Bintang Kejora Azzikra sering dipanggil Bintang atau lebih akrab dengan mana kecilnya—Bia. Bintang adalah sosok gadis ceria dengan tutur kata yang lembut. Ia memiliki wajah yang cantik, senyum yang manis dengan tambahan lesung pipi di salah satu pipinya, dan mata hazel yang mampu meluluhkan hati setiap lelaki yang melihatnya. Namun ia gadis yang tak tersentuh, karena ia selalu bersikap jutek dan cuek pada setiap laki-laki yang mendekatinya.
Sekarang Bintang sudah berusia 21 tahun dan sebentar lagi akan menyandang status sebagai istri dari Langit Abhivandya—pewaris kekayaan keluarga Abhivandya.
Keluarga Abhivandya sangat terkenal dan berpengaruh di kota Jakarta, karena merupakan pengusaha yang bergerak di bidang industri—dengan aset mencapai 177 miliar dollar AS atau sekitar Rp 2.550 triliun.
Bintang sudah menjalin hubungan asmara dengan Langit selama 3 tahun. Berawal dari pertemuan mereka di mansion utama keluarga Abhivandya, yang saat itu sedang mengadakan pesta kedatangan Langit setelah study di luar negeri sekaligus pengukuhannya sebagai pewaris dan menjadi CEO Perusahaan ABVY. Industries Group.
Langit adalah lelaki tampan dengan bentuk tubuh yang ideal. Ia memiliki rahang kokoh dengan pandangan mata yang tajam, didukung oleh warna mata yang sekelam malam dan alis tebalnya. Langit menjadi tipe calon suami semua wanita di dunia. Tapi ia memiliki sifat cuek, kaku, tidak tersentuh dan dingin pada orang sekitarnya. Meskipun begitu, Langit berhasil takluk dengan pesona Bintang saat itu.
Pertemuan Langit dan Bintang tidak berakhir setelah pesta itu selesai begitu saja, tetapi pertemuan mereka terus berlangsung. Sebab Bintang selalu datang ke mansion utama keluarga Abivandya karena ia yang merupakan anak dari Asisten Ayah Langit sekaligus sahabat adiknya—Bunga Abhivandya. Kedekatan Bintang dengan Bunga, membuat ia selalu mengunjungi mansion utama keluarga Abhivandya sejak kecil.
Saat Langit memandang Bintang secara terus menerus, ia baru sadar jika Bintang memang sejak kecil selalu bermain di rumah utama Abhivandya. Ia mengingat tentang Bintang saat kecil. Di mana saat itu, ia selalu melihat interaksi antara Bintang dan Bunga yang sedang bermain di taman.
Langit hanya melihat mereka bermain dari kejauhan. Dan ketika ia berhadapan dengan Bintang kecil, ia selalu bersikap dingin dan tidak bersahabat pada Bintang. Tapi entah kenapa, saat Langit melihat Bintang kembali setelah sekian lama berpisah, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Langit tertarik dengan Bintang. Dan ia tidak bisa menampik perasaan yang ada di hatinya. Bahkan ia merasa sangat tidak senang saat melihat Bintang cuek padanya—seperti dulu ia memperlakukan Bintang kecil.
Ketertarikan Langit berubah menjadi cinta, hingga ia memberanikan diri untuk meminta Bintang menjadi kekasihnya. Awalnya Bintang menolak Langit dengan alasan usia—Bintang yang berusia 18 tahun saat itu, dan Langit yang berusia 24 tahun. Tapi Langit tidak menyerah, bahkan ia meminta dukungan dari Asisten Ayahnya—Zidan Azhar yang merupakan Ayah dari Bintang. Bukan hanya itu, Langit juga meminta bantuan Bunga—adik sekaligus sahabat Bintang.
Sampai akhirnya, Langit berhasil membuat Bintang jatuh cinta padanya. Bahkan mereka bisa menjalin hubungan asrama dengan restu dua keluarga—keluarga Abhivandya dan keluarga dari Bintang.
******
Satu hari sebelum pernikahan, Bunga mengajak Bintang—sahabat sekaligus calon kakak iparnya—untuk melakukan perawatan spa di salon.
Dengan posisi badan yang masih berbaring tengkurap, Bintang menikmati beberapa pijatan di punggungnya. Ia membuka matanya perlahan seraya mengedarkan pandangannya mencari sosok sahabatnya.
“Mbak, sahabat saya yang tadi di sana. Di mana yah?” tanya Bintang pada pelayan sambil menunjuk ke sampingnya—tempat Bunga terakhir terlihat.
“Terakhir saya lihat, Nona itu pergi ke arah toilet, Nona.”
“Oh,” jawab Bintang mengangguk paham. Saat ini perasaan Bintang benar-benar nyaman. Bahkan ia sudah tertidur hingga melupakan Bunga yang sudah menghilang di sampingnya. Tapi setelah mendengar jawaban pelayan, ia kembali menutup matanya guna menikmati sentuhan pijatan di punggungnya.
Pikiran Bintang perlahan melayang pada pernikahan yang sebentar lagi akan terjadi. Tinggal menunggu satu hari lagi, sampai akhirnya ia akhirnya bisa beralih status menjadi seorang istri.
Pernikahan ini adalah pernikahan yang sangat diharapkan Bintang, karena ia akan menjadi istri dari laki-laki yang ia cintai dan mencintainya. Laki-laki yang selalu memberi kebahagiaan padanya—Langit.
Bintang sangat yakin, Langit akan mewujudkan pernikahan impiannya. Pernikahan yang selalu menjadi mimpi setiap wanita. Pernikahan yang akan selalu menjadi alasan senyumnya, bersama dengan anak-anaknya kelak.
“Aku tidak sabar menunggu hari esok, dimana aku menggenggam tanganmu sebagai suamiku, Mas. Aaaaah.... I love you, Mas Langit. Aku sangat mencintaimu. Dan aku berjanji, akan menjadi istri yang baik dan berbakti. Hehehe,” batin Bintang berteriak sambil senyum-senyum sendiri. Bahkan wajahnya sekarang sudah merona malu karena membayangkan hal yang akan ia lakukan saat menjadi istri.
“Aku sepertinya sudah mulai gila karena cinta,” ucapnya lirih seraya mengusap wajahnya yang merona.
Ketika hayalan Bintang masih berlabuh pada pernikahan yang akan terjadi besok, lamunan itu akhirnya harus buyar saat mendengar suara dering ponsel di atas nakas tempat ia berbaring.
Bintang mengangkat panggilan masuk yang ternyata dari Bunga. Ia mendudukkan tubuhnya setelah mengambil selimut untuk menutup tubuh atasnya.
Bintang memberi kode tangan, pada pelayan yang memijatnya untuk pergi. Lalu berkata pada sambungan telepon, “Halo, Nga? Lama banget di toiletnya?”
“Bi, aku sekarang di mansion utama. Tadi aku ingin kasi tau kamu. Tapi aku liat, kamu kayaknya capek banget sampai ketiduran, sakin nikmatnya dipijit. Jadi, aku langsung pergi. Maaf yah,” jawab Bunga cepat dengan nada menyesal.
“Oh, gitu. Nggak apa apa kok, Nga. Lagian aku juga yang salah, karena ketiduran,” Bintang meringis malu karena kelakuannya yang tidak sengaja tertidur “Kalau gitu, aku pulang yah, Nga? Kamu enggak ke sini lagi ‘kan?”
“Enggak, Bi. Soalnya ada sedikit masalah di sini. Makanya tadi aku buru-buru banget,” jawab Bunga dengan suara berbisik dan nampak cemas.
“Masalah apa, Nga?” tanya Bintang mengerutkan keningnya. Ada rasa penasaran dalam benak Bintang sekaligus khawatir mendengar suara bisikan sahabatnya itu.
“Eh..., itu..., emm—” Bunga mengerjap gugup.
“Apaan sih? Besar banget yah masalahnya? Sampai-sampai, kamu gugup gitu kedengarannya.”
“Itu, Bi. Kak Langit—” Bunga menghentikan ucapannya sambil melihat ke arah Langit dan beberapa orang yang membuatnya gugup untuk memberi tau Bintang.
"Jangan buat aku penasaran Nga. Bicara yang jelas dong," sungut Bintang yang sudah mulai kesal.
Bunga menghembuskan hafasnya dalam-dalam, kemudian melanjutkan ucapannya dengan terbata-bata dan setengah berbisik, “Kak Langit— Bi..., itu. Kak Langit marah-marah dan merusak— aaaa,” teriak Bunga di seberang sana disertai suara pecahan guci di lantai.
“Nga? Kamu kenapa? Nga? Bunga!” teriak Bintang, tapi ternyata sambungan teleponnya sudah terputus.
“Akh..., sial!” umpat Bintang saat mencoba menghubungi Bunga, tapi tidak mendapat jawaban. "Sebenarnya apa yang membuat Mas Langit marah? Dan apa yang dia rusak?" batinnya bertanya-tanya seraya mengambil sling bagnya dan memasukkan ponselnya di sana. Ia juga mengambil pakaiannya dan segera memakainya.
Bintang berlari keluar, tetapi saat sampai di depan gedung perawatan, seseorang menarik tangannya.
"Ck, pengganggu... " batinnya dan terpaksa harus berhenti.
***
“Bi,” panggil laki-laki yang memegang tangan Bintang.
Bintang menarik tangannya dari genggaman laki-laki itu itu. Ia menatap laki-laki yang memanggilnya tanpa menghilangkan raut wajah cemasnya. Lantas berkata, “Maaf Harry, aku sedang terburu-buru.”
“Mau kemana, Bi?” tanya laki-laki yang bernama Harry seraya mengamati wajah khawatir Bintang.
“Aku mau ke Mansion Mas Langit. Aku pergi du—” ucap Bintang cepat tapi segera dipotong Harry.
“Kalau begitu, biar aku antar. Lagian, aku juga mau ke sana.” tawar Harry tersenyum. “Calon istri Tuan Langit pasti mau menemui calon suaminya ‘kan?” tambah Harry menggoda.
“Apaan sih. Aku mau naik mobil sendiri. Lagi pula aku bawa mobil ke sini kok,” tolak Bintang secara halus.
“Tapi—”
“Bye, Harry.” Bintang melambaikan tangannya dan melangkah menjauh dari Harry.
"Ck," decak Harry yang melihat punggung Bintang sambil menarik sudut bibirnya—tersenyum miring. Melihat sudah tidak ada bayangan dari Bintang, ia pun pergi meninggalkan tempat itu dengan seringai yang tidak lepas dari bibirnya.
Sedangkan bintang, setelah sampai di parkiran, ia segera masuk ke dalam mobilnya. Mengendarai mobil dengan kecepatan 100 km/jam. Hati dan pikirannya sekarang sedang kalut. Kekhawatiran menggerayangi relung hatinya. Pikirannya selalu tertuju pada pernikahan dan calon suaminya—Langit.
Membutuhkan waktu 2 jam untuk sampai ke mansion utama keluarga Abivandya, dari tempat Bintang dan Bunga melakukan perawatan spa.
“Sial, kenapa perawatannya jauh banget sih.” geram Bintang memukul setir mobilnya.
Bintang sudah melajukan mobilnya sekitar tiga puluh menit. Dan mungkin, ia akan sampai di mansion utama sekitar tiga puluh menit lagi. Ia Mencoba fokus mengendarai mobilnya meski pikirannya kalut.
KRING... KRING.
Tiba-tiba ponsel Bintang berdering. Bintang yang mendengarnya, segera mengambil ponselnya di dalam sling bagnya.
Tanpa melihat nama yang tertera di panggilan teleponnya, Bintang langsung menyambar, “Aku akan ke sana sekarang, Nga. Jelasin apa yang terjadi sebenarnya. Jangan buat aku khawatir. Aku sekarang, sedang di jalan. Tung—” suara tegas di seberang telfon menghentikan ucapan Bintang.
“Mau ke mana kamu?” sahut pria di seberang telfon dengan menekan pertanyaannya.
Bintang menginjak rem secara mendadak hingga berbunyi decitan ban yang beradu dengan aspal. Lalu melihat nama panggilan di ponselnya dan bergumam lirih, “Papa....”
Untungnya jalanan sedang sepi, jadi tidak ada kendaraan di belakang mobil Bintang yang melaju.
“Iya, ini Papa! Pulang ke rumah sekarang! Jangan ke mana-mana selain rumah!” perintah Papa Zidan—alias Ayahnya Bintang.
“Ada apa, Pa?” tanya Bintang dengan kerutan di dahinya.
“Jangan banyak tanya! Pulang sekarang! Dan jangan bawa mobil dengan kecepatan penuh!” tukas Papi Zidan.
“Tapi—”
“Pulang!” seru Papa Zidan memotong ucapan putrinya seraya mematikan sambungan teleponnya.
“Kenapa Papa terdengar sangat emosi?" batin Bintang bertanya-tanya dengan wajah bingung. Bintang sangat mengenal Papa Zidan jika sedang dilanda masalah berat. Papanya itu pasti akan bersikap keras padanya, seperti nada suara yang terdengar di seberang telepon tadi.
Bintang segera membalikkan arah kendaraannya menuju rumahnya. Meski pikirannya masih berlabuh pada kekhawatirannya terhadap sang kekasih, tetapi ia juga tidak bisa menampik kegelisahan yang merundung hatinya setelah mendengar ucapan sang Papa.
“Kenapa aku begitu gelisah setelah mendengar panggilan telepon dari Papa? Dan kenapa juga, Papa melarang ku ke mana-mana selain rumah?” batinnya kalut dengan pikiran bercabang.
Bintang mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, ia melihat kembali ponsel yang digenggamnya—di sana sudah tertera pukul 17:00.
“Seharusnya jam segini, Papa masih di mansion Daddy Alam. Papa ‘kan biasanya pulang jam setengah tujuh malam. Lalu kenapa tiba-tiba, jam lima sore sudah pulang yah?” Bintang bermonolog sendiri dengan pikirannya dan mulai sadar ada yang ganjal di sini.
Zidan Azhar adalah Asisten Pribadi Tuan Alam Abhivandya—Ayah dari Langit. Setiap hari, Papa Zidan selalu berada di mansion utama keluarga Abhivandya dari jam delapan sampai jam setengah tujuh malam.
“Apa marahnya Papa, berhubungan dengan kemarahan Mas Langit?” batin Bintang seraya menambah kecepatan mobilnya menjadi 80 km/jam. Hingga dalam 15 menit, Bintang sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Ia menekan klakson dan memasukkan mobilnya setelah satpam membuka gerbang.
Bintang keluar dari mobilnya, lalu memberi kunci mobil kepada Security untuk diparkir.
Saat memasuki pintu utama, Bintang sedikit terkejut dengan pemandangan di depannya. Terlihat di ruang keluarga, Papanya sedang memukul beberapa pengawal.
“Papa... ada apa ini, Pa?” teriak Bintang segera mendekat pada Papa Zidan.
Papa Zidan menoleh setelah mendengar teriakan putri kesayangannya. Lantas menepuk kedua tangannya dan mendudukkan dirinya di sofa, mengayunkan salah satu tangannya ke udara sebagai kode untuk beberapa pengawal di depannya agar pergi.
Papa Zidan menatap wajah Bintang yang menatapnya penuh tanda tanya. Ia dengan kaki yang bertumpu satu sama lain dan melipat kedua tangannya di depan dada, menghembuskan nafas kasar. Rahang pria paru baya yang sudah berusia 50 tahun ini nampak mengeras karena menahan emosi.
“Papa hanya sedang bermain-main. Kamu tau maksud, Papa ‘kan?” Papa Zidan berkata dengan penuh penekanan seraya menaikkan salah satu alisnya.
Bintang yang mendengarnya meringis ngeri dan bertanya dalam pikirannya, “Apa yang membuat Papi begitu marah seperti ini?” sebab ia sangat tau watak Papanya yang lembut, baik, dan ramah, namun akan berubah sangat kejam saat marah.
“Hey, malah melamun. Sini kamu!” perintah Papa Zidan mengejutkan Bintang. Ia menepuk sofa di sampingnya.
Bintang segera duduk di sofa—samping Papa Zidan. Ia memeluk lengan Papa Zidan dengan manja agar tidak terkena amukan sekaligus cara untuk menenangkan hati Papa Zidan yang dilanda emosi.
”Papa kenapa sih?” tanya Bintang dengan lembut sambil mengusap lengan Papanya guna menenangkan emosi Papa Zidan.
“Ini semua karena Laki-laki baji*gan itu!” desis Papa Zidan merangkul pundak Bintang sebagai membalas pelukan anak sematawayangnya.
Bintang yang mendengar jawaban Papi Zidan mengerutkan keningnya di dalam dekapan sang Ayah. Dalam hati bertanya tentang siapa laki-laki yang dimaksud baji*gan oleh Papanya. Tapi ia tidak ingin menanyakan langsung tentang siapa laki-laki itu. Ia ingin Papanya sendiri yang akan mengatakan semua padanya.
“Papa tenang dong. Terus, ceritain sama Bia. Kok bisa emosi banget kayak gini sih,” rengek Bintang menyebut dirinya Bia—panggilan akrabnya.
“Papa enggak sanggup cerita sama kamu, Nak. Papa enggak sanggup lihat Bia sedih,” lirih Zidan memeluk erat putrinya dengan mata yang perlahan berubah menjadi sendu dan mulai berkaca-kaca.
Bintang kaget mendengar suara lirih Papa Zidan. Ia mencoba melepaskan pelukannya, melihat mata Papi Zidan dengan pikiran penuh tanya. Karena yang ia lihat adalah sebuah kesedihan yang sangat dalam di sana. Ia tidak bisa melihat tatapan mata itu, hingga ia menangkup pipi Papa Zidan dan berkata, “Bia lebih enggak sanggup, lihat Papi kayak gini.” Bintang melepas tangannya dari pipi Papa Zidan dan beralih menggenggam tangannya. "Maafin Bia, Pa. Kalau Bia buat Papa jadi sedih begini,” imbuh Bintang kembali memeluk Papa Zidan yang langsung membalas pelukannya.
Sesaat hanya keheningan yang tercipta dari pelukan itu, hingga suara Papa Zidan memecahkan keheningan.
“Maaf..., Papi gagal menepati janji Papi sama Almarhumah Mama kamu.” Papa Zidan mengusap surai kecoklatan milik Bintang. Sedangkan bintang tetap diam dalam pelukan hangat Papanya meski ia sangat bingung dengan ucapan Papa Zidan.
.
.
.
.....
Papa Zidan mengingat janjinya pada Almarhumah Istrinya yang meninggal saat Bintang masih berusia lima tahun. “Papa pernah berjanji pada mamamu, akan membuat Bia bahagia. Dan tidak akan membiarkan satu orang pun menyakiti Bia, meskipun dia—” tutur Papi Zidan dengan perasaan menyesal.
“Bia bahagia kok, Pa. Bia baik-baik aja,” potong Bintang.
Papi Zidan melepaskan pelukan erat itu, kemudian menatap wajah Bintang yang tersenyum dengan mata hazel berbinar yang mencoba meyakinkan Papi Zidan—kalau semuanya baik-baik saja. Ia menyentil dahi Bintang hingga Bintang meringis sambil mengusap dahinya. “Aw, Ish..., Papa. Sakit tau,” protesnya.
“Makanya kalau orang tua ngomong, jangan di potong kayak gitu. Papa belum selesai jelasinnya,” tegur Papa Zidan berdecak kesal dengan sikap anaknya.
“Maaf lagi,” balasnya sambil mencubit kedua telinganya dan sedikit tersenyum malu.
“Udah Papa maafin. Sekarang, Papa mau ngomong sesuatu yang sangat penting untuk Bia. Ini menyangkut masa depan Bia. Dan Papa harap, Bia kuat dan bisa menerima ini semua.” Zidan mengambil tangan Bintang dan meletakkan ke dalam menggenggamnya. Ia menatap seraya salah satu tangannya mengusap dahi Bintang yang berkerut karena bingung dengan maksud ucapannya.
“Papa mau bilang apa sih? Langsung aja, Pa. Papa tidak perlu khawatir, Bia ini perempuan kuat, kebanggan Mama." Bintang menarik tangan Papa Zidan dari dahinya.
Papa Zidan menghembuskan nafas kasar. Bukan ini yang ia inginkan. Ia takut menghancurkan harapan dan mimpi putrinya. Ia takut menyakiti putrinya dengan kabar buruk yang akan ia ungkapkan. Tapi ia juga tidak bisa membuat putrinya tidak mengetahui apapun—terlebih ini menyangkut kehidupan putrinya.
Papi Zidan menggenggam erat tangan Bintang, menatap mata hazel putrinya sekilas. Lalu memejamkan sekilas matanya dan berkata dengan berat hati, “Besok kalian tidak jadi menikah.”
Bintang membeku dengan mata melotot tidak percaya mendengar perkataan Papa Zidan. Ia merasa ucapan itu adalah sebuah lelucon. Karena menurutnya itu tidak akan mungkin terjadi. Tapi tetap saja saat mendengarnya, ia sangat terkejut. Ia mencoba memastikan apa yang ia dengar. Matanya mengerjap dan menatap mata hazel yang mirip dengan matanya. “Papa pasti bercanda,” kekeh Bintang dengan tertawa kecil. Ia mencoba menampik kenyataan yang ia dengar. “Enggak lucu tau, Pa,” imbuhnya melepaskan genggaman tangan Papa Zidan dan mengalihkan tatapannya ke arah lain.
“Tapi sayangnya, Papa sama sekali tidak bercanda Nak,” tekan Papi Zidan seraya mengambil kembali tangan putrinya itu.
Bintang menepis tangan Papi Zidan. Menutup rapat mulutnya dengan perasaan sakit yang perlahan menjalar di hatinya saat mendengar jawaban menekan dari Papa Zidan. Ia menatap langit-langit, lalu menatap Papa Zidan dengan mata yang menahan buliran air mata.
“Nak, kamu harus kuat. Papa akan selalu ada untuk kamu, Nak.” Papa Zidan memegang kedua pundak Bintang dan menarik Bintang perlahan ke dalam pelukannya. Ia tidak sanggup melihat putrinya seperti ini. Ada kepedihan dan kekecewaan dari mata putrinya, dan Papa Zidan bisa lihat itu di mata sang putri.
“Bilang sama Bia, kalau Papa bohong. Mas Langit—enggak akan mungkin membiarkan pernikahan ini batal ‘kan?” terang Bintang pelan dan terbata-bata, tapi masih mampu didengar oleh Zidan.
“Papa tidak bohong, Nak. Bahkan Langit sendiri yang meminta pembatalan pernikahan kalian,” ungkap Zidan dengan suara melemah yang membuat Bintang merasakan sesuatu yang secara perlahan menusuk jantungnya.
Bintang menenggelamkan kepalanya lebih dalam—ke dada Papanya. Rasa sesak yang menyeruak di dalam hatinya, membuat genangan air mata yang akhirnya membanjiri pelupuk matanya. Merapatkan bibirnya tidak percaya, jika Langit mampu melakukan ini padanya.
"Kenapa, Pa? Mengapa Mas Langit membatalkan pernikahan kami?" tanyanya pelan.
"Tanpa alasan, sayang. Baji*gan itu tidak memberi tau Papa alasannya," jawab Papa Zidan dengan amarah membayangkan wajah Langit. “Maafkan Papa yang tidak bisa menjagamu dari Laki-laki bajingan itu,” gumam Papa Zidan seraya mengelus surai milik Bintang.
Bintang mendengar gumaman Papanya, tidak bisa untuk membalas. Apalagi saat mengetahui bahwa Langit membatalkan pernikahan mereka tanpa alasan. Kenyataan itu sungguh sangat melukai perasaannya. Saat ini mulutnya tak bisa berucap, karena hanya keluar isak tangis. Ia menggigit bibir bawahnya, menekan dadanya yang sesak dengan salah satu tangannya, dan tangan satunya juga yang meremas punggung kokoh yang mendekapnya.
Papa Zidan merasakan tangan Bintang yang meremas punggungnya, segera memperdalam pelukannya agar putrinya dapat menyalurkan perasaannya. Menenangkan hati yang saat ini pasti merasa sangat terluka.
“Bu—bukan salah, Papa,” balas Bintang terbata-bata setelah merasa sedikit tenang, meski masih terdengar isakan tangisnya.
“Papa tau setelah mendengar kabar ini, kamu pasti sangat sakit hati. Tapi Papa mohon, jangan menyakiti diri kamu.” Hanya itu harapan Papa Zidan, karena ia sangat takut dengan kemungkinan putrinya akan melukai tubuhnya.
Papa Zidan menarik Bintang keluar dari pelukannya. Ia menatap mata sembab yang di banjir air mata itu dengan pandangan sendu. Ia sudah menebak ini akan terjadi setelah ia mengungkapkan pembatalan pernikahan ini. Dan itu lah yang membuat ia sangat marah pada Langit, karena membuat putri kesayangannya sampai seperti ini. Bahkan sekarang dalam hatinya selalu mengumpat Langit atas semua perbuatannya.
Papa Zidan mengusap air mata Bintang. Menempelkan kedua tangannya di pipi Bintang. Hatinya begitu sakit, melihat kepedihan di mata putrinya.
“Papa harap kamu kuat, Nak. Putri Papa adalah orang yang kuat. Papa yakin itu.” Zidan menatap Bintang dengan binar yakin untuk menguatkan putrinya itu. “Kamu boleh minta apa saja sama Papa. Asalkan itu mampu membuat kamu kuat, dan mengurangi sakit di hati kamu Nak,” pinta Papa Zidan.
Bintang tidak menjawab dan hanya menatap Papanya dengan mata yang memerah karena tangis.
Sedangkan Papa Zidan berusaha untuk membujuk putrinya agar tidak menangis lagi. “Papa enggak mau putri Papa menangis, hanya untuk laki-laki bajingan itu. Asal kamu tau, Nak. Melihatmu terpuruk begini, Mamamu di atas sana pasti marah banget sama Papa dan pasti juga akan bersedih,” sambungnya seraya mengusap surai kecoklatan milik Bintang. “Kamu tidak mau membuat Mamamu di surga, bersedih ‘kan?"
Bintang menggeleng sebagai jawaban. Ia sangat menyayangi mamanya yang di surga. Meski ia hanya memiliki sedikit kenangan bersama dengan mamanya.
Mendapatkan jawaban itu, Papa Zidan kembali berkata dengan lembut, “Kalau begitu, kamu tidak boleh menangis dan kamu harus kuat. Kamu bisa kan, Nak?” Papa Zidan menatap penuh harap pada anaknya. Berharap anaknya mau mendengarnya tidak bersedih lagi.
Bintang menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk paham. Ia menerbitkan senyuman palsu di wajahnya. “Papa tenang saja, Bia kuat.” Bintang memeluk Papi Zidan untuk menutupi perasaannya. Ia memejamkan matanya di sana untuk menekan sakit hatinya.
Setelah beberapa saat, Bintang melepaskan pelukan dan menampilkan senyuman paksa. Lalu berkata, “Bia ke kamar dulu, Pa. Bia capek banget.”
“Iya, Nak. Ingat! Kamu harus kuat! Papi selalu ada untuk kamu, Nak! Jangan menyakiti diri sendiri,” nasihat Papa Zidan dengan penuh penekanan dan mata sayu menatap sang putri.
“Iya, Pa.” Bintang berlalu pergi meninggalkan Papa Zidan yang menatapnya dengan perasaan sendu. Ayah mana yang mau anaknya terluka? Tidak ada bukan?
Setelah melihat Bintang menghilang dari pandangannya, Papa Zidan langsung mengambil ponsel dari saku celananya. Menekan nomor telepon seseorang di sana, lalu mendekatkan ponselnya ke telinga.
Sambungan telepon itu berdering, sampai berubah menjadi suara pria di seberang sana. Papa Zidan menekankan kata-katanya kepada orang itu, "Saya hanya berharap, tidak ada penyesalan yang terjadi seperti di masa lalu, Tuan."
Setelah panggilan telepon itu terputus, Zidan meletakkan ponselnya di atas meja. Ia menarik napas, lalu dihembuskan dengan kasar. Perlahan ia membaringkan tubuhnya ke sofa dan memijat dahinya yang terasa ngilu. Jika perasaannya saja saat ini kacau, lalu bagaimana dengan putrinya itu. Zidan tidak habis pikir dengan keputusan Langit untuk membatalkan pernikahan ini, bahkan tanpa alasan yang jelas.
"Kenapa ini harus terjadi pada putriku, Tuhan?" batinnya seraya memejamkan mata.
******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!