💜
💜
💜
💜
💜
Di sebuah rumah mewah, terlihat satu keluarga sedang membereskan barang-barang pribadi milik mereka.
“Pa, Ririn tidak mau pindah dari rumah ini,” rengek Ririn.
“Sayang, rumah ini sudah disita oleh bank, jadi kita semua harus segera mengosongkan rumah ini,” sahut Yudi, yang merupakan Papa Ririn.
“Tapi Pa, kita mau tinggal di mana?” tanya Yulia.
“Kita cari kontrakan saja, karena untuk saat ini uang Papa hanya cukup untuk bayar kontrakan, kita harus berhemat sampai Papa punya pekerjaan lagi,” seru Yudi.
“Tidak Pa, Ririn tidak mau tinggal di kontrakan, Ririn malu, apa kata teman-teman Ririn nanti,” rengek Ririn.
“Ririn, kamu harus menerima kenyataan kalau sekarang kita sudah jatuh miskin,” seru Yudi.
Keluarga Yudi jatuh miskin karena perusahaannya bangkrut akibat salah satu karyawannya sudah melakukan korupsi besar-besaran, sehingga untuk saat ini Yudi terpaksa mengajak anak dan istrinya tinggal di sebuah kontrakan kecil.
Awalnya Ririn sangat menolak tinggal di kontrakan, tapi lama-kelamaan Ririn pun bisa menerima nasibnya asalkan dengan syarat, Ririn tidak mau berhenti kuliah.
Orangtua Ririn akhirnya mengabulkan syarat dari Ririn, walaupun mereka harus bekerja banting tulang untuk membiayai kuliah Ririn.
Suatu hari, Ririn hampir saja tertabrak oleh mobil saat dia hendak menyebrang. Orang yang hendak menabrak Ririn itu adalah seorang pria tampan dan merupakan anak dari seorang pengusaha kaya raya.
“Astaga, Nona kalau mau nyebrang itu lihat-lihat dulu dong, untung aku bawa mobilnya pelan, bagaimana kalau aku ngebut, bisa celaka kamu!” bentak Bian.
“Masnya yang bawa mobil tidak hati-hati, tadi kan aku sudah melambaikan tangan supaya Masnya berhenti,” ketus Ririn.
Ririn mendongakan kepalanya dan menatap Bian, betapa terkejutnya Bian saat melihat Ririn.
“Ririn, kamu Ririn Ayundia, kan?” tanya Bian.
Ririn mengerutkan keningnya. “Kamu siapa? Kenapa kamu mengenalku?” sahut Ririn bingung.
“Aku Bian, Biantara Ganendra teman masa kecilmu dulu, dulu kan rumah kita bersebelahan.”
“Bian?”
Ririn tampak berpikir, hingga beberapa menit kemudian, Ritin pun teringat.
“Astaga, Bian si gendut?”
“Iya, betul sekali.”
“Ya ampun, sekarang kamu beda banget ya, tampan,” puji Ririn.
Bian membantu Ririn untuk berdiri. “Ah, kamu bisa saja, kamu juga terlihat sangat cantik.”
“Idih gombal.”
“Bagaimana kalau kita cari tempat untuk ngobrol?” seru Bian.
“Oke, bagaimana kalau di restoran saja?” tawar Ririn.
“Boleh, ayo masuk.”
Ririn pun akhirnya masuk ke dalam mobil Bian, dan Bian mulai melajukan mobilnya menuju sebuah restoran. Sesampainya di restoran, Bian langsung memesankan makanan untuknya dan juga Ririn.
“Oh iya, kamu pas lulus SMP pindah ke mana kok gak ngasih tahu aku?” tanya Ririn.
“Maaf, waktu itu terjadi masalah di perusahaan Papiku yang ada di Amerika, jadi kami pindah ke sana dengan terburu-buru bahkan aku juga gak sempat pamitan sama kamu,” sahut Bian.
“Oh.”
“Kalau kamu bagaimana? Bagaimana dengan kabar Om Yudi dan Tante Yulia?” tanya Bian.
Seketika raut wajah Ririn terlihat sedih, lalu Ririn menceritakan apa yang sudah terjadi mengenai keluarganya membuat Bian terkejut.
Setelah cukup lama berbincang-bincang, akhirnya Bian pun mengantarkan Ririn pulang.
“Bi, mau mampir dulu ke kontrakan aku?” tawar Ririn.
“Mau sih, tapi untuk saat ini sepertinya aku tidak bisa soalnya aku harus segera pulang, Papi sama Mami pasti akan ngomel-ngomel karena aku belum sampai rumah, lain kali saja aku pasti bakalan mampir ke kontrakan kamu,” sahut Bian.
“Ya sudah, sekali lagi terima kasih dan kamu hati-hati di jalan.”
Bian pun mulai melajukan mobilnya meninggalkan kontrakan Ririn, selama dalam perjalanan Bian terus saja menyunggingkan senyumannya, dia sangat bahagia bisa dipertemukan lagi dengan wanita yang sudah sejak dulu dia sukai.
“Akhirnya aku bisa menemukanmu lagi Ririn, aku sangat merindukanmu bahkan selama ini yang ada di hatiku hanyalah kamu,” batin Bian dengan senyumannya.
Sejak kecil, Bian memang sudah menyukai Ririn selain cantik, Ririn juga sangat perhatian kepada Bian sehingga Bian sangat mengagumi sosok Ririn.
Tapi Bian harus berpisah dengan Ririn karena perusahaan Papinya yang ada di Amerika mengalami masalah, selama Bian tinggal di sana, hanya wajah Ririn yang selalu terbayang di otaknya, makanya Bian bisa langsung mengenali wajah Ririn.
Berbeda dengan Ririn, dia tidak pernah punya rasa kepada Bian bahkan saat ini Ririn sudah mempunyai kekasih yang selama dua tahun ini mengisi hatinya, pria itu adalah Bima Kusuma seorang chef. Berkat kerja keras dan usahanya, saat ini Bima mempunyai sebuah restoran walaupun restoran itu masih terbilang sederhana.
Bian pun sampai di rumah mewahnya.
“Siang Mi, Pi,” seru Bian.
“Ya ampun, Bian, kamu kemana saja sih? Pulang dari Amerika bukanya langsung pulang malah keluyuran dulu, sopir kamu sampai pulang naik taksi karena kamu ingin bawa mobil sendiri,” seru Maharani.
“Maaf Mi, tapi Bian punya kabar bahagia, Mi.”
“Apa?”
“Barusan Bian bertemu dengan Ririn, Mi,” sahut Bian antusias.
“Ririn?” seru Maharani dan Ganendra bersamaan.
“Iya, Ririn anaknya Om Yudi dan Tante Yulia tetangga kita dulu,” sahut Bian.
“Ya Allah, kamu bertemu di mana dengan Ririn?” tanya Maharani.
“Di jalan Mi, tadi Bian hampir saja menabraknya tapi untung Bian dengan cepat menginjak rem.”
“Astaga, terus bagaimana keadaan Ririn?” tanya Ganendra.
“Tidak apa-apa kok, Pi.”
Bian pun menceritakan tentang keadaan Ririn dan orangtuanya membuat Maharani dan Ganendra merasa kasihan.
“Ya ampun, kasihan sekali Yudi,” seru Ganendra.
“Iya Pi, kita harus membantu mereka.”
“Kamu semangat banget, Bian,” goda Maharani.
Bian tersenyum canggung sembari menggaruk kepalanya.
“Mi, sepertinya ada yang aneh dengan putra kita, apa perlu Papi lamarkan Ririn untukmu?” goda Ganendra.
“Apaan sih Pi, jangan-jangan sekarang Ririn sudah punya kekasih,” sahut Bian.
“Tidak masalah, masih status kekasih belum menikah. Kamu bilang saja di mana alamat rumah mereka, biar besok Papi dan Mami menemui mereka,” seru Ganendra.
Bian tersenyum lebar, Bian memang sejak dulu menyukai Ririn, Bian hanya berharap kalau saat ini Ririn belum mempunyai kekasih.
***
Keesokan harinya...
Tok..tok..tok..
“Iya sebentar!” teriak Yulia.
Dengan setengah berlari, Yulia pun membukakan pintu dan Yulia tampak terkejut dengan kedatangan Bian dan kedua orangtuanya.
“Mbak Maharani.”
“Ya Allah, Yulia.”
Maharani dan Yulia saling berpelukan melepas rindu karena sudah lama tidak bertemu.
“Ayo Mbak, Mas, silakan masuk. Maaf ya, rumahnya kecil.”
“Tidak apa-apa, Yul.”
“Pa, Ririn, ini ada Mbak Maharani dan Mas Ganendra!” teriak Yulia.
Yudi dan Ririn pun langsung keluar dari dalam kamar, Yudi tampak menangis dan memeluk Ganendra yang merupakan sahabatnya itu.
Mereka semua pun berbincang-bincang hingga akhirnya Ganendra pun berdehem membuat semua orang menatapnya.
“Yudi, Yulia, kami sudah tahu semuanya dari Bian tentang masalah yang sedang dihadapi kalian, kebetulan saya punya perusahaan dan belum ada yang mengurus, maukah kamu mengurus perusahaan itu, Yudi?” seru Ganendra.
Yudi, Yulia, dan Ririn saling pandang satu sama lain, bahkan mereka tampak mengembangkan senyumannya.
“Ya Allah Mas, saya mau banget,” sahut Yudi.
“Dan kalian juga tidak perlu tinggal di rumah kontrakan ini, karena rumah kalian yang dulu sudah saya beli dan saya berikan untuk kalian,” seru Ganendra.
Ketiganya tampak terkejut. “Terima kasih Mas, sudah mau membantu keluarga kami, kami tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apa?” seru Yulia dengan deraian airmata.
“Yulia, kami ikhlas membantu kalian dan kalian tidak perlu melakukan apa-apa untuk membalasnya, cukup kamu berikan Ririn saja untuk Bian,” sahut Maharani.
Ketiganya sangat terkejut, terlebih lagi Ririn.
“Maksud Mbak Maharani apa?” tanya Yudi.
“Begini Yudi, kami ingin Ririn menjadi menantu kami,” sahut Ganendra.
Yudi dan Yulia tentu saja sangat bahagia tapi berbeda dengan Ririn yang tampak terkejut, dia tidak mau menikah dengan Bian karena dia sudah mempunyai kekasih.
“Bagaimana, apa kamu mau Nak, menikah dengan Bian?” tanya Maharani lembut.
Saking terkejutnya, Ririn sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi.
“Mbak Maharani tenang saja, Ririn akan menikah dengan Nak Bian, iya kan, Rin?” seru Yulia.
Ririn tetap diam, sedangkan Bian tersenyum sumringah karena Bian memang sudah dari dulu menyukai Ririn.
Setelah berbincang-bincang dan menentukan tanggal pernikahan, akhirnya Bian dan kedua orangtuanya pun pamit pulang meninggalkan rumah kontrakan Ririn.
💜
💜
💜
Karyaku yang satu ini ikutan event, mohon dukungannya🙏🙏😘😘
💜
💜
💜
💜
💜
Sepeninggal Bian dan kedua orangtuanya, Ririn sangat marah kepada Yudi dan Yulia.
“Mama sama Papa kenapa menyetujui perjodohan itu? Ririn sudah punya pacar Pa, dan kalian juga tahu kalau Ririn sudah pacaran lama dengan Bima,” seru Ririn dengan emosinya.
“Sayang, kamu tidak dengar tadi, kamu menikah dengan Bian, Papa bisa bekerja lagi di perusahaan bahkan kita semua bisa tinggal di rumah kita yang dulu,” sahut Yudi.
“Tapi bagaimana dengan Bima, Pa? Ririn tidak mencintai Bian, yang Ririn cintai hanya Bima dan Ririn hanya akan menikah dengan Bima bukan Bian!” sentak Ririn.
Ririn pun pergi ke kamarnya untuk mengambil tas, kemudian Ririn pergi tanpa pamitan kepada kedua orangtuanya.
“Ririn, kamu mau ke mana?” teriak Yudi.
“Sudah Pa, biarkan saja mungkin Ririn akan menemui Bima,” sahut Yulia.
Ririn dan Bima pacaran sudah sejak masuk SMA dan sampai sekarang hubungan mereka baik-baik saja.
Sebenarnya dulu, Bima, Bian, dan Ririn adalah teman bermain karena rumah mereka memang bertetanggaan. Hanya saja bedanya, Bian dan Ririn anak orang kaya, sedangkan Bima hanya anak dari seorang karyawan kantor biasa dan Mamanya seorang guru.
Bian dan Bima sama-sama menyukai Ririn, tapi sayangnya Bian selalu menjadi yang terdepan karena Bian selalu memberikan apa yang Ririn mau, sehingga Bima sangat membenci Bian.
Hingga kelulusan SMP pun tiba, Bian menghilang tanpa kabar dan itu membuat Bima senang dan mempunyai kesempatan untuk dekat dengan Ririn tanpa ada pengganggu lagi. Sampai mereka pun masuk ke SMA yang sama dan Bima pun memberanikan diri untuk menyatakan cintanya kepada Ririn.
Tidak disangka Ririn menerimanya karena sudah sejak lama, Ririn pun menyukai Bima. Ririn menyukai Bima karena Bima orangnya baik dan apa adanya, berbeda dengan Bian yang sombong dan pemaksa.
Saat ini Ririn sedang menunggu Bima di sebuah bangku taman, hingga tidak lama kemudian sebuah mobil pun berhenti di depan Ririn.
“Sayang.”
Ririn berdiri dan langsung memeluk Bima membuat Bima bingung.
“Kamu kenapa? Kok nangis?” tanya Bima cemas.
Ririn semakin sesegukan, hingga akhirnya Bima pun membawa Ririn duduk dan menenangkannya.
“Coba cerita sama aku, kamu kenapa?” tanya Bima kembali.
“Bian, Bim, Bian sudah kembali,” sahut Ririn.
“Bian, kenapa dia bisa kembali? Terus, apa yang sudah membuat kamu menangis seperti ini? Apa yang sudah dia lakukan sama kamu?”
“Barusan, Bian dan kedua orangtuanya datang ke kontrakan dan menawarkan pekerjaan untuk Papa, bahkan rumah aku dulu pun sudah mereka tebus dan memberikannya kepada kami, tapi---“
“Tapi apa?”
“Aku harus menikah dengan Bian.”
“Apa? Kurang ajar, kenapa dia selalu memaksakan kehendak dia, mentang-mentang dia anak orang kaya,” seru Bima dengan emosinya.
“Terus aku harus bagaimana, Bim? Aku tidak mau menikah dengan Bian, yang aku cintai hanya kamu,” seru Ririn dengan deraian airmata.
Bima pun menarik tubuh Ririn ke dalam dekapannya, Bima juga bingung apa yang harus dia lakukan. Padahal, selama ini Bima sudah mengumpulkan uang supaya tahun ini, dia bisa menikahi Ririn tapi tidak disangka orang yang sangat Bima benci sekarang muncul lagi bahkan akan merebut Ririn dari darinya.
“Kami yang tenang sayang, nanti aku cari jalan keluarnya,” seru Bima dengan mengusap kepala Ririn penuh cinta.
Bima adalah seorang chef yang lumayan terkenal, bahkan saat ini dia sudah mempunyai sebuah restoran walaupun restorannya bukan restoran besar.
***
Hari ini Ririn sedang di rias, karena pagi ini Ririn akan melaksanakan ijab kabul dengan Bian.
Ririn dan Bima sudah memikirkan matang-matang, Bima dengan terpaksa mengizinkan Ririn menikah dengan Bian dengan syarat, Ririn tidak boleh melakukan hubungan suami istri dengan Bian.
Bima memberikan satu kotak obat kepada Ririn, obat itu adalah untuk di berikan kepada Bian. Jika Bian meminum obat itu, Bian akan berhalusinasi berhubungan badan dengan Ririn jadi Ririn akan aman selama menikah dengan Bian.
Setelah di rias, Ririn pun keluar dari kamarnya dan dipapah untuk duduk di samping Bian. Bian tidak henti-hentinya menatap Ririn, wanita yang selama ini sangat dia cintai.
Bian pun dengan lancar dan tegas selesai mengucapkan ijab kabul, dan semua orang serentak mengucapkan Hamdallah.
Dari luar rumah, Bima tampak mengepalkan tangannya.
“Awas kamu Bian, dari dulu sampai sekarang kamu selalu menjadi pengganggu bagi hubunganku dan Ririn, sampai kapan pun kamu tidak akan bisa mendapatkan hati Ririn karena Ririn hanya milikku seorang,” batin Bima.
Bima pun dengan emosi yang memuncak meninggalkan rumah Ririn, saat ini Ririn dan keluarganya memang sudah kembali ke rumahnya yang dulu.
Malam pun tiba...
Ririn mulai memasukan obat yang diberikan Bima ke dalam air minum, sedangkan Bian sedang berada di kamar mandi.
Di saat Ririn selesai memasukan obat itu, Ririn terkejut saat sebuah tangan memeluknya dari belakang.
“Ririn, aku sangat bahagia akhirnya aku bisa menikah denganmu. Aku sudah menantikan saat-saat seperti ini, dari dulu sampai sekarang hanya kamu wanita yang aku cintai,” seru Bian.
Ririn tersenyum ketus, walaupun Bian lebih segala-galanya dari Bima tapi tetap saja cinta Ririn hanya untuk Bima.
“Sayang, pasti kamu capek kan? Ini minum dulu,” seru Ririn dengan pura-pura baik.
“Terima kasih, sayang.”
Bian pun langsung meminumnya sampai tandas membuat Ririn tersenyum penuh kemenangan. Tidak membutuhkan waktu lama, Bian pun merasa ngantuk dan tertidur dengan pulasnya.
Ririn segera melepaskan semua pakaian Bian dan melepaskan pakaiannya sendiri, tujuannya supaya nanti pagi bangun Bian tidak curiga karena selama tidur nanti, Bian akan berhalusinasi dan tidak lupa, Ririn juga meneteskan cairan merah di sepreinya untuk menambah keyakinan Bian.
Waktu pun berjalan dengan sangat cepat, tidak terasa sudah satu bulan Ririn dan Bian menjalani pernikahan penuh kebohongan itu.
“Sayang, malam ini aku ada kerjaan keluar kota, apa kamu mau ikut?” seru Bian.
“Enggak ah, buat apa ikut palingan aku hanya akan diam di hotel menunggu kamu kerja,” tolak Ririn.
Bian menghampiri Ririn dan memeluknya dari belakang. “Tapi aku pergi selama tiga hari loh, aku pasti akan rindu kepadamu.”
Ririn memutar bola matanya jengah. “Cuma tiga hari kok, bukannya tiga tahun jadi kamu tidak usah lebay segala,” sahut Ririn.
“Bukanya lebay sayang, tapi memang aku tidak bisa lama-lama jauh dari kamu, setiap hari juga aku selalu ingin pulang cepat dari kantor, dan sekarang aku harus berpisah denganmu tiga hari,” rengek Bian dengan manjanya.
Ririn pun melepaskan pelukannya dan membalikan tubuhnya menatap Bian.
“Mau pergi berapa lama pun, aku akan tetap menunggumu Bian, jadi kamu jangan khawatir,” dusta Ririn.
Bian pun langsung memeluk Ririn. “Aku sangat mencintaimu, Ririn.”
“Iya, aku juga mencintaimu,” sahut Ririn dengan malasnya.
Selama satu bulan lamanya, Ririn dengan tega mencekoki Bian dengan obat itu. Di saat Bian bekerja, Ririn akan bertemu dengan Bima secara diam-diam tanpa sepengetahuan Bian.
Seperti saat ini, Ririn datang ke sebuah restoran untuk menemui Bima kekasihnya.
“Sayang!”
Ririn menoleh dan dengan cepat memeluk kekasihnya itu.
“Aku sangat merindukanmu, Bima.”
“Aku juga.”
Keduanya duduk berdampingan bahkan Ririn tampak memeluk lengan Bima dengan manjanya.
“Bim, malam ini Bian akan pergi keluar kota selama tiga hari.”
“Baguslah, berarti kita akan bebas bertemu.”
“Aku sudah tidak sanggup Bim, kalau harus terus-terusan bersandiwara seperti ini, rasanya aku ingin mengakhiri semuanya,” keluh Ririn.
“Tenang saja sayang, aku sudah membuat rencana supaya kamu terbebas dari orang sialan itu bahkan mungkin, malam ini adalah malam terakhir Bian bisa bernafas.”
“Maksud kamu apa, Bim? Jangan bilang kamu mau membunuh Bian?” tanya Ririn tidak percaya.
“Ini satu-satunya jalan supaya kamu terbebas dari dia, kalau dia dibiarkan hidup maka selamanya kamu akan bersama dia, apa kamu mau seperti itu?”
Ririn dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Tapi aku takut kamu kenapa-napa Bim, aku gak mau kamu sampai dipenjara.”
“Tidak, kamu tenang saja karena aku sudah menyuruh orang untuk menyabotase mobil Bian supaya remnya blong, jadi kamu tidak usah khawatir karena aku tidak akan ketahuan.”
Ririn hanya terdiam, dia tidak setuju dengan ide gila Bima tapi dia juga tidak mau kalau harus terus-terusan tinggal bersama Bian.
Malam pun tiba...
Setelah berpamitan, Bian pun segera masuk ke dalam mobilnya dengan di temani sopir pribadinya.
Awalnya mobil berjalan dengan lancar, hingga beberapa jam kemudian, mobil Bian mulai melewati jalanan menurun. Sang sopir yang mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi merasa panik karena remnya blong.
“Ada apa, Pak?” tanya Bian.
“Maaf Tuan, rem mobilnya blong,” sahut Sopir panik.
“Apa?”
Mobil itu terus melaju dengan kecepatan tinggi, hingga di depan sana terlihat tikungan dan sang sopir tidak bisa mengendalikan mobilnya.
“Awaaaasss Pak!” teriak Bian.
Bruuuuaaakkk....
Mobil Bian menabrang pembatas jalan dan mobilnya berguling-guling jatuh ke jurang. Tubuh Bian terpental jauh, sedangkan sang sopir tewas di tempat dengan posisi terjepit di dalam mobil.
💜
💜
💜
💜
💜
Bima terlihat tertawa saat mendengar kabar kalau orang suruhannya sudah berhasil melaksanakan tugasnya.
“Aku tinggal menunggu berita di tv besok, tentang kematianmu, Bian,” gumam Bima dengan tawanya.
***
Keesokan harinya....
“Ma, Mika ke kebun dulu mau memberikan bekal ini untuk Ayah!” teriak Mika.
“Iya Nak, kamu hati-hati.”
“Iya, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Mika pun segera mengayuh sepedanya menuju kebun milik Ayahnya. Mika merupakan Bidan desa, selain cantik, Mika juga terkenal dengan gadis yang ramah dan baik hati, sehingga semua orang menyukai Mika.
Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Mika pun sampai di kebun milik Ayahnya itu. Kebunnya tidak terlalu luas tapi juga tidak terlalu kecil, jadi sedang-sedang saja.
“Ayah, Mika bawakan makanan untuk Ayah, sini makan dulu!” teriak Mika.
“Iya Neng, sebentar tanggung,” sahut Rusdi.
Mika menunggu Ayahnya di sebuah saung yang sengaja Ayahnya buat, untuk beristirahat. Beberapa saat kemudian, Rusdi pun mulai menghampiri putrinya dan duduk di saung.
“Ini Ayah minum dulu, Mika bawakan air teh hangat kesukaan Ayah.”
“Wah, terima kasih Neng.”
Mika dan Rusdi makan dengan lahapnya, biasanya setelah membawakan bekal untuk Ayahnya, Mika kemudian pergi ke klinik tempat dia bekerja.
“Alhamdulillah, perut Ayah sampai kenyang Neng, kalau begini mah bawaannya ngantuk atuh,” seru Rusdi.
Mika hanya tersenyum, Mika pun membawa semua rantang dan gelas kotor karena seperti biasa, Mika akan mencucinya di sungai yang tidak jauh dari kebun Ayahnya.
“Sebentar ya Yah, Mika mau cucj ini dulu.”
“Iya Neng.”
Mika pun dengan semangat menuju sungai, air sungai itu sangatlah jernih karena belum tercemar oleh apa pun.
Di saat Mika sedang mencuci rantangnya, Mika tidak sengaja melihat seseorang terdampar di pinggir sungai yang berada di sebrang Mika.
“Astagfirullah, itu teh manusia apa bukan ya?” gumam Mika.
Mika awalnya takut kalau orang itu orang mabuk, tapi Mika merasa penasaran juga dengan orang itu, dan akhirnya Mika memutuskan untuk menghampirinya.
Perlahan Mika mendekatinya dan betapa terkejutnya Mika saat melihat seorang pria tak sadarkan diri dengan darah yang memenuhi wajah dan kepalanya.
Mika memeriksa urat nadinya. “Alhamdulillah, orang ini masih hidup,” gumam Mika.
Mika yang merasa kebingungan, langsung berlari menyusul Ayahnya dan juga pekerja yang lain.
“Ayah, Ayah, di sana ada orang tak sadarkan diri, dan Mika periksa, dia masih hidup,” seru Mika panik.
“Apa?”
Rusdi pun memanggil semua karyawannya untuk melihat orang yang disebutkan oleh Mika.
“Bagaimana ini, Yah?” tanya Mika.
“Kita bawa ke Puskesmas saja dulu, ayo semuanya bantu saya mengangkat tubuh dia dan masukan saja ke mobil pick up saya,” seru Rusdi.
Rusdi dan semua karyawan laki-laki pun langsung membawanya ke puskesmas, Mika mengikuti mobil Ayahnya dari belakang.
Sesampainya di Puskesmas, Mika langsung meminta bantuan dokter jaga di sana untuk menolong pria yang baru saja di temukannya.
“Bagaimana ini Neng? Siapa pria tadi?” seru Rusdi khawatir.
“Mika juga tidak tahu, apa mungkin dia korban kecelakaan?” sahut Mika.
“Kalau kecelakaan, di mana kendaraannya Neng? Sepertinya tadi Ayah tidak menemukan kendaraan sama sekali,” sahut Rusdi.
“Kalau begitu, apa mungkin pria tadi korban pembunuhan,” seru Mika ketakutan.
“Jangan buat Ayah takut atuh Neng, serem banget kalau sampai korban pembunuhan,” sahut Rusdi bergidik ngeri.
Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya dokter Puskesmas selesai mengobati Bian.
“Bagaimana dok, dengan keadaan orang itu?” tanya Mika.
“Sepertinya kepalanya luka parah Mika, dan untung saja luka sobek di kepalanya tidak terlalu lebar sehingga saya bisa menanganinya tanpa harus di bawa ke rumah sakit kota,” sahut dokter yang bernama Deti itu.
“Syukur Alhamdulillah kalau begitu.”
“Sebenarnya dia siapa, Mika?” tanya Dr.Deti.
“Mika juga tidak tahu dokter, tadi Mika menemukannya di pinggir sungai dekat kebun Ayah.”
“Oh begitu, ya sudah kalau begitu biar dia di rawat dulu di sini sampai dia sadar nanti kalau sudah sadar, saya hubungi kamu lagi.”
“Baiklah, terima kasih Bu Dokter, kalau begitu Mika sama Ayah pamit dulu soalnya Mika harus ke klinik juga dan Ayah harus kembali ke kebun.”
“Iya Mika.”
“Bu Dokter terima kasih sudah menolong, nanti kalau ada apa-apa hubungi kami saja,” seru Rusdi.
“Iya, Pak Rusdi.”
Akhirnya Mika dan Rusdi pun pergi dari Puskesmas itu meninggalkan Bian yang belum sadarkan diri.
***
Sementara itu di kediaman Ganendra, Maharani dan Ririn tampak terkejut dengan kedatangan Polisi yang memberitahukan kalau mobil yang di kendarai Bian kecelakaan dan masuk jurang.
“Terus sekarang bagaimana kondisi anak kami, Pak?” tanya Maharani dengan deraian airmata.
“Untuk sementara di dalam mobil itu hanya ada sopir yang dalam keadaan tewas, kami belum menemukan keberadaan anak Tuan dan Nyonya kemungkinan anak Tuan dan Nyonya terpental dari dalam mobil, anak buah kami sedang berusaha mencari keberadaan anak anda, tapi kami membutuhkan waktu yang lumayan lama, soalnya itu posisinya di bibir jurang dan anak anda bisa saja terpental ke dasar jurang,” seru Polisi.
“Astaga, Bian. Pak, kami mohon tolong temukan anak kami,” seru Maharani dengan tangisannya.
“Baik Nyonya, kami akan berusaha sekuat tenaga untuk menemukan anak Tuan dan Nyonya, kalau begitu saya pamit dulu.”
Ririn hanya bisa memeluk mertuanya itu, di satu sisi Ririn bersorak bahagia karena bisa terlepas dari Bian, tapi di sisi lain Ririn merasa bersalah padahal keluarga Bian sudah membantu keluarga Ririn.
2 hari pun berlalu, akhirnya Bian pun sadar. Dr.Deti menghubungi Mika dan tentu saja Mika dan Ayahnya langsung melesat ke Puskesmas.
“Bagaimana dokter, dengan keadaannya?” tanya Mika saat sampai di Puskesmas.
“Sepertinya fisiknya baik-baik saja, tapi---?”
“Tapi apa dokter?” tanya Mika.
“Sepertinya akibat benturan keras di kepalanya, dia mengalami amnesia.”
“Apa? Jadi maksud dokter, dia tidak ingat siapa-siapa?”
“Iya Mika.”
Mika menghampiri Bian yang saat ini masih terbaring di ranjang.
“Maaf, apa kamu ingat siapa namamu?” tanya Mika.
Bian menggelengkan kepalanya.
“Bagaimana ini, Ayah? Dia tidak mengingat apa pun, terus bagaimana kita bisa mengembalikan kepada keluarganya,” seru Mika khawatir.
“Nak, apa kamu benar-benar tidak mengingat apa pun?” tanya Rusdi.
“Ti-tidak Pak, aku tidak tahu siapa aku dan di mana aku tinggal,” sahut Bian.
“Terus, sekarang kamu mau ke mana? Kamu mau tinggal di mana, Nak?” tanya Rusdi.
Bian langsung menggenggam tangan Rusdi dengan tatapan memelas.
“Bolehkah aku tinggal di rumah Bapak? Biarkan aku ikut Bapak, aku tidak tahu harus pergi ke mana?” keluh Bian.
Rusdi menatap Mika dan Mika hanya diam saja, Mika dan Rusdi tidak tahu harus berbuat apa, tapi mereka juga tidak tega jika harus meninggalkan Bian dalam posisi amnesia.
“Ya sudah, kamu boleh tinggal di rumah Bapak,” seru Rusdi.
“Terima kasih, Pak.”
Akhirnya Rusdi dan Mika pun membawa Bian ke rumah mereka. Mereka memutuskan untuk merawat Bian sampai Bian bisa sembuh dan mengingat lagi tentang dirinya dan juga keluarganya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!