Kristal Pearl Evans berjalan dengan angkuh keluar dari rumah sakit, dimana dia baru saja bertemu dengan ibu dari pria yang begitu dicintainya. Wajahnya kaku, tampak penuh pikiran.
Seharusnya dia senang bertemu orang tua kekasihnya, tapi tidak dengan hubungan rumit diantara mereka.
Kristal baru saja masuk ke dalam mobil saat seorang pria ikut masuk dan duduk di samping kursi kemudi.
"Ketemu Mama?" tanya pria itu dengan nada khawatir dan takut.
Kristal hanya tersenyum kecut sebagai jawaban. Dia segera melajukan mobilnya tanpa banyak bicara, hingga sampai ke sebuah apartemen mewah di pusat kota, dia baru berhenti dan menatap serius wajah kekasihnya.
"Kita harus melakukannya sekarang, Rega!"
Rega menoleh dengan tatapan tak suka. "Kita sudah pernah bahas ini, Kris ... aku nggak bisa!"
Kristal turun dari mobil dan membungkuk penuh tuntutan pada Rega yang enggan mengikutinya. "Aku bosan menjalani hubungan tanpa kejelasan seperti ini! Atau sebaiknya kita putus saja!"
Rega tersentak. Mereka pernah bertengkar jauh lebih dahsyat dari sekadar urusan membuat bayi, tapi mereka selalu kembali akur dan baik-baik saja. Dia tidak bisa menerima begitu saja keputusan Kristal untuk menyudahi hubungan mereka yang di bangun begitu susah payah.
"Nggak bisa gitu, dong ... jangan kayak anak kecil, Kris!" Rega menyusul Kristal dengan langkah tergesa-gesa. "Kau tau keinginanmu itu nggak akan membuat semuanya baik."
Kristal berhenti untuk menatap mata Rega. Dia ingin kesungguhan yang nyata dari pria ini. Ini hanya soal trik, pancingan, atau apalah disebutnya. Ini hanya upaya agar mendapatkan restu. Dan Kristal yakin, ini akan berhasil. Atau setidaknya, teman-temannya bisa berhasil menyatukan dua keluarga dengan cara seperti ini.
"Kalau begitu kita putus!" pinta Kristal dingin.
"Kris, punya bayi pada kondisi kita sekarang itu nggak baik buat bayi itu sendiri. Kita memutuskannya terburu-buru. Aku tau maksudmu baik, tapi nggak di keadaan seperti ini! Percaya deh sama aku, Mama akan menerima kamu sebagai menantu tidak lama lagi." Rega menatap mata Kristal yang sendu itu penuh permohonan. Dia tahu ini berat.
Kristal membuang napasnya, dia melunak seolah-olah. "Baiklah, aku mengalah dan percaya sama kamu, tapi tidak bisakah kita jauh lebih dekat dari sekedar ciuman?"
Rega terhenyak dan mulai jengah. "Jangan ngaco! Aku sudah menahan diri selama bertahun-tahun, bukan berarti aku tidak tergoda oleh tubuhmu! Aku hanya ingin menikmati dengan cara yang baik saja."
"Ya, dan aku masih seorang perawan dengan kekasih yang bahkan sudah menginap di kasurku. Aku pasti wanita yang tidak waras." Kristal menggeleng penuh kekecewaan, lantas turun dari mobil, di susul Rega buru-buru.
Dia tau Rega pria yang teramat baik, dan Kristal pasti gila jika menginginkan sentuhan pria itu. Jadi rencananya untuk membuat Mama Rega luluh dengan kehadiran seorang bayi, akan mentah bahkan ketika Kristal baru saja memulai obrolannya.
Kebersamaan yang terjalin sejak lama membuat Rega hafal benar bagaimana tabiat Kristal jika kecewa. Dari raut wajahnya saja Rega sudah bisa menebaknya.
"Aku akan mengabulkan keinginanmu menjadi ibu anak-anakku, tapi aku butuh waktu untuk menyakinkan Mama. Aku gak bisa melangkah tanpa restu Mama, Sayang. Ngertiin aku, ya?" Rega meraih Kristal bersandar di pundaknya ketika mereka berjalan menuju lift.
Kristal hanya menjauhkan diri seraya menghela napas berat. Mereka berdua terdiam selama perjalanan ke unit yang ditempati Kristal.
Rega tahu kalau Kristal sedang kesal, jadi dia tidak membujuknya sama sekali. Kemarahan Kristal akan mereda dengan sendirinya nanti. Wanita yang begitu dicintai Rega ini tidak akan pernah bisa marah dalam waktu yang lama.
"Mau minum apa?" tanya Kristal, setelah berhasil membuka pintu dan melemparkan tas ke sofa.
Rega menggelengkan kepala melihat tingkah Kristal saat marah atau kesal. Kristal akan menjadi wanita yang paling menyebalkan sedunia saat mood nya berantakan begini. Rega berinisiatif membantu mengemasi barang tersebut lalu membawanya ke kamar Kristal.
Kristal melihat kepergian Rega, dan dia langsung menghubungi seseorang.
"Bagaimana pesanan ku?" tanyanya setengah berbisik. Dia takut rencananya ketahuan Rega dan hancur berantakan.
"Kurir seharusnya sudah sampai, Kris! Kamu yakin dengan hal itu?" seseorang di balik telepon langsung membalik pertanyaan. Suaranya terdengar sangat khawatir.
"Aku lelah membujuk dia dengan cara yang normal. Dia harus dibuat abnormal jika aku ingin memiliki dia sepenuhnya. Aku sudah mantap, terserah mau nggak direstui atau apa, aku lelah seperti orang gila hanya karena digantung seorang pria." Kristal berceloteh. Raut wajahnya terlihat lelah sampai ia memijat kening.
"Yeah, sebenarnya kau punya selusin pria yang mengejar cintamu, jika aku tidak salah hitung." Seseorang di seberang terkekeh.
Kristal hendak menjawab ketika bel di depan berbunyi. Dan sepertinya, seseorang di seberang telepon mendengar suara bel tersebut.
"Nah, itu pasti kurir nya, kau buka pintu dan dengarkan apa katanya. Aku tidak terlalu paham dan takut salah informasi jika menyampaikan padamu. Bye, Kris ... bae-bae ya! Semoga apapun keputusanmu, itu adalah yang terbaik dan kau tidak akan menyesalinya."
Kristal hanya ber-hem ria menjawab, lalu melempar ponsel ke sofa. Ia menyambar masker dan membuka pintu cepat-cepat.
Kristal terperangah melihat kurir yang mengantar paket pesanannya tersebut. Masih anak SMP dan lugu.
"Seseorang di bawah, meminta anda menghubungi nomor ini secepatnya." Anak itu mengulurkan selembar kertas dan juga kantung dari sebuah produk makanan cepat saji.
Kristal menerima dan membuka isinya tanpa bersikap sabar. "Terimakasih, ya ... Ini ada sedikit buat kamu beli jajan."
"Aku sudah di bayar, Bu ...." Anak itu menolak, tetapi Kristal memaksa. Hanya anak yang punya kebutuhan mendesak yang mau disuruh jadi kurir barang ilegal.
Lelaki remaja itu pergi begitu saja, membiarkan Kristal mematung sejenak.
Kristal segera masuk dan buru-buru menghubungi nomor di kertas itu. Sembari menunggu, Kristal menyiapkan minuman bersoda untuk Rega.
"Ya, hallo!" Kristal menyapa, yang langsung di jawab oleh si penerima telepon dengan sebuah petunjuk to the point mengenai obat yang dibeli Kristal tadi.
"Ok, cukup sepertiga saja, ya." Kristal menegaskan, lalu menutup teleponnya.
Tangan Kristal bergerak cepat untuk mencampur obat berbentuk spray tersebut ke dalamnya juga beberapa butir es batu untuk menyamarkan.
"Siapa yang datang?"
Kristal yang begitu gugup saat ini, menoleh dengan membawa satu gelas berisi cairan bersoda ke depan Rega.
"Kurir yang anter pesanan." Bibir mungil wanita itu tersenyum sekilas, tangannya menyerahkan gelas pada Rega. "Minum!"
Rega menerima gelas itu dan membawanya menempel ke bibir. Kristal menahan napas, saat menyaksikan bagaimana Rega bereaksi dengan obat tersebut.
Rega menghela napas diam-diam, lalu dengan angkuh berjalan ke arah wastafel, kemudian menuangkan isi gelas tersebut ke sana. Tanpa menyisakan sedikitpun.
Tatapan mata Rega kejam menghujam Kristal yang membeliak melihat ulahnya.
"Kau tau, kan ... dengan cara apapun, aku tidak akan masuk ke dalam jebakanmu!" Rega menghentakkan gelas begitu keras, sampai Kristal berjengit ketakutan.
"Kau harus dengarkan aku, Kris! Kita pakai caraku! Dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah jatuh ke dalam jebakanmu yang begitu konyol ini!"
Rega berlalu begitu saja meninggalkan Kristal. Untuk kesekian kalinya, keinginan mereka tidak sejalan dan berakhir dengan Rega yang pergi.
"Mau sampai kapan kita seperti ini, Ga?" Kristal mengepalkan tangan. Menahan kesakitan yang begitu nyeri di dadanya. Air mata Kristal turun tanpa bisa dicegah. Seorang Kristal yang begitu tinggi harus memohon demi bersama pria yang dicintainya.
Rega berhenti di ambang pintu, mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa. Segalanya dipertaruhkan di sini.
"Kau bisa berhenti jika kau merasa ini melelahkan dan sia-sia, Kris!"
Ucapan Rega bagai petir yang menyambar hati Kristal. Perasaan Kristal hancur seketika saat ini. Setelah bertahun-tahun yang begitu menyiksa, hari ini adalah satu hari yang membuatnya ingin mati saja.
Rega menyambung langkahnya, meninggalkan Kristal sendirian. Lebih baik begini saja, dari pada dia harus menyakiti Kristal lebih lama.
Dendam mamanya terbawa mati, dan mungkin hanya kematian yang akan membuat mereka bersatu.
*
*
*
Halo semuanya😍 jangan bosan sama nopel gaje-ku yah... Jangan lupa subscribe dengan klik 3 titik di samping judul, dan tekan tulisan "Subscribe"
Makasih ya, semuanya😍 love you All😍
Giza berulang kali mengecek ponsel, sejak dirinya berdiri di teras rumah. Hari telah beranjak petang, tetapi wanita itu sama sekali tidak menyadari perubahan warna langit.
Angin yang berhembus terasa basah, membuat resah hati Giza bertambah. Giza mendongak, sebentar lagi hujan pasti turun. Kilat bahkan mulai meramaikan malam.
"Kemana anak ini sampai jam segini belum sampai?" Sekali lagi, dia memeriksa ponsel dan menghela napas.
Giza sedang menunggu kedatangan Billa, cucu dari kerabat jauh ayah Giza. Gadis itu baru lulus kuliah dan hendak mencari pekerjaan di sini. Rencananya, Giza akan meminta bantuan Rega untuk mencarikan pekerjaan untuk Billa.
Giza mengangkat ponselnya, berniat menghubungi Billa. Sudah lewat satu jam sejak Billa mengatakan dirinya telah mendarat, tetapi entah mengapa Billa belum sampai.
"Apa dia nyasar?" gumam Giza yang makin cemas. Langit semakin gelap, kilat menyambar, angin makin kencang menggoyang. "Ya, Tuhan, jangan sampai terjadi apa-apa pada Billa."
Giza benar-benar khawatir jika sampai terjadi apa-apa pada Billa. Bisa dibilang, ini adalah salahnya karena tidak bisa menjemput Billa di bandara. Dirinya terlalu asyik bersama Naja dan Kira sampai lupa waktu. Dan sayangnya, dia tidak mau rencana yang disusunnya berantakan.
Panggilan itu masih terhubung, saat di ujung halaman muncul sorot lampu mobil yang begitu dikenalinya, hal itu membuat Giza lega.
"Sayang ...." Giza berlari kecil ke halaman. Rasanya tidak sabar memberitahu Rega apa yang terjadi.
Namun, ketika pintu mobil terbuka, Billa melompat turun dari sana. Berteriak menyapa Giza.
"Tante ... lama nungguin aku, ya?" sapa Billa seraya menghambur ke pelukan Giza.
"Ya ampun ... Billa!" Giza tak bisa menyembunyikan kelegaan dan juga rasa senangnya melihat Billa berdiri di depannya. "Tante tadi khawatir kamu nggak dateng-dateng."
Giza memeluk erat Billa. "Sudah besar kamu sekarang, ya ... udah lebih tinggi dari Tante."
Billa nyengir di pundak Giza. "Tapi aku masih saja kerempeng, Tan ... nggak mau gendutan dikit. Padahal aku pengen sedikit lebih berisi biar nggak dipanggil kutilang."
Giza melepaskan pelukannya, menatap wajah ayu Billa dan mengusap pipinya. "Tante yakin, selama di sini, kamu nggak akan merasa kurus lagi. Masakan Tante lumayan enak dan menggugah selera makan kamu. Dijamin, kamu nggak akan bisa berhenti makan."
Billa tersenyum, "Kata Mama, masakan Tante emang paling enak di dunia."
Rega bersandar di antara daun pintu yang terbuka, menyaksikan interaksi mamanya dan Billa yang begitu menyenangkan.
"Jadi berasa kaya anak pungut kalau ada Billa." Rega pura-pura mengeluh. Sama sekali dia tidak keberatan jika mamanya mengganggap Billa seperti anak sendiri. Billa seumuran dengan mendiang adiknya, hanya beda beberapa bulan saja.
Giza memutar bola matanya malas, lalu berbisik kepada Billa. "Ada yang cemburu."
Billa sekali lagi tertawa melihat kecemburuan Rega yang belum pernah dia lihat selama ini. Pria ini cukup ramah, tetapi dia tidak pernah melihat Rega mencandai mamanya. Atau saling melempar candaan seperti ini. Ibu dan anak ini tampak saling menjaga jarak dan kaku.
"Ayo masuk," ajak Giza seraya merangkul Billa, "biar barang-barangmu dibawa Rega ke dalam."
Mata Rega melebar sempurna mendengar itu, "Ma ... jangan gitu lah! Barang Billa banyak banget, aku nggak sanggup bawanya. Aku juga lelah."
Giza tersenyum mendengarnya, lalu berkata keras-keras. "Tenaga lelaki jauh lebih besar dan banyak dibandingkan wanita. Mama yakin, kamu lebih dari mampu membawa seratus karung beras ke lantai dua."
Billa sekali lagi cekikikan, langkahnya tetap mengikuti Giza, tetapi matanya melirik Rega. Tangannya mengisyaratkan agar Rega ikut masuk saja, kemudian bibirnya berkata tanpa suara.
"Biar nanti aku bawa sendiri ke kamar."
Rega menghela napas, lalu menurunkan tiga koper besar milik Billa. Menyeretnya salah satu, dan menempatkannya ke depan kamar yang akan di tempati Billa.
Sementara, dua wanita itu ke halaman belakang untuk makan malam. Biasanya, Giza akan makan di sana. Meja makan di dekat dapur sudah dilenyapkan, sejak kematian Papanya. Setelah itu, tidak ada lagi yang namanya makan di meja makan. Yang ada hanya meja kecil dan dua kursi di teras belakang rumah.
Meja makan dan suasana hangat di sekitar dapur, hanya akan membuat Giza terluka.
Rega keatas untuk mandi, kemudian turun lagi saat Giza dan Billa baru keluar dari kamar.
"Bang, kata Tante, besok kamar kita sebelahan." Billa menyeletuk seraya mendekati Rega. Tangannya langsung menggelayut.
Rega mengernyit. "Nggak boleh! Mending kamu di bawah aja! Aku tuh mau tidur kalau sampai rumah, bukan mau dengerin suara berisikmu itu!"
Billa langsung cemberut, matanya dibuat sedih sesedih-sedihnya saat menatap Giza. Seolah mengadukan perbuatan Rega barusan.
Giza tersenyum. Tanpa bereaksi apa-apa.
"Kok Abang jahat sekarang? Dulu, Abang baik sama Billa, loh. Sayang sama Billa, nggak pernah bentak-bentak Billa," oceh Billa seraya menatap Rega. Dia sama sekali tidak mengerti apa itu serius atau hanya bercanda. Rega belum pernah memiliki ekspresi yang ambigu seperti sekarang.
"Itu karena kamu masih kecil. Sekarang kamu udah besar. Walau saudara, kita tetap tidak boleh terlalu dekat! Apalagi memanjakan seseorang seolah orang itu tidak bisa melindungi dirinya sendiri."
"Maksud Abang, apa? Aku bukannya tidak bisa membela diri, apalagi punya perasaan sama Abang! Enak saja! Aku udah punya pacar kok! Lebih ganteng ketimbang Abang! Ribuan kali lipat!" Billa nyolot saat Rega menuduhnya manja dan menyukainya. Itu sama sekali tidak benar!
Billa segera menjauhkan diri dari Rega dan kembali ke kamarnya. "Tan, Billa tidur dulu! Billa capek banget."
Giza tersenyum seraya mengecup kening Billa. "Selamat tidur, Sayang. Mimpi yang indah, ya."
Billa mengangguk, seraya melirik Rega yang masih memelototinya.
"Dasar orang aneh! Sok kegantengan!" batin Billa.
Billa segera masuk dan menutup pintu, sementara Giza mendekati Rega.
"Billa cocok kalau jadi istrimu!" Giza mengatakan itu seolah misi awalnya untuk mendekatkan Rega dan Billa telah berhasil. Rega akan sangat usil pada wanita yang istimewa. Ya, Billa selalu diistimewakan Rega. Giza mendapati Rega perhatian dengan membelikan Billa beberapa barang, dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Giza yakin untuk menjodohkan Rega.
Rega seakan tersengat listrik ribuan volt saat mendengar kata-kata mamanya. Sampai-sampai dia menoleh untuk memastikan bahwa kalimat itu tertuju untuknya.
Selain itu, kata-kata Giza mengingatkan Rega kembali bahwa dia baru putus dengan Kristal. Yah, Rega anggap begitu, sebab sampai sekarang Kristal tidak menghubunginya sama sekali.
Giza menatap anak semata wayangnya sungguh-sungguh. "Mama sudah bicara sama orang tua Billa, dan mereka setuju. Billa tidak akan membuatku kecewa. Dia baik dan menyenangkan, ramah dan selevel dengan kita. Setidaknya, dia tidak pernah menyakiti hati Mama."
Rega benar-benar kalut sekarang. Dia sudah putus, dan dijodohkan. What the ...?
Rega mengusap wajahnya kasar. Bingung bagaimana menjelaskan. "Mama tahu dari mana kalau kita cocok? Aku sama Billa bahkan tidak saling berkirim kabar? Kami tidak sedekat itu, Ma!"
Giza mendekati meja, lalu meraih ponselnya. Kepala Giza menoleh pelan ke arah putranya.
"Mama selalu tahu, Nak. Seorang ibu tau bagaimana perasaan putranya." Giza tersenyum. "Mama cuma mau bilang makasih, karena udah mau menjauhi dan memutus hubungan dengan orang yang membuat kita menderita."
Rega seakan berhenti bernapas. Ini bagaimana? Giza sama sekali tidak tahu kalau dirinya masih berhubungan dengan Kristal.
Rega menatap Giza lama sekali. "Mama serius?"
"Ya!" Giza sudah menghubungi orang tua Billa. Dia mengiyakan Rega, sebab berpikir kalau yang ditanyakan Rega adalah soal perjodohan dengan Billa.
Padahal, Rega bertanya, apa Giza serius tidak tahu, kalau dia dan Kristal masih bersama. Dan itu agak tidak mungkin. Bukannya mamanya kerap memergoki mereka bersama?
Rega semakin bingung, saat mendengar Giza membahas perjodohan yang akan disegerakan ini.
"Iya, Tia. Niat baik harus segera dilaksanakan," kata Giza seraya tersenyum pada Rega yang berdiri bak patung, dengan bibir membuka-menutup, tidak bisa bicara.
Ini terlalu mendadak dan mengejutkan.
Rega memutar tubuhnya, dan berlari cepat ke ke luar rumah. Pikirannya yang kacau hanya tertuju pada satu hal. Yaitu mengakhirinya.
Mendengar suara keributan di luar, Billa yang hendak mandi, mengurungkan niatnya. Dia bergegas keluar untuk melihat apa yang terjadi. Jantung Billa berdegup kencang saat melihat Tante Giza berlari mengejar mobil Rega yang tengah meninggalkan halaman rumah dengan kecepatan penuh. Bahkan sampai terjadi kericuhan di jalan depan rumah sebab Rega nyaris menubruk mobil yang melintas.
"Ya Tuhan, mereka kenapa ribut begini, sih?" Billa berjalan pelan ke belakang Giza yang panik dan terus memanggil putranya.
"Rega, Sayang ... kamu mau kemana? Kita belum selesai bicara! Kembali, Rega!" teriak Giza dengan tubuh sedikit bergetar. Wanita itu merangsek maju, memburu mobil Rega.
Billa refleks memegangi tubuh Giza yang hendak menerjang ke arah mobil Rega yang sempat berhenti, tetapi sedetik kemudian, Rega melajukan mobilnya dalam kecepatan penuh.
"Tante, jangan! Itu berbahaya!" Billa menarik tubuh Giza dan memeluknya erat. Demi apapun, Billa tidak pernah menyangka akan melihat sesuatu yang seperti ini di hari pertama bersama keluarga tante yang selama ini begitu dihormatinya. Sesuatu yang besar mungkin tidak diketahui oleh Billa.
"Billa ...." Giza gugup. Dia lupa kalau masih ada orang lain di rumah ini, sehingga dia lupa menjaga sikapnya. Giza lepas kendali, melihat putranya kabur dan dia menduga Rega akan berada di mana setelah ini.
Giza segera mengusap air matanya, kemudian mencoba tersenyum. "Masuk, yuk! Segera istirahat dan besok akan Tante antar ke kantor WD Grup. Pasti ada lowongan pekerjaan untuk gadis secantik dan sepintar kamu."
Billa menaikkan sebelah alisnya. Merasa aneh dengan sikap Giza yang berubah begitu cepat. Giza seolah punya dua ekspresi dan dua kepribadian. Billa merinding saat mengingat sorot wajah tantenya itu beberapa saat lalu.
"Yuk!" Giza menatap tajam ke arah Billa yang termangu, senyumnya terukir untuk menutupi pemaksaan dalam nada suaranya.
Billa mengangguk. Menatap jalanan sekilas sebelum akhirnya melangkah ke dalam rumah.
Giza tampak tegang dan penuh pikiran saat memasuki rumah. Billa melihatnya, dan merasa ngeri.
"Tan, aku pinjam handuk, ya. Aku lupa bawa kayaknya." Billa memecah keheningan, pikirnya dia harus menjauh dari sang Tante untuk beberapa saat. Selain itu, suasana ini sungguh tidak nyaman setelah tadi begitu penuh canda.
Giza menoleh, senyumnya kembali terbit. Tampak terpaksa, dan Giza berusaha keras mengembalikan kelembutan di wajahnya. "Tunggu di sini sebentar, ya."
Billa mengangguk, memandang kepergian Giza ke lantai dua. Begitu Giza tidak terlihat lagi, gadis muda itu berlari ke kamar. Lebih baik dia menelpon mamanya, memberitahukan apa yang dilihat dan dirasakan di rumah ini. Billa yang masih polos, tidak nyaman dengan keributan antar anggota keluarga. Di rumahnya, semua orang menahan diri untuk tidak ribut di depan anggota keluarga yang lain.
"Halo, Ma." Billa menoleh ke pintu, memastikan Giza belum sampai kemari.
"Ya, Billa ... baru saja Tantemu nelpon mama, katanya kamu baru sampai dan dijemput Abangmu."
Billa menghela napas mendengar mamanya begitu senang. "Ma, ceritanya nggak seperti itu. Mama dengerin Billa dulu," ucap Billa seraya menoleh ke pintu lagi. Dia merasa ada yang mengawasi.
"Ma mungkin sebaiknya aku kos sendiri saja. Di—"
"Billa ...," panggil Giza dengan lembut, sehingga membuat Billa menegang beberapa saat, lalu menurunkan ponselnya hingga tersembunyi di belakang badan.
Hati Billa seperti dicengkeram teror yang begitu nyata, tetapi dia perlahan menolehkan kepalanya. Matanya bergetar saat menatap Giza yang tersenyum seraya mengulurkan handuk. Billa sungguh ketakutan sekarang.
"Ini handuknya, Sayang." Giza mengintip ke arah tangan Billa yang memegang ponsel, kemudian tersenyum lembut, "tadi Tante udah ngabarin Mama kamu, kok."
Billa gelagapan mematikan ponselnya, "i-iya, Tan ... Mama barusan juga bilang begitu. A‐aku ...."
"Cepet mandi, gih! Terus istirahat, jangan lupa matikan lampu, ya!"
Giza tersenyum manis saat Billa buru-buru menerima handuk darinya.
"Kalau begitu, Billa mandi dulu, ya, Tan." Billa menghindar sebisa mungkin, Giza membuatnya takut dengan tatapan mata yang tajam itu.
Giza lagi-lagi hanya mengangguk, membiarkan Billa melangkah ke kamar mandi.
"Billa ...." Belum dua langkah Billa meninggalkan Giza, tetapi Giza sudah menghentikan langkahnya, membuat gadis itu menoleh takut-takut.
"Maafkan keributan yang seharusnya tidak kamu lihat barusan, ya. Abangmu lelah karena beban pekerjaan, jadi sikapnya lebih sensitif dan mudah marah. Tapi Abang tidak pernah benci Billa, kok. Tante bahkan sering mendengar Abang sebutin nama kamu bahkan dalam tidurnya."
Billa terkejut mendengarnya. "Benarkah, Tan? A-aku tidak tahu Abang punya sikap yang seperti itu."
Giza mendekati Billa, mengusap bahu hingga ke lengan Billa. "Ya ... dan Tante senang, kamulah yang disukai putra Tante."
"Ha?!" Billa ternganga. Ini tidak mungkin, kan? Billa memang suka pada Rega, tapi agak tidak mungkin bila Rega suka padanya. Yang stalking kan dia, sementara Rega ... mungkin ingat dirinya saja tidak pernah. Dan, saat dia menelpon Rega untuk menjemputnya tadi saja, Rega bingung dan tidak mengenali dirinya. Sepanjang jalan, Rega membisu, bahkan tidak menanyakan apapun padanya. Jadi tidak mungkin Rega menyukainya.
Hanya saja, ketika di hadapan Giza, Rega benar-benar menjadi orang lain. Billa awalnya mencoba berpikir positif, Rega sedang banyak pikiran, jadi dia berniat melanjutkan rasa sukanya, tetapi bentakan, lalu keributan yang mengejutkan tadi, membuat Billa memikirkan ulang perasaannya.
Dia boleh polos dan berasal dari desa, tetapi dia punya akal yang mampu menekan perasaannya.
"Kamu juga punya perasaan yang sama, kan?" Giza menekankan keadaan yang menurutnya benar. Dia harus cepat, sebelum Rega mendahului rencananya.
Billa terpaku, bingung ingin menjawab apa. Jika dia jujur, mungkin wanita ini punya seribu cara untuk membuatnya mengatakan iya. "Aku menyukai orang lain, Tan."
"Tante tahu kamu tidak punya pacar dan kamu selalu memuja Rega."
Billa mengumpat. Ini pasti bocoran dari mamanya. "Tapi aku beneran tidak mau berhubungan dengan siapa-siapa, karena aku ingin fokus pada diri sendiri, Tan. Aku belum mau punya kekasih. Siapapun orangnya."
Giza tersenyum. "Kau akan memiliki suami, kalau begitu."
***
Sementara itu, Kristal sedang gelisah di apartemennya. Ragu untuk menghubungi Rega lebih dulu. Takut juga, sebab Rega tampak begitu marah dan pasti dia akan susah dibujuk.
"Kris ...."
Kristal terkejut, matanya kembali fokus pada orang yang selama ini dia percaya untuk mengurus pekerjaannya di Singapura.
"Kau ada masalah?" Pria itu tampak khawatir saat memandangi wajah Kristal yang begitu gelisah.
"Nggak ada." Kristal menyangkal. Dia tidak boleh menunjukkan celah dimana pria ini bisa memanfaatkannya dan menggeser posisi Rega. Dion pernah menembaknya, tetapi setelah Kristal coba menerimanya, hatinya sama sekali tidak merasakan apa-apa untuk Dion. Lagi-lagi dia kembali pada Rega. Yang tanpa kejelasan.
"Tadi kamu ngomong apa?" Kristal mengalihkan pembicaraan, dia meraih berkas di meja dan membacanya dengan cepat. Dia sama sekali tidak bisa memahami apa isinya.
Dion menghela napas. Jika saja bukan Kristal, Dion pasti sudah memaki wanita di depannya ini, wanita yang menggantungkan hubungan tanpa kejelasan pasti. Putus tidak, lanjut pacaran pun tidak. Kristal akan baik sekali padanya seolah-olah mereka adalah pasangan saat wanita itu berekspresi seperti ini. Tapi tampaknya, hari ini tidak akan sama. Entah ada apa dengan wanita itu.
Dion mengalihkan perhatiannya dari wajah Kristal, dan mulai menjelaskan apa isi di dalamnya. Napas Dion terhembus pelan. "Jadi ini adalah laporan perkembangan in—"
Belum selesai Dion berbicara, pintu apartemen Kristal terbuka dari luar. Menampilkan sosok Rega yang begitu kacau dan dipenuhi kemarahan. Langkah pria itu begitu lebar, usai memindai seluruh penghuni ruangan.
"Rega ...," panggil Kristal seraya berdiri.
"Keluar!" Rega meraih lengan Dion dan menyeretnya keluar, tanpa mengindahkan Kristal.
"Tunggu-tunggu! Rega, ini ada apa? Aku sedang ada urusan pekerjaan dengan Kristal!" Dion menahan dirinya. Mencoba melepas cengekraman Rega juga mengamankan laporan yang dia susun susah payah.
Rega berhenti, menatap Dion lekat-lekat. Tajam dan mengerikan. "Aku ada urusan hati dengan Kristal! Dan itu lebih penting dari kertas-kertas sialan ini!"
Tanpa aba-aba, Rega menyentak tubuh Dion hingga terpelanting. Dengan kasar, tubuh besar Dion diseret sampai ke depan pintu, sebelum Rega mendorongnya keluar.
"Ga!" Kristal berteriak melihat betapa kasar sikap Rega saat marah. "Kenapa kamu kasar sama pegawaiku? Kamu kalau cemburu jangan main kasar begini. Aku tidak suka caramu, ya!"
Rega berbalik setelah menutup pintu. Matanya tajam menghujam Kristal.
"Kalau begitu kita pakai caramu!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!