NovelToon NovelToon

Senja Dan Derita

1. Awal Kehancuran

"Senja! Sini kamu, buruan!" Manda berteriak memanggil sang anak.

Anak yang baru berusia sepuluh tahun itu datang dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya nampak pucat dan keringat besar-besar membasahi dahinya.

"Bisa nyuci, nggak? Baju masih kotor begini, cuci ulang sampai bersih! Jangan istirahat kalau kerjaan belum kelar. Ngebesarin kamu nggak gratis, ya!" sentak Manda kasar.

"Ini sudah sore, Bu. Biarkan aku mencucinya besok, aku janji akan mencucinya sampai bersih." Senja berkata dengan melas dan memohon.

Manda tak suka mendengar penolakan dari anaknya, itu. Tanpa pikir panjang lagi, Manda menggeret Senja dengan kasar. Ia tak menghiraukan rengekan dari bocah malang yang ia lahirkan sepuluh tahun yang lalu.

"Malam ini kamu tidur di sini." Manda mengambil kunci yang tergantung di pintu kamar mandi. Dengan tanpa perasaan ia mengunci Senja dari luar lalu meninggalkannya begitu saja.

Sudah menjadi hal biasa bagi Senja mendapatkan perlakuan seperti ini dari Ibu kandungnya sendiri. Di pukul, dikunci di kamar mandi atau gudang, di siram, di tendang dan perlakuan kasar lainnya adalah makanan pokok bagi Senja.

Sudah biasa bukan berarti Senja kuat, ia selalu menangis di heningnya malam. Pertanyaan yang timbul dalam kepalanya tak pernah mendapatkan jawaban.

"Nek, kenapa Ibu selalu menyiksaku dengan pukulan dan tendangan? Kenapa Ibu nggak pernah sayang aku, Nek? Kenapa Ibu selalu bilang kalau gara-gara aku masa depan Ibu rusak dan hancur? Memang aku melakukan apa? Ayah ke mana, Nek? Aku selalu dikatai anak haram sama teman sekolah dan tetangga kita. Apa aku anak haram, Nek?" Entah sudah ke berapa Senja mengajukan pertanyaan itu pada Neneknya.

"Senja bukan anak haram, Senja punya Ayah. Nanti kelak jika kamu dewasa, Nenek akan cerita semuanya. Untuk sekarang kamu tidak akan mengerti, Nak. Maafkan, Ibumu. Dia sebenarnya baik, hanya saja dia memang sering marah-marah. Yang penting ada Nenek dan Pakde yang sayang sama kamu. Senja nggak boleh mikir yang nggak-nggak, ya. Fokus saja sama sekolah, biar Senja jadi orang sukses nantinya."

Ambigu. Selalu jawaban ambigu yang Bu Patmi lontarkan. Selalu saja mengalihkan pembicaraan saat Senja menanyakan perihal Ibunya. Begitupun dengan Aldi, anak sulung bu Patmi. Seakan kompak dengan Ibunya, ia pun selalu mengalihkan topik jika Senja bertanya tentang Ibunya.

"Ibu, Nenek, Pakde di sini dingin, aku mohon jangan kunci aku di sini. Nenek, Pakde tolong buka pintunya aku kedinginan," ujar Senja lemas.

Bagaimana tidak? Saat ini anak kecil itu sedang demam, sejak sepulang sekolah sudah disuruh untuk melakukan pekerjaan rumah oleh ibunya sendiri, Manda.

Ya, wanita berusia tiga puluh tahun itu sangat membenci anaknya. Tak ada rasa kasihan atau kasih sayang yang ia tuangkan pada sang anak. Yang ada hanyalah rasa benci dan amarah tiap kali Manda bersitatap dengan anak kecil itu.

Sepuluh tahun yang lalu. Kejadian naas menimpa Manda. Di mana ia harus mengalami peristiwa yang membuatnya sempat trauma dan dihujat oleh warga sekitar.

Manda yang pulang malam karena harus mengerjakan tugas kuliahnya harus kehilangan mahkotanya di usia muda. Ia di perkosa oleh orang yang yang tak ia kenal.

"Tolong jangan! Jangan ku mohon lepaskan aku!" pinta Manda dengan memelas serta isakan.

Manda tak bisa berbuat apa-apa, kaki dan tangannya diikat oleh pemuda itu. Jangankan untuk melawan atau memberikan pukulan, untuk menggerakkan tubuhnya saja ia kesulitan.

"Maafkan aku Manda, aku harus melakukannya. Aku tidak punya pilihan lain," ucap pemuda itu.

"Aku tidak mengenalmu, ku mohon lepaskan aku. Kenapa kamu mau melakukan ini? Kenapa harus aku? Lepaskan aku!" Manda masih meronta-ronta ingin di lepaskan.

"Aku adalah laki-laki yang mengagumimu dalam diam. Aku tidak ingin kamu dimiliki siapapun, jadi aku harus melakukan ini untuk megikatmu. Tenanglah, aku akan tanggung jawab jika kamu terjadi apa-apa."

Entah siapa pemuda yang mengaku bahwa ia mengagumi Manda itu. Manda tak mengenalnya, namun begitu tega membuat masa depan Manda berantakan.

Entah berapa kali Manda di setubuhi oleh pemuda yang sebenarnya memiliki paras tampan itu. Tanpa ampun ia terus membuat Manda merintih menahan sakit dan hingga akhirnya ia tak sadarkan diri.

Pemuda itu bergegas pergi begitu Manda tak sadar. Ia memberikan kecupan di seluruh wajah gadis itu, lalu bergegas meninggalkannya. Ia meninggalkan Manda bersama dengan sebuah buku novel yang bersampul biru langit. Ketika senja menyapa, itulah yang tertulis di sampul buku tersebut.

"Aku mohon simpanlah buku ini dengan baik. Ini adalah buku yang aku tulis untukmu, hanya ada satu di muka bumi ini. Jadikan bekal untuk mencariku nanti. Aku harus pergi dalam waktu yang lama. Aku akan kembali begitu kita sudah dewasa, aku berjanji akan kembali untukmu Manda. Aku berjanji aku akan menikahimu nantinya." Sekali lagi pemuda itu mendaratkan kecupan di kening Manda lalu benar-benar pergi dari sana.

Sejak saat itulah kehidupan dan masa depan Manda hancur. Ia nyaris bunuh diri begitu tahu ia hamil anak dari pemuda yang bahkan tak ia kenal.

Untunglah Manda punya Ibu dan Kakak yang selalu ada di belakangnya untuk mensupport dirinya. Disaat semua orang menghujat, menghina, mengucilkan Manda, Ibu dan Kakaknya selalu ada dan merangkul Manda dengan erat.

"Siapa yang melakukan ini, Manda? Katakan siapa orangnya?" desak Aldi selaku Kakak kandung Manda. Kakak satu-satunya yang ia punya.

"Aku nggak kenal, Kak. Aku nggak tahu dia siapa. Dia hanya meninggalkan ini." Manda menyodorkan sebuah novel yang ia temukan di samping kepalanya.

Berbekal alamat rumah yang ada di buku novel itu, mereka bertiga mendatangi alamat rumah si pemilik buku. Mereka menerjang hujan badai yang sedang deras-derasnya. Hujan deras yang dengan jahatnya menyerang tubuh mereka tanpa ampun.

Namun, nampaknya semesta lagi-lagi tak berpihak pada mereka. Si pemilik rumah menjual rumahnya pada orang lain dan mereka pindah ke luar negeri. Hancur dan pupus sudah harapan mereka untuk meminta tanggung jawab dari pemuda itu.

Hidup Manda tak lagi ada gairah, hari-harinya ia hiasi dengan amarah dan kemurkaan pada pemuda itu. Ia lampiaskan semuanya ke anak yang ada dalam kandungannya. Berbagai cara ia lakukan agar anak yang dalam kandungannya luruh, namun apapun yang ia lakukan hanya membuatnya lelah saja tanpa ada hasilnya. Janin yang di kandungannya terlalu kuat untuk dilenyapkan.

Hingga akhirnya lahirlah Senja Kumala. Nama indah itu tentu saja bukan Manda yang memberikan, namun sang Ibu, Bu Patmi. Beliau mengambil nama Senja dari judul buku novel yang pemuda itu tinggalkan, sedangkan Kumala nama salah satu tokoh yang ada di buku tersebut.

Namun, kehidupan Senja tak seindah namanya. Manda sama sekali tak ingin menyentuh bayinya, jangankan menyentuh, melihat saja ia tak mau. Berkali-kali Manda berusaha membuang dan melenyapkan anaknya itu, namun usahanya selalu gagal. Semesta menginginkan Senja Kumala hidup di dunia.

"Tolong, Ibu tolong keluarkan aku. Aku sangat kedinginan, aku mohon Ibu." teriak Senja yang semakin melemah. Ia terduduk di balik pintu yang terkunci. Menekuk kedua lututnya dan memeluknya dengan erat. Sungguh ia kedinginan di dalam kamar mandi dengan keadaan demam.

Tak berselang lama, terdengar teriakan dari bu Patmi. Wanita tua itu mencari keberadaan Senja namun tak ada sahutan.

"Nek, aku di kamar mandi, Nek. Tolong aku di kunci dari luar." Senja menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan tenaga yang tersisa.

"Astaghfirullah, Senja. Bagaimana bisa kamu di dalam sana, Nak? Kuncinya mana?" Bu Patmi berusaha membuka pintu namun tak kunjung terbuka.

"Kuncinya dibawa Ibu, Nek."

"Tapi Ibumu sedang tidak ada di rumah, Nak. Sebentar Ibu panggil Pakde dulu, ya."

Bu Patmi segera berlari ke rumah anak sulungnya yang hanya terpisah oleh jalan saja. Dengan tergesa-gesa wanita tua itu menyuruh anaknya untuk mendobrak pintu kamar mandi.

"Senja, jauh-jauh dari pintu!" titah Aldi bersiap akan mendobrak pintu.

Dengan sekuat tenaga yang ada, hanya perlu dua kali tendangan pintu itu terbuka.

"Senjaaaa!" teriak bu Patmi histeris.

2. Menginginkan Kematian

"Astaghfirullah, senja. Bangun, Nak. Aldi jangan diam aja di situ, angkat Senja. Dia demam!" pekik bu Patmi masih histeris.

Aldi yang tersadar karena teguran dari Ibunya langsung saja melesat ke kamar mandi dan membawa tubuh Senja ke kamar.

"Manda keterlaluan, bagaimana bisa dia setega ini sama anak sendiri. Ibu nggak tahu di mana hati nuraninya, anak sekecil ini tidak tahu apa-apa, kenapa dia tidak henti-hentinya menyiksa tubuh kecilnya. Kamu jangan diam aja Aldi. Panggil bidan ke sini, kamu nggak lihat dia pucat begitu!" Bu Patmi terus mengomel seraya mencari pakaian ganti untuk Senja.

Sedangkan Aldi yang mendadak linglung hanya bisa bergerak menuruti sang Ibu yang setiap hari ngomel karena tingkah anak bungsunya.

Dengan mata berkaca-kaca dan hati teriris perih, bu Patmi mengganti pakaian Senja yang basah kuyup. Entah berapa lama anak itu di sekap Ibunya di kamar mandi, hingga wajah cantiknya memucat dan suhu badan yang panas tinggi. Sambil menunggu bidan datang, wanita yang tak lagi muda itu mengompres dahi Senja dengan kain yang dibasahi air hangat.

"Maafkan Nenek yang gagal mendidik Ibumu, ya Nak. Entah sampai kapan kamu harus menanggung derita ini. Bagaimana kalau Nenek nanti sudah tidak ada, bagaimana nasibmu nanti, Senja." Bu Patmi terisak seraya terus mengompres dahi Senja.

Tak berselang lama, datanglah Aldi dan Bidan desa. Bidan itu segera memberikan pemeriksaan seperti pada umumnya.

"Demamnya tinggi sekali, Bu. Ini saya beri obat penurun panas, kalau nanti belum turun juga suhu badannya dalam waktu dua hari segera bawa ke puskesmas saja, ya Bu." Bidan itu memberikan beberapa strip obat.

Manda datang saat bidan itu bersiap akan pergi. Mereka saling tatap sejenak lalu melanjutkan langkah masing-masing.

"Manda, dari mana kamu?" tanya bu Patmi setelah bidan itu benar-benar pergi.

"Keluar sebentar, ada apa, sih Bu? Kenapa Ibu kelihatan marah begitu? Cucu kesayangan Ibu buat ulah? Lagian kenapa masih Ibu tolongin dia? Harusnya Ibu biarkan saja biar mati sekalian!" Entah sudah ke berapa Manda mengucapkan kalimat sumpah serapah untuk anaknya sendiri.

"MANDA!" Dengan wajah murka Aldi berjalan mendekati adik yang dulu menjadi kesayangannya. "Kamu seorang Ibu. Jaga bicaramu, harus dengan cara apa aku katakan kalau Senja sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Dia juga nggak minta dilahirkan hasil dari pemerkosaan, tapi takdir yang membawanya ke sini. Hewan saja tidak pernah memperlakukan ini pada anaknya, tapi lihat dirimu. Berubahlah sebelum kamu benar-benar kehilangan Senja. Rubah dirimu sebelum penyesalan itu datang, Manda!" Aldi mengamuk pada adiknya karena merasa sudah cukup bersabar menghadapi adiknya yang berubah menjadi orang yang tak punya hati.

"Kamu nggak tahu rasanya jadi aku, Kak. Masa depanku hancur gara-gara dia. Aku nggak punya masa depan hanya karena aku gagal melenyapkan dia dari muka bumi ini. Aku tidak akan pernah menyesal jika dia benar-benar mati, justru itu yang aku inginkan." Manda tak kalah berteriak. Ia bicara dengan lantang di depan wajah kakaknya.

Teriakan Manda membuat Senja terbangun. Tak ada satupun yang sadar bahwa anak kecil itu terganggu dengan suara teriakan dari penghuni rumah. Ia tak bersuara, anak itu berusaha duduk dengan menahan kepala yang sejak tadi terasa terus berputar.

"Kalau Senja mati apa bisa merubah semuanya? Bisa kamu kembali ke masa sepuluh tahun yang lalu dan memperbaiki semuanya? BISA? kalau Senja bisa memilih dia juga pasti akan memilih mati dari pada punya Ibu seperti kamu. Kalau kamu lenyapkan dia sekarang apa bisa menjamin masa depanmu akan indah? Siapa yang menjamin? Kalau kamu nggak bisa sayang sama dia, setidaknya jangan sakiti dia, Manda. Apa ini yang Ibu ajarkan sama kita?" Suara Aldi masih meninggi. Ia benar-benar sudah habis kesabaran dengan adiknya.

Manda terisak, air matanya jatuh berlinang. Selama ini tak pernah Aldi membentaknya sekasar ini. Bahkan saat Aldi tahu dirinya hamil hingga ingin berusaha menggugurkan pun Aldi masih berada di samping Manda dengan sejuta kasih sayangnya.

Namun, entah apa yang ada dalam pikiran Aldi hingga semarah ini? Manda benar-benar tak habis pikir, ia tak tahu apa yang salah dengan kakaknya.

"Kamu bentak aku begini karena anak pembawa sial itu, Kak? Kamu udah nggak nggak sayang sama aku? Semua kasih sayangmu kamu limpahkan pada anak haram itu?" tanya Manda dengan lemah, tanpa mendengar jawaban dari sang kakak, ia beringsut ke kamarnya. Menumpahkan tangisnya di atas kasur lapuk yang termakan usia.

Di kamar lain, ada sosok anak belia yang juga sedang mengurangi cairan bening melalui mata. Tiada hari tanpa menangis bagi Senja. Hari-harinya selalu diwarnai tangis, bahkan ia tak tau hal apa yang membuatnya tersenyum. Ia sama sekali tak punya kenangan itu.

"Manda!" Aldi masih belum puas memarahi adiknya itu, ia beranjak akan menyusul Manda, namun di cegah oleh sang Ibu.

"Al, sudah jangan. Biarkan dia sendiri, mau kamu amuk sampai bagaimana juga dia nggak akan berubah sebelum hatinya terketuk untuk berubah. Ibu nggak kenal dia sejak dia hamil. Kasihan Senja jika kalian teriak-teriak, dia..." ucapan Bu Patmi terhenti ketika sampai di ambang pintu kamarnya.

"Senja kamu sudah bangun, Sayang? Kita makan habis itu minum obat, ya." Bu Patmi duduk di tepi ranjang dan mengelus pelan puncak kepala cucunya. "Kamu pasti dengar Ibu dan Pakde bertengkar, ya?" tebak Bu Patmi.

"Nek, kenapa aku nggak mati aja biar Ibu bahagia? Kehadiranku di sini hanya membuat Ibu menderita saja. Untuk apa aku hidup jika membuat Ibu tidak bahagia, Nek? Aku mau liat Ibu bahagia, aku mau lihat senyum Ibu yang tidak pernah aku tahu." Senja menenggelamkan kepalanya lagi di lipatan tangannya.

"Senja nggak boleh ngomong gitu, Nak. Hidup dan mati seseorang sudah ada yang mengatur, kenapa kamu menginginkan kematian kamu sendiri? Kamu nggak sayang sama Nenek?"

"Tapi Ibu nggak ingin aku di sini," ucap Senja lagi dengan terisak.

Aldi yang sejak tadi berdiri di ambang pintu merasa bersalah karena sudah bicara dengan keras dan hingga terdengar oleh keponakannya. Pasti anak itu merasa sakit hati yang sudah tak ada obat untuk sembuh. Luka yang terus menganga dan dibiarkan, semakin lama semakin melebar dan luka itu di siram degan air garam setiap harinya.

"Sayang, nggak boleh bicara begitu. Coba Pakde tanya sama kamu. Sayang nggak kamu sama Nenek dan Pakde?" Aldi menghampiri dan memangku bocah sepuluh tahun itu.

"Sayang."

"Kalau sayang seharusnya nggak boleh bicara seperti itu. Karena apa? Ucapan Senja itu barusan nyakitin Nenek dan Pakde. Kami nggak mau kehilangan kamu, Nak. Bude sama Dek Gandi juga sayang sama Senja. Kamu mau buat kami semua sedih? Mau buat Nenek sama Pakde nangis? Mau kamu lihat kami nangis?"

Senja menggeleng lemah. "Tapi Ibu akan terus marah kalau lihat aku," imbuhnya.

"Hanya Ibu, kan? Kamu dengar Pakde, ya. Suatu hari nanti Ibu pasti akan sayang sama kamu. Pasti! Percaya deh sama Pakde. Waktu itu akan datang entah cepat atau lambat. Ibu pasti akan sayang sama kamu. Ditambah lagi sabarnya, ya Sayang."

"Hanya kematianku yang buat Ibu bahagia saat melihatku."

3. Peluk Sebentar Saja

Sudah tiga hari ini demam Senja masih naik turun. Pagi-pagi sekali dengan diantar oleh anak sulungnya Bu Patmi memaksa Senja untuk berobat ke puskesmas. Anak kecil itu sangat keras kepala, ia sangat susah untuk berobat jika sedang sakit.

"Pakde ayo kita pulang saja. Aku nggak apa-apa. Besok juga turun demamnya, kan sudah minum obat," rengek Senja ketika mengantri menunggu giliran namanya dipanggil.

"Kita akan pulang setelah kamu di periksa. Udah jangan banyak rengekan, semakin kamu merengek, Pakde akan bawa kamu ke rumah sakit, bukan puskesmas. Mau?" Aldi yang kuwalahan dengan keras kepala Senja akhirnya memberikan ancaman saja.

Anak kecil itu lalu diam dengan mengerucutkan bibirnya beberapa senti. Aldi justru menampilkan senyumnya ketika melihat reaksi Senja yang menggemaskan baginya.

"Senja Kumala," panggil bidan dari dalam ruangannya.

Dengan ogah-ogahan Senja masuk ke dalam ruang periksa. Dengan malas pula ia berbaring di ranjang. Sementara sang Nenek menunggu di kursi yang memang di sediakan untuk pasien dan yang mengantarkan.

"Kamu ngerasain apa aja selain demam?" Bidan itu bertanya seraya memeriksa.

"Nggak ada, Bu. Demam aja," jawab Senja.

Sang Nenek yang mendengar jawaban Senja seketika berdiri dan menghampiri mereka.

"Bohong, Bu. Kemarin Senja sampai muntah dan diare demamnya juga tidak kunjung turun seharian kemarin," seragah Bu Patmi. "Senja ini sangat keras kepala seperti Ibunya. Dia sangat susah untuk diberi tahu, kemarin seharian saya bujuk dia untuk periksa. Tapi selalu menolak dengan seribu alasan," curhat bu Patmi pada bidan desa itu.

"Senja, nggak boleh gitu ya, Sayang. Kalau sakit harus segera di periksakan biar cepat sehat lagi. Lihat, tuh! Nenek khawatir dan sedih kalau kamu sakit, nggak kasihan sama Nenek?"

Senja diam, ia bingung harus jawab apa. Jika dirinya sakit ada dua perasaan berbeda yang ia lihat di dalam rumah. Ia tak tahu harus mendahulukan perasaan siapa. Di satu sisi ia tak mau membuat Neneknya khawatir dan tak mau merepotkannya. Tapi di sisi lain Ibunya merasa bahagia dan tak marah-marah jika melihat dirinya terkapar di ranjang. Jadi, harus perasaan siapa yang ia perdulikan. Keduanya adalah orang-orang yang Senja sayangi.

"Bu, dari pemeriksaan yang barusan saya lakukan. Senja seperti menderita tipes. Ini saya beri surat rujukan untuk Ibu bawa ke rumah sakit, ya. Kalau memang benar dugaan saya, Senja bisa saja di rawat di rumah sakit beberapa hari." Bidan desa itu menuliskan sesuatu di selembar kertas.

"Tipes?" ulang Bu Patmi lemah. "Bisa sembuh, kan Bu?" tanyanya cemas.

"Bisa, Bu. Itu sebabnya harus di bawa ke rumah sakit biar cepat mendapat penanganan."

"Aku nggak mau ke rumah sakit, Nenek," rengek Senja entah untuk yang ke berapa.

"Ya sudah, tidak perlu ke rumah sakit. Biar Nenek yang rawat kamu sampai sakit dan Nenek meninggal karena kelelahan ngurusin kamu. Mau kamu begitu, kan?" jawab Bu Patmi dengan nada bicara dibuat kesal.

"Nenek, jangan bicara begitu. Baiklah aku mau ke rumah sakit. Tapi, kan di rumah sakit mahal, Nek." Senja bicara dengan pelan di akhir kalimat.

"Jangan ngurusin uang! Diam dan nurut sama Nenek!" Bu Patmi memberikan peringatan.

Selesai dengan urusan Bidan, Bu Patmi langsung saja membawa Senja ke rumah sakit. Beliau merasa lebih cepat lebih baik. Tak peduli lapar dan lelah ia terjang untuk kesembuhan sang cucu.

*

"Senja! Di mana kamu? Kamu taruh mana jam tanganku?" Manda berteriak-teriak seraya terus mencari jam tangan yang biasanya selalu di sediakan di meja riasnya.

Manda, wanita tiga puluh tahun yang sebenarnya tak bisa melakukan apapun tanpa bantuan sang anak. Semua keperluannya Senja yang menyiapkan. Mulai dari jam tangan, sepatu, tas dan keperluan lainnya.

Tanpa sadar Manda membuat dirinya bergantung pada Senja. Tak ada Senja ia kelabakan tak tahu di mana berang-barang itu di simpan. Manda selau menganggap anaknya sebagai asisten rumah tangga, sebagai ganti uangnya yang ia gunakan untuk membesarkan Senja hingga sekarang.

"Nih, kamu simpan semua barang yang selalu aku gunakan untuk kerja, jangan sampai rusak apalagi hilang. Kamu harus mempersiapkan segala sesuatunya sebelum aku berangkat kerja. Mulai dari jam tangan, tas, sepatu. Selain itu kamu harus rawat barang-barang aku, jangan sampai ada debu. Kamu juga kerjakan pekerjaan yang lain, kamu tahu? Aku harus membuang banyak uang untuk membesarkan kamu! Dan itu semua nggak gratis, ya. Kamu harus ganti uangku nanti." Itulah yang diucapkan Manda ketika Senja berusia tujuh tahun.

Sejak saat itu Senja mulai bekerja melakukan semuanya yang diperintah oleh Ibunya. Tidak ada yang berani melawan ataupun memberitahu Manda kala itu. Karena dia selalu memberikan ancaman pada Ibu dan Kakaknya bahwa jika mereka melarang Senja melakukan pekerjaan rumah, maka ia tak segan-segan untuk kembali berusaha melenyapkan Senja.

"Iya, Bu. Aku akan melakukan apapun yang Ibu minta. Boleh aku minta sesuatu, Bu? Sekali saja peluk aku, Bu. Hanya sekali," pinta Senja memohon.

"Peluk? Aku pegang kamu aja nggak mau, jangan mimpi!"

"Apa yang harus aku lakukan biar aku mimpi di peluk Ibu?"

"Nggak ada yang harus kamu lakukan. Kehadiran kamu itu nggak aku inginkan, gara-gara kamu hancur sudah hidup dan masa depanku."

Kembali pada Manda yang mengobrak-abrik seluruh rumah hanya untuk mencari jam tangannya. Ia membuang semua barang yang di depannya. Barang yang sekiranya menghalangi pencariannya pada benda kesayangannya itu.

"Astaghfirullah, Manda! Kamu ngapain, sih? Kenapa ini berantakan?" tanya Aldi yang pulang untuk mengambil keperluan Senja selama di rawat di rumah sakit.

"Apa anak itu sedang di rumahmu, Kak? Aku sedang mencari jam tanganku. Aku nggak tahu di mana dia simpan. Sepagi ini kenapa dia kelayapan?" omel Manda yang masih tak menghentikan aktivisnya.

"Kerja nggak pakai jam tangan, kan bisa. Makanya kalau kamu merasa butuh Senja, jangan siksa dia. Kamu, tuh nggak bisa melakukan apapun tanpa Senja. Bahkan untuk mencari barangmu saja kamu nggak bisa, kamu bukan apa-apa tanpa dia."

"Aku nggak butuh dia, aku butuh jam tanganku."

Aldi menaikkan bibir sisi kirinya, memberikan senyum ejekan pada adiknya sendiri. "Kalau nggak butuh, ya udah. Ngapain kamu teriak-teriak panggil dia? Untuk beberapa hari ke depan nggak usah cari dia! Senja lagi di rawat di rumah sakit karena tipes. Itu artinya, kamu harus urus diri kamu sendiri. Nggak usah dikit-dikit teriak Senja. Kamu nggak malu apa sama diri kamu sendiri? Kamu bilang kamu nggak butuh dia, kamu bilang kamu nggak menginginkan dia. Tapi kamu mempercayai dia untuk menyimpan barang milikmu," ujar Aldi seraya mengemasi apapun yang dibutuhkan selama di rumah sakit.

Manda diam, seakan ia membetulkan apa yang di katakan oleh kakaknya. Namun, di detik berikutnya ia kembali mencari jam tangannya.

"Sudahlah, Kak jangan terus ingatkan aku pada anak sial itu! Dia nggak berguna"

"Jaga bicaramu, Manda! Yang harusnya kamu salahkan adalah laki-laki yang menghamili kamu dan hilang begitu saja tanpa jejak. Kamu boleh benci dia, kamu boleh hukum dia, tapi tidak dengan Senja."

Mendengar ucapan Aldi membuat emosi Manda tak stabil. Ia kembali mengingat malam itu. Malam di mana semuanya direnggut darinya. Nafasnya mulai tak teratur, wajah pemuda itu kembali berseliweran di mata Manda.

"Wajah anak itu mengingatkanku pada laki-laki itu, dia...dia yang menghancurkan masa depanku." Trauma Manda seperti kembali ketika diingatkan soal pemuda itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!