Suara dentuman musik begitu memekakkan telinga, jika didengar oleh orang yang tidak terbiasa. Namun, lain cerita bagi Soraya dan ketiga rekannya, yaitu Dena, Astrid, dan juga Rahma. Sungguh merupakan sebuah pemandangan yang teramat miris, pasalnya mereka berempat bukan lagi gadis remaja yang masih labil dalam menentukan jati diri.
Soraya Harsha Rojas. Dia merupakan janda berusia empat puluh lima tahun dan memiliki seorang anak gadis bernama Beatrice Agatha Rojas. Anak yang dia dapat dari hasil pernikahan bersama bule asal Spanyol, yang bernama Francesco Rojas. Dia merupakan seorang pengusaha kaya yang telah meninggal dunia sekitar beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, Soraya yang awalnya bermukim di kota Madrid, memutuskan untuk kembali ke Indonesia dengan membawa warisan berjumlah tak terhingga. Hal itulah yang membuat Soraya menjadi seorang sosialita, dengan kehidupannya yang serba mewah. Dunia malam dan barang mewah seakan menjadi makanan sehari-hari bagi Soraya dan ketiga rekannya.
"Hey, Aya! Kamu kan sudah lama jadi janda, apa tidak ada niat buat kawin lagi?" tanya Astrid, wanita berusia empat puluh enam tahun dengan ukuran dada yang sangat spektakuler. Ukuran itu dia dapatkan saat berjalan-jalan ke Brazil, bersama sang suami yang merupakan pengusaha batu bara. Namun, sayangnya pria itu memutuskan menikah lagi untuk yang ketiga kalinya, dengan seorang model berusia dua puluh enam tahun. Astrid tidak peduli dengan hal itu. Baginya, selama kebutuhan materi masih terpenuhi, maka tak ada masalah yang terlalu berarti. Astrid lebih senang mengalihkan perhatiannya dengan cara bersenang-senang. Menghamburkan uang adalah cara yang tepat untuk memuaskan diri.
Soraya tampak mengibaskan tangan sebagai tanda tidak setuju dengan pertanyaan Astrid. Setelah meneguk minumannya, wanita bertubuh sintal itu menjawab pertanyaan dari sang rekan. "Situ saja yang punya suami merasa seperti gadis," ucapnya, "nggak, nggak! Aku sudah nggak kepikiran untuk nikah lagi," lanjut Soraya kembali meneguk minumannya.
"Iyalah, kamu sudah tahu ukuran bule sebesar apa, mana mungkin mau cari yang lokal," ledek Dena sambil mengisap rokok, kemudian mengepulkan asapnya. Dena merupakan seorang perawan tua. Usianya hampir sama dengan Soraya. Sayangnya, dia memutuskan untuk tidak menikah, setelah hampir tiga kali gagal menuju ke pelaminan.
"Nah, itu kamu tahu, Den," sahut Soraya diiringi gelak tawa Rahma yang tengah asyik menggerakkan tubuh, mengikuti dentuman musik keras yang seakan tanpa henti.
Rahma yang berusia paling muda di antara teman-temannya. Rahma masih berusia tiga puluh lima tahun. Dia merupakan wanita simpanan seorang pejabat daerah. Wajahnya memang cantik serta ditunjang dengan postur tubuh yang ideal.
"Ada atau tidak ada suami dalam hidup kita, kenyataannya aku, kamu, dan kalian semua masih bisa tertawa lepas seperti saat ini," ujar Soraya sambil kembali meneguk minumannya.
Itulah sebagian dari kehidupan Soraya, setelah dirinya kembali ke Indonesia dengan menyandang status janda. Kehidupannya seakan tak ada aturan. Dia pulang dan pergi kapanpun dirinya mau. Soraya jarang sekali ada di rumah. Siang hari, dia sibuk dengan berbagai kegiatan bisnis, sementara malam dia gunakan untuk berkumpul bersama para sahabat. Namun, ada yang berbeda kali ini, ketika Soraya baru saja pulang dari Clubbing. Seperti biasa, dia akan tiba di rumah sekitar pukul satu malam.
Tak biasanya, Beatrice sang putri masih terjaga. Gadis itu duduk di sofa ruang tamu sendirian, menunggu kepulangan Soraya.
"Bea? Kamu belum tidur, Sayang?" Soraya duduk tak jauh dari putrinya sambil melepas sepatu. "Haduh, pegal sekali!" keluhnya sambil menggerak-gerakkan kaki.
"Aku mau bicara serius sama Mama," sahut Beatrice. Seperti biasa, gadis berusia dua puluh dua tahun itu tak menunjukkan terlalu banyak ekspresi.
Beatrice memang seorang gadis rumahan yang cenderung introvert. Dia akan menghabiskan sebagian besar waktunya dengan buku-buku tebal. Karakter Beatrice merupakan kebalikan dari sang ibu yang gemar hangout hingga larut malam.
"Bicara tentang apa? Kedengarannya serius banget," tanya Soraya sambil menguap panjang. Dia menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, sambil menopang kening dengan tangan kanan yang dia letakkan pada pinggirannya.
"Ya, ini memang serius," jawab Beatrice. Sikap duduknya masih tegak, dengan kedua kaki yang dirapatkan dan tangan di atas pangkuan. Tatapannya tertuju lurus kepada sang ibu, membuat Soraya kembali menegakkan posisi duduknya.
"Apa bisa dibicarakan besok saja?" tawar Soraya karena dia benar-benar merasa lelah dan mengantuk. Akan tetapi, Beatrice segera menggeleng. Soraya pun hanya bisa mengempaskan napas pelan. "Oke, bicaralah," pada akhirnya dia pun mengalah.
Beatrice membuang napasnya yang berat sebelum mengutarakan perihal penting dalam hidupnya. Keputusan yang sudah diambil Beatrice karena tidak tahan dengan keadaan di dalam rumah ini. Setiap hari dia merasa hidup seorang diri di rumah megah ini, hanya tumpukan buku yang menemaninya setiap hari. Hidup bergelimang harta nyatanya tak bisa mengusir rasa sepi yang selama ini dirasakannya.
"Aku ingin menikah!" ucap Beatrice dengan tegas.
Soraya terkesiap setelah mendengar permintaan singkat putri semata wayangnya itu. Rasa kantuk yang sempat mendera, kini hilang entah kemana. Soraya membenarkan posisi, menatap wajah cantik putrinya. Mencoba mencerna permintaan yang menurutnya tidak masuk akal.
"Coba katakan sekali lagi, Be!" ujar Soraya setelah meyakinkan diri jika putrinya salah berucap.
"Aku ingin menikah dengan pacarku, Ma!" ucap Beatrice sekali lagi.
Soraya hanya diam setelah mendengar permintaan Beatrice untuk yang kedua kalinya. Ada rasa tidak percaya dengan pemintaan konyol itu. Bukan tanpa sebab Soraya tidak percaya dengan permintaan itu, pasalnya dalam pengamatan Soraya selama ini, Beatrice tidak pernah membawa pulang seorang pria.
"Bea Sayang, ini sudah larut malam." Soraya menyilangkan kakinya, "lebih baik kamu tidur dulu biar bisa berpikir jernih," ucap Soraya dengan senyum manis.
"Ah, Mama tahu ... sepertinya, kamu tadi sudah tidur dan mimpi bertemu pangeran ya, sehingga kamu minta menikah." Soraya mencoba menebak apa yang sudah terjadi dengan putrinya.
Kali ini justru Beatrice lah yang tercengang setelah mendengar jawaban Soraya. Dia menggeleng beberapa kali sambil menatap wajah ibunya dengan tatapan tak percaya. Apalagi, setelah melihat ibunya berdiri dari sofa sambil membawa tas dan sepatunya.
"Bea, lebih baik sekarang kamu tidur. Mama pun ingin tidur," pamit Soraya sebelum meninggalkan putrinya di ruang tamu seorang diri.
Beatrice menyandarkan tubuh di sandaran sofa setelah melihat kepergian ibunya. Inilah yang membuat gadis berambut cokelat itu semakin kesal. Ibunya hanya sibuk bersenang-senang tanpa memikirkan keadaannya. Bahkan, untuk masalah serius seperti ini, Soraya hanya menanggapi jika keinginan Beatrice hanya sebuah mimpi.
"Aku tidak akan menyerah sebelum Mama memenuhi permintaanku," gumam Beatrice sebelum pergi dari ruang tamu.
...🌹Terima kasih sudah membaca karya ini, semoga suka🌹...
...🌷🌷🌷🌷🌷🌷...
Lipstik merah merona menghiasi bibir tipis milik Soraya. Pagi itu penampilannya terlihat sempurna. Bulu mata lentik serta blush on merah muda semakin menunjang kecantikannya. Wanita bertubuh sexy tersebut, segera meraih tas branded yang ada di atas meja rias sebelum keluar dari kamar.
Satu per satu anak tangga telah dilaluinya hingga tiba di lantai pertama. Soraya kemudian mengayun langkah menuju ruang makan untuk sarapan bersama putri semata wayangnya, Beatrice. Akan tetapi, kali ini dugaan Soraya salah, karena ternyata Beatrice belum ada di sana.
"Ke mana dia? Tidak biasanya Bea terlambat datang ke meja makan," Soraya bergumam sambil merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya.
Akan tetapi, suara derap langkah seseorang membuat Soraya mengurungkan niat untuk menghubungi Beatrice, karena gadis cantik itu baru saja tiba di sana dan duduk pada salah satu kursi di meja makan. Tersungging senyuman manis dari Soraya untuk anak gadisnya.
"Aku kangen huevos rotos," gumam Beatrice pelan saat melihat menu sarapan yang tersaji di atas meja. Huevos rotos merupakan salah satu menu sarapan khas Spanyol, berupa telur yang dipadukan dengan daging asap dan juga kentang. Dengan sedikit malas-malasan, Beatrice mulai mengisi piringnya yang masih kosong.
Roti panggang dan segelas jus jeruk adalah menu sarapan pagi itu. Keduanya hanya diam saja sambil menikmati selai cokelat yang dioles di atas roti panggang tersebut. Sesekali Beatrice melirik sang ibu untuk mencari celah. Pagi itu, dia akan kembali membahas permintaan yang telah diutarakannya pada tadi malam.
"Bea, nanti Mama pulang terlambat. Kamu makan malam sendiri gak masalah 'kan?" ucap Soraya setelah menghabiskan makanannya. Tatapan mata wanita itu tertuju pada Beatrice, yang tengah mengunyah roti lalu meneguk jus jeruk hingga tersisa setengah di dalam gelas.
"Bukannya setiap malam juga aku seperti itu, Ma?" sindir Beatrice seraya membalas tatapan ibunya dengan lekat.
Soraya hanya tersenyum saat mendengar komentar dari Beatrice. Tak dapat dipungkiri bahwa Beatrice kerap makan malam seorang diri, "Mama ada pekerjaan di kantor. Selain itu, Mama juga harus ke toko sebentar. Tolong pengertiannya, Sayang," jelas Soraya seraya mengusap punggung tangan Beatrice dengan lembut.
Beatrice meletakkan gelas yang sedang dia pegang seraya mengempaskan napas pelan. "Aku selalu berusaha untuk pengertian," sahutnya. Sesaat kemudian, gadis berambut cokelat itu terdiam dan tampak berpikir. "Ma, aku ingin menikah!" Beatrice sepertinya tidak ingin berbasa-basi lagi. Dia kembali membahas masalah yang sama seperti tadi malam.
Soraya kembali mengembangkan senyum manisnya setelah mendengar permintaan Beatrice. Baginya permintaan konyol sang putri itu tidak perlu ditanggapi lagi. Dalam pikiran Soraya, Beatrice hanya sedang bermain-main atau mungkin saja anak gadisnya itu ingin mencari perhatian saja.
"Bagaimana, Ma? Apa boleh aku menikah dalam waktu dekat?" tanya Beatrice sekali lagi, karena Soraya tak kunjung menjawab pertanyaannya tadi.
"Bea Sayang, lebih baik kamu jalan-jalan dulu deh. Sepertinya kamu butuh liburan," ucap Soraya tanpa melepaskan pandangan dari wajah putrinya, "ah ... Mama ada ide! Bagaimana kalau Mama menyiapkan tiket liburan untukmu? Kamu bisa berkunjung ke rumah bibi Ursula di Madrid," usul Soraya sambil menggerakkan bola matanya ke kiri dan ke kanan, berharap agar Beatrice setuju dengan idenya.
Beatrice membuang napasnya kasar setelah mendengar jawaban sang ibu. Sungguh, bukan itu yang Beatrice harapkan. Dia hanya butuh satu jawaban yang pasti dari ibunya—Iya atau tidak—bukan jawaban ngelantur yang jauh dari pembasahan utama.
"Oh My God!" seru Soraya tatkala melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Sepertinya, dia terlambat berangkat ke perusahaan, "Sayang, maaf ya ... Mama harus berangkat sekarang!" ucap Soraya saat berdiri dari tempatnya.
Sebelum meninggalkan ruang makan tersebut, tidak lupa Soraya mengecup pucuk kepala Beatrice dengan penuh kasih. Setelah itu, dia segera pergi dari ruang makan tanpa menanggapi permintaan dari Beatrice. Ini adalah keadaan yang sama seperti tadi malam.
"Mama!" panggil Beatrice terlihat geram setelah Soraya meninggalkannya begitu saja. Namun, Soraya tidak menyahut sama sekali. Wanita bertubuh sintal itu begitu terburu-buru. Hari ini dia ada pertemuan penting untuk membahas peluncuran model perhiasan terbaru dari perusahaannya yang bernama Royal Impression Jewerly.
Beatrice hanya dapat memijat pangkal hidungnya, karena pusing memikirkan keinginan yang belum disetujui oleh Soraya. Kekesalan yang tersimpan dalam hati pun semakin bertambah, karena Soraya tidak menggubris permintaannya. Ibunya itu bahkan menganggap permintaan yang dia utarakan hanya sekadar khayalan belaka. Lalu, harus bagaimana lagi Beatrice meyakinkan sang ibu, bahwa permintaannya bukan sebuah khayalan.
"Sepertinya, aku harus bicara dengan Dirga. Dia pasti bisa memberikan solusi untuk semua masalah ini," gumam Beatrice sebelum meninggalkan ruang makan. Dia lalu berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Setelah mengambil cardigan dan tas selempang kecil kesayangannya, gadis berusia dua puluh dua tahun itu pun keluar dari rumah.
Dengan diantar oleh seorang sopir pribadi, Beatrice yang sebelumnya telah membuat janji dengan Dirga, langsung menuju ke tempat di mana mereka biasa bertemu. Seperti biasa, dia akan datang lebih awal ketimbang kekasih itu. Maklum saja, karena Dirga bepergian ke manapun hanya dengan mengendarai sepeda motor bututnya yang kerap ngadat.
Sambil menunggu kedatangan sang kekasih, Beatrice duduk sendiri pada kursi taman yang terletak di bawah sebuah pohon. Pikirannya melayang pada beberapa waktu silam, saat pertama kali dia bertemu dan berkenalan dengan sosok Dirga Aditya, pemuda yang kini mengisi hatinya.
Saat itu, Beatrice tengah membaca buku seorang diri, ketika tanpa diduga Dirga datang menghampiri dan menyodorkan selembar foto kepadanya. "Maaf, aku mengambil foto kamu tanpa izin. Habisnya, ngga ada objek lain yang bisa kupotret di sini," ujar pemuda berusia dua puluh lima tahun itu sambil memamerkan senyuman ramah.
Beatrice melihat sekeliling taman tersebut, sebelum dia menanggapi ucapan dari pemuda di hadapannya. "Di sini ada pohon, bunga, rumput, dan juga susunan paving block yang rapi. Kenapa harus mengambil fotoku?" protes gadis itu dengan nada bicara dan ekspresi yang biasa saja.
Pemuda dengan gaya rambut belah pinggir itu kembali tersenyum. Dia lalu duduk di sebelah Beatrice dengan tetap memberi jarak. Terlihat jika dirinya merupakan seseorang yang sopan dalam bersikap. Dia lalu menoleh kepada gadis cantik berambut panjang di sebelahnya. "Kamu mau tahu kenapa? Karena ada satu hal yang terlihat sangat unik dari diri kamu," jawabnya.
"Apa itu?" tanya Beatrice seraya menautkan alisnya.
"Lihatlah. Di saat semua cewek seusia kamu sibuk dengan gadget, sedangkan kamu lebih memilih buku. Kita punya hobi yang sama." Dirga tersenyum simpul setelah mengucapkan alasan tersebut.
...🌹Terima kasih sudah membaca karya ini semoga suka 😍🌹...
Seutas senyuman tipis terbit dari bibir Beatrice, ketika mengenang saat pertama kali dirinya bertemu dengan sang kekasih—Dirga—di tempat itu. Dia adalah seorang pria manis yang berhasil mencuri hatinya hampir setahun yang lalu. Tatapan mata Beatrice lurus ke depan, saat mengingat memori indah bersama pemuda dengan kehidupannya yang bersahaja itu.
Akan tetapi, semua bayang-bayang indah tadi harus menguap begitu saja, ketika Beatrice merasakan ada sentuhan tangan seseorang di pundaknya. Tentu saja dia tahu siapa pemilik tangan yang berani menyentuh dirinya. Senyum yang sangat manis pun Beatrice persembahkan untuk pria yang saat itu segera duduk di sampingnya.
"Maaf aku terlambat," sesal Dirga setelah duduk bersandar di sisi Beatrice yang menatapnya dengan rona penuh cinta.
"Tidak apa-apa. Sepuluh menit tak masalah bagiku," ucap Beatrice seraya tersenyum lembut.
"Bagiamana kabarmu hari ini?" tanya Dirga lagi tanpa mengalihkan pandangan dari pemilik rambut cokelat itu.
Beatrice mengedipkan mata beberapa kali saat mengamati wajah manis yang selalu hadir dalam mimpinya, "Seperti yang kamu lihat saat ini, aku baik-baik saja," jawab gadis itu ceria. Setidaknya hanya di hadapan Dirga lah, dia bisa bersikap seperti itu. Bagi Beatrice, Dirga bukan hanya seorang kekasih, tetapi juga sebagai teman bicara yang baik.
Obrolan pun terus berlanjut, karena banyak hal yang diceritakan Dirga kepada Beatrice. Salah satunya ialah tentang adik bungsu Dirga yang baru saja masuk Sekolah Menengah Pertama. Sesekali, pemuda itu tersenyum ketika dirinya teringat akan momen lucu adiknya di masuk awal sekolah.
"Oh iya, Be. Apakah ada masalah penting sehingga kamu mengajakku bertemu sepagi ini?" tanya Dirga terus menatap Beatrice.
"Ya. Ada satu hal penting yang mengganggu pikiranku saat ini," jawab Beatrice di sela-sela helaan napasnya yang berat.
Mendengar hal itu membuat Dirga mengubah posisinya. Dia menggeser duduknya sehingga menjadi lebih dekat dengan sang kekasih, agar tidak salah dengar saat gadis berambut panjang itu dalam menjelaskan perihal penting yang dimaksudnya.
"Sebenarnya ... emmm, aku—" ucapan Beatrice terhenti karena dirinya merasa ragu. Dia mengamati wajah manis itu untuk sesaat sebelum melanjutkan ucapannya.
"Katakan saja, Be. Jangan takut," ekspresi wajah Dirga berubah menjadi serius setelah melihat kegundahan dari sorot mata Beatrice.
Untuk sesaat Beatrice hanya diam saja. Mungkin, dia sedang merangkai kata untuk mengungkapkan keinginannya kepada Dirga. Bahkan, Beatrice sendiri tidak tahu apakah Dirga akan setuju dengan rencana tersebut. Beatrice menggerakkan bola matanya ke kiri dan ke kanan saat meyakinkan diri jika rencananya itu bukanlah sesuatu yang membuat Dirga akan menjauh darinya.
"Mari kita menikah," ajaknya dengan pandangan yang tak lepas dari Dirga.
Bibir bervolume Dirga sedikit terbuka setelah mendengar tiga kata yang lolos dari bibir sang kekasih. Ada rasa tidak percaya yang menyelinap ke dalam hati. Dirga bahkan belum berpikir untuk menikah dalam waktu dekat. Ada banyak mimpi yang harus digapai dengan kerja keras, mengingat dirinya bukan terlahir dari kalangan orang berada seperti Beatrice.
"Kenapa hanya diam saja? Kamu tidak bersedia menikah denganku?" tanya Beatrice setelah merasakan keheningan di antara mereka berdua.
Dirga tersadar dari angan yang sempat hadir dalam ingatan. Dia mengalihkan pandangan dari wajah cantik Beatrice untuk mencari jawaban yang tepat bagi gadis yang sangat dicintainya itu, "Apa kamu serius, Be?" Dirga meyakinkan permintaan Beatrice.
Kali ini justru Beatrice yang mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia kembali memantapkan hati, bahwa Dirga adalah pria terbaik dalam hidupnya. Ya, ternyata Beatrice belum membahas perihal penting itu bersama Dirga sebelum dirinya menyampaikan permintaan tersebut kepada Soraya tadi malam.
"Aku serius! Aku ingin menikah denganmu!" ujar Beatrice dengan yakin.
"Bea Sayang. Aku sangat mencintaimu. Akan tetapi, jika menikah dalam waktu dekat ini rasanya tidak mungkin," tolak Dirga setelah menggenggam tangan Beatrice.
"Kenapa? Apa yang membuatmu ragu?" selidik Beatrice seraya menatap manik hitam Dirga.
Dirga mengalihkan padangan ke arah lain. Kaki kanannya disilangkan di atas kaki kiri. Pikiran pria manis itu mulai melanglang jauh entah ke mana. Banyak sekali hal yang harus dipikirkan sebelum dirinya menikah dengan Beatrice. Perbedaan status ekonomi tentu menjadi hal utama. Dirga takut jika ibu kekasihnya tersebut tidak menyetujui hubungan mereka. Kehidupannya dengan Beatrice bagai langit dan bumi, sangat jauh berbeda. Dirga menjadi bingung menghadapi semua itu.
"Be, kehidupan kita sangatlah berbeda. Untuk saat ini aku tidak yakin bisa membiayai keluargaku dan dirimu. Kamu tahu sendiri 'kan berapa gajiku setiap bulan menjadi Barista?" tatapan mata Dirga dan Beatrice bersirobok.
"Aku tidak mempermasalahkan hal itu, Dir!" Beatrice mencoba meyakinkan Dirga jika semuanya akan baik-baik saja.
"Sayang, menikah itu butuh biaya yang besar. Apa yang harus aku berikan kepadamu saat melamar nanti? Aku belum siap secara finansial, Be," ucap Dirga penuh sesal.
Beberapa alasan dan keadaan ekonomi keluarga telah disampaikan Dirga kepada Beatrice. Pria manis itu hanya berharap jika Beatrice mau bersabar dan membiarkan dirinya berpikir terlebih dahulu. Dirga beranjak dari tempatnya. Dia berdiri membelakangi Beatrice sambil berkacak pinggang. Pandangan pria itu tertuju pada kolam ikan yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Melihat keraguan yang terlihat dari pancaran sorot mata sang kekasih, akhirnya membuat Beatrice beranjak dari tempatnya. Dia menghampiri Dirga yang sedang termenung di dekat kolam ikan yang ada di taman tersebut.
"Jangan memikirkan masalah itu. Mama bisa menanggung semua biaya pernikahan kita. Lagi pula, aku tidak ingin menyelenggarakan pesta megah seperti seorang putri raja." Beatrice terus mencoba untuk meyakinkan Dirga agar bersedia memenuhi permintaannya.
Dirga semakin bimbang setelah mendengar penjelasan Beatrice perihal biaya pernikahan. Sebagai pria sejati, Dirga merasa malu jika semua itu benar-benar terjadi. Akan diletakkan di mana harga dirinya di hadapan orang tua Beatrice, jika semua biaya ditanggung mereka. Rasa cinta yang begitu besar kepada gadis blasteran itu membuat Dirga semakin bingung. Dia pun tidak mungkin meninggalkan Beatrice. Akan tetapi, menyetujui permintaan itu pun rasanya begitu menakutkan.
"Bagaimana Dirga? Apa kamu setuju dengan permintaanku?" tanya Beatrice sekali lagi.
Dirga menutup kelopak matanya sebelum memberikan keputusan yang tepat untuk situasi itu. Dia tidak mau sampai salah mengambil keputusan. Sepertinya, mencari pekerjaan sampingan harus dilakukan Dirga setelah ini agar bisa segera menikah. Menikmati hasil kerja keras sendiri jauh lebih nikmat dari pada harus menengadahkan tangan terhadap orang lain.
Angin mulai berhembus mesra hingga membuat helaian rambut yang digerai itu menari-nari. Beatrice masih diam di sisi Dirga, karena sedang menunggu keputusan penting dari pria yang menjadi kekasihnya selama ini. Beatrice mengerti, permintaanya tadi bukanlah perkara yang mudah bagi Dirga. Maka dari itu, dia membiarkan sang kekasih berpikir untuk beberapa saat lamanya.
Dirga mengubah posisinya menjadi menghadap kepada Beatrice. Dia mengamati wajah cantik itu tanpa berkedip sedikit pun. Kedua manik hitam itu bertemu, saling menyelami telaga bening masing-masing lalu mengukur seberapa dalam perasaan yang ada di sana.
"Baiklah. Aku menerima permintaanmu. Kita akan menikah. Namun, beri aku waktu sebentar saja untuk berusaha lebih keras dalam mengumpulkan biaya pernikahan kita," ucap Dirga begitu yakin, seraya meraih jemari lentik Beatrice lalu menggenggamnya erat.
...🌹Terima kasih sudah membaca karya ini, semoga suka❤️🌹...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!