NovelToon NovelToon

Mohabbat

Pertemuan Tak Terduga

Di sebuah jalanan lurus, licin, lagi sepi, dua buah mobil saling berkejaran satu sama lain. Ban yang berputar cepat di atas aspal, terkadang menyemburkan genangan air yang menggenang karena hujan. Deru suara mobil, berbaur dengan suara gemuruh dari langit. Air dan angin seolah-olah bersatu untuk memporak-porandakan apa-apa yang dilewati.

Termasuk keangkuhan manusia.

Mobil putih di depan tak ingin mengalah, begitu pula dengan warna hitam di belakangnya. Berputar cepat menyusul keunggulannya.

"Sial!" umpat si pengemudi mobil putih ketika rivalnya berhasil menyusul.

Ia membanting setir menghindari tabrakan, menginjak pedal gas semakin dalam. Akan tetapi, mobil hitam di belakangnya tetap mampu menyeimbangkan kecepatan. Dua benda cepat itu berdampingan, tak ingin mengalah satu sama lain.

"Kau harus mati!" katanya.

Mata setajam elang itu memicing penuh bara dendam. Teringin melahap mangsa yang sudah sekian hari diincarnya.

"Kali ini kau harus mati dan jangan pernah kembali lagi," gumamnya lagi sembari melirik pengemudi mobil putih yang berada di samping kirinya.

Pengemudi itu membanting setir ke kiri, menabrakkan mobilnya pada mobil putih yang berada di tepi. Pembatas jembatan yang tak seberapa itu tak dapat menghalanginya dari terjangan takdir.

Mobil itu terjun melayang dari atas jembatan dan mendarat di atas air. Sungai besar dengan arusnya yang kencang, membawa mobil itu hanyut bersama pengemudinya. Terus tenggelam hingga ke dasar karena air sungai yang terus masuk melalui celah mobil, memenuhinya sehingga menambah beban berat benda tersebut.

*****

Esok pagi yang cerah, di sebuah perkampungan pinggir sungai, dua orang gadis sedang asik bercengkerama di sebuah kebun bunga milik mereka. Beraneka macam bunga tumbuh di ladang seluas setengah hektar itu.

Keduanya memetik bunga sambil berbicara tentang takdir mereka yang masih rahasia. Berbicara soal pemuda yang datang membawa lamaran untuk meminang salah satunya.

"Tapi apa ada yang mau menikah dengan gadis buta sepertiku?" Kalimat bernada putus asa itu terucap lirih dari bibir manis salah satunya.

Si gadis kecil menghampiri dan memeluk tubuhnya, menjatuhkan dagu di pundak sang kakak yang amat dia sayangi.

"Jangan begitu, aku yakin suatu hari nanti pasti akan ada pemuda yang bisa mencintai Kakak dengan tulus apa adanya. Kita tidak pernah tahu takdir apa yang sedang menunggu kita di depan, bukan?" katanya yang terdengar manis di telinga kakak si Gadis Buta.

Ia tersenyum, menambah seri di wajahnya yang ayu. Gadis berwajah oval dengan garis alis yang sempurna itu bersyukur di sisinya seorang gadis kecil selalu menghangatkan hati. Ia mengangguk pelan, berharap doa itu akan sampai menyentuh langit ke tujuh.

Gadis kecil itu berlari meninggalkan sang kakak, memetik bunga di bagian lainnya. Meski meraba-raba, tapi ia mampu membedakan bunga-bunga yang tertanam di kebun itu. Langkahnya berlanjut menyusuri setiap bunga yang siap dipanen dan dijajakan di lapak mereka.

Namun, langkah itu terhenti disaat menabrak sesuatu. Ia berjongkok meraba-raba benda yang menghalangi kakinya itu. Mata itu membelalak terkejut saat kulit tangannya menyentuh bagian-bagian dari tubuh manusia.

"Laila! Di mana kau? Cepat kemari!" teriaknya bergetar.

Ia beranjak sambil memegang erat-erat tongkat di tangan. Gemetar tangan dan kakinya, telinga awas mendengar langkah kaki si gadis kecil, kepalanya menoleh kian kemari dengan gelisah.

"Ada apa, Kak? Kenapa Kakak berteriak?" tanyanya segera.

Tangan gadis buta itu terangkat, gemetaran ia menunjuk tempatnya menemukan sesosok mayat ... ah, entahlah apakah itu mayat ataukah manusia hidup.

Laila melongo dari balik tanaman bunga yang menghalangi. Sontak kedua tangannya menutup mulut dengan mata membelalak kaget melihat sesosok tubuh tergolek di tepi kebun bunga mereka.

"A-apakah i-itu m-m-mayat?" tanya si Gadis Buta gagap. Jemarinya meremas ujung tongkat gelisah, bibir merah alami itu berkedut-kedut menahan rasa yang bergetar.

Laila memberanikan diri mendekati sosok itu, menempelkan dua jari di lubang hidungnya. Ia semakin dibuat terkejut, napasnya masih terasa meskipun lemah.

"Dia masih hidup, Kak. Masih bernapas," pekik Laila dengan mata membelalak.

"A-apa? Kau coba panggil seseorang untuk membantunya," pinta gadis tersebut pada Laila.

"Aku tidak akan meninggalkan Kakak sendirian, bagaimana jika dia hanya berpura-pura saja? Setelah aku pergi, dia terbangun dan melakukan sesuatu pada Kakak?" sungutnya sambil melirik tajam pada laki-laki yang terkapar di tanah.

Gadis buta itu menghela napas, selalu dan selalu adiknya itu berbicara demikian saat di dekat mereka ada sesuatu yang asing.

Laki-laki itu melenguh, matanya berkedip hendak terbuka.

"Air! Aku mau air!" katanya dengan suara yang parau.

"Ambil air cepat!"

Laila bergegas mendatangi sungai dan mengambil air menggunakan daun. Diberikannya air tersebut pada pemuda tadi, setelah sang kakak membantunya duduk.

"Siapa kalian? Kenapa aku ada di sini?" tanyanya bingung sambil memegangi kepala.

"Kami tinggal di sekitar sini. Maaf, Anda siapa? Dan kenapa bisa sampai tidur di sini? Pakaian Anda juga basah dan robek, apakah Anda terhanyut di sungai?" tanya si Gadis Buta dengan suaranya yang merdu.

Laki-laki itu membuka mata, menatap wajah cantik di depannya. Ia mengernyit ketika mata indah miliknya justru mengarah pada yang lain.

Laila memperhatikan dengan geram, dia akan langsung meninjunya saja jika bertanya soal kondisi mata sang kakak. Akan tetapi, laki-laki itu justru berbalik tanpa mengatakan hal yang tak mengenakan itu.

"Aku tidak tahu, aku tidak tahu apa-apa," katanya menyesal.

"Namamu? Apa kau ingat siapa namamu?" tanyanya lagi.

"Tidak, aku bahkan tidak bisa mengingat namaku. Mmm ... boleh aku menumpang di rumah kalian sampai keadaanku pulih? Setelah itu, aku akan pergi. Aku berjanji," pinta laki-laki itu menatap bergantian dua wanita cantik yang menolongnya.

"Baiklah, tidak masalah. Rumah kami tak jauh dari sini, apa kau bisa berjalan sendiri?" sahut si Gadis Buta dengan kemurahan hatinya.

"Kakak, dia orang asing. Kita tidak tahu apa tujuannya datang, bagaimana jika dia berbuat jahat kepada kita?" tolak Laila keberatan.

Gadis buta itu tersenyum, membuat hati si laki-laki berdenyut.

"Tidak apa-apa, lagipula Kakak pikir dia pasti terluka. Setidaknya kita bisa menolong dia mengobati lukanya, bukan?"

Laila mendengus.

"Mmm ... jika kau tak ingat siapa namamu, bagaimana jika kami memberimu nama Al?" saran gadis itu.

Ia berpikir dan setuju, "Tidak buruk."

"Baiklah, Al. Bagaimana jika kita pergi sekarang, kami juga sudah selesai memetik bunga," ajak si Gadis Buta sambil beranjak.

Ia membantu Al untuk berdiri, sedangkan Laila mendengus tak suka. Cemas dengan kebaikan sang kakak yang tak pernah pandang bulu. Gadis buta itu bahkan menuntun Al di perjalanan menuju rumah mereka.

Al terenyuh, hatinya menghangat dengan kebaikan si Gadis Buta yang sedang memegang tangannya. Lembut terasa, gelenyar aneh menelusup dalam setiap denyut nadi dan menyalakan rasa yang tak pernah bersinar.

Dia gadis yang baik, pantas saja gadis kecil di sana amat mengkhawatirkannya.

Al tersenyum, bersyukur dalam hati merekalah yang menemukannya.

"Siapa namamu?" tanya Al sesaat setelah mereka duduk di bale-bale depan rumah yang terbuat dari bambu.

Rumah sederhana hanya terbuat dari anyaman bambu. Sebuah rumah panggung yang sejuk dan asri, ada berbagai macam tanaman bunga yang tumbuh mengelilingi rumah tersebut.

"Daisha, panggil saja begitu," jawab si Gadis Buta sambil meletakkan keranjang yang berisi bunga.

"Laila, kamu susun bunga-bunganya, ya. Kakak mau buat teh dulu," pinta Daisha pada sang adik.

Ia melangkah sambil meraba-raba dinding rumah, Al menatap cemas pada setiap langkah yang diayunnya.

"Kakak kecelakaan dan kehilangan penglihatannya." Suara Laila yang tiba-tiba menyentak lamunan Al.

Laki-laki itu menoleh sambil mengernyitkan dahi. Lalu, kembali melongo ke dalam rumah untuk melihat kedatangan Daisha. Gadis itu buta, tapi ia tak salah arah melangkah meski di tangannya membawa nampan bersisi minuman.

"Silahkan diminum! Seadanya saja," katanya lemah lembut.

Sejak pandangan pertama, Al tak dapat mengalihkan mata dari sosok jelita yang duduk di hadapannya. Hatinya telah terpikat oleh kebaikan yang dilakukan Daisha.

Gadis itu bahkan tak segan mengobati luka di kakinya, membalutnya dengan hati-hati. Sungguh, meskipun ingin tertawa, Al harus menahannya.

"Terima kasih," tutur Al setelah Daisha selesai merapikan lukanya.

"Jangan sungkan." Daisha tersenyum, senyum yang menyentak hati Al. Senyum yang membuatnya tak dapat melepaskan sosok Daisha.

Sejak saat itu, hati Al terus berdenyut ketika berinteraksi dengannya. Apakah dia jatuh cinta?

****

Hai, hai, hai ... selamat datang di kisah terbaru author. Silahkan tinggalkan komentar, terimakasih banyak atas dukungannya.

Cemas

Kian hari Al dan Daisha kian dekat. Laki-laki itu kerap berjalan di belakang si Gadis Buta hanya untuk melindunginya. Sosoknya tak pernah jauh dari Daisha, terus menempel dan hal itu membuat Laila lega sekaligus cemas.

"Hati-hati, biar aku saja," sergah Al disaat Daisha hendak mengangkat keranjang bunga di kebun.

"Aku tidak apa-apa, Kak. Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan ini," ucap Daisha merasa sungkan dengan tindakan Al yang berlebihan menurutnya.

Panggilan ‘Kakak’ yang disematkan Daisha selalu memporak-porandakan jantungnya hingga berdebar-debar tak terkendali. Rona merah di pipi menyembul dengan sendirinya, rasa hangat ia rasakan sampai ke ulu hati.

"Ya, walaupun begitu, sekarang ada aku yang bisa membantumu. Jangan bekerja sendiri, biarkan aku berguna untuk membalas semua jasamu," tutur Al mengalihkan kegugupan. Yang sebenarnya, dia tak ingin Daisha bekerja terlalu berat.

Gadis itu tercenung mendengar penuturannya, apakah selama ini Al hanya membalas jasa? Kebaikan yang dia lakukan hanya sebagai tanda terima kasih kepadanya yang telah menolong.

Entah kenapa hati Daisha berdenyut nyeri, serasa ditikam sembilu. Ia menunduk, lekas berbalik melangkah lebih dulu meninggalkan Al yang masih bergeming di sana.

"Tunggu, Kak!" Suara Laila mencegah langkah Al yang hendak melangkah.

Laila menyelidik laki-laki di depannya, kedua tangan berkacak pinggang seperti seorang pengawal yang berhadapan dengan musuh tuannya.

"Ada apa?" Al menatap bingung.

"Aku perhatikan sepertinya Kakak ada maksud lain sama Kakak aku? Apa?" tuntut Laila sembari memicing.

"A-apa? Aku tidak memiliki maksud lain terhadap kalian," kilah Al gugup.

"Jangan bohong! Katakan apa tujuanmu mendekati Kakak? Katakan!"

Laila mencengkeram kerah baju Al dengan kuat. Tindakan Laila yang tak terduga, membuat kepala Al berdenyut.

"Argh!" Al memegangi kepalanya, merintih kesakitan.

Laila yang terkejut melepas cepat cekalan tangannya, gelagapan bingung dengan yang terjadi pada Al.

"Kepalaku ... sakit!" rintih Al semakin kuat memegangi kepalanya.

Lintasan peristiwa yang menampakkan orang-orang asing saling berdesakan di dalam kepala Al. Laila yang panik lekas mencari Daisha, dan menyeretnya ke tempat Al.

"Kenapa dengannya?" pekik Daisha terkejut mendengar rintihan Al yang kesakitan.

Ia berjalan ke depan sambil meraba udara, mencari-cari keberadaan Al. Dipegangnya kedua tangan laki-laki itu yang masih meremas rambut, rintihan dan deru napas yang memburu membuat Daisha tahu Al sedang tidak baik-baik saja.

"Kak, ada apa? Tenang, Kak! Tarik napas yang dalam!" ucap Daisha sambil meraba wajah Al yang berkeringat.

"Kepalaku ... ah, sakit! Kepalaku ...." Al kembali merintih. Bayangan orang-orang yang berseliweran di pikirannya terus mencuat ke permukaan.

Al menjerit sambil memberontak, tubuhnya jatuh berdebam bersama Daisha yang terkejut dan tak mampu mempertahankan keseimbangan kakinya.

"Kakak!" Laila memekik kaget, ia mendatangi mereka dan membantu Daisha beranjak dari tubuh Al.

Al berhenti menjerit, memburu udara dengan rakus demi mengurangi rasa sakitnya.

"Kak, kau tak apa? Apa sudah lebih tenang?" tanya Daisha dengan raut cemas di wajah.

Rasa sakit di kepalanya perlahan menghilang, Al terenyuh dengan kebaikan Daisha. Ia membuka mata memperhatikan wanita yang jatuh bersamanya itu. Napasnya masih tersengal, rasa pening masih dirasanya meski telah berkurang.

"Kau ... baik-baik saja?" tanya Al sedikit merasa bersalah.

"Aku baik, Kakak sendiri bagaimana?" Daisha dan Laila membantunya untuk duduk, ia menggelengkan kepala untuk menepis rasa sakit akibat ingatan yang tiba-tiba muncul.

Adegan di mana seseorang mencengkeram kerah kemejanya tampak jelas terlihat, hanya saja wajah orang tersebut tak terlihat.

"Aku tidak tahu, tiba-tiba saja kepalaku sakit," ucap Al sambil mengingat apa-apa yang baru saja menyambangi memorinya.

"Apa itu sebuah ingatan? Kakak sudah mengingat siapa dan dari mana Kakak datang?" serbu Daisha bergetar. Rasa cemas datang tiba-tiba, perlahan berubah menjadi ketakutan.

"Aku tidak tahu, apakah itu sebuah ingatan atau bukan," ucap Al lagi tidak tahu.

"Ya sudah, jangan dipaksa. Sebaiknya kita kembali ke rumah saja, hari juga sudah terik, pesanan bunga harus segera diantar," ucap Daisha sambil meraba-raba keberadaan tongkatnya.

Al meringis, tongkat itu patah mungkin membentur bebatuan di sana. Oh, itu hanya sebuah tongkat kayu yang seharusnya kokoh dan tak mudah patah.

"Tongkatmu patah," lirih Al penuh sesal.

Laila mendelik tak suka, menatap Al tajam dan penuh ancaman di saat laki-laki itu mendongak padanya.

"Tidak apa-apa, aku bisa membelinya lagi. Lagi pula itu hanya sebuah kayu, aku juga sudah hafal jalan ke rumah," sahut Daisha sembari beranjak dari tanah dan berbalik sendiri.

Ia bahkan menolak dituntun Laila, berjalan sendiri seolah-olah ingin membuktikan dia masih berjalan meskipun tanpa tongkat. Al meremas tongkat kayu tersebut, berjanji dalam hati akan menggantinya dengan yang lebih baik.

****

"Laila, kau jaga saja. Biar aku dan Daisha yang antar pesanan bunga ini," cegah Al disaat Laila hendak duduk di kursi kemudi.

"Iya, kau sudah bekerja keras selama ini. Kakak baik-baik saja, tetap di sini, ya," sahut Daisha dari dalam mobil.

Wanita itu berbicara, tapi pandangannya tetap ke depan karena percuma ia tak dapat melihat.

"Ya sudah." Laila bersungut-sungut.

"Hati-hati, kau harus tetap waspada pada orang asing yang datang. Kakak merasa akhir-akhir ini ada seseorang yang mengawasi kedai bunga kita," ingat Daisha.

"Iya, Kak."

Al menutup pintu, mobil melaju perlahan menuju sebuah alamat yang tertera pada secarik kertas.

"Kau yakin kedai bungamu itu sedang diawasi?" tanya Al memastikan.

"Aku juga tidak tahu, ini hanya perasaanku saja. Beberapa hari ini aku merasa sedang diawasi seseorang, tapi aku tidak tahu apa hanya perasaanku saja atau memang ada," ucap Daisha yang memiliki perasaan lebih peka daripada yang lainnya.

"Akan aku cari tahu, kau tenang saja. Aku tidak akan membiarkan apapun terjadi padamu juga kedai bunga itu," janji Al yakin dan tak ada keragu-raguan.

Daisha tersenyum, senyum yang selalu membuat dunia Al dihujani bunga-bunga indah. Keduanya merasakan hangat pada wajah, perlahan merambat hingga ke ulu hati.

"Wah, Nona Daisha memang selalu tepat waktu. Ini pembayarannya, senang bekerjasama dengan Anda," ucap pelanggan yang memesan bunga.

Daisha menerima uang dan tersenyum, ia meraba uang tersebut dan mengangguk pelan. Namun, berbeda dengan Al, dahi laki-laki itu mengernyit melihat jumlah uang yang dibayar tak sesuai dengan bunga yang dipesannya.

"Tunggu! Kau yakin tidak salah memberi uang? Aku rasa uang yang kau berikan jauh dari kata cukup untuk membayar bunga-bunga kami," protes Al tidak terima.

Apa karena Daisha itu seorang gadis buta, dengan begitu mudahnya dia menipu. Akan tetapi, sentuhan di lengannya membuat Al menoleh pada gadis tersebut.

"Sudah, kita pergi. Ini sudah lebih dari cukup," ucapnya seraya membungkuk pada pelanggan tersebut dan berbalik sambil mendorong tubuh Al.

"Tunggu, Sha! Tunggu, uang yang kau terima tidak cukup, dia menipumu," teriak Al sambil memberontak mencoba melepaskan cekalan Daisha.

"Sudah aku katakan ini sudah lebih dari cukup. Kau mau minta apa lagi?" sahutnya tetap dengan lembut, tapi cekalan di tangan semakin erat.

"Aw! Kenapa kau mencekalku begitu erat? Sakit," rintih Al. Ia merasakan sedikit ngilu di pergelangan tangannya yang dicekal Daisha.

Gadis itu tertawa, sama sekali tak ada beban yang diperdengarkan dari suaranya. Al semakin bingung, apalagi dia tidak mau mengatakan alasannya. Daisha masuk ke dalam mobil dengan bibir yang tertarik ke atas.

Tak lama Al menyusul, sambil memegangi pergelangan tangannya yang terasa ngilu. Mobil melaju kembali pulang ke kedai bunganya.

"Stop! Berhenti di sini!"

"Ada apa? Ini masih belum sampai," sahut Al tak urung jua kakinya menginjak rem.

Daisha turun dan tanpa menunggu Al ia terus berjalan mendekati kedai dari arah lain. Suara seorang laki-laki yang mengancam Laila, terdengar oleh Al. Daisha memiliki tingkat kepekaan yang tinggi.

"Tunggu di sini!" titahnya pada Al, sedangkan dirinya melanjutkan langkah mendekati laki-laki yang berhadapan dengan Laila.

Telinganya yang peka mendengar bunyi benda tajam yang siap diayunkan. Secepat kilat, Daisha mengayunkan sebatang kayu memukul mundur laki-laki itu.

"Pergi! Aku tahu selama ini kau mengawasi kedai kami. Jika kau ingin mencari masalah, maka kau sudah salah tempat." Daisha mengangkat kayu tersebut, menuding laki-laki tadi.

Tanpa berucap, ia berbalik dan pergi. Tangan Daisha meraba-raba udara mencari keberadaan Laila.

"Kau tak apa? Apa dia menyakitimu?" tanyanya setelah berhasil menangkup wajah sang adik.

"Tidak, Kak. Beruntung kalian cepat datang, laki-laki tadi bertanya soal Kak Al. Sepertinya dia ingin melakukan sesuatu padanya, Kak," ucap Laila sambil melirik Al yang keluar secara perlahan.

Melihat aksi berani Daisha, rasa kagum dan cinta semakin subur di hatinya. Dia gadis yang pemberani, tangguh, dan mandiri.

"Sha!"

Mereka menoleh.

"Memang ini bukan waktu yang tepat, tapi aku ingin lebih dekat denganmu. Aku ingin menjaga kalian, jika ingatanku telah pulih sepenuhnya, maukah kalian tinggal bersamaku?" pinta Al dengan sungguh-sungguh.

Keduanya tersentak, tapi kehadiran Al memang sangat membantu terutama saat ada pelanggan yang curang.

"Kalian bersedia, bukan?"

Daisha menunduk, Laila meliriknya. Apapun keputusan Daisha, dia akan mengikutinya. Mengingat segala kebaikan Al, hati Daisha meragu. Apakah perlu meninggalkan tempat tersebut dan ikut bersama Al? Tapi bagaimana dengan keluarganya? Apakah mereka akan menerima?

Laki-laki Pengganggu

"Sial! Ternyata dia masih hidup. Harusnya dulu aku pastikan dia itu benar-benar mati. Jika begini, aku harus mencari cara agar dia tidak bisa kembali selamanya."

Seorang laki-laki berperawakan tinggi besar, berjalan mondar-mandir di kamarnya. Wajahnya tampak kusut, berkali-kali lidahnya berdecak kesal sambil mengumpat tiada henti.

Berdiri, duduk, berjalan kian kemari dia lakukan untuk mengusir gelisah. Berpikir keras mencari cara bagaimana menyingkirkan sang rival yang ternyata masih hidup dengan bebas.

"Tunggu dulu! Tadi dia sempat melihatku, tapi tidak bereaksi apapun. Apakah dia hilang ingatan? Aku tidak bisa mengambil keputusan begitu saja. Sebaiknya aku memastikan kebenaran dugaanku. Yah, aku harus kembali lagi ke sana," gumamnya penuh tekad.

Gegas ia menyambar jaket dan mengenakannya. Berjalan keluar dengan tergesa bahkan berlari menuruni anak tangga yang melingkar di tengah-tengah rumahnya.

"Cakra! Bagaimana pencarianmu? Apa kau sudah menemukan adikmu?" tanya seorang wanita paruh baya yang matanya sembab bekas menangisi anak bungsunya.

Laki-laki yang bernama Cakra tadi berdeham menentralkan hatinya yang tiba-tiba gugup. Ia mendekat perlahan, memeluk sang ibu untuk menenangkan hatinya.

"Sabar, Bu. Aku juga tidak akan menyerah mencari keberadaan Dareen, Bu. Ibu jangan khawatir. Bukankah Ayah juga sudah mengerahkan orang-orangnya untuk mencari?" ucapnya berkilah.

Dewi kembali menangis, teringat anak bungsunya yang hilang entah ke mana. Hatinya setiap hari menangis, memikirkan keberadaan sang putra yang sudah beberapa bulan tak diketahui kabarnya.

Cakra melepas pelukan, mengecup dahi Dewi seperti biasa. Dia adalah anak yang berbakti, penurut, dan tidak pernah membantah. Sama seperti Dareen, hanya saja bungsunya itu lebih tertutup dan tidak seceria sang kakak.

Namun, segala perhatiannya, tak diragukan lagi oleh mereka. Dareen-lah yang paling terlihat cemas disaat salah satu anggota keluarga sakit atau tertimpa musibah.

Dewi mengangguk patuh, ia melepas kepergian Cakra yang katanya mencari sang adik.

Sementara itu, di kedai bunga Daisha, mereka baru saja tiba setelah mengantar pesanan. Duduk sambil mengipasi diri dengan tangan, di bawah naungan sebuah gubuk yang disulap menjadi kedai bunga.

"Minum, Kak," ucap Laila memberikan Al segelas minuman dingin.

"Terima kasih, ya."

Laila duduk di samping Al, memperhatikan Daisha yang tengah membereskan bunga-bunga di depan kedai.

"Terima kasih, berkat kehadiran Kakak, aku bisa melihat senyum Kak Daisha lagi. Sudah lama sekali sejak kecelakaan itu terjadi hingga dibangunkan kedai ini, senyum menawan Kakak hilang," tutur Laila penuh syukur.

Al terenyuh, ia tidak tahu Daisha memiliki hidup yang sulit sebelum kedai ini maju seperti sekarang. Meski dibangun dengan sederhana, gubuk bunga Daisha selalu disambangi pelanggan.

Kata mereka, bunga-bunga di kedai itu selalu tampak segar dan semerbak. Tak seperti di kedai lainnya. Al duduk tegak ketika seorang pelanggan datang. Mencurigakan. Itulah yang ada di pikiran Al saat ini. Dia mengenakan jaket kulit, dengan topi yang menutupi sebagian wajahnya.

"Kau! Rupanya kau masih punya nyali untuk datang ke sini? Sebenarnya apa tujuanmu datang?" selidik Daisha saat mengenali aroma tubuh pelanggan tersebut.

Dia laki-laki yang sama yang kemarin memarahi Laila.

"Tidak ada, aku hanya ingin bertemu laki-laki yang di sana," katanya sambil menunjuk Al yang memperhatikan mereka.

"Untuk apa? Apa kau mengenalnya? Jika tidak, maka kau tidak ada urusan di sini. Pergilah! Kau datang untuk memata-matai kami, bukan untuk membeli," tegas Daisha tanpa rasa takut sedikit pun.

Laki-laki tersebut mengernyit ketika melihat mata gadis itu tak menatap ke arahnya. Ia mengibaskan tangan memastikan dugaannya.

"Ternyata kau buta. Jika tahu, tak akan aku menghabiskan waktu menemuimu," katanya dengan nada mencibir.

Mata Daisha melirik ke samping, meski tak dapat melihat, tapi dia bisa mendengar setiap pergerakannya. Daisha bergerak cepat menjegal langkah yang lancang hendak mendekat.

Al tersentak berdiri. Tongkat gadis itu melintang di jalan menghalangi tubuh laki-laki yang hendak menghampiri mereka.

"Jangan kau pikir bisa melewatiku hanya karena aku buta," ketus Daisha terdengar dingin dan penuh ancaman.

"Beraninya gadis buta dan miskin sepertimu mengancamku! Kau tahu siapa aku? Aku pewaris tunggal perusahaan nomor satu di Jakarta. Aku bisa saja menghancurkan kedaimu itu," sengitnya membalikkan ancaman.

Bukannya takut, Daisha justru tersenyum sinis.

"Kau pikir aku peduli? Siapa pun dirimu jika kau datang untuk membuat masalah, aku tak akan segan memberimu pelajaran. Pergi!" ucap Daisha dengan berani.

Laki-laki itu termangu, memperhatikan cermat-cermat wajah itu.

"Jangan menatapku terlalu lama, jika kau tak ingin terus aku menghantuimu!"

Laki-laki itu membelalak, ia mengalihkan pandangan pada Al. Tatapan mereka beradu cukup lama, manik kelam itu Al merasa tak asing dengannya. Al mengernyit merasakan denyut di bagian kepala, tapi dia menahannya sampai laki-laki itu pergi barulah Al merintih.

"Argh! Kepalaku ... dia ...." rintih Al sembari memegangi kepalanya.

"Kakak!" Laila memekik sambil memegangi tubuh laki-laki itu yang perlahan jatuh.

Daisha berbalik sambil meraba-raba udara setelah memastikan kepergian laki-laki pengganggu tadi. Berjongkok di dekat Al, memberinya instruksi untuk menenangkan diri.

Perlahan, Al mulai tenang, ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Ia lakukan itu berulangkali untuk mengurangi rasa sakit yang mendera.

*****

Pagi buta Al sudah mendatangi sungai untuk memetik bunga pesanan pelanggan. Dengan bersemangat dia menyusuri setiap bunga yang siap dipetik. Namun, tiba-tiba sosok yang tak diharapkan kehadirannya, muncul dari arah sungai.

"Siapa kau?" tanya Al dengan dahinya yang mengerut.

"Kau tidak ingat padaku?" tanya laki-laki itu terlihat senang bukan main.

"Aku sama sekali tidak mengenalmu, bagaimana bisa aku mengingatmu," jawab Al tak acuh.

Senyum jahat tercetak di wajah orang misterius itu, dengan tiba-tiba dia menyeret Al ke tepi sungai. Berniat menenggelamkannya hingga ia terbebas dari bayang-bayang laki-laki itu.

"Apa yang kau lakukan? Lepaskan!" Al memberontak, tapi percuma.

Lagi-lagi kepalanya berdenyut, bayangan dia diseret seperti tadi pun melintas. Al berteriak kesakitan, tapi laki-laki itu tak peduli. Ia melemparkan tubuh Al ke sungai, dan menghampirinya.

"Argh!"

Al menjerit, padahal dia belum melakukan apa pun. Akan tetapi, laki-laki asing itu justru menenggelamkannya ke dalam sungai. Al berontak, mencoba melawan dengan mendorong air menggunakan kakinya. Laki-laki itu tidak menyerah, terus membuat Al tenggelam lagi dan lagi.

"Tolong aku! Tolong!" teriak Al ketika mendapat kesempatan. Dia memegangi kepalanya yang dipegang laki-laki tadi, rasa sakit semakin hebat mendera.

"Kakak!" Suara dua gadis yang datang membuatnya panik.

Dia berlari segera dan bersembunyi di dalam semak. Daisha dan Laila mendatangi sungai, terkejut mendengar teriakan Al.

"Kakak, Kak Al tenggelam."

"Kau bisa berenang?"

"Tidak!"

"Tunggu di sini!"

Tubuh Al melemah di dalam sungai, terapung dan terbawa arus. Beruntung, sedang tidak pasang.

Daisha melompati ke sungai, menggunakan indera pendengarannya dengan sebaik mungkin mencari keberadaan Al. Meski kesulitan Daisha mampu menemukan tubuh laki-laki itu dan membawanya ke darat. Sayang, Al tak sadarkan diri.

"Sial! Dasar berengsek!" umpat laki-laki yang bersembunyi di balik semak.

"Cari bantuan, kita harus membawanya ke rumah sakit," titah Daisha pada Laila.

*****

Berkat bantuan beberapa warga, Al akhirnya dibawa ke rumah sakit. Dia terbaring tak sadarkan diri di ruangan kecil.

"Kakak, Kak Al!" Laila memekik, Daisha yang duduk di sampingnya meraba-raba ranjang Al.

"Ugh! Di mana aku? Kepalaku?" rintih Al.

"Kak! Kau baik-baik saja?" tanya Daisha segera.

"Kalian ... siapa? Kenapa aku ada di sini?" Al beranjak, kepalanya masih terasa sakit akibat ingatan yang menyeruak.

Kedua gadis itu saling menoleh satu sama lain dengan bingung.

"Aku ... aku ingat semuanya sekarang. Aku ingat semua," ucap Al senang.

Daisha dan Laila turut tersenyum, tapi juga merasa cemas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!