar kurang kerjaan.
"Tidak usah di cari lagi." Setelah mengucapkan kalimat tersebut aku langsung berjalan tanpa menoleh dan mencari tahu apa yang di lakukan pria itu setelahnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Visual Tokoh :
Lily
Gadis yang sangat penyendiri. Bukan pemalu hanya saja dia lebih nyaman ketika berada di tempat yang sepi dan jauh dari tatapan orang-orang. Gadis yang sangat pintar namun selalu berpikiran pesimis untuk apapun.
Petra
Pria misterius yang ditemui Lily di lorong penghubung. Pria yang sangat misterius dengan tatapan yang sering kali terlihat berbeda oleh Lily. Sejak pertama melihatnya Lily merasa ada keanehan pada Petra.
Gary
Tetangga sekaligus Sahabat Lily, namun sesungguhnya Gary adalah pria yang dicintai oleh Lily. Sifatnya sangat menyenangkan dan merupakan pria yang rajin. Dua tahun lebih tua dari Lily dan hubungannya sangat dekat dengan ayah dan adik laki-laki Lily.
...****************...
Sinopsis Singkat
Lily mencintai Gary, namun setelah bertemu dengan Petra di lorong penghubung di kampusnya, membuat Lily terjerat dengan sosok Petra yang baginya sangat misterius. Hingga akhirnya Lily mencari tahu mengenai Petra yang membuatnya terjebak hingga harus menikah dengan pria itu.
Namun perasaannya pada Gary tetap ada, dan tidak bisa dihilangkan begitu saja, tapi di lain hal Lily selalu mencemaskan Petra dengan segala kemisteriusannya. Hal itu pula yang membuatnya setuju untuk menikah dengan Pria itu setelah kakek Petra mengancamnya tanpa suatu alasan yang jelas.
Apakah Lily akan kembali dengan Gary atau dia harus menjalani hidupnya bersama Petra selamanya?
Ikutin terus saja kisah ini yaa...
Jangan lupa like, komen, favorit, gift dan vote setiap minggu.
Semenjak masuk kuliah aku jarang bertemu Gary yang sibuk bekerja. Sejak sebulan yang lalu ia di terima bekerja di sebuah restoran mewah sebagai waiters. Ia mulai bekerja sejak pukul tujuh pagi dan selesai pukul tiga sore, untunglah restoran tersebut tidak terlalu jauh dari daerah rumah kami dan hanya menghabiskan waktu setengah jam perjalanan. Biasanya dia langsung membantu ayahku di rumah makan sebelum pukul enam sore kembali berangkat ke café milik temannya yang hanya berjarak tiga gang dari gang rumah Gary yang bersebelahan dengan rumahku. Dia menjaga café tersebut sejak pukul enam malam hingga pukul duabelas tengah malam. Café tersebut buka 24 jam dalam sehari. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya bila menjadi Gary yang harus membiayai hidupnya sendiri dan nenek yang menbesarkannya.
Sejak adik laki-lakiku Leo lahir, ibu ku meninggal. Aku dan Leo hanya dibesarkan oleh ayahku yang mencari nafkah dengan membuka rumah makan di rumah kami. Aku berpikir, nasib ku lebih baik bila di bandingkan Gary yang besar tanpa satupun sosok orang tua di hidupnya. Walaupun Gary tidak pernah menceritakan tentang orang tuanya dan mengatakan bagaimana perasaannya mengenai mereka. aku tahu kalau Gary sangat menyayangi dan merindukan mereka, sama sepertiku yang merindukan ibuku.
"Bisa aku bantu ayah?" Tanyaku pada ayahku yang sedang sibuk menyendok nasi ke piring karena saat ini ada sekitar tujuh pengunjung yang menantikan pesanannya. Aku melirik melihat jam dinding berbentuk bundar yang tertempel di dinding belakang salah satu meja pengunjung yang terdiri dari sepasang suami istri. Mereka tampak mesra dari tadi walau saat menyantap pesanannya sekalipun. Waktu menunjukan pukul tiga sore.
"Sudah pulang?" Ayah melirikku sekali dan kembali melanjutkan kesibukkannya. Aku membantu dengan menyiapkan piring-piring dan memastikan piring-piring tersebut bersih mengkilap.
"Iya. Dimana Leo? Pasti belum pulang kan? Main kemana lagi dia?" dari nadaku ayah bisa mengetahuinya kalau aku kesal. Ya aku memang kesal. Adik laki-laki ku memang nakal dan sulit di atur. Dia suka sekali pergi bermain dan tidak membantu ayahku berjualan. Dia harus di kasih pelajaran.
"Sudah jangan berisik. Ini antar ke meja nomer tiga." Seru ayah sambil merapikan susunan piring di atas baki yang terbuat dari kayu buatannya sendiri.
"Aku saja yang antar."
Aku menoleh untuk mencari sumber suara yang sudah sangat aku kenal dan menemukan Gary di belakangku. "Biar aku yang antar." Gary tersenyum padaku dan langsung mengambil baki kayu yang siap diantar ke meja pengunjung. Aku terus memperhatikannya ketika berjalan menuju meja nomer tiga yang terdiri dari lima pengunjung wanita yang usianya sekitar duapuluh tahunan. Dari belakang bahu Gary terlihat kuat dan kokoh. Dengan tubuh tinggi dan kuat itu, aku ingat bagaimana dia mengangkat sekarung beras dengan berat 50 kg di tambah dia menenteng sejeligen minyak sayur 5 kilogram ketika kami berbelanja kebutuhan rumah makan. Setiap hari minggu kami selalu berbelanja berdua ke pasar. Hampir semua pedagang di pasar mengenal Gary karena sifatnya yang ramah dan selalu sedia bila seseorang meminta batuannya. Betapa sangat membantunya dia bagiku dan juga ayahku.
"Jangan melamun." Suara Gary memecahkan lamunanku tentang dirinya. Tanpa sadar dia sudah berdiri di hadapanku yang sedang duduk di salah satu kursi plastik di dapur memperhatikannya. "Sudah makan?"
"Belum." Jawabku singkat.
"Aku buatkan telur mata sapi setengah matang yah?" Aku mengangguk menjawabnya. Dia tahu benar kalau telor mata sapi setengah matang adalah makanan favoritku, apalagi bila dia yang buat. Gary sangat pandai memasak. Dia bisa memasak banyak makanan, dan hasilnya pun selalu sangat lezat. Dulu ketika masih duduk di sekolah dasar dia pernah mengatakan padaku kalau cita-citanya adalah menjadi seorang juru masak. Kalau tidak salah saat itu aku duduk di kursi kelas tiga sedangkan dia di kelas lima sekolah dasar. Aku berpikir pasti beruntung sekali wanita yang akan menjadi istrinya kelak.
"Kalian berdua jaga dulu yah. Aku harus ke rumah pak Zaky mengembalikan obeng yang dipinjam kemarin." Ucap ayah pada kami setelah itu berjalan keluar. Sebenarnya kata-kata tersebut lebih di tujukan pada Gary yang sangat di percayai olehnya menjaga rumah makan ini ketimbang aku. Dan lagi bila ayah sudah pergi ke rumah pak Zaky, bukan hitungan menit lagi untuk menunggunya pulang. Dia selalu lupa waktu kalau ke rumah sahabatnya itu. Bisa-bisa sampai langit gelap.
Kami harus menunggu semua pengunjung pulang untuk makan bersama. Tidak mungkin bisa kami makan bersama dengan tenang ketika ada pengunjung. Aku meletakan dua piring nasi di meja nomer satu yang letaknya dekat dengan dapur memasak, agar kami dapat langsung menyingkirkan makanan-makanan tersebut jika ada pengunjung datang. Aku berharap tidak ada pengunjung yang datang saat kami makan berdua. Sudah jarang sekali kami makan bersama.
"Gar, kenapa jam segini sudah pulang?" tanya ku yang duduk di salah satu kursi di nomer satu untuk bersiap-siap makan. Aku tidak tahu apa Gary mendengar pertanyaanku atau tidak karena dia tidak langsung menjawabnya. Dia masih sibuk menyiapkan makanan di dapur. Tapi aku juga tidak berniat untuk mengulang pertanyaan yang sama.
"Mereka menyuruhku pulang lebih cepat."
Dengan dua piring berisi lauk di tangannya, akhirnya dia menjawab pertanyaanku. Dia meletakan piring-piring tersebut di hadapanku, dan duduk di kursi yang berada di depanku. Aku melihat satu piring tersebut berisi telur mata sapi setengah matang milikku, dan sup ayam di piring satunya yang lebih cocok di sebut mangkuk karena bentuknya agak cekung.
"Ayo kita makan." senyum Gary seperti biasanya. Dia langsung mengambil telur mata sapi setengah matang tersebut dan menaruhnya ke piringku dan menyiduk sup untukku.
"Kau tidak mau telur?" Aku membagi telur di piringku menjadi dua dan setengahnya ku taruh di piring Gary.
"Tidak. Aku tidak mau. Buatmu saja semuanya." Gary mengembalikan setengah telur yang ku berikan ke piringku. Memang begitulah sifat Gary, terlalu baik. Bahkan jika saja aku memaksanya untuk memakan setengah telur itu dia tetap ngotot tidak mau. Tapi jika sebaliknya aku yang menolak, dia akan tetap memaksa bahkan berusaha mencekoki aku agar mau makan. Sebenarnya sifatnya itu bisa juga dibilang kejam.
"Kenapa mereka menyuruh pulang?"
"Aku tidak tahu. Mungkin karena hampir dua minggu ini aku telat pulang jadi mereka menyuruhku pulang cepat hari ini." Sesekali Gary menambahkan sup ke piringku. "Bagaimana kuliahnya? Sudah dapat teman baru?"
Aku menggeleng menjawabnya. "Tidak niat punya teman." kata ku.
Gary membuang napas panjang mendengar ucapanku. "Masih tidak mau berubah yah?" nada suara Gary terdengar datar. Aku tahu dia kehabisan kata bila menyuruhku mencari teman. "Bertemanlah..."
"Gar, kau tahu kan bagaimana aku? Aku tidak suka memulai percakapan, apalagi berkenalan."
"Tapi..."
"Cukup! Aku bangkit berdiri. Habiskan semuanya." Nada bicaraku mulai kesal. Aku langsung masuk kedalam rumahku dan meninggalkan Gary sendiri. Kenapa dia membuatku kesal? Menyuruhku mencari teman segala, memangnya mau kemana dia? Aku sudah cukup punya satu teman yaitu dia sendiri. Aku tidak berniat mencari teman lain. Aku tidak butuh.
"Ayah mana kak?" Terdengar suara adik laki-lakiku Leo. Pasti dia baru pulang dari bermainnya. Anak itu kerjaannya bermain terus. Padahal sudah kelas tiga dan sebentar lagi lulus SMP. Bagaimana kalau dia tidak lulus? Dasar anak nakal.
"Ke rumah pak Zaky." Sahut Gary. "Kau sudah makan?"
"Buat apa makan kalau kerjanya hanya bermain." Sambarku yang langsung kembali ke rumah makan. "Kemana saja? Bukannya belajar. Dasar nakal."
Bukannya menanggapi ucapanku anak nakal itu malah masuk ke dalam rumah dan membanting pintu kamarnya dengan keras.
"Di tanya malah kabur." Aku benar-benar kesal dengan sikapnya. Beginilah kelakuan anak-anak jaman sekarang yang langsung kabur saat di nasihati.
"Jangan marah-marah terus, nanti rambutmu bisa cepat beruban."
"Aneh sekali. Kenapa kau selalu membelanya?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hujan turun sangat deras siang hari ketika mata kuliah akutansi selesai. Aku menarik lengan baju panjangku untuk melihat jam tangan yang tertutup olehnya. Waktu menunjukan pukul dua belas siang. Waktunya makan siang. Tadi pagi Gary membuatkan bekal makan siangku. Aku segera mengambil tempat makanku dan membukanya untuk melihat apa yang di buat Gary untukku.ternyata nasi goreng yang lengkap dengan telur mata sapi setengah matang kesukaanku. Aku tersenyum melihatnya. Tapi aku baru sadar kalau semua mahasiswa lainnya keluar kelas untuk makan siang. Hanya aku sendiri di dalam kelas. Sepertinya ada larangan untuk tidak makan di kelas.
Aku menyusuri bangunan demi bangunan di universitas untuk mencari tempat untuk makan. Aku tidak ingin makan di kantin karena di sana penuh mahasiswa dan berisik. Tetapi hampir semua tempat juga di penuhi mahasiswa yang asyik bersendagurau dengan mahasiswa lainnya. Aku teringat lorong yang menghubungkan antara bangunan beasiswa dan bangunan konglomerat, yang kemarin aku lewati saat bertemu dengan pria aneh. Lorong itu sepi dan hampir jarang di lewati orang. Aku yakin tidak pernah ada yang melewati lorong itu. Mahasiswa konglomerat tidak akan pernah mau masuk ke bangunan beasiswa, begitu pun sebaliknya. Mahasiswa beasiswa tidak pernah punya urusan hingga masuk ke bangunan konglomerat. Ya itu adalah tempat bagus untuk aku makan.
Dengan semangat aku melangkahkan kaki menuju lorong penghubung itu. Ternyata dugaanku benar. Lorong berukuran lebar kira-kira tiga meter dan panjang tigapuluh meter itu sepi dan tidak terinjak mahasiswa. Aku pun segera menyusurinya. Tapi tunggu. Aku menghentikan langkahku ketika melihat seseorang sedang duduk santai di tengah lorong. Orang itu sedang meniup mie instan yang mengeluarkan kepulan asap panas. Aku berbalik untuk kembali karena menghentikan niatku makan di lorong tersebut dengan gerakan pelan agar tidak mengeluarkan suara. Sepertinya orang yang duduk di jarak sepuluh meter dari jarak berdiriku itu belum mengetahui kehadiranku. Sebaiknya aku cepat pergi sebelum mengganggu acara makannya.
"Kira-kira hujannya kapan berhenti ya?" Aku terlambat. Orang itu sudah menyadari kehadiranku. "Saat air hujan menetes ke tanah mengeluarkan aroma khasnya. Aku tidak suka."
Suara orang itu terdengar tidak asing. Pasti dia pria aneh kemarin. Kenapa dia selalu berada di lorong ini? Sepertinya aku sudah memasuki daerahnya. "Mau makan ya? Ayo makan bersama."
Aku membalikkan tubuhku dan melihat senyum orang itu.
"Lebih baik makan bersama dari pada sendiri kan." Ucapnya lagi.
Berbeda sekali denganku. Aku lebih suka makan sendiri. Ya begitulah aku. Dalam perjalanan pun aku lebih suka sendiri dari pada berjalan dengan orang yang tidak benar-benar aku kenal. Aku merasa canggung bila bersama orang asing. Tapi aku tidak bisa menolak ajakan baiknya dan berjalan lima meter ke arahnya lalu duduk bersandar ke dinding. Jarak duduk kami kira-kira lima meter. Aku segera mengeluarkan bekalku.
"Lorong ini tidak pernah di lewati siapapun." Katanya dan langsung menyeruput mie instan. "Sudah hampir dua tahun aku selalu di lorong ini, dan tidak pernah sekalipun melihat orang melewati lorong ini."
Dua tahun? Pasti orang ini mahasiswa tingkat tiga. Pasti umurnya sama dengan Gary. Kira-kira jurusannya apa?
"Maaf aku belum menemukan cincin itu."
Apa? Ternyata dia sadar siapa aku. Tapi untuk apa dia mencari cincin yang sebenarnya tidak pernah ada itu.
"Sebenarnya cincin itu..."
"Tidak apa-apa, pasti nanti akan aku temukan."
Belum sempat aku menjelaskan tentang kebenaran cincin tersebut dia langsung menyambar kata-kataku.
"Mahasiswa tingkat pertama ya?"
Orang itu menatapku dengan senyum. Aku hanya mengangguk menjawabnya.
"Bagaimana menurutmu tentang tempat ini?"
Tempat ini? Apa yang di maksud dengan pertanyaannya? Yang di maksud tempat itu universitas, bangunan, atau lorong ini?
"Tidak di jawab juga tidak apa-apa." Ucapnya.
Baiklah aku memang tidak ingin menjawab pertanyaan rancu itu.
"Apa menu makananmu?" Pria itu bertanya menoleh padaku.
"Nasi goreng dan telor mata sapi setengah matang."
Mendengar jawabanku dia hanya tersenyum.
"Hmmh...jurusan apa?"
"Administrasi negara."
Mau jadi politikus ya?"
"Iya."
"Aku benci politik." Ujarnya. "Maaf ya dari tadi aku bertanya terus."
Itu bukan hal asing lagi bagiku. Hampir semua orang yang tidak saling kenal akan selalu mengajukan pertanyaan. Sedangkan aku seperti biasa tidak punya niat untuk bertanya. Aku ingat saat pertama kali bertemu Gary, saat itu umurku lima tahun dan Gary tujuh tahun. Sebenarnya itu bukan pertama kalinya kami bertemu karena sejak lahir Gary sudah menjadi tetanggaku. Mungkin pada saat itu aku baru bisa benar-benar bicara sehingga dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan bodoh itu. Dia mengajukan beratus pertanyaan padaku. Mulai dari nama hingga berapa jari kaki ku. Pertanyaan tidak penting sekali bukan?
Pria di lorong membuat aku terus berpikir tentangnya. Siapa dia? Kenapa dia selalu di lorong itu? Ngomong-ngomong dia mahasiswa dari mana? Beasiswa atau konglomerat? Kalau di lihat dari penampilannya yang memakai pakaian bermerk pasti mahasiswa konglomerat, tapi mie instan itu, kenapa dia makan mie instan jika anak konglomerat?
Tidak. Aku tidak boleh terus bertanya-tanya tentangnya seperti ini. Aku tidak mau tahu siapa dia dan bagaimana dia. Itu bukan diriku yang biasanya. Aku tidak berniat untuk bertemu dengannya lagi sekarang. Aku tidak akan ke lorong itu lagi. Aku tidak butuh teman. Aku tidak mau seseorang tahu lebih banyak lagi mengeni diriku. Tidak. Tidak lagi. Aku akan mencari tempat lain untuk makan siang besok dan tidak ke lorong penghubung itu.
Tetapi bukan hal yang mudah mencari tempat strategis untuk makan di kampus ini. Bahkan di hari sepanas ini semua mahasiswa memenuhi setiap sudut kampus. Berisik dan sangat mengganggu. Itulah yang paling aku benci bila para mahasiswa mulai berkumpul. Mereka ada di mana-mana. Kantin, luar kelas, taman depan kelas, bahkan di toilet juga. Dan sekarang aku semakin bingung menemukan tempat untuk makan.
Aku memperhatikan gedung megah yang ada di hadapan gedung beasiswa. Berbeda dengan gedung ini. Disana tampak sepi dan hanya terlihat beberapa mahasiswa di luar kelas. Aku berpikir betapa nyaman dan tidak terganggunya mereka dengan mahasiswa lainnya. Tapi pertanyaan-pertanyaan mulai menggelitik pikiranku seperti, apa mereka tidak suka membuat kelompok seperti yang dilakukan para mahasiswa beasiswa, dan saat makan siang seperti sekarang ini, kemana mereka? Kenapa kampusnya tampak sepi? Apa mereka memilih makan di luar kampus dan pergi dengan mobil mewah mereka? Tapi bagaimanapun juga aku sangat iri dan ingin ke gedung konglomerat saat ini untuk meunmpang makan disana. Sendiri dan tidak ada siapapun yang memandangku.
Aku bergegas dan melewati para mahasiswa yang sedang berkumpul bersama kelompoknya masing-masing. Aku berani taruhan kalau semua mata menatapku saat aku berusaha berjalan dan dengan tidak sengaja menyenggol beberapa mahasiswa. Aku juga dapat mendengar beberapa mahasiswa bergumam dan mengeluarkan kata-kata memaki.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!