Seorang gadis cantik sedang berjalan-jalan ke sebuah taman dengan mengenakan pakaian kerja yang masih melekat di tubuhnya. Ia pergi kesana untuk melepas rasa penat selepas seharian bekerja.
Aurora Putri Ramadhina nama gadis itu, biasa di panggil dengan nama Aurora atau Rora. Gadis cantik berusia 24 tahun ini memiliki tinggi 160 cm, mempunyai kulit yang putih bersih, bulu mata yang lentik, bibir tipis, dan hidungnya yang tidak terlalu mancung. Gadis berparas cantik ini memiliki sifat yang ceria, baik hati, sedikit bar-bar dan tidak suka ditindas oleh orang.
Pandangan Aurora tak sengaja melihat ke arah kedua sejoli yang tengah bermesraan di sana, matanya terbelalak sempurna setelah melihat siapa laki-laki yang sedang bermesraan itu ternyata dia adalah Rivan, kekasihnya.
"Siapa perempuan yang bersama mas Rivan itu?" gumamnya.
Dia pun mencoba untuk mendekat dan bersembunyi di balik pohon tak jauh dari kedua sejoli yang tengah dimabuk cinta itu.
Aurora bahkan bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan, itu membuat hatinya merasa sangat sesak setelah mengetahui kebenaran bahwa dirinya hanya di jadikan alat balas dendam oleh lelaki yang sangat ia cintai.
"Sayang," panggil gadis yang sedang bergelayut manja dengan Rivan.
"Kenapa honey?" tanya Rivan lembut sambil mengelus rambut gadis yang bernama Dina itu.
"Kapan sih kamu putusin si cewek sok cantik itu? Aku udah muak liat kamu sama dia," rengek Dina sambil memasang wajah cemberut.
"Kamu tenang saja, sayang. Bentar lagi aku akan putusin dia, gadis sok cantik itu hanya ku jadikan alat balas dendam ku saja, karena dia dulu pernah menolak ku di depan banyak orang dan itu membuat diriku sangat malu."
"Tapi kamu nggak sampai cinta kan sama dia?"
"Ya nggak lah sayang, aku nggak pernah cinta sama sekali dengan dia, kamu harus percaya padaku sayang yang kucintai hanyalah kamu bukan dia," ucap Rivan lembut sambil mencium pucuk kepala Dina.
Dina yang mendengar hal itu langsung tersenyum puas, sedangkan Aurora yang berada dibalik pohon tengah menahan nyeri berat di hatinya.
"Ya Allah, ternyata selama ini mas Rivan hanya menjadikanku sebagai alat balas dendamnya karena dulu aku pernah menolaknya. Sumpah kamu jahat banget, Mas," lirihnya sambil memegang dada kirinya.
Tak tahan dengan hal itu, Aurora pun keluar dari persembunyiannya, lalu menghampiri Rivan dan gadis selingkuhannya.
"Hai Mas," sapa Aurora dengan senyuman yang sangat manis. Rivan dan Dina sangat terkejut melihat keberadaan Aurora disini.
"R-rora, kamu ngapain disini?" tanya Rivan gugup.
"Nggak ada, aku cuma jalan-jalan di sekitaran sini aja," jawab Aurora dengan santai, namun tidak dengan hatinya.
"Apa tadi kamu dengar semua pembicaraanku?" tanya Rivan sedikit ragu.
"Pembicaraan Mas yang mana? Yang jadikan aku alat balas dendam? Atau ucapan Mas yang nggak pernah sama sekali mencintaiku?"
Tubuh Rivan seketika menegang, ternyata Aurora mendengar pembicaraannya dengan Dina tadi.
Aurora terkekeh kecil melihat wajah tegang Rivan, "Nggak usah tegang gitu kali, Mas."
"Rora, please dengerin penjelasan Mas dulu. Yang Mas katakan tadi kamu denger itu sal-" Ucapan Rivan langsung disela oleh Aurora.
"Shut up!" bentak Aurora. Rivan seketika diam, ia sangat terkejut karena ini untuk pertama kalinya Aurora membentaknya.
"Gue nggak perlu dengerin penjelasan dari lo lagi. Mulai detik ini kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi!"
Habis sudah kesabaran Aurora, cara bicaranya pun langsung ia rubah untuk laki-laki penghianat di depannya ini.
"Terima kasih atas perhatian lo selama ini dan selamat lo udah berhasil buat hati gue hancur berkeping-keping, karena rencana balas dendam lo sudah berhasil," sambung Aurora sambil menahan air matanya agar tidak terjatuh.
"Tapi Ra ..." Rivan mencoba memegang tangan Aurora, namun dengan cepat Aurora menghindar.
"Gue harap lo jangan pernah muncul di hadapan gue lagi!"
Setelah mengatakan itu Aurora berlari menuju ke tempat motornya berada. Lalu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi tanpa memperdulikan orang-orang yang sedari tadi mengumpat dirinya.
"Aarrgghh brengsek! Gue benci sama lo, Rivan!" teriaknya.
Air mata yang ia tahan dari tadi, kini sudah mengalir deras di pelupuk mata cantiknya. Kenangan demi kenangan indah dirinya bersama Rivan terus terus terbayang di benaknya. Sampai ia tak menyadari ada sebuah truk melaju kencang dari arah berlawanan.
TIN!!!!
Truk itu membunyikan klaksonnya dengan keras, membuat Aurora tersadar dari pikiran kalutnya. Karena terkejut, ia memutar setang motornya ke arah kirinya. Namun naas, Aurora malah menabrak pembatas jalan.
"Arrgghhh!"
BRAKKK!
Aurora langsung terduduk dengan keringat yang mengalir deras di dahinya sambil mengatur napasnya yang memburu.
"Astaghfirullah, ternyata cuma mimpi. Tapi kok rasanya kayak nyata gitu."
Pandangannya melirik ke arah jam dinding di kamar yang ternyata sudah menunjukkan pukul setengah 7 pagi.
"Astaga udah jam segini, lebih baik gue pergi mandi aja deh."
Aurora beranjak dari ranjangnya, lalu melangkah kan kakinya menuju ke kamar mandi.
Membutuhkan waktu 20 menit untuk dirinya berada di dalam kamar mandi, setelah itu ia berjalan menuju ke lemari untuk mencari pakaian kerjanya.
TOK!
TOK!
TOK!
"Nak, kok belum keluar sarapan? Ayo cepetan, ayah sama adikmu sudah nunggu di meja makan."
Seorang wanita paruh baya yang terlihat masih cantik di usianya yang sudah menginjak kepala 5 itu tengah mengetuk pintu kamar anak gadisnya, seraya memanggil anak gadisnya untuk sarapan bersama.
"Iya, Bu. Rora lagi dandan, bentar lagi aku keluar. Kalian duluan aja sarapan!" teriak Aurora dari dalam kamarnya, ia tengah berada di depan cermin seraya memoleskan beberapa make-up di wajah cantiknya.
"Ya sudah jangan lama-lama, nanti kamu bisa telat loh berangkat kerjanya."
"Iya, Ibuku sayang."
Sedikit tentang Aurora dan keluarganya, ia adalah anak pertama dari dua bersaudara. Aurora berprofesi sebagai PNS yang ditugaskan di kantor walikota pada bagian kepegawaian.
Dan kebetulan yang menjabat sebagai walikota disana adalah pamannya sendiri, yakni kakak sepupu dari ayahnya.
Ayahnya bernama Alfian Hadi. Ia seorang bapak yang baik hati, tegas, berwibawa dan dermawan. Beliau juga berprofesi sebagai PNS sama seperti Aurora, yang membedakan hanya tempat bertugas, golongan dan pangkatnya. Alfian bertugas di bagian pelayanan masyarakat di kantor Kepolisian Daerah.
Ibunya bernama Nuri Handayani. Ia seorang ibu rumah tangga yang memiliki sifat ramah, bijaksana dan baik hati.
Dan sang adik bernama Aril Putra Hadi, laki-laki remaja ini berusia 16 tahun. Ia duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah atas. Remaja laki-laki ini memiliki sifat yang dingin, cuek dan irit bicara ketika bersama orang lain. Namun ketika bersama keluarganya Aril akan menjadi seorang yang hangat, jahil, cerewet dan sedikit manja.
Nuri pun pergi dari depan pintu kamar anak gadisnya, melangkah kan kakinya menuju ke ruang makan. Disana ada suami dan putranya yang tengah menunggu untuk sarapan bersama.
"Loh Rora mana, Bu?" tanya Alfian pada istrinya, karena tak melihat putrinya tidak datang bersama dengan Nuri.
"Rora lagi siap-siap, Yah. Bentar lagi turun kok," jawab Nuri.
"Ayah sama Aril duluan aja sarapannya, nanti kalian telat loh ke kantor sama ke sekolahnya," lanjut Nuri menyuruh suami dan putranya untuk sarapan duluan.
"Ya Bu," ucap serempak Alfian dan Aril. Lalu mereka bertiga pun menyantap sarapan yang telah dimasak oleh Nuri.
"YUHUUU SELAMAT PAGI SEMUANYA, PRINCESS AURORA DATANG!"
Semua yang ada di meja makan itu melihat ke arah Aurora yang baru datang ke ruang makan.
"Pagi juga nak," balas Nuri dan Alfian serentak.
"Pagi juga kakakku yang jelek," balas Aril dengan kata mengejek diakhir ucapannya.
"Heh enak aja dibilang jelek, cantik kayak princess gini. Coba kamu periksa mata gih, siapa tau mata kamu itu minus!" sungut Aurora tak terima dirinya dikatakan jelek oleh sang adik.
"Dih dasar nggak nyadar diri, paling waktu itu kak Rivan lagi khilaf aja ngajak kakak pacaran." Aril terus mengejek sang kakak.
Rivanda Ferdiansyah, laki-laki tampan berusia 26 tahun, memiliki perawakan tinggi 180 cm, dengan kulit sawo matang, hidung yang mancung dan memiliki lesung pipi. Ia merupakan kekasih dari Aurora, mereka telah berpacaran selama 3 tahun lebih. Rivan bekerja di salah satu perusahaan properti terkenal di Kota M, ia disana bekerja sebagai staf marketing.
"Sekali lagi kamu ngomong, garpu ini langsung mencongkel matamu!" geram Aurora menatap adiknya dengan tajam seraya menggenggam garpu dengan erat.
"Kakak mau jadi psikopat?" tanya Aril sok polos.
"Heh, astaghfirullah kalian berdua ini, jangan berdebat masih pagi. Aril nggak boleh bicara seperti itu sama kakakmu! Ayo cepat minta maaf," lerai Nuri.
Kedua anaknya itu memang tidak pernah akur seperti tom and jerry, yang selalu beradu mulut dan bertengkar ketika sudah disatukan dan dipertemukan.
"Iya Bu, maafin aku kak Rora," ucap Aril dengan nada sedikit menyesal.
Walaupun Aurora dan Aril sering berdebat dan bertengkar, tapi sebenarnya mereka berdua itu saling menyayangi dan peduli satu sama lain.
"Hem," balas Aurora malas.
"Ayo Rora sarapan dulu."
"Iya, Ibu."
Ditengah-tengah sarapan, tiba-tiba Alfian membuka suaranya.
"Aurora," Aurora yang mendengar dirinya dipanggil langsung menatap ke arah ayahnya.
"Ya Yah?"
"Kamu sama Rivan udah berapa lama pacarannya?" tanya Alfian. Aurora yang ditanya seperti itu oleh ayahnya, langsung mengernyitkan dahinya. Tumben sekali ayahnya bertanya seperti itu?
"Hem, Rora sama mas Rivan udah pacaran selama 3 tahun lebih. Memangnya kenapa, Yah?"
"Oh ternyata udah lama juga. Apa kalian nggak ada keinginan untuk menikah?"
"Uhuk, uhuk, uhuk." Aurora langsung tersedak mendengar ucapan dari ayahnya, dengan sigap Nuri menyodorkan segelas air untuknya.
"Makasih, Bu." Aurora meminum air yang Nuri sodorkan.
"Ayah ngapain sih nanya-nanya Rora kayak gitu tiba-tiba?" tanya Nuri pada suaminya.
"Aku sama mas Rivan belum ada kepikiran untuk nikah, Yah," jawab Aurora.
"Kenapa gitu? Nggak baik loh pacaran lama-lama, nak. Ayah berharap kamu menikah secepatnya, agar nanti ada yang bisa menjaga kamu nantinya."
"Kan ada Ayah sama Aril yang jaga Rora."
Alfian tersenyum tipis mendengarnya, "Tapi Ayah nggak tau sampai kapan Ayah bisa menjaga kalian."
"Ayah nggak boleh ngomong seperti itu!" Nuri sedikit kesal mendengar ucapan suaminya.
"Ya nih, ngapain coba Ayah bicara seperti itu?" Aril pun tidak suka mendengar ucapan ayahnya.
"Umur seseorang tidak ada yang tau, Nak."
"Ayah jangan bicara seperti itu, bikin Rora jadi takut aja." Mata Aurora berkaca-kaca setelah mendengar ucapan dari ayahnya, sungguh ia belum siap untuk kehilangan cinta pertamanya di dunia ini.
"Nanti deh Rora bakal bicarakan sama mas Rivan tentang hal ini, Yah," lanjut Aurora.
Alfian mengangguk, "Iya nak, Ayah berharap kalian secepatnya bisa menikah. Eh ayo di lanjutin sarapannya. Maaf ya ucapan Ayah bikin sarapan kalian jadi terganggu."
"Iya, Ayah. tapi jangan bilang seperti itu lagi, Ibu takut." Nuri pun sedari tadi matanya sudah berkaca-kaca.
"Iya Ibu, maafin Ayah ya?" ucap Alfian seraya mengelus tangan sang istri. Nuri pun hanya mengangguk dengan perasaan dan pikiran yang sudah berkelana kemana-mana.
"Rora udah selesai sarapannya." Aurora beranjak dari kursi.
"Kalau gitu Rora berangkat kerja dulu Yah, Bu," pamitnya seraya mencium tangan kedua orangtuanya.
"Iya nak, kamu hati-hati. Ingat jangan ngebut di jalan," nasihat Nuri.
"Siap Bu."
Aurora melangkah kan kakinya ke pintu utama rumahnya, lalu menuju ke garasi di samping rumahnya yang tidak terlalu luas, hanya berisikan 3 motor, 2 sepeda, dan alat-alat mekanik milik Alfian. Setelah itu ia menaiki motor maticnya dan melajukan motornya menuju ke jalan raya.
Ketika lampu lalu lintas berwarna merah, Aurora memberhentikan sejenak laju kendaraannya. Pandangannya tak sengaja ke arah samping melihat laki-laki yang tengah menunggangi motor Ninja ZX 10-R yang terkenal sangat mahal itu.
"Wah motor itu kan sangat mahal pasti itu cowok sultan deh dan kalau dilihat dari postur tubuhnya pasti tu cowok ganteng pake banget," gumamnya, namun seketika Aurora langsung mengenyahkan pikirannya yang tadi.
"Eh lo nggak boleh terpesona sama cowok lain, Ra. Inget lo udah punya Rivan, cowok yang nerima lo apa adanya," ucap Aurora menasehati dirinya.
Saat lampu lalu lintas berubah hijau, Aurora pun kembali melajukan motornya menuju jalan ke arah kantornya.
...----------------...
To be continued.
Disebuah rumah mewah dan luas berlantai 3 terdapat 2 orang paruh baya dan seorang pemuda tampan tengah sarapan bersama. Yang terdengar hanya suara dentingan piring, sendok dan garpu yang saling beradu satu sama lain.
"Irsyan," panggil seorang pria paruh baya pada putranya. Laki-laki yang di panggil oleh papanya itu langsung menoleh.
"Ya, Pa?"
Irsyan Haris Candra namanya, laki-laki berparas tampan ini berusia 27 tahun. Memiliki tinggi 178 cm, mempunyai kulit kuning langsat, hidung mancung bak perosotan waterpark ancol, rahang yang tegas, bahu yang lebar dan alis yang tebal.
Irsyan memiliki sifat baik hati, ramah, bertanggung jawab dan mudah bergaul. Kata orang, dia dikatakan nyaris sebagai manusia sempurna.
Irsyan merupakan anak kedua dari pasangan Harun Candra dan Jihan Kurniawati. Kakaknya bernama Fani Ayu Candra, wanita itu telah menikah dan kini tinggal bersama suaminya.
Harun seorang pengusaha di bidang properti dan travel, sedangkan Jihan memiliki beberapa cabang Cafe dan Restoran di kota tempat tinggalnya.
Jika kalian bertanya Irsyan bekerja dimana dan sebagai apa? Irsyan bekerja di salah satu Rumah Sakit Swasta di Kota M. Rumah sakit itu bernama Rumah Sakit ATMA JAYA. Profesi Irsyan disana adalah sebagai seorang perawat.
Entah apa alasan Irsyan memilih menjadi seorang perawat bukan sebagai Dokter atau bahkan menjadi pengusaha seperti kedua orangtuanya.
Orangtuanya pun tak masalah jika putranya itu menjadi seorang perawat, yang terpenting pekerjaan putranya itu halal dan tidak merugikan orang lain.
Walaupun Irsyan sibuk bekerja di rumah sakit, tapi ia selalu menyempatkan dirinya untuk membantu sang papa di perusahaannya.
"Kapan kamu akan menikah nak?"
"Ck, selalu saja pertanyaan itu," decak kesal Irsyan dalam hatinya. Sudah ratusan kali orang tuanya bertanya tentang hal itu padanya, membuat dirinya menjadi sangat muak dan bosan ketika mendengarnya.
"Irsyan belum kepikiran buat nikah, Pa."
"Kenapa gitu? Umur kamu sudah matang loh untuk menikah," ucap Harun.
"Ya mau gimana lagi, Pa. Irsyan kan belum ketemu sama jodoh yang tepat," balas Irsyan.
"Memang tidak ada perempuan yang lagi dekat dengan kamu, Nak?" Kini Jihan yang bertanya pada putranya.
"Banyak perempuan yang coba deketin Irsyan, Ma. Tapi hati Irsyan belum ada yang kecantol sama salah satu dari mereka," jelas Irsyan.
"Kok bisa? Atau jangan-jangan karena kamu masih cinta sama Nina, ya?" tebak Jihan.
"Please deh, Ma. Jangan bahas tentang perempuan itu, Irsyan nggak mau ingat tentang dia lagi." Ekspresi Irsyan langsung dingin, ketika nama wanita yang sudah mengkhianatinya itu disebut oleh Mamanya.
Nina, mantan kekasih dari Irsyan. Mereka telah berpacaran 6 tahun lamanya. Tapi takdir berkata lain, hubungan mereka kandas di tengah jalan. Nina telah mengkhianatinya dan wanita itu pun menikah dengan laki-laki yang menjadi selingkuhannya itu.
Hati Irsyan serasa seperti ditusuk dengan ribuan belati, lalu disiram dengan air garam yang membuatnya semakin sakit dan perih.
Entah apa kesalahan yang telah ia perbuat sehingga membuat Nina sampai tega mengkhianati Irsyan yang padahal sangat tulus dan setia dengannya.
Walaupun kejadian itu sudah 2 tahun berlalu, namun hal itu membuat Irsyan masih enggan mencari pengganti Nina. Entah karena masih mencintai Nina atau tidak, hanya Tuhan dan Irsyan lah yang tau.
Oleh sebab itu sampai sekarang Irsyan masih betah dengan status jomblonya. Memang banyak yang mendekatinya bahkan terang-terangan menyukainya, tapi tidak ada satu pun perempuan yang berhasil menyentuh bahkan mendapatkan hatinya.
Karena memang Irsyan orangnya sangat susah untuk jatuh cinta dengan seseorang, tapi sekalinya jatuh cinta, ia akan menjadi seorang budak cinta bahkan ia akan sangat posesif terhadap pasangannya.
"Maafin Mama, Nak. Mama nggak sengaja menyebut nama perempuan itu," sesal Kinan.
Irsyan menghela napas, "Iya gapapa, Ma. Kalian tenang aja, Irsyan janji bakal bawa calon istri Irsyan secepatnya ke rumah."
"Beneran ya, Nak? Kalau kamu bohong Papa bakalan jodohin kamu sama anak dari salah satu partner bisnis Papa," ucap Harun.
Irsyan berdecak kesal, "Jangan main di jodoh-jodohkan dong, Pa," ucapnya tak terima jika dirinya sudah di jodoh-jodohkan oleh orangtuanya. Memangnya sekarang masih zaman Siti Nurbaya?
"Aku masih bisa cari perempuan pilihan sendiri, Pa," sambungnya.
"Makanya kamu harus cepat bawa calon istri kamu kesini!" ujar Jihan.
"Iya Mama, sayang. Ya sudah kalau begitu Irsyan berangkat dulu Ma, Pa," pamit Irsyan kepada orangtuanya seraya menyalami mereka satu-persatu.
"Kamu mau pakai mobil atau motor, Nak?" tanya Jihan.
"Motor aja, biar cepat sampai," ucap Irsyan seraya mengenakan jaket kulit hitam yang menutupi seragam putih khas perawat miliknya, dan tak lupa pula ia melampirkan tas ransel hitam di punggungnya.
"Ya sudah, kamu hati-hati dijalan, Nak."
"Iya, Ma. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Irsyan pun melangkah kan kakinya keluar dari pintu utama rumahnya, lalu menuju ke arah garasi yang di dalamnya berjejer rapi beberapa mobil mewah dan motor, entah itu miliknya dan milik orang tuanya.
Lalu ia menaiki motor sport kesayangannya yang memiliki harga mencapai lima ratus jutaan lebih itu.
"Let's go kita ke rumah sakit, Rambo." Irsyan memanggil motor Ninja ZX 10-R merahnya dengan nama Rambo. Irsyan mengendarai motornya menuju ke rumah sakit dengan kecepatan rata-rata.
Jarak antara rumahnya dengan rumah sakit lumayan jauh, membutuhkan waktu kira-kira kurang lebih 30 menit untuk sampai disana.
Tiba-tiba saja lampu lalu lintas berwarna merah, membuat Irsyan memberhentikan laju kendaraannya sejenak.
Irsyan merasa ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Ia pun mengalihkan pandangannya ke arah samping, namun orang yang memperhatikannya tadi malah sudah mengalihkan pandangannya ke arah lain. Irsyan pun hanya mengangkat bahunya acuh dan kembali fokus ke depan.
20 menit kemudian, Irsyan pun sampai di Rumah Sakit Atma Jaya. Lalu memarkir kan motornya di parkiran khusus Dokter dan Perawat.
Baru saja Irsyan turun dari motornya, ia sudah di sapa oleh salah satu perawat senior disana.
"Pagi, mas Irsyan."
"Eh pagi juga mbak Mona," sapa Irsyan balik pada seniornya yang bernama Mona ini.
"Gimana udah sehat, Mbak?" tanya Irsyan pada Mona yang memang baru sembuh dari sakitnya dan membuat dirinya cuti hingga 1 minggu lebih.
"Alhamdulillah sudah, makanya Mbak bisa masuk kerja nih sekarang," ucap Mona tersenyum.
"Syukurlah."
"Oh ya, kamu kok tambah ganteng aja, padahal baru satu mingguan loh Mbak nggak liat kamu." Sepertinya rayuan buaya betina milik Mona sedang dalam mode on.
Irsyan terkekeh kecil, "Mbak Mona bisa aja, padahal wajah saya dari dulu sama aja kok, nggak ada yang berubah."
Mona berdecak, "Ya ya, kamu itu memang selalu tidak mempan untuk di rayu. Ayo lebih baik kita masuk aja," ajaknya. Irsyan hanya mengangguk.
Lalu mereka berdua berjalan beriringan menuju ke dalam rumah sakit.
...----------------...
To be continued.
Di kantor, Aurora benar-benar tidak bisa fokus dengan pekerjaannya, ucapan Alfian tadi pagi terus terngiang-ngiang dibenaknya.
"Aurora," panggil Dona, selaku kepala divisi di ruangannya. Meja beliau berada tepat di depan meja Aurora. Di dalam ruangan tersebut, hanya diisi dengan 4 pegawai saja.
"Eh iya, kenapa Bu?" Aurora langsung tersadar dari lamunannya.
"Kamu kenapa nak, kok melamun? Kamu lagi nggak enak badan?" tanya Dona pada Aurora.
Ucapan dari Dona membuat Sam dan Rian pun mengalihkan pandangannya ke arah Aurora. Mereka berdua juga merupakan rekan kerja Aurora di ruangan yang sama.
"Saya nggak kenapa-napa kok, Bu," jawab Aurora sopan.
"Beneran? Kalau kamu sakit biar ibu izinin pulang." Wanita paruh baya itu sudah menganggap Aurora seperti anak kandungnya sendiri. Perhatian kecil itu membuat hati Aurora menghangat, karena ada yang memperhatikan dan menyayangi dia selain kedua orang tuanya.
"Astaga nggak usah, Bu. Beneran deh saya nggak apa-apa."
"Ya sudah, kalau gitu lanjutin pekerjaan kamu. Nanti kalau sudah selesai langsung kasi ke ibu," ucap Dona.
"Siap, Bu."
"Ibu mau ke ruangan Pak sekretaris dulu."
"Ya, Bu."
Dona beranjak dari kursi kerjanya, setelah itu melangkah kan kakinya keluar dari ruangan seraya membawa sebuah berkas.
Kini di dalam ruangan itu hanya ada Aurora, Sam dan Rian.
"Kamu beneran nggak apa-apa, Rora?" tanya Rian sedikit khawatir.
Laki-laki tampan keturunan Arab berusia 28 tahun itu memang memiliki perasaan terhadap Aurora. Walaupun ia tau jika Aurora sudah memiliki kekasih, tetapi ia tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan hati Aurora.
Seperti kata orang, sebelum janur kuning melengkung siapapun boleh menikung. Heh, perkataan macam apaan itu? Itu tidak patut untuk di tiru dan di contoh!
"Iya mas Rian, saya nggak kenapa-napa. Sana deh lanjutin pekerjaan Mas lagi." Rian hanya mengangguk, lalu kembali fokus pada pekerjaannya.
"Gue harus omongin masalah itu sama mas Rivan secepatnya."
Aurora juga sebenarnya sudah ada keinginan untuk menikah, namun Rivan pasti selalu membuat alasan jika Aurora sudah berbicara tentang pernikahan. Entah itu mentalnya belum siap, finansial yang belum mumpuni lah atau mungkin memang ada hal lain yang membuat Rivan belum siap untuk melamar Aurora sebagai istrinya.
Aurora beranjak dari kursinya, lalu melangkah kan kakinya ke keluar dari ruangan untuk menelpon Rivan, sang pujaan hati.
"Assalamualaikum sayang."
"Waalaikumsalam, Mas lagi sibuk nggak?"
"Nggak terlalu sih memangnya kenapa, sayang?"
"Hem, aku mau ngomongin sesuatu ke, Mas."
"Mau ngomong apaan, Rora? Ngomong aja, jangan bikin Mas penasaran."
"Nanti malam aja aku ngomongnya Mas, sekalian kita makan malam. Mau kan? Udah jarang loh kita keluar."
Memang 4 bulan belakangan ini, Rivan sudah jarang mengajak Aurora untuk keluar sekedar untuk jalan-jalan, makan atau menonton film di bioskop, dengan alasan jika dirinya sangat sibuk.
Barang kali Rivan sibuk karena banyak pekerjaan atau memang ada hal lain yang dia lakukan diluar sana tanpa sepengetahuan Aurora.
"Maaf sayang. Mas nggak bisa nanti malam soalnya ada acara sama temen-temen, Mas. Gimana kalau besok malam aja?"
"Terserah Mas aja," kesal Aurora. Perasaannya langsung memburuk mendengar ucapan kekasihnya tadi, mungkin ini juga efek dari datang bulannya. Terdengar helaan napas dari Rivan.
"Jangan ngambek gitu dong sayang, besok malam aja ya kita perginya? Soalnya Mas kemarin sudah janji sama temen-temen mau ikut kumpul sama mereka."
"Iya terserah," jawab Aurora malas.
"Ya sudah besok Mas jemput jam 8 malam, oke?"
"Mas Ferdi," panggil seorang perempuan di ujung telpon sana.
"Siapa itu, Mas?" tanya Aurora penasaran karena mendengar suara perempuan disana.
"Em i-itu temen kerja aku," jawab Rivan sedikit gugup.
"Kalau gitu Mas tutup ya telponnya? Soalnya Mas mau ketemu sama customer yang mau beli rumah," sambungnya dengan tempo terburu-buru.
"Oh gitu ya sudah, Mas hati-hati dijalan"
"Iya assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Tut, Tut, Tut.
Aurora membuang napas kasar, sangat susah untuk berbicara lebih lama dengan kekasihnya yang sekarang sangat sibuk itu. Ia malah lebih menyukai Rivan yang dulu, yang memiliki banyak waktu dengannya. Tetapi dirinya tidak boleh egois, karena dia bukan orang tua atau istrinya yang boleh mengekang kehidupan Rivan.
Setelah selesai berbicara di telpon dengan Rivan, Aurora kembali masuk ke dalam ruangannya dan duduk di kursinya.
"Aurora," panggil Sam yang kini berada di depan meja kerja Aurora.
"Ya, Pak?" tanya Aurora menatap Sam.
"Apa pekerjaan mu yang tadi sudah selesai, nak?"
"Sudah, ini baru selesai. Memangnya kenapa, Pak?"
"Tadi ibu Dona chat bapak bilang berkas yang tadi kamu kerjakan itu segera di antar kan ke ruangan Pak sekretaris," jelas Sam.
"Oh astaga, kalau gitu saya antar dulu berkasnya, Pak."
"Nggak usah, biar Bapak saja yang antar. Sekalian Bapak mau pergi ke ruangan Sarana."
"Gapapa nih Bapak yang antar?" tanya Aurora sedikit tak enak, karena itu adalah pekerjaannya.
"Gapapa, Nak. Mana sini berkasnya?"
"Ini Pak, makasih sebelumnya. Aduh jadi nggak enak sama pak Sam," ucap Aurora seraya menyodorkan sebuah berkas pada Sam.
"Sama-sama, nak. Kamu ini kayak sama siapa aja," ucap Sam tersenyum. Aurora pun ikut mengembangkan senyumannya.
Tepat pukul 5 sore, waktu untuk Aurora pulang kerja. Setelah meja kerjanya rapi ia pun bergegas untuk pulang.
Aurora melangkah kan kakinya menuju ke arah parkiran yang kini sudah terlihat sedikit kendaraan disana, karena sudah di bawa oleh para pemiliknya.
"Aurora," panggil seseorang. Aurora pun menoleh ke belakang melihat orang yang memanggilnya.
"Ya, mas Rian?" Ternyata yang memanggil Aurora itu adalah Rian.
"Mau pulang?" tanya Rian.
Aurora mengangguk, "Iya Mas."
"Mau pulang bareng?" tawar Rian.
Setiap pulang kerja pasti Rian selalu menawarkan Aurora untuk pulang bersama, walaupun dia tau jika Aurora membawa kendaraannya sendiri. Mungkin itu salah satu cara Rian untuk mendekati dan mendapatkan hati gadis cantik yang ada di depannya saat ini.
"Eh nggak usah, Mas. Jugaan saya bawa motor kok."
Rian manggut-manggut, "Ya sudah kalau gitu saya duluan ya?"
"Iya, Mas hati-hati di jalan," ucap Aurora tersenyum.
"Kamu juga hati-hati dijalan. Jangan sampai nyalain lampu sein ke kanan, eh tapi belok nya malah ke kiri," goda Rian seraya terkekeh, Aurora pun ikut terkekeh mendengarnya.
"Ya nggak lah, Mas."
"Saya cuma bercanda kok. Ya sudah kalau gitu sampai bertemu besok pagi, Ra." Aurora hanya mengangguk dan mengiyakan ucapan Rian.
Setelah kepergian Rian, Aurora pun menaiki dan menyalakan mesin motornya, lalu melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
Ditengah perjalanan, tiba-tiba Aurora menepikan motornya karena melihat seorang nenek yang akan menyebrang dan dia berniat untuk membantu nenek tersebut.
"Nek," panggil Aurora Nenek yang di panggil pun menoleh ke arah Aurora.
"Ya, nak?"
"Nenek mau nyebrang ya?" tanya Aurora. Nenek itu mengangguk.
"Iya nak, tapi dari tadi kendaraan ramai terus yang berlalu-lalang, jadi susah untuk nyebrang nya," ucap Nenek itu lesu.
"Ya sudah, sini biar saya bantu Nenek nyebrang."
"Boleh nak," ucap Nenek itu senang.
Aurora pun membantu Nenek itu untuk menyebrang ke seberang jalan sana.
"Makasih ya cah ayu, sudah bantuin Nenek nyebrang," ucap Nenek itu tersenyum.
"Iya sama-sama, Nek. Kalau begitu saya pergi dulu Nek," pamit Aurora seraya menyalami tangan Nenek itu.
"Iya cah ayu, kamu hati-hati di jalan."
"Iya Nek." Aurora pun kembali menyebrang ke arah tadi, dimana tempat motornya berada.
Ternyata di ujung jalan sana ada seseorang yang memperhatikan Aurora sedari tadi.
"Good girl, sudah sangat jarang ada perempuan yang seperti itu di dunia ini."
...----------------...
To be continued.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!