NovelToon NovelToon

ZAYLIN HUZEFA

BAB 1. HARAPAN

PoV.

Namaku Zaylin Huzefa. Di tahun ini usiaku menginjak 28 tahun. Perpaduan angka cantik yang bilamana digabung, akan berjumlah sepuluh, nilai sempurna.

Ya, seperti kebanyakan orang bilang. Hidupku sempurna. Lajang dengan tubuh proporsional, menawan, berkulit mulus, bisa mengaji bahkan mempunyai karir bagus. Meski tak banyak orang tahu, aku menyimpan sebuah kisah berperih.

Pangandaran, kota darimana aku berasal.

Disini lah aku kini berdiri ditepi, memandang luasnya hamparan biru di ujung pandangan. Ada sesak yang hadir, luka yang kembali menganga, juga pilu menyergap netra, membuat lava bening milikku tak ingin absen tatkala mengingat peristiwa tragis itu.

Enam belas tahun silam.

Saat paman mengantarku meninggalkan kota ini demi mengharumkan nama almamater. Bertanding untuk sebuah gelar juara karate di Ibukota provinsi. Aku kehilangan Bunda, Bibi, serta dua keponakanku.

Gempa berkekuatan 7.7 skala richter di bulan juli yang mengakibatkan gelombang tsunami setinggi dua puluh meter, meluluhlantakkan daerah pesisir pantai selatan.

Pemukiman rata dengan tanah bahkan mata pencaharian warga pun raib ikut tersapu gelombang.

Tak terkecuali hunian milik paman dan peninggalan ayah. Empat perahu kami hancur berkeping-keping, tergodam kerasnya hantaman air pasang.

Siang itu. Meski tubuh lelah setelah perjalanan kembali dari Bandung.

Dalam linangan air mata yang tak kunjung surut. Meski air bah masih menggenang bahkan mengalir di sekeliling, aku dan paman menyusuri satu-persatu puing. Mengangkat beratnya bobot reruntuhan dengan sisa tenaga, meyakini bahwa kami pasti akan kembali bertemu mereka meski iman kerap goyah.

Aku dan paman menemukan keluarga yang kami sayangi, saling memeluk dibawah puing. Terseret arus sejauh lima kilometer dari desa. Tangan mereka terikat satu sama lain.

Seketika aku histeris.

"Mengapa Tuhan mengambil Ibuku? Tak ibakah Engkau padaku setelah ayah pun Kau panggil?"

Dalam kelabilan menginjak usia remaja, paman satu-satunya sandaranku. Setelah pemakaman massal dan aparat peduli bencana milik pemerintah satu-persatu meninggalkan desa, kami berusaha menata hidup kembali dengan harta tersisa di badan. Iya, kekuatan.

Pekerjaan kasar pun beliau lakukan demi aku, sang keponakan, keluarga tersisa yang beliau punya. Hingga berhasil lulus SMA.

Setiap tahun, dibulan peringatan bencana itu, aku napak tilas. Sekedar mengingat bahwa diriku pernah sangat bahagia dan mempunyai keluarga lengkap di sini.

Paman tak ingin pindah dari kota ini mengikutiku, karena beliau berat meninggalkan pusara keluarganya.

"Zaylin, Neng, makan dulu," teriak paman memanggil dari kejauhan.

Suara berat lelaki paruh baya itu, membuyarkan lamunanku.

Aku pun menoleh ke sumber suara, melangkahkan kaki memenuhi panggilan waliku.

"Sudah, jangan di ingat terus. Mereka gak akan kembali. Lebih baik doakan ya Geulis. Paman sudah sepuh, kamu kapan ada niatan ingin menikah? mumpung masih ada wali, Neng," ucap Zahid Huzama, sang Paman dengan wajah teduhnya, memandangku.

"Entahlah, Bah. Hatiku kebas. Do'akan Zaylin aja atuh, ketemu jodoh yang baik," jawabku saat itu.

"Minta sama Nyai, agar di jodohkan dengan pria sholeh. Masa ribuan orang Al-Islamiyah gak ada yang cocok?" seloroh Paman seraya menyodorkan lauk kesukaan ku.

Obrolan ringan mengiringi kami bersantap siang dengan sukacita, duduk di kursi yang biasa di gunakan pengunjung untuk bercengkrama saat menghabiskan waktu kala mengunjungi pantai.

Iya, pamanku membuka kedainya kembali setelah aku lulus SMA. Sebagai sumber penghidupan kami, terutama aku, yang masih kerap merepotkannya.

Setelah lulus SMA, aku merantau ke Bandung untuk mendaftar kuliah menggunakan jalur prestasi dan berhasil meraih beasiswa. Namun tetap saja, terkadang kiriman dari Paman tak dapat memenuhi kebutuhan kuliah juga lainnya.

Saat terhimpit di perantauan itulah, aku menyambi membuka les privat calistung juga jarimatika untuk anak pra sekolah dan transisi dari TK ke SD.

Lumayan, gaji mengajar les, dapat memenuhi tujuh puluh persen kebutuhan pribadiku. Apapun dilakukan, hingga aku berhasil lulus menjadi seorang Sarjana Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak.

Keesokan Pagi.

Aku memutuskan kembali ke kota setelah menginap di rumah kami yang baru. Rumah panggung hadiah dari Gubernur untuk warga terdampak tsunami silam.

Karena lusa adalah perayaan Maulid Pesantren, Yayasan tempat aku bernaung. Semua tenaga pengajar wajib ikut andil di dalamnya tanpa kecuali, meski statusku adalah wakil kepala sekolah.

"Hati-hati ya Zaylin, kabari Abah jika sudah sampai asrama. Ulah ngebut," pesan sang Paman. Bagasi mobil pun penuh dengan oleh-oleh pemberian beliau.

"Iya Bah, Zaylin pamit ya. Bulan depan pulang lagi, karena liburan sekolah," sahutku seraya menaikkan kaca spion dan melajukan Ayla putih inventaris dari Yayasan menuju kota tempatku menjemput rezeki. Dan jodoh, mungkin.

...***...

Al-Islamiyah, Bandung.

Zaylin tiba di Asrama khusus staff menjelang Ashar. Meski letaknya tidak menyatu dengan komplek pendidikan dan pesantren, bangunan berderet ini sangat layak huni.

Memiliki tiga sekat ruang untuk setiap unit, seperti pada umumnya kontrakan. Namun fasilitas ini gratis bagi siapapun yang totalitas mengabdi pada Pesantren. Khidmah.

"Bu Aylin, punten sudah di tunggu oleh kepala sekolah di ruang tamu asrama," ujar santri wanita yang ditugaskan untuk membantu para staff. Menghampiri mobil yang baru saja terparkir di garasi depan Asrama.

"Oh iya, Mba, haturnuhun," jawab Zaylin tersenyum manis.

Gadis cantik itu pun turun setelah meminta santri tadi membongkar isi garasinya. Zaylin menuju ruang tamu menemui kepala sekolah.

"Sore Bu, maaf baru sampai. Ini pembagian tugasnya?" tanya Zaylin pada sang tamu, saat melihat lembaran kertas di atas meja.

"Benar Mba, tolong di kondisikan para staff yang ada di bawah koordinasi Mba Aylin. Itu saja, saya pamit. Banyak kerjaan," ujarnya bangkit dengan senyum menghias wajah.

"Baik, haturnuhun Bu," balas Zaylin, ikut meninggalkan ruangan itu menuju kamarnya.

Setelah dirinya bersih-bersih dan meminta santri membagikan oleh-oleh dari sang paman. Ia pun membaca ulang tugas esok hari.

Ba'da isya, setelah kajian. Zaylin di panggil seorang kawan agar menuju ke kediaman Nyai.

Meski tubuhnya terasa lelah karena baru saja kembali dari kampung halaman, gadis ayu itu bergegas menuju sumber perintah.

"Assalamu'alaikum," Zaylin mengucap salam. Ia berdiri di pintu, sungkan untuk masuk karena ada tamu pria di sana.

"Wa'alaikumussalaam," sahut Yai dan dua orang tamu.

"Aylin, masuk saja. Nyai di dalam," ujar pria kharismatik itu.

"Cantik, siapa dia?" batin seorang pria yang kagum akan sosok alim di hadapannya.

"Namanya Zaylin Huzefa, yatim piatu namun masih punya wali, seorang paman. Dia wakil kepala sekolah TK Al-Islamiyah, masih satu Yayasan meski beda lokasi. Jarang ke sini kecuali jika pondok mengadakan acara besar, semua staff ikut dilibatkan," terang Yai Bashir, pemilik komplek pendidikan dimana Zaylin mengabdi.

Beliau mengerti jika tamunya ingin mengetahui identitas gadis yang baru saja masuk ke dalam rumahnya.

"Sudah punya calon belum ya? aku ingin sembuh, Yai," ucap sang pria.

"In sya Allah, asal tekad kuat. Taubatan nasuha, juga tawakkal. Sepertinya belum, nanti Ana tanyakan jika Anda ada minat dengannya," balas Yai kemudian.

"Do'akan aku," tunduknya sendu.

"In sya Allah, atas izin Allah. Rahmatan lil 'alamiin." Doa Yai pun meluncur untuknya.

"Zaylin Huzefa ... sudikah kamu?" ucap Abimanyu Yasa dalam hati.

.

.

...___________________________...

...Mommy disini akan singgung tentang cara taubatan nasuha yang betul juga Al adab fiddin... in sya Allah....

BAB 2. MELANGKAH TAUBAT

"Zaylin Huzefa ... sudikah kamu?" ucap Abimanyu Yasa dalam hati.

"Istirahat dulu Nak Abimanyu, kan fisiknya belum pulih benar. Semoga niatan itu tetap teguh. Nanti rutin ikut kegiatan santri disini, lusa juga ada Maulid," saran Yai Bashir padanya.

"Aku mengucap syahadat kembali kapan, Yai?" tanya Abimanyu.

"Loh, bukannya sudah muslim?"

"Sudah, hanya saja aku tak menjalankan kewajiban muslim sebagaimana seharusnya seorang hamba," tunduk Abimanyu, malu.

Pria kharismatik di hadapannya hanya tersenyum. Tidak ada kata-kata pedas mengatasnamakan sebuah dalil meluncur dari mulutnya untuk menghakimi.

"Kalau mau betul-betul taubatan nasuha, ada caranya. Sebelum itu, niat teguh dulu sambil memperbaiki diri. Allah Maha Pengampun, Ghafuur dan Ghaffar, menutup aib dan dosa," ujar Yai.

"Apa buktinya, Yai," tanya Abimanyu lagi.

"Banyak Nak ... Allah membuka pintu taubat bagi hamba-Nya yang memohon ... Allah mengampuni Adam dan Hawa saat memakan buah khuldi ... juga Allah Maha mengampuni hamba yang berdoa padanya," ucap Yai tenang menanggapi pertanyaan Abimanyu.

"Selain itu, Yai?"

"Yang paling mudah, Nak Abimanyu masih bernafas bukan? bukti bahwa Allah masih memberikan oksigen gratis dan memberi kita hidup," tegas sang Yai.

" Apa bedanya Ghafuur dengan Ghaffar? kan sama saja Yai?"

"Ghafuur mengampuni dosa dari segi kualitasnya jika Ghaffar dari segi kuantitasnya, ini menurut Al Imam Ghazali ... ada satu kisah di jaman Nabi Musa, dan Malaikat Jibril datang padanya atas perintah Allah ... mau dengar kisahnya?" tawar pemilik yayasan Al-Islamiyah ini.

"Begitu ya, jadi baik kualitas dan kuantitasnya akan tetap Allah ampuni? ... boleh jika Yai berkenan," tunduk Abimanyu merasa malu bertatap muka dengan pria bersahaja itu.

"Benar."

Lelaki sepuh itupun memulai kisah.

"Suatu hari datanglah seorang wanita menghadap Nabi Musa. Dia meminta Nabi Musa untuk mendoakan dirinya agar Allah mengampuni dan menerima taubatnya."

"Apa yang kau lakukan hingga kau merasa berdosa dan ingin bertaubat? tanya Nabi Musa," Yai Bashir masih bercerita.

"Aku telah berbuat zina hingga melahirkan seorang anak. Karena aku tak ingin aib ini diketahui orang lain maka anak yang tak berdosa itu akhirnya ku bunuh. Ujar wanita itu," Yai melanjutkan kalimatnya.

"Mendengar pernyataan itu, Nabi Musa menjadi marah. Wajahnya menjadi merah karena menahan geram, dan sebuah kalimat kemarahan keluar dari mulutnya," lanjut Yai.

"Apakah orang yang telah melakukan dosa dan ingin bertaubat seperti aku ini tak di ampuni oleh Tuhan? rintih perempuan itu seraya meninggalkan Nabi Musa," Yai menirukan kalimat keluhan sang wanita.

"Lalu turunlah malaikat Jibril menemui Sang Nabiyullah," sambungnya lagi meneruskan cerita

"Wahai Musa, Allah telah menyampaikan teguran kepadamu. Mengapa kau menolak perempuan yang telah berbuat dosa dan datang kepadamu untuk bertaubat? tanya Jibril."

"Perbuatan perempuan itu sangat nista. Tak pantas untuk mendapatkan ampunan, jawab Nabi Musa."

"Tidakkah kamu tahu, perbuatan yang lebih jahat dari apa yang telah di perbuat oleh perempuan itu, Allah masih mengampuninya? ucap Malaikat Jibril."

"Perbuatan jahat yang bagaimana yang melebihi kejahatan perempuan itu, ya Jibril? tanya Nabi Musa."

"Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tegas Jibril."

Yai Bashir menutup ceritanya.

"Allah...." Abimanyu kian tertunduk.

"Nak, Allah Maha Pengampun dan Maha penerima taubat hamba-Nya," Yai Bashir menepuk bahu Abimanyu yang bergetar karena isakan halus yang ia tahan.

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar ... itu petikan arti suroh An-nisa ayat 48."

Yai menenangkan seorang pria yang menjadi tamunya sebab ditolong salah satu santri khidmat saat menjelang subuh dari sebuah semak.

"Nanti kita bahas asbabun nuzuul dari ayat tadi, lain waktu. Sekarang silakan istirahat dahulu...." saran Yai padanya.

Abimanyu dibantu oleh seorang santri menuju kamar tamu yang letaknya dekat dengan Aula.

Sepanjang perjalanan, dia hanya diam menunduk. Bahkan ia merasa hina ketika berjalan beriringan dengan sosok alim di sebelahnya ini.

"Bahkan aku tak kuasa mengangkat wajahku meski padanya. Bagaimana aku menghadapimu nanti, Zaylin," batin Abimanyu.

Tak lama, langkah kaki yang belum sepenuhnya normal kembali itupun menginjak teras kamarnya.

"Makasih banyak sudah diantar, Kang," ucap Abimanyu pada santri pendampingnya.

"Sami-sami, Kang. Selamat rehat," ucapnya ramah seraya meninggalkan sang tamu.

Pria yang akrab dipanggil Abim dalam circle dahulunya itu, membuka pintu pelan. Ia bersegera menuju toilet didalam kamar, berwudhu.

Lama dia berada di sana, berusaha mengingat kembali urutan tata cara mensucikan diri dari hadas.

Setelah menggali ingatan di masa remajanya, ia pun berhasil menunaikan rukun wudhu dengan sempurna.

"Alhamdulillah...."

Kini ia bingung, bagaimana cara sholat yang baik dan benar. Sungguh dirinya lupa akan gerakannya. Tiga hari tak sadarkan diri bahkan terkapar di tempat tidur selama hampir dua bulan di tempat ini. Ia hanya di beritahu tata cara tayamum.

"Bahkan ponselku pun, entah kemana. Gak bisa browsing," keluhnya putus asa.

Ia kemudian mencoba melakukan sholat dengan sisa ingatan saat dirinya masih menjadi seorang anak yang patuh.

...***...

Esok hari. Ba'da dzuhur, menjelang acara Maulid.

Abimanyu melihat gadis yang semalam saat di kediaman Yai Bashir. Siang ini Zaylin mengenakan gamis coklat pastel dengan hijab marun. Sangat manis berpadu dengan kulitnya yang cerah.

Dia nampak sibuk mengatur para santri putri yang akan bertugas mengisi acara pembukaan nanti.

"Tegas namun lembut," lirih Abimanyu mencuri pandang dari teras kamarnya.

"Ayo, kita latihan lagi. Satu putaran ya, setelah ini kita rehat. Bu Aylin masih harus memastikan team make-up untuk kalian telah siap atau belum," ujar Aylin meminta agar anak didik tak langsungnya itu mengikuti arahan akhir GR.

"Buuuuuu, haus," keluh para santri kompak bagai paduan suara.

"Lihat Ibu aja, adem kek aer es dan manisnya pas," selorohnya dengan wajah tersenyum untuk para santri putri di hadapannya.

"Huuu, Ibuuuuuu," seru santri melayangkan protes membuat Zaylin tertawa.

Abimanyu ikut tersenyum melihat Zaylin begitu luwes dan ceria menangani keluhan anak didiknya itu.

"Diabetes, kamu terlalu manis," gumam Abimanyu mendengar celotehan Zaylin.

"Yang ikhlas biar jadi pahala. Dobel, karena bikin Ibu happy juga," imbuhnya lagi memberi semangat.

Akhirnya latihan mereka pun usai. Zaylin kembali sibuk dengan staff lainnya. Hingga tanpa Abimanyu duga, Zaylin duduk di belakang backdrop dengan dua orang wanita yang tak kalah sibuk dengannya.

Dia leluasa memandang sosok yang mencuri perhatiannya itu.

"Cantik."

"Aylin, jangan nengok ya. Sepertinya tamu Yai sedang memperhatikan kita, mungkin kamu," salah seorang wanita menyerahkan selembar kertas pada Zaylin.

Gadis berhijab marun ini pun membacanya, lalu perlahan bangkit meninggalkan tempat itu, sendiri. Menyelipkan catatan untuk salah satu rekannya.

"Maaf ya teman-teman. Aku pindah." Tulis Zaylin.

"Apa dia tamu pria yang semalam ya?" batin Zaylin.

"Zaylin, aku meragu sekaligus mendamba," ucap Abimanyu dalam hati.

.

.

...__________________________...

BAB 3. PERKENALAN

Saat acara berlangsung.

Zaylin terlihat sangat sibuk mengatur para anak didik yang akan pentas. Ditambah dia harus berkoordinasi dengan semua staff yang terlibat dibawah naungannya.

Karena Zaylin bukan bagian dari pesantren secara umum, maka dia sedikit kesulitan saat harus berkomunikasi dengan para staff pria.

Kala ia dengan tegas memberikan instruksi, mereka malah menunduk. Tak ingin bersitatap langsung dengan sang Korlap.

"Ustadz, afwan. Saya juga berusaha meminimalisir pandangan. Maka dari itu, saya memberikan instruksi dan kita berkoordinasi dengan selembar kertas. Saya harap, jika ada pertanyaan silakan ajukan saat ini juga sebelum acara inti. Karena ini menyangkut pelayanan akhir untuk para tamu yang hadir dari luar kota," ujarnya dengan intonasi lebih tegas pada rekan-rekan prianya itu.

Lima belas menit briefing akhir yang menegangkan baginya, usai sudah.

Kedua kakinya sudah berontak meminta untuk beristirahat. Saat semua tugasnya sembilan puluh persen selesai, Zaylin duduk di belakang stage. Dekat paviliun tamu.

Mahallul Qiyam.

Baru saja ia duduk, harus bangun lagi. Semua aktivitas berhenti sebagai penghormatan bagi baginda Rosulullah.

Pembacaan maulid kali ini menggunakan dua kitab, barzanji dan simtudduror. Zaylin menunduk, meneteskan air mata bahkan hingga bahunya bergetar.

Abimanyu berada tak jauh dari tempatnya, karena kaki yang masih di gips tidak memungkinkan ia melangkah jauh terlebih di tengah keramaian seperti ini.

"Apa yang membuatmu menangis?" ucap Abimanyu dalam hati.

"Rindu padamu ya Rosulullah, rindu serindunya...."

(allahumma sholli ala sayyidina Muhammad)

Bukan hanya Zaylin, beberapa santri wanita senior yang berada tak jauh darinya pun sama. Abimanyu semakin dibuat penasaran, lantunan yang ia dengar mengapa sangat berpengaruh pada barisan orang-orang di hadapannya hingga mereka meneteskan air mata.

Abimanyu berusaha menghayati, ia menarik nafas panjang, memejamkan mata.

Nyes.

"Apa ini? rasa apa ini?"

"Shollallah ala Muhammad. Shollallah alaihi wasallam...."

"Ya nabi, salam alaika ... ya rosul, salam alaika...."

Lantunan pujian menyambut kehadiran Rosulullah, terus mengalun. Bergema memenuhi angkasa malam.

"Rasanya...." Abimanyu hanya bisa tertunduk. Ikut larut dalam syahdu. Tanpa terasa bulir beningnya ikut turun.

"Eh, ini?" Ia pun terheran dengan dirinya.

"RahmatNya kah? syafaat nya? apakah pantas untuk hamba seperti ku?"

Hingga acara usai, Abimanyu baru mengetahui apa itu khidmat. Bagaimana rasanya menangis tanpa sebab namun sangat membuat hati lega.

(hayo pernah ngalamin gak? ada siir, dalam setiap kitab, yang mempunyai pengaruh ke hati dan jiwa bagi setiap pembaca atau pendengarnya)

...***...

Keesokan hari.

Pagi ba'da duha. Zaylin memilih tidur kembali setelah semalam dia berjibaku hingga menjelang dini hari.

Hari ini semua lembaga pendidikan Al-Islamiyah diliburkan agar para staff yang ikut terlibat di acara akbar pondok semalam dapat beristirahat sejenak.

Pintu asrama wakil kepala sekolah itu diketuk beberapa kali oleh santri khidmat. Namun karena fisik yang sangat lelah, Zaylin tak mendengar suara apapun. Dia tertidur pulas.

Jam dua siang alarm ponsel gadis mojang Pasundan ini berbunyi untuk terakhir kalinya setelah jeda yang ia setting setiap sepuluh menit hingga empat kali. Zaylin akhirnya terbangun.

Matanya sukses membola seketika mendapati jarum jam di dinding telah menunjukkan angka dua tepat.

"Innalillahi, belum dzuhur!"

Blugh.

Nyawa belum sepenuhnya terkumpul, kaki yang masih lemas juga kepala sedikit pusing sukses membuat tubuhnya limbung. Nona cantik itu terjatuh di sisi ranjang.

"Sakit."

Setelah perjuangan melawan kantuk juga sakit pada lututnya. Ia pun menunaikan sholat nya yang terlambat.

Tepat saat sempurna gerakan salam kekiri, pintu kamarnya diketuk kembali oleh seseorang. Zaylin bangkit perlahan masih menggunakan mukena, dan membuka pintu.

"Assalamu'alaikum, Bu Aylin. Nanti ba'da maghrib diminta ke ruang tamu Aula," ujar santri mengabarkan berita untuknya.

"Ada apa ya?" tanya Zaylin.

"Kurang paham Bu, itu saja, permisi," jawabnya lagi sambil lalu dari hadapan sang wakil kepala sekolah.

Pintu kamar hendak ia tutup kembali, namun seruan seorang wanita yang datang menghampiri, menahannya.

"Lin, ini makan siang. Eh, ada gosip, kamu mau dikenalkan sama tamunya Yai ya?" tanya Wirda, sahabat sebelah kamar. Seorang guru sekolah dasar di komplek pendidikan yang sama dengannya.

"Loh, gak tahu. Emang iya?"

"Entah. Katanya orang Jakarta. Beliau kalau gak salah korban pembegalan itu loh," imbuhnya lagi.

"Yang mana? ko aku gak denger ya kabar itu," balas Zaylin.

"Ganteng, kata adekku," sambung Wirda. Adiknya masuk boarding school disana, sering melihat sosok yang sedang hangat diperbincangkan oleh para staff bahkan santri khidmat wanita di pondok.

"Bodo ah, lapar. Belum tentu juga benar," tegas Zaylin menutup pintu kamarnya setelah ia menerima baki yang berisi makanan dari Wirda.

Ba'da maghrib.

Gadis ayu itu menaiki sepeda motor vario putih miliknya menuju pondok sesuai permintaan sang pimpinan.

Beberapa saat kemudian. Saat ia telah masuk ke ruangan Aula yang bersekat dengan area lelaki.

"Aylin, di sana ada seorang pria yang berniat mengenalmu lebih dalam. Kamu bersedia?" tanya Nyai Bashir.

Wanita yang ia kagumi sekaligus junjung sebagai tauladan ini menjelaskan segalanya tentang calon yang ingin di perkenalkan.

Degh.

Samar Zaylin melihat sosoknya yang terlihat bersahaja dari balik tirai. Hingga sekat ruangan itu di buka, membuat wajah ayu yang tak siap menghadapi tatapan seorang pria itu pun tertunduk dalam.

"Aylin, seperti yang Nyai sampaikan. Silakan utarakan keinginanmu dulu pada Mas Abimanyu," ucap Yai Bashir.

"Hmm ... Aku," ucapnya tertunduk.

"Kenalan saja dulu Zaylin, namaku Abimanyu Yasa, selisih dua tahun denganmu, Orang tuaku di Jakarta. Aku disini karena ditolong oleh beliau," tuturnya lembut.

"Betul, kenalan dulu ... jika memang punya sedikit rasa, silakan dilanjutkan," sambung Nyai.

Zaylin memberanikan mengangkat wajahnya. Kedua manik mata hitamnya bertabrakan dengan sorot mata teduh milik Abimanyu.

"Allah," batin Zaylin terkejut melihat sosok tampan di hadapannya itu. Ia pun menunduk kembali.

"Gimana?" bisik Nyai

"Alif Lam Mim, Yai," cicitnya ragu sekaligus malu.

"Nak Abim?"

"In sya Allah, aku serius dengan niatan ku...."

"Aylin, ada yang ingin disampaikan? sebelum beliau menemui walimu?" imbuh Yai.

"Jawabanku, aku hanya ingin menikah dengan seorang yang takut dengan Allah."

"Alasannya?" tanya Abim.

"Karena beliau akan memperlakukan aku dengan benar, sebab rasa takutnya pada Allah," tegas Zaylin mentap tajam pada Abimanyu.

Glekk.

"Aibku? apakah kau sanggup menerima?"

Kedua Sepuh di hadapan Zaylin hanya tersenyum. Sosoknya yang terlihat tegas terkadang membuat pria yang ingin mendekatinya urung maju, juga karena posisi karir gadis itu sebagai women on top, tak sedikit lelaki yang merasa insecure terhadapnya.

"Aku punya masa lalu kelam, kau masih mau melanjutkan?" desak Abimanyu.

"Pendapat ku ... bukankah jodoh sudah tertulis di Lauh Mahfudz. Mau dari jalan manapun bila memang dia ya tetap ketemunya dia ... yang membedakan adalah rasa berkahnya, bukan tentang apa atau siapa ... tetapi bagaimana cara Allah mempertemukannya ... diulur hingga terasa lembut dan mesra atau justru dilempar dengan penuh murka," tegas Zaylin lagi.

"Final answers?" Abimanyu menunggu jawaban dari gadis yang terlihat sangat cantik, bila dilihat dari dekat.

.

.

...___________________________...

...Robbi 'aqbal 'alainaa, Marhaban bii Robbi... Alalhummaj 'alnaa minal hadirin, ma'al hadiriina min ahlil hudhuuri... niat mommy hadir di setiap Majlis ilmu/maulid yang tak bisa dihadiri... ❤...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!