"Apa? Dijodohkan?" lirih Salma ketika mendengarkan apa yang diucapkan sang ibu tiri, Lidia.
"Benar. Kamu harus membantu ayahmu, Salma. Perusahaan ayahmu sedang mengalami pailit. Hanya kamu satu-satunya yang bisa kami harapkan," tegas Lidia kembali.
Salma menatap sendu ayahnya. Usianya baru 20 tahun dan dia masih kuliah. Namun karena ekonomi keluarga semakin memburuk, Salma memilih berhenti kuliah dan bekerja apa saja.
Salma tidak menyangka jika ibu tirinya akan mengatakan ini padanya.
"Salma masih bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita, Bu. Tidak dengan cara seperti ini!" tegas Salma dengan mata berkaca-kaca.
"Ayah..." Salma memohon pada ayahnya yang kini hanya bisa duduk di kursi roda. Sejak mengalami stroke, Johan tidak bisa melakukan pekerjaannya seperti dulu.
Johan hanya bisa mengangguk. Untuk bicara saja rasanya sulit.
"Di-dia pria yang ba-baik. Percayalah pada Ayah..." ucap Johan terbata.
Salma memejamkan matanya. Bagaimana mungkin dia menikah dengan pria yang tidak dikenalnya. Bagaimana bisa dia harus meninggalkan cita-citanya lalu menikah?
"Sudahlah, Salma. Kita tidak memiliki pilihan lain. Lihatlah adikmu itu! Salman butuh biaya banyak untuk sekolah. Lalu Salsa, dia juga pastinya butuh biaya untuk kehidupannya. Salsa masih terlalu kecil untuk menanggung beban hidup, Salma." Lagi-lagi ibu tirinya mengintervensi Salma.
Salma menatap Salman dan Salsa. Adik kandungnya, Salman baru berusia 10 tahun. Dan Salsa, anak dari ayahnya dan sang ibu tiri baru berusia 2 tahun. Salma tidak akan tega melihat mereka menderita. Apalagi harus putus sekolah seperti dirinya.
"Baiklah. Salma bersedia," ucap Salma pada akhirnya.
Mata Lidia berbinar senang. "Terima kasih, Salma. Ibu akan menghubungi tuan Erkan agar dia bisa segera melamarmu."
#
#
#
Malam itu, Salma duduk sendiri di teras rumahnya. Rumah yang dulu penuh kehangatan namun berubah ketika sang ibu tiri hadir setelah ibu kandungnya meninggal.
Yang Salma tahu, ayahnya memang sudah lama menjalin kasih dengan sang ibu tiri. Mereka menikah secara diam-diam. Ayahnya beralasan jika dirinya butuh seseorang disampingnya karena ibu Salma yang memang sakit-sakitan.
Salma si anak sulung, berusaha menerima kehadiran si ibu tiri yang akhirnya pindah ke rumah mereka setelah kandungannya membesar. Saat itu usia Salma masih 18 tahun. Dia menerima keputusan sang ayah yang sepertinya sangat mencintai ibu tirinya.
Kebutuhan biologis memang tidak bisa dibantah. Salma yang beranjak dewasa mulai memahami itu. Ayahnya mendapatkan hal itu dari si ibu tiri. Hal yang tidak bisa diberikan oleh ibunya sendiri.
"Sal-ma..." Suara sang ayah membuyarkan lamunan Salma.
"Ayah, kenapa kemari? Udara di luar sangat dingin."
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah hanya bisa menyusahkanmu."
Salma menggeleng. Setelah kematian ibunya, Salma berjanji akan menjaga ayah dan juga adiknya. Mungkin sekaranglah saatnya. Saat perusahaan kecil ayahnya mulai bangkrut, dan keuangan keluarga menipis. Salma harus melakukan sesuatu.
Lidia, si ibu tiri berkata padanya, jika ada salah seorang teman ayahnya yang bersedia membantu untuk membeli saham dan aset perusahaan ayahnya. Orang itu bernama Erkan Pramudya. Dan kebetulan Erkan juga sedang mencari seorang menantu untuk putranya yang bernama Aidil.
Dengan semangat Lidia menyodorkan Salma sebagai ucapan terima kasih karena bersedia membantu suaminya. Tentu saja Erkan setuju karena dia sudah mengenal Salma sejak gadis itu masih kecil. Senyum mengembang ditampilkan Lidia saat Erkan juga menyetujui perjodohan itu.
"Ayah jangan bicara begitu. Bukankah ini sudah jadi kewajiban Salma untuk berbakti kepada ayah dan ibu? Salma menerima semuanya jika ayah juga merestui."
Johan memeluk putrinya. "Terima kasih, Nak. Ayah doakan kamu akan selalu bahagia."
#
#
#
Hari itu, Erkan dan keluarganya datang untuk melamar Salma. Tidak ada lamaran mewah. Hanya lamaran sederhana yang diminta Salma. Mengingat kondisi ayahnya yang kurang sehat.
Untuk pertama kalinya Salma bertemu dengan Aidil, calon suaminya. Salma menatapnya sekilas lalu kemudian menunduk.
Tampan. Satu kata yang Salma sematkan untuk Aidil. Sangat terlihat jika mereka dari keluarga terpandang. Namun entah kenapa, ibunda Aidil menatap Salma tajam seolah tak menyukainya.
Salma sadar diri jika dirinya bukanlah siapa-siapa. Dia yang dulu bergelimang harta, kini jatuh miskin dan hidup sederhana. Pastinya ia kini tak sebanding dengan keluarga Pramudya yang kaya raya itu.
"Kalau begitu, kita segerakan saja pernikahan mereka. Toh hal baik harus segera dilaksanakan," ucap Erkan.
Semua yang berada diruangan itu mengangguk setuju. Salma terus menunduk dan tak berani menatap Aidil. Rasanya degup jantungnya mulai tak karuan saat melihat tatapan Aidil padanya.
Seminggu setelah acara lamaran, pernikahanpun di gelar dengan cukup mewah. Keluarga Pramudya yang mengatur semuanya.
Salma langsung diboyong ke rumah keluarga Pramudya setelah pesta pernikahan selesai. Salma menatap takjub rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya.
"Ayo masuk!" ajak Aidil.
Salma mengangguk dan membawa kopernya.
"Letakkan saja disitu nanti biar bi Imah yang bawa ke kamar," ucap Aidil lagi.
Salma kembali mengangguk. Sikap suaminya ini sangat santun dan tutur katanya lembut. Sangat berbeda dengan pria dari kalangan atas yang biasanya sombong dan arogan.
Salma merasa beruntung bisa menikah dengan Aidil. Salma mengulas senyumnya. Ternyata pilihan orang tuanya adalah yang terbaik.
Tiba di kamar milik Aidil, Salma kembali terperangah dengan kondisi kamar yang rapi.
"Kamu bersihkan diri dulu saja. Setelah itu istirahat. Kamu pasti lelah kan?" ucap Aidil.
"Baiklah."
Lima belas menit Salma membersihkan diri. Ia keluar dengan setelan piyama yang biasa di pakainya. Lalu ia menyiapkan pakaian ganti untuk Aidil. Namun sebelumnya ia bertanya lebih dulu kepada Bi Imah, sang asisten rumah tangga.
Salma baru belajar menjadi istri. Namun ia akan melakukan yang terbaik untuk suaminya. Ia ingin menjadi istri idaman bagi suaminya.
Aidil keluar dari kamar mandi dengan setelan piyama yang sudah disiapkan Salma. Salma yang duduk di tepi ranjang, kini mulai gugup karena ini adalah malam pertama mereka.
Aidil duduk di samping Salma.
"Salma, aku tahu ini masih terasa canggung untukmu. Tapi, aku ingin kamu bisa nyaman tinggal disini."
Salma menatap Aidil dengan jarak yang begitu dekat. Ini pertama kalinya Salma menatap suaminya dengan lekat.
"Aku tahu kita belum saling mengenal. Kita akan lakukan perlahan saja. Ya?"
Salma mengangguk.
"Kamu jangan menjadikan status ini sebagai beban. Kita akan menjalaninya bersama. Jika ada sesuatu yang tidak kamu tahu, kamu bisa bertanya padaku."
"Iya, Mas."
Aidil tersenyum. Sangat manis hingga membuat wajah Salma merona.
"Aku suka panggilan itu. Ya sudah, kalau begitu kita istirahat dulu. Besok akan kuberitahu soal jadwalku."
Salma mengangguk kemudian naik keatas tempat tidur.
"Salma..."
"Iya, Mas."
"Bolehkah aku menciummu?"
"Eh?" Salma mendadak gugup. Wajahnya memucat.
"Santai saja. Kita lakukan pelan-pelan saja ya. Aku ... ingin mengenalmu lebih jauh."
Kalimat Aidil yang begitu menenangkan membuat Salma terbuai. Pria ini sangatlah baik. Sangat menghormatinya sebagai wanita dan istri.
Salma mulai jatuh hati pada Aidil ketika akhirnya benih cinta itu hadir dalam rahimnya. Kedua keluarga sangat bahagia mendengar kabar kehamilan Salma.
Hingga sembilan bulan berlalu, dan Salma melahirkan seorang putra yang diberi nama Adiyaksa Pramudya. Keluarga kecil Salma dan Aidil bertambah lengkap dengan hadirnya Diyas.
Salma sangat bahagia karena dia merasa dicintai oleh Aidil. Hingga dua tahun kemudian, Salma kembali hamil dan melahirkan putra kedua mereka, Aditya Pramudya.
Pagi itu seperti biasa, rutinitas Salma adalah memasak untuk keluarganya. Kini Salma hanya tinggal bersama dengan Aidil dan ibunya saja.
Sepuluh tahun lalu sang ayah mertua meninggal dunia karena serangan jantung. Sejak lima tahun lalu, sang ibu mertua juga mulai sakit-sakitan. Jadilah kini Salma yang merawat ibu mertuanya itu.
"Masak apa hari ini?" tanya Evita, ibunda Aidil.
"Seperti yang sudah disarankan oleh dokter, aku memasak menu sehat untuk Mamih." Salma melirik sekilas kearah sang ibu mertua yang terlihat tidak menyukai menu sarapannya kali ini.
"Mih, jika mamih ingin cepat sembuh, maka mamih harus menuruti apa kata Salma." Aidil datang memecah perseteruan diantara mertua dan menantu itu.
Salma memang sering berselisih pendapat dengan ibu mertuanya. Namun karena mentalnya sudah seperti baja sejak ayahnya memilih menikahi ibu tirinya, Salma selalu bisa mengalahkan argumen sang ibu mertua, entah bagaimanapun caranya.
Saat sedang menghidangkan makanan diatas meja makan, ponsel Salma berdering. Salma memang selalu membawa ponselnya dimanapun dia berada. Terkadang panggilan dari kedua putranya yang kini tinggal di negeri orang, datang secara tiba-tiba. Alhasil, Salma tidak ingin melewatkan perbincangan dengan sang putra.
"Siapa yang menelepon sepagi ini?" tanya Evita.
Salma menatap layar ponselnya lalu meminta izin untuk menjawabnya.
"Sebentar ya, Mih. Aku harus menjawab panggilan ini!" Salma memberi jarak dengan Evita. Ya meskipun ibu mertuanya itu selalu bisa menebak apa yang dibicarakan olehnya.
Tak lama Salma kembali ke meja makan.
"Siapa? Ibu tirimu?" terka Evita yang sudah pasti benar.
"Hari ini adalah jadwal terapi Ayah. Aku minta izin untuk keluar sebentar, Mih." Salma menyiapkan sarapan untuk Evita.
Beberapa menu yang sudah Salma masak ia sajikan ke dalam piring lalu ia letakkan di depan Evita.
"Mamih jangan khawatir. Aku sudah menyiapkan camilan untuk siang nanti."
"Hmm, jadi kau sudah menyiapkan semuanya karena akan meninggalkanku?"
Salma hanya diam dan mengulas senyumnya. Baginya semua hal pedas yang dikatakan Evita adalah makanan sehari-hari untuknya.
Salma melirik Evita yang sedang menikmati sarapannya. "Bagaimana, Mih? Rasanya tetap enak kan? Jangan berpikir jika makanan sehat itu tidak enak. Karena itu semua tergantung sugesti kita saja."
"Hmm, lumayan!" jawab Evita lalu meneruskan sarapan paginya.
#
#
#
Di dalam kamar, Salma menyiapkan segala keperluan suaminya yang akan berangkat ke kantor.
"Mas, hari ini aku akan ke rumah Ayah." Salma membetulkan letak dasi suaminya.
"Iya, aku tahu. Aku sudah mendengar perdebatan kalian tadi."
Salma merangkum wajah suaminya. "Tidak terasa aku sudah melakukan semua ini selama dua puluh tahun. Dan rasanya masih sama seperti dulu. Terima kasih ya, Mas. Kamu sudah menjadi suami dan ayah yang baik untuk keluarga kecil kita."
Aidil memegang kedua tangan Salma yang merangkum wajahnya. "Aku yang harusnya berterimakasih padamu. Kamu sudah menjaga keluarga ini dengan baik. Terima kasih, sayang."
Aidil mengecup kening Salma kemudian berpamitan. "Hati-hati menyetirnya! Sampaikan salamku untuk ayah dan ibu."
Salma mengangguk kemudian mengantar suaminya hingga ke pintu depan. Kegiatan ini sudah ia lakukan selama dua puluh tahun. Dan Salma tidak pernah bosan untuk melakukannya.
Usai merapikqn diri, Salma langsung menuju ke rumah ayahnya. Rumah yang sudah dia tingalkan selama 20 tahun. Rumah yang menyimpan segala kebahagiaan dan kesakitannya secara bersamaan.
Salma menyalami sang ayah dan ibu tirinya. Kemudian mereka langsung menuju ke rumah sakit dimana ayah Salma melakukan terapi sakitnya. Hanya Salma yang bisa Lidia andalkan sejak Salsa putrinya memilih melanjutkan studi S2nya di luar negeri.
Johan, ayah Salma sudah mengalami sakit stroke sejak 20 tahun lalu dan dengan setia Aidil membiayai seluruh biaya pengobatan Johan. Salma sangat bersyukur karena mereka saling menghargai meski mereka menikah tanpa adanya cinta. Namun seiring berjalannya waktu, Salma bisa memberikan hatinya kepada Aidil dan mengabdi pada keluarganya.
Di sebuah ruangan, Johan sedang menjalani sebuah terapi agar dirinya bisa kembali berjalan seperti semula. Salma hanya menatap datar kearah ayahnya. Salma pernah membenci ayahnya, karena pria itu telah menduakan ibunya. Salma pernah merasa kecewa dengan Johan karena sudah membuat dirinya dan Salman, adiknya hidup dalam cengkraman seorang ibu tiri.
"Nyonya Salma!" Panggilan seorang perawat membuat lamunan Salma buyar.
"Iya, Suster."
"Ini adalah rincian pembayaran pengobatan Pak Johan. Silakan nyonya urus di bagian administrasi."
Salma mengangguk kemudian melangkah menuju bagian administrasi rumah sakit. Salma kembali terdiam.
Semua kenangan pahitnya sudah berusaha Salma lupakan. Namun rasanya semua noda yang pernah ditorehkan dalam hati, sulit untuk dihilangkan. Meski Salma sudah memaafkan ayahnya.
Salma menyodorkan kartu debet miliknya ketika sang karyawan administrasi menyebutkan sejumlah nominal uang yang harus Salma bayarkan.
"Bagaimana? Menyenangkan bukan?" Suara ibu tirinya membuat Salma menoleh.
"Kau sangat beruntung karena bisa menikahi pria kaya. Kau harus berterimakasih pada kami karena sudah memilihkan jodoh terbaik untukmu. Selama dua puluh tahun kau hidup dengan nyaman dan bergelimang harta. Jika dulu kau menolak, belum tentu kau bisa membiayai pengobatan ayahmu itu."
Kata-kata sarkas yang dilontarkan oleh ibu tirinya sudah menjadi makanan Salma selama bertahun-tahun. Ia tak perlu menanggapi apapun kata kata ibu tirinya.
"Yah walaupun sebenarnya aku juga ingin seperti teman-temanku yang lain yang bisa menikmati masa tuanya dengan bahagia," lanjut Lidia.
"Apa ibu lelah mengurus ayah? Jika iya, aku bisa carikan perawat untuk ayah."
"Eh? Ah, bukan begitu, Salma. Ibu tidak lelah."
"Tidak apa. Aku akan mencarikan perawat untuk ayah."
"Tidak, tidak! Tidak perlu!" Lidia menolak dengan sungkan. Salma tahu jika sebenarnya Lidia ingin menerima tawarannya.
"Ibu tidak ingin ibu mertuamu itu mengomel karena kita terus meminta uang pada suamimu. Dia itu selalu memandang rendah keluarga kita." Lidia menyilangkan kedua tangannya.
Salma tidak mengomentari keluh kesah ibu tirinya itu. Hingga akhirnya seorang perawat kembali memanggil mereka karena terapi Johan telah selesai.
Salma mengantarkan ayah dan ibu tirinya kembali ke rumah mereka. Salma membantu Johan turun dan memakai kursi rodanya.
"Salma, terima kasih ya," ucap Johan.
"Jangan berterimakasih, Ayah. Ini sudah menjadi tugas Salma. Kalau begitu, Salma pulang dulu, Ayah, Ibu." Salma melirik jam di pergelangan tangannya.
"Oh ya, Salma. Kemarin Salman menelepon Ayah. Katanya sebentar lagi dia akan kembali ke tanah air. Dia akan berkarir disini saja, katanya."
"Benarkah? Baguslah kalau begitu. Aku juga sudah sangat merindukannya."
"Ya sudah, kembalilah ke rumah mertuamu. Mungkin saja dia membutuhkanmu disana."
Salma mengangguk. Kemudian ia berpamitan pada ayah dan ibu tirinya.
Tiga puluh menit berkendara, Salma tiba di rumah keluarga Pramudya. Salma langsung menemui ibu mertuanya yang pastinya sudah minta disiapkan makan siang.
"Bagaimana kondisi ayahmu? Apakah sudah lebih baik?" tanya Evita saat Salma menghidangkan menu makan siang untuknya.
"Sudah lebih baik, Mih."
"Baguslah! Putraku sudah mengeluarkan banyak uang untuk pengobatannya. Lalu, bagaimana dengan kedua adikmu yang kuliah di luar negeri? Adik perempuanmu itu memang sangat iri hati. Ketika tahu kedua cucuku sekolah di luar negeri, dia langsung merengek minta kuliah S2 di luar negeri. Dasar gadis tidak tahu diuntung!"
Salma tidak menjawab kalimat-kalimat pedas ibu mertuanya. Baginya percuma saja mengelak. Karena semua yang dikatakan Evita itu memang benar.
"Salman sebentar lagi akan kembali, Mih. Ayah bilang dia ingin berkarir disini saja sekalian agar bisa menjaga ayah." Salma lebih suka membicarakan adik satu ibu kandungnya yaitu Salman.
"Hmm, baguslah! Tidak sia-sia putraku menyekolahkan dia sampai jadi dokter ke luar negeri." Evita mengambil sendok dan mulai menyantap makan siangnya tanpa mempedulikan Salma yang masih bergeming menatapnya.
Gedung PRM Group,
Di dalam ruangannya, Aidil sedang memeriksa berkas-berkas yang harus ia tanda tangani. Sebuah ketukan di pintu membuatnya harus menjawab ketukan itu.
"Masuk!" ucap Aidil.
Marina, sang sekretaris masuk ke dalam ruangan Aidil.
"Pak, ini berkas yang bapak minta." Marina menyodorkan laporan mingguan untuk rating acara di stasiun televisi swasta yang menjadi anak cabang dari perusahaannya.
Sebelumnya PRM Group tidak bergerak di dunia pertelevisian. Namun sejak Aidil mengembangkan sayapnya, kini PRM Group lebih terkenal sebagai salah satu stasiun TV swasta yang diminati masyarakat. Aidil memberi nama stasiun TV swasta miliknya dengan nama AATV. Aidil mengambil nama depan kedua putranya sebagai nama keberuntungan untuknya.
Aidil membuka berkas laporan yang dibawakan Marina. Kepalanya manggut-manggut melihat rating sinetron yang tayang di AATV.
"Jadi, rating sinetron Akulah Cintamu adalah yang tertinggi dibanding sinetron di TV lain?" tanya Aidil.
"Benar sekali, Pak."
"Bukankah tim kita mempekerjakan penulis naskah baru untuk sinetron ini?"
"Iya,Pak. Penulis naskahnya baru. Tapi ide alur ceritanya sangat disukai oleh sutradara dan produser. Saya mengenalnya, Pak. Karena dia adalah tetangga saya. Dia juga seorang single mother, Pak. Dia sangat suka menulis, makanya ketika saya meminta dia untuk menulis naskah, ternyata dia bersedia. Eh malah sekarang naskahnya laris manis, Pak," terang Marina panjang lebar.
Aidil hanya manggut-manggut. "Siapa nama penulis naskah yang baru ini?"
"Nama aslinya Jihan Almaira, Pak. Tapi dia menggunakan nama pena 'Goresan Tinta'. Maaf Pak, saya jadi bercerita ngawur pada Bapak."
Aidil mengulas senyumnya. "Tidak apa. Saya senang jika saya mengetahui tentang data karyawan saya."
Marina membalas dengan senyuman. Ia tahu jika Aidil adalah pria yang baik dan juga suami yang baik. Di mata para karyawannya, sosok Aidil adalah pria yang sempurna. Sosok pemimpin, suami dan ayah yang baik.
"Oh ya, apa kamu bisa pertemukan saya dengan penulis naskah baru itu? Saya ingin berterimakasih secara langsung kepadanya. Berkat dia TV kita memiliki siaran dengan rating yang tinggi."
Mata Marina berbinar. "Tentu saja bisa, Pak. Saya akan sampaikan padanya jika bapak ingin bertemu. Kalau begitu saya permisi dulu, Pak."
"Iya, silakan."
Di tempat berbeda, seorang wanita usia 30 tahunan sedang memasak di dapur sebuah tempat kursus memasak. Dialah Jihan Almaira. Ibu tunggal yang kini harus hidup mandiri dengan putrinya setelah bercerai dari suaminya.
Hobinya yang suka menulis, membuatnya menerima tawaran sang teman yang memintanya membuat sebuah naskah sinetron. Awalnya Jihan ragu, tapi teman yang juga tetangganya itu terus menyemangati Jihan. Hingga akhirnya naskah terpilih untuk dijadikan sebuah drama sinetron yang kini sedang digandrungi kalangan masyarakat.
Tak berhenti disitu saja, Jihan juga mengisi waktu luangnya mengikuti kursus memasak di sebuah tempat kursus milik seorang chef terkenal. Jihan sengaja melakukan itu karena ia ingin mengasah kemampuan memasaknya. Dan cita-citanya adalah bisa memiliki restoran sendiri suatu saat nanti.
"Bagaimana, Jihan? Kamu sudah selesai membuatnya?" tanya chef Marko, pemilik tempat kursus.
"Sudah hampir selesai, Chef," jawab Jihan.
"Baguslah. Jangan lupa dicicipi dulu sebelum kamu menghidangkannya."
Jihan mengulas senyumnya. "Iya, Chef. Aku tidak akan lupa pesan dari chef."
Chef Marko kembali berkeliling dan melihat murid-muridnya yang sedang membuat masakan yang tadi ia contohkan. Hingga semua murid telah selesai membuat makanan, Chef Marko mencicipi satu persatu makanan yang sudah dibuat oleh murid-muridnya.
"Baiklah. Untuk makanan kali ini, pemenangnya adalah..."
Murid yang berjumlah lima orang itu pun harap-harap cemas dengan hasil penilaian dari sang guru.
"Jihan! Selamat! Masakanmu adalah pemenang untuk hari ini!"
Jihan bersorak gembira. Ia tidak menyangka jika akan menjadi pemenang untuk hari ini. Kini ia semakin yakin untuk membuka restorannya sendiri. Hal yang harus ia lakukan terlebih dahulu adalah mengumpulkan modal tentunya.
Selesai dari tempat kursus, Jihan kembali ke rumahnya. Jihan disambut oleh sang putri yang bernama Keisya.
Dering ponsel membuat Jihan harus membuka tas slempangnya. Tertera nama Marina disana. Jihan segera menjawabnya.
"Halo, Mbak..."
Mata Jihan berbinar senang mendengar kalimat demi kalimat yang disampaikan oleh Marina. Ia segera memeluk sang putri sebagai ucapan rasa syukurnya.
"Bunda kenapa?" tanya Keisya.
"Tidak apa-apa, sayang. Bunda harus pergi lagi. Keisya tidak apa kan Bunda tinggal sendirian. Jangan lupa kunci pintu. Jika bukan Bunda yang datang jangan dibuka pintunya. Apa kamu mengerti?"
Bocah 7 tahun itu pun mengangguk paham. Jihan mencium pipi putrinya sebelum pergi. Meski terasa lelah, tapi rasa gembira yang teramat membuat Jihan melupakan rasa letihnya.
...#####...
Di sebuah restoran mewah,
Jihan duduk berhadapan dengan Aidil yang adalah CEO dari perusahaan tempatnya mencari pundi-pundi rupiah. Sejenak Jihan terpukau dengan ketampanan dan ketegasan yang di tampilkan sosok Aidil.
Pria 45 tahun itu memiliki karisma yang luar biasa. Jihan sudah sering mendengarnya. Namun baru kali ini Jihan bertemu langsung dengan Aidil.
"Silakan diminum kopinya. Atau jika kamu tidak suka kopi, maka pesan yang lain saja," ucap Aidil.
"Ah tidak, Pak. Saya suka kopi kok." Jihan menyeruput perlahan kopinya.
Tiba-tiba Aidil menyodorkan sebuah paper bag kearah Jihan.
"Aku dengar kamu penulis naskah baru di perusahaan. Aku senang dengan kinerjamu yang membuat rating kita naik. Ini sebagai tanda hadiah dariku. Semoga kamu lebih giat lagi dalam bekerja."
Jihan tersenyum lebar. Ia sangat senang jika hasil kerjanya dihargai oleh pimpinannya.
"Terima kasih banyak, Pak. Tapi seharusnya bapak tidak perlu melakukan ini." Jihan ingin menolak pemberian Aidil, karena ia takut karyawan lain akan iri padanya.
"Jangan sungkan! Aku hanya memberi hadiah kecil saja. Dan maaf, kudengar kamu seorang ibu tunggal. Kalau boleh tahu, kenapa kau sampai menjadi ibu tunggal?" tanya Aidil.
Jihan mengulas senyum kecut. Ia tak ingin mengingat masa lalunya lagi.
"Suami saya selingkuh, Pak. Saya memilih bercerai karena tidak tahan dengan sikapnya."
Aidil nampak bersimpati pada Jihan. Wanita cantik berambut pendek itu memiliki wajah teduh yang menenangkan. Terlihat ada luka mendalam yang disimpan rapat olehnya.
"Kamu adalah wanita yang kuat. Aku yakin kamu bisa menjadi ibu yang baik untuk anakmu."
"Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, Pak."
...#####...
Malam harinya, Aidil pulang ke rumahnya. Seperti biasa ia disambut oleh sang istri.
"Kamu pasti capek ya, Mas. Aku buatkan air hangat untuk mandi ya?" ucap Salma sambil menggandeng lengan suaminya dan berjalan menuju kamar mereka.
"Iya, sayang. Terima kasih ya."
Salma membantu melepaskan jas yang melekat pada tubuh suaminya. Kemudian Salma juga membuka kemeja suaminya.
Tubuh Aidil masih terbilang bagus di usianya yang hampir separuh abad. Rahang tegas di wajahnya juga terukir indah bak dewa Yunani.
Salma menyiapkan air hangat di bathup kemudian memberikan aromaterapi agar Aidil bisa lebih rileks.
"Air hangatnya sudah siap, Mas," ucap Salma.
"Terima kasih, sayang." Aidil mengecup kening Salma sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
Salma mengambil pakaian kotor suaminya yang ada di keranjang. Salma membawanya ke ruang belakang untuk ia cuci bersama dengan pakaian kotor lainnya.
Sebelum memasukkan pakaian ke mesin cuci, Salma terbiasa mengecek saku-saku celana dan kemeja yang Aidil gunakan. Siapa tahu ada barang yang tertinggal disana.
Salma juga merogoh saku jas milik Aidil. Salma menemukan sebuah kertas struk belanjaan.
Salma membaca struk belanja itu dan mengerutkan keningnya.
"Ini kan nota pembelian di butik pakaian wanita. Untuk apa Mas Aidil menyimpan ini? Tanggalnya hari ini. Apa Mas Aidil membelikan pakaian untukku?" gumam Salma.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!