NovelToon NovelToon

Istri Tak Tergapai

Pertemuan di Udara

Medhina masih menatap sedih sebuah gambar yang kini terpampang di layar handphonenya. Gambar yang diposting seorang pria yang tentu Dhina sangat mengenalnya. Sekuat apa pun Dhina menahan dan mencoba melupakan, tapi perasaan di hatinya tetap saja tak kunjung hilang.

Ya, seorang kekasih yang dalam waktu enam bulan itu coba dia lupakan dengan amat sangat.

Pria yang diketahui bernama Andreas Saputra itu, pergi ke Inggris untuk menyelesaikan sekolah Bisnis Perhotelan di Oxford Brookes University, Inggris. Sebenarnya, sebisa mungking Medhina menghindari media sosial, terlebih saat dirinya harus berselancar dan melihat kembali sosok Andreas Saputra, tetapi terkadang Medhina sendiri tak bisa menghentikan jari-jarinya yang dengan sendirinya memencet tombol pintasan di media sosialnya itu.

“An, bagaimana kabarmu di Inggris? Minggu depan, Bunda akan mengenalkan aku dengan seorang pria yang dipandang baik oleh Ayah dan Bunda. Esok, aku akan terbang ke Singapura untuk menjadi awak kabin pesawat, ini akan jadi penerbangan terakhirku sebelum minggu depan akan menemui pria itu. Entahlah, An … aku tidak tahu. Bagaimana jalan cerita cinta kita? Kamu ke Inggris begitu saja, sementara aku di sini hanya mencoba bertahan dengan perasaan yang masih ada di dalam hatiku,” gumam Medhina dengan helaan nafasnya yang berat.

Ketika kekasih pergi meninggalkanmu begitu saja, tanpa ada kata pamit rasanya memang begitu menyesakkan hati. Sama seperti yang dialami Medhina sekarang ini. Di saat Andreas pergi, nyatanya kini kedua orang tuanya justru hendak mengenalkannya kepada sosok pria yang dinilai baik dalam pandangan Ayah Dimas dan Bunda Metta.

***

Keesokan Harinya ….

Medhina, seorang cantik cantik dan tinggi semampai sudah bersiap mengenakan seragamnya dengan rambut yang dicepol rapi, dan membawa koper yang di tangannya. Gadis cantik yang berprofesi sebagai pramugari ini tengah berjalan di bandara. Melakukan boarding terlebih dahulu bersama awak kabin pesawat bersiap untuk penerbangan dari Jakarta menuju ke Singapura.

Menunggu waktu boarding penumpang, Medhina sudah bersiap di dalam badan pesawat. Menunggu dengan senyuman yang ramah dan juga bersiap untuk menanyakan tiket yang akan dia lihat saat penumpang mulai memasuki pesawat.

Tidak berselang lama, para penumpang pun satu per satu mulai memasuki pesawat. Medhina dan beberapa awak kabin pun mulai menyapa mereka satu per satu.

“Selamat datang … boleh saya lihat tiketnya?”

“Selamat siang, ada yang bisa kami bantu, Anda duduk di kursi nomor berapa?”

“Selamat siang, ada adik bayi juga yang naik pesawat yah,”

Begitu sapaan formal dari Pramugari kepada para penumpangnya. Disambut begitu masuk ke dalam pesawat, dibantu mendapatkan kursi sesuai nomor yang tertera di tempat duduknya, dan juga dibantu untuk memasukkan barang bawaan ke dalam kabin.

"Selamat datang di penerbangan kami, bisa saya lihat tiketnya Pak?" tanya Medhina kali ini dengan begitu sopan kepada salah seorang penumpang pria yang baru saja memasuki pesawat.

"Bapak duduk di kursi 5B ya Pak, silakan," ucap Medhina mempersilakan penumpang berperawakan tinggi dan berwajah tampan untuk duduk berdasarkan nomor kursi seperti yang sudah tercetak di tiket.

"Terima kasih," balas pria itu dengan santun.

Hingga akhirnya seluruh penumpang telah memasuki pesawat, pintu pesawat kemudian ditutup menandakan bahwa pesawat akan segera lepas landas. Dilanjutkan dengan flight attendant announcement safety demonstration di mana Pramugari mendemonstrasikan petunjuk keselamatan dan alat-alat keselamatan di dalam pesawat.

Para penumpang yang terhormat, kami mohon perhatian Anda sejenak! Sesuai dengan peraturan keselamatan penerbangan sipil, kami harus menunjukkan dan memperagakan kepada Anda bagaimana cara menggunakan sabuk pengaman, masker oksigen, pintu, dan jendela darurat, baju pelampung, dan kartu keselamatan.

Saat ini, seharusnya sabuk pengaman Anda telah terpasang, kami harus menunjukkan bagaimana cara menguncinya, mengeratkan, dan melepaskan sabuk pengaman Anda.

Apabila tekanan udara di kabin ini berkurang secara tiba-tiba, maka masker oksigen akan keluar dari tempatnya sehingga terjangkau, tarik dengan kuat masker oksigen ke arah Anda, pasang penutup di mulut dan hidung, kaitkan karetnya di kepala, dan bernafaslah seperti biasa.

Bagi penumpang yang membawa anak-anak, dianjurkan untuk mengenakan masker terlebih dahulu, setelah itu barulah pada anak Anda.

Pesawat Boeing B-737 Airbus ini dilengkapi dengan delapan pintu dan jendela darurat, dua pintu darurat di kabin bagian depan, empat jendela darurat di kabin bagian tengah, dan dua pintu darurat di kabin bagian belakang.

Baju pelampung Anda terdapat di bawah kursi dan hanya dipakai saat pendaratan darurat di perairan, kami mohon untuk tidak dibawa pulang.

Selanjutnya di kantung kursi di hadapan Anda telah tersedia kartu instruksi mengenai cara-cara penyelamatan diri dalam keadaan darurat. Kami mohon kepada Anda untuk membacanya dengan seksama sebelum pesawat ini lepas landas!

Terima kasih atas perhatian Anda dan selamat menikmati penerbangan ini.

Penumpang yang duduk di kursi nomor 5B itu ternyata seolah terpaku mengamati Pramugari cantik yang berdiri tidak jauh dari hadapannya yang memperagakan safety demonstrations itu. Sampai akhirnya, Medhina pun mendekat ke arah penumpang itu.

“Maaf Bapak … tolong dipakai sabuk pengamannya, karena pesawat akan lepas landas,” ucapnya dengan ramah dan sopan.

Pemuda itu pun mengerjap dan perlahan menganggukkan kepalanya. Tampak gugup, tetapi dia berusaha untuk memasang sabuk pengaman dan mengeratkannya di pinggangnya.

“Sudah,” jawabnya dengan gugup disertai dengan helaan nafas.

Medhina pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum, “Terima kasih Bapak … selamat menikmati penerbangan Anda,” balasnya.

Pria itu menganggukkan kepalanya, dan kemudian memilih untuk memejamkan matanya sejenak. Begitu terpaku dengan kecantikan Medhina yang begitu cantik. Kulit putih bersih dan tinggi tubuh yang semampai, seakan pemuda itu teringat dengan sosok mantan kekasihnya yang sudah menikah dan bahkan kini sudah memiliki seorang bayi.

“Bentuk wajah dan postur tubuh kalian nyaris sama …,” desah pemuda itu dengan membuang muka ke arah jendela.

Seakan memori kembali terulang dan juga teringat dengan sosok mantan yang sudah menjadi milik orang lain. Mengarahkan pandangan ke awan-awan yang menggumpal dan lautan biru yang ada di membentang di bawah.

Hati yang Belum Beres

Ada begitu banyak cara untuk mengingat romansa cinta pertama. Entah itu dari nama yang nyaris sama, dari bentuk wajah, dari postur tubuh, atau dari parfum yang terhirup mengenai indera penciuman. Sama dengan yang dialami pemuda yang memilih membuang muka ke arah jendela di pesawat itu.

Aku memang sudah mengikhlaskan kamu, Syilla …

Sepenuhnya sudah mengikhlaskan, terlebih kamu sudah bahagia bersama dengan Aksara dan kalian sudah dilimpahi dengan bayi kecil yang lucu …

Hanya saja, masih ada perasaan yang muncul dengan sendirinya.

Aku tahu ini salah … sangat salah.

Bagaimana pun aku yakin, Aksara yang tepat dan terbaik untukmu …

Pemuda itu akhirnya memejamkan matanya, dan membiarkan perjalanan udara kali ini akan bisa segera tiba di Singapura. Terlebih, jantungnya merasa tidak baik-baik saja saat bertatapan dengan Pramugari yang begitu cantik dan beberapa kali tersenyum kepadanya.

Hingga akhirnya, tidak terasa bahwa perjalanan hampir dua jam dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta menuju Bandara Internasional Changi sudah hampir terlampaui. Mulai terdengar pemberitahuan bahwa pesawat akan segera mendarat di Bandara Internasional Changi, Singapura. Untuk itu, para penumpang diharapkan bangun, melipat meja, menegakkan sandaran, dan juga membuka penutup jendela.

Sayangnya, pemuda itu seakan tidak begitu mendengar karena begitu terlelap dalam tidurnya. Sehingga Pramugari cantik yang name tag di dadanya yang bernama M. Kartika itu pun berusaha membangunkan pemuda itu dengan menepuk bahunya.

“Permisi Pak … pesawat akan segera mendarat, silakan untuk bangun dan menegakkan sandaran,” ucap Medhina dengan halus.

Merasa dibangunkan, pemuda itu akhirnya pun mengerjap. Tampak kaget dengan wajah Medhina yang dekat dengan wajahnya, dan satu tangan yang masih bertengger di bahunya.

“Silakan untuk bangun Pak … pesawat akan segera mendarat,” ucap Medhina lagi mengulangi ucapannya barusan.

Pemuda itu pun menghela nafas dan menganggukkan kepalanya secara samar, kemudian mulai menegakkan sandaran kursi dan mengusap wajahnya perlahan. Mengumpulkan semua kesadarannya, dan bersiap untuk lepas landas.

Pesawat itu mulai mengurangi ketinggiannya di udara, dan kemudian menukik dan berputar perlahan. Mendapatkan posisi yang tepat, ketinggian di awan pun berkurang, dari udara terlihat Marina Bay Sands yang merupakan ikon Negara Singapura. Sampai akhirnya, pesawat udara pun mendarat dengan sempurna di Bandara Internasional Changi, Singapura.

Begitu pesawat sudah mendarat dengan sempurna, kemudian pemuda itu memilih menunggu saat penumpang sudah keluar dari pesawat. Barulah pemuda itu keluar, dengan mengambil ranselnya terlebih di dalam kabin pesawat.

“Biar saya bantu, Pak,” tawar Pramugari cantik tersebut.

Pemuda itu pun menganggukkan kepalanya, “Terima kasih,” sapanya sembari menerima ransel hitam miliknya yang diambilkan oleh Pramugari dengan name tag M. Kartika itu.

“Terima kasih kembali, Pak … sampai jumpa di penerbangan selanjutnya. Selamat jalan,” balas Pramugari itu dengan sopan.

Tentu itu bukan sapa yang berlebihan, tetapi memang berdasarkan dengan profesinya mengharuskan Medhina untuk bersikap ramah, sopan, dan tersenyum. Ucapan yang dia ucapkan juga formalitas sesuai dengan apa yang dia pelajari dulu.

Setelah seluruh penumpang turun, pesawat pun dibersihkan, dan kemudian Medhina bersama awak kabin pesawat memutuskan untuk menuju ke hotel beristirahat, keesokan harinya mereka akan melayani penerbang dari Singapura menuju ke Jakarta lagi.

Saat pemuda yang tidak lain bernama Ravendra itu menunggu di tempat pengambilan bagasi, ada Medhina dan para awak kabin pesawat yang berjalan melewatinya dengan mendorong koper mereka. Sungguh, melihat para Pramugari cantik berjalan dengan begitu anggunnya menjadi pemandangan yang indah bagi para penumpang. Termasuk Ravendra, yang tadi bertemu pandang dengan Pramugari dari maskapai penerbangan kelas eksekutif itu. Rambut yang ditata dengan sedemikian rupa, seragam pramugari yang mencetak bentuk tubuhnya, rok panjang dengan belahan yang tinggi hingga menunjukkan kaki jenjang. Ravendra menghela nafas dan membuang pikirannya jauh-jauh.

“Sadar Ven … kamu datang ke Singapura untuk tugas perusahaan. Menemui CEO dan menyerahkan projek yang akan kamu kerjakan, jangan sampai motivasimu runtuh karena melihat sosok Pramugari itu,” gumam Ravendra dengan menenangkan dirinya sendiri.

Sementara itu, Medhina kini telah menempati kamar hotel yang berada tidak jauh dari Changi, sehingga mobilitasnya sebagai kabin crew tidak terhalang, dan esok bisa bersiap untuk penerbangan selanjutnya.

“Nanti malam mau ikut hang out ke Quarke Clay, Dhin?” tanya Aurel yang adalah rekan sesama pramugari dengan Medhina.

“Enggak … aku mau istirahat saja, capek,” kilahnya.

Medhina sendiri memang tidak menyukai hang out. Juga, lebih baik berada di dalam kamar beristirahat dan mengisi Diary miliknya, membayangkan lagi kisahnya dengan Andreas yang belum usai.

“Ya sudah, nanti kalau butuh apa-apa, kabarin yah,” sahut Aurel.

Begitu malam tiba, Medhina hanya mengisi waktu di kamar hotelnya. Menatap sedih pada foto-foto Andreas di layar handphonenya. Semua kenangan di masa lalu seakan kembali lagi.

“And, kamu sedang apa di Inggris apa? Kita menatap langit yang sama, tapi di benua yang berbeda … bagaimana dengan kisah kita And? Selesai atau bagaimana? Minggu depan, orang tuaku akan mengenalkanku kepada pria lain. Bagaimana aku bisa, jika di hatiku ada namamu … bagaimana aku bisa jika hatiku belum sepenuhnya beres. Kenapa jalan cinta cinta berdua begitu terjal dan berliku seperti ini Andreas? Atau mungkinkah kita tidak akan pernah menyatu?”

Sontak setetes air mata luruh begitu saja, dada Medhina terasa begitu sesak. Cinta yang tidak jelas kepastiannya, hati yang belum beres. Walaupun enam bulan telah berlalu, tetap saja Medhina terkadang memimpikan Andreas akan pulang ke tanah air dan memperjuangkannya.

Benarkah bahwa sejak dulu cinta deritanya tiada akhir? Rasanya Medhina begitu sesak mengingat Andreas dan keputusan pria yang dicintainya itu pergi ke Inggris untuk menyelesaikan pendidikan S2-nya di sana. Sementara di sini, Medhina masih berharap, masih menunggu, dan tentunya di dalam hatinya masih ada nama Andreas di sana.

Keputusan Orang Tua

Belum selesai, rasa sesak yang Medhina rasakan. Wanita itu cepat-cepat menyeka air matanya yang sedari tadi membasahi wajahnya, dan kini dia harus mengulas senyuman di wajahnya karena sekarang ada Bundanya yang sedang melakukan panggilan video kepadanya.

Dengan menghela nafas, dan bercermin sejenak, memastikan tidak ada jejak-jejak air mata di sana, Medhina pun menggeser ikon telepon video berwarna hijau di layar handphonenya.

“Halo Bunda,” sapanya saat wajah Bundanya terlihat di layar handphonenya.

“Halo Dhina … baru ngapain kamu Sayang?” tanya Bunda Metta yang tersenyum dan menatap wajah putrinya melalui kamera di handphone itu. Walau jauh, dengan panggilan video seakan membuat jarak menjadi kian dekat. Sampai-sampai seolah tengah berbicara muka dengan muka.

“Baru istirahat di hotel, Bunda … besok jam 06.00 waktu Singapura sudah harus kembali terbang lagi. Penerbangan pertama dari Changi,” jawab Medhina.

“Ya jangan lupa tidur … istirahat yang cukup. Minggu depan jangan lupa, kosongkan jadwal kamu di hari Sabtu, karena teman Bunda itu akan datang,” ucap Bunda Metta kini.

“Iya, Bunda … hari Sabtu, Dhina tidak ada jadwal untuk terbang kok. Jadi, Dhina akan di rumah,” balasnya.

Walau dadanya masih sesak, perasaan yang belum usai, dan kini dia harus menerima kenyataan pahit karena orang tuanya akan menjodohkannya dengan pria lain. Pria yang tidak dia kenal sebelumnya. Pria yang tidak dia tahu asal-usulnya. Mungkinkah dengan pria seperti itu, dia bisa memasrahkan seluruh hidupnya.

Bukannya menerima begitu saja, jauh-jauh hari sebelumnya, Medhina pernah mengutarakan keberatannya dengan dalih Medhina tidak mengenal pria itu siapa. Medhina pun juga tidak yakin apakah bisa dia memberikan sedikit saja ruang di hatinya untuk pria itu. Sementara masih saja ada nama Andreas Saputra di hatinya. Mungkinkah dia bisa menjalani dengan tulus, sedangkan hati dan perasaannya saja masih tertuju pada sosok Andreas.

“Ya sudah Dhina … jangan lupa istirahat untuk penerbangan esok hari. Sabtu, jangan lupa yah … Bunda dan Ayah menunggumu, jangan kecewakan kami, Dhina,” ucap Bunda Metta dan mengakhiri panggilan video itu.

Begitu wajah Bundanya sudah terhilang dari layar handphonenya, air mata berlinangan begitu saja dari wajah Medhina. Rasa sedih, sesak, dan terluka adalah semua rasa yang memenuhi hatinya. Cintanya masih untuk Andreas, tetapi perjodohan sudah diatur dengan sedemikian rupa. Mungkin memang Medhina hanya bisa menerima apa yang sudah disepakati oleh kedua keluarga. Tidak bisa menentukan sendiri kepada siapa hatinya berpaut.

Medhina terisak dengan membawa tangannya untuk memukul dada, berharap bisa menekan rasa sakit yang amat sangat menyeruak itu. Rasa sakit yang tidak akan ada obatnya. Mungkinkah selamanya, dia harus menelan rasa pahit ini di sepanjang hidupnya.

“Lihatlah, Andreas … sebagai anak, aku harus menerima dan menjalani apa yang sudah ditetapkan oleh Ayah dan Bunda. Tak bisa lagi memilih apa yang aku mau. Sepenuhnya, kisah kita akan usai, Andreas? Sementara kamu di sana, tidak mencoba untuk memperjuangkanku … kamu pergi begitu saja, tidak ada kesan dan pesan, tidak ada daya yang bisa kamu lakukan untuk memperjuangkanku. Apa ini arti cinta untukmu, And? Cinta tanpa berkorban … cinta yang tidak berdaya dan upaya,” gumam Medhina dengan menekan dadanya yang terasa begitu sakit.

Wanita itu pun tertidur dengan air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya, dan juga wajah Andreas yang masih terpampang di layar handphonenya. Begitulah setiap malam dilalui Medhina, dengan menangis dan menatap kekasih yang tidak pernah dia ketahui kabarnya selama enam bulan terakhir. Kekasih yang tidak mendapat restu dari orang tuanya.

***

Keesokan harinya ….

Menjelang subuh, Medhina telah terbangun. Sebagai Pramugari begitu banyak persiapan yang harus dia lakukan sebelum terbang. Mulai dari mandi, menata rambut, sampai bermake-up, dan itu harus dilakukan Medhina sendiri.

Dengan wajah yang sembab, Medhina terbangun. Gadis itu bergegas untuk membersihkan dirinya, dan juga bermake-up, serta persiapan lamanya. Sebelum jam 06.00 Waktu Singapura dia harus tiba di Bandara dengan awak kabin yang lain untuk penerbangan pagi hari ini.

Usai mandi, terpaksa Medhina harus menyeka kantung matanya dengan air hangat terlebih dahulu supaya matanya tidak terlihat sembab. Itu adalah rutinitas yang selalu dia lakukan di pagi hari. Sampai akhirnya terdengar ketukan dari pintu kamar hotelnya.

“Dhina, Dhin … sudah siap?” Aurel yang tampak mengetuk pintu kamar hotel yang ditempati oleh Dhina.

“Udah, kenapa?” tanya Medhina kepada temannya sesama Pramugari itu.

“Pinjem catokan rambut dong Dhin, sama hair spray … punya gue ketinggalan,” ucapnya.

Medhina pun menghela nafas dan kemudian membukakan pintu untuk temannya itu. “Gila, pasti deh catokan dan hair spray ketinggalan melulu … ingatnya jalan-jalan melulu sih, sampai perlengkapan sendiri ketinggalan,” sahut Medhina dengan sedikit ketus.

“Biasa … hanya yang gue pikiran, Dhin. Oh iya, loe mau enggak gue kenalin sama Pilot, Dhin? Maskapai sebelah, udah cakep, pinter, dan masih muda pula. Daripada loe murung dan mengurung diri di kamar terus,” ucap Aurel yang berniat mengenalkannya dengan seorang pilot dari maskapai sebelah.

Mendengar apa yang dikatakan Aurel, Medhina hanya bisa menggelengkan kepalanya, “Enggak … gak usah. Makasih … lagian jodoh gue sudah diatur sama Ayah dan Bunda,” ucapnya.

Berusaha menerima di bibir, tetapi merasa begitu berat di dalam hati. Hanya tak ingin membuat orang tuanya terluka dan kecewa, Medhina memilih untuk menerima saja apa yang sudah diatur oleh Ayah Dimas dan Bunda Metta.

“Gila, zaman udah canggih. Masih pengaturan jodoh, kayak loe gak bisa cari sendiri aja,” balas Aurel yang merasa tidak bisa menerima dengan apa yang baru saja Medhina sampaikan.

“Gue yang jalanin ikhlas kok. Ayah dan Bunda pasti memilihkan yang terbaik buat gue,” jawab Medhina.

Sekali lagi itu adalah jawaban yang hanya di bibirnya saja, tetapi tidak di hatinya. Sebab, jauh di dalam hatinya, yang Medhina cintai, yang Medhina tunggu, dan yang Medhina inginkan hanyalah satu orang pria dan itu adalah Andreas Saputra.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!