"Harusnya aku menambah penghuni kontrakan, kan lumayan tambahan," gumamku, sekali lagi membasuh wajahku. Hidup memang berat, di usia 27 ini, teman-temanku telah menikah. Sedangkan Aku?
Gedoran pintu menghentikan langkah kakiku di batas pintu kamar, aku mundur melirik jam. "Jam 11 malam, siapa?" aku pergi ke ruang tamu yang gelap, mungkin itu Bella penghuni kontrakan.
Setengah berlari sambil mengelap wajah. Aku menyalakan lampu ruang tamu dan hatiku gedek karena gedoran keras. "Sabar Bell!"
Memutar kenop, menariknya dan pintu berderit terbuka.
Blak!
Seorang pria terjengkang dan jatuh ke lantai. Sontak aku meloncat ke belakang dengan was-was.
Aroma logam dan timah mengganggu reseptor. Aku gemetar saat pergelangakan kakiku dicekal.
"Tolong," serak pria berwajah babak belur, aku menatapnya nanar dan jantung berdegub kencang.
"TOLON-NNG!" teriakku secara otomatis. Sedetik kemudian kesadaranku kembali. Sia-sia minta tolong, tidak ada penduduk di sini, ini jalan buntu dan sekitarnya rumah kosong.
Aku pergi ke kamar, kemudian kembali membawa ponsel, p3k, kain dan handuk kering.
Jika dia sampai mati akan menjadi masalah besar.Aku tidak memiliki nomer ambulan. Perlahan aku menekan darah di keningnya. Handuk yang tadinya putih telah kotor tanah lempung dan noda darah.
"Hei jangan mati." Dadaku bergemuruh. "Tenang Luna," gumamku. Jariku gemetar menggulir daftar buku kontak di ponsel,dan pikiranku sulit diajak kompromi. "Fokus, Luna. Eric, Eric. Dapat!"
"TUT ... TUT ... TUT ... "
Aku membuang nafas sepenuhnya dari paru-paru. Membuang panik sambil memperhatikan tubuh lelaki pingsan itu yang separuh di dalam rumah, sedangkan kakinya di luar pintu.
Apa dia akan dibunuh. Atau pembunuh mengejarnya. Di luar sangat gelap dan sepi, bagaimana dia sampai sini di jalan buntu, siapa yang melukainya?
Aku berdiri menekan panggilan lagi. Menarik tubuh panjang yang berat, sampai aku terjerembab ke belakang.
"Halo, Luna." Eric serak seperti baru bangun tidur.
Aku terengah-engah, "Eric tolong!" menarik sekali lagi agar posisi pantat pria itu melewati pintu.
"Ada apa Luna!? dimana kamu?"
"Tolong Eric, aku dalam bahaya!" Aku menekuk lututnya dan berganti posisi untuk mendorong pantatnya. Dan kepalaku terjerembap ke perutnya.
Hidungku mengkerut, aku menggosok hidung yang terkena darah. Menarik handuk dari bahu, dan mengelap, benar-benar memualkan.
"Tunggu, kenapa suaramu?" Suara Eric dari ponsel di lantai.
"Ada lelaki pingsan!" Aku bangun dan mendorong pintu. "Cepat, bawa ambulan, atau apa saja." Aku terisak dan merinding sambil mengunci pintu, "aku takut jika dia akan mati."
"Tenang, tenang, Luna. Jelaskan apa dia terluka?"
Aku memberitahu Eric, luka sayat di kedua paha dan dada. “Dia bisa mati!” teriakku.
Aku meringis, mengusap kasar rambut dan wajah berkali-kali membuang kebingungan.Jarak rumah Eric sepuluh menit.
***
Kehidupanku kembali normal selama tiga hari sejak kedatang tamu tak diundang. Aku menyisir rambut dan mendengar suara ketukan pintu.
"Luna," lirih suara yang begitu indah, sampai telingaku dibuat membeku.
"Tunggu." Aku meraih tas selempang hitam dengan buru-buru, jam menunjukan setengah delapan. "Telat lagi."
Aku memutar kenop dan menarik pintu kayu jati, "mas?" menatap keningnya yang diperban dan telanjang dada yang memperlihatkan plaster di bawah dada kiri.
"Boleh aku ikut?” tanya dia lembut. Netra deep blue itu penuh pancaran kelembutan dan sarat akan kebingungan. Aku berusaha untuk tidak memandang pinggul dengan cekungan V yang indah.
"Banyak orang di toko," jawabku lebih pelan lalu pergi ke meja makan melewatinya. "Aku takut kamu tidak nyaman, terutama sakit kepalamu."
Dia menyusul duduk di kursi seberang dan mendorong roti bakar yang terlalu coklat, seperti warna karamel, memang sangat sederhana tapi sangat manis. Untuk pertama kali aku mendapatkan roti bentuk love. Begitu sederhana tapi masuk ke relung jiwa.
"Ini cantik!" Aku ternganga dan tidak dapat menahan senyum. Sekali lagi dia tersenyum dengan polos dan mengganguk, memang ada ya senyuman memabukkan seperti itu?
Wajah itu sangat maskulin dan misterius.
"Cobalah."
Aku menggigit roti ke dalam mulutku dengan terus diamati dia.
“Gimana, sarapan buatan ku?”
“Enak! hanya terlalu banyak selai yang kamu berikan. Aku lebih suka selai yang tipis,” kataku beralasan demi menghemat pengeluaran. ”Hm, ini terimakasih, ya. Tidak perlu repot-repot atau sungkan di sini. Tinggallah dengan nyaman tanpa merasa terbebani, ya?”
“Sebenarnya, ini hanya bentuk terimakasih ku. Jika tidak ada kamu, mungkin, aku entah dimana, Lun"
Aku tersenyum hangat. "Apa kamu belum mengingat namamu?"
Dia menggelengkan kepala. Aku menghela nafas panjang, berusaha membuang sesak dan menaruh roti selai strawberry dengan bekas dua gigitan di meja.
Akan banyak masalah bila pria ini terlalu lama di sini. Terutama jika ayah sampai tahu, belum lagi si penjahat yang melukainya kan?
Pria berwajah lebam sudah beberapa hari ini merongrong ikut ke toko. Pasalnya, aku takut bila ayah sampai tahu keberadaan pria ini. Lalu ibu tiriku akan memanas-manasi ayah untuk semakin membenciku.
Di depan rumah, aku memanaskan motor, otakku berpikir keras untuk menutup anggaran konsumsi.
Dengan adanya dia bakalan tambah pengeluaran. Bila dihitung-hitung, karena pemasukan toko bunga yang sepi, dan aku harus mengumpulkan biaya kontrakan toko.
Aduh Tuhan, aku tidak mengeluh. Tolong, beri jalan. Kembalikan ingatan dia, dan bawa pergi dia, karena aku tidak akan kuat menanggung biaya hidupnya untuk lebih dari satu bulan.
"Apa kamu ingat cara mengendarai motor?" tanyaku padanya, yang telah memakai helm.
"Aku tidak berani. Tolong, kamu saja ya?"
"Baiklah, cepat, kita sudah terlambat.”
Tangan besar itu menggenggam pinggangku. Ini lucu, kenapa aku merasa kikuk. Jantung berdebar, untuk pertama kali mengemudi untuk seorang pria. Aku mengemudi lebih berhati-hati karena badan tinggi dan berat di belakang.Dada panasnya yang menguar di punggungku, ini benar-benar menguji kesehatan jantungku.
Terlebih dia, orang asing yang aku tidak tahu asal-usulnya. Apa dia seorang buronan? atau penjahat? Kenapa ada orang yang berniat melukainya, atau jangan-jangan dia tero..ris?
"Mas," tanyaku untuk memecah kecanggungan.
"Ya, Lun?" jawabnya dan mendekat ke depan, jarak kami menjadi semakin dekat.
"Jika aku memberi mu nama Bagas gimana?" tanyaku sedikit berteriak karena desis angin mengganggu pendengaranku.
"Bagas? boleh Lun. Em, apa itu cocok untuk saya?" tanya dia dengan suara tinggi, suara gentle itu menyentuh relung jiwaku, aneh.
"Ya, karena kamu cukup tampan, jadi cocok lah."
"Saya tampan?"
Pertanyaan bodoh macam apa itu. Walau hilang ingatan apakah juga menghilangkan separuh otaknya?
Hanya mengukur tingkat ketampanan dia sendiri apa juga tidak bisa.
Aku menepikan kendaraan dan dua pegawai ku telah menunggu di depan ruko.
"Luna, dapat model dari mana." Tossa langsung mendekat dan memegang bahu Bagas, begitu pria itu turun dari motor.
"Jangan pegang-pegang sayang, kamu akan kenapasal pelecehan loh!" Aku menepis tangan Tossa, karena Bagas tampak kebingungan.
"Pelit! kau, Lun." Shelin menatap tidak berkedip ke Bagas. "Hai, mas, kenalin saya Shelin, kembang desa ini."
Aku dan Tossa tertawa menatap yang Bagas yang menanggapi Shelin.
"Aku gadis pintar, pintar dalam hal 'apapun'." Tossa tidak mau kalah pada akhirnya.
"Dih apapun. Hari ini kamu yang bersih-bersih ya, nyapu, ngepel dan mengelap kaca itu termasuk apapun, kan?" cibirku pada Tossa, dan ditanggapi goyangan pantat montoknya. Astaga, aku menutup mataku, memalukan!
Tossa tertawa. "Kamu mulai sewenang-wenang, Lun."
Mereka adalah teman kampusku dan kebetulan tinggal di kota di mana aku kabur menjauh dari kekerasan dari ibu tiri dan ayah.
"Mohon bimbingannya." Lelaki tinggi tampan bak model itu tersenyum dan menyusul di belakangku.
Sebenarnya, bila dilihat-lihat, dia seperti lelaki pintar dan berpengalaman. Namun karena hilang ingatan, dia jadi seperti orang linglung.
Pagi ini ada empat pesanan bunga papan. Jadi, kami mengajarkan Bagas cara merangkainya.
**
Jam makan siang telah terlewati, aku mengulas senyum teringat perilaku Bagas.
"Ewww, lidah terbakar!" Bagas mengibaskan tangan ke mulutnya pada suapan pertama, lalu memuntahkan seblak ke tisu, "ini Boom!"
Kami para wanita berpandangan. Tossa memberikan segelas air, dan Bagas menggelegaknya dalam sekali tarikan.
"Aku tidak makan itu Luna." Bagas, matanya sudah berair dan wajahnya berkeringat, memerah. Dia pergi ke toilet.
Aku terkikik dan Shelin yang memotongi daun yang berlebihan pada tangkai bunga menegurku. Kami selonjoran dengan keranjang bunga mawar di sekitar kami.
"Kau punya identitas Bagas, misal kalung? kita bisa posting itum Siapa tahu ada yang mengenalnya," kata Shelin.
"Tidak, dia hanya memiliki pakaian yang melekat dan sebuah sepatu," jawabku lesu, menatap nanar pada mawar-mawar cantik. Kasian juga Bagas.
"Eh, apa Bella belum kembali ke rumahmu toh? anu kalian selama tiga hari hanya berdua, malam-malam!?" Tossa melebarkan mata dan kami kemudian saling berpandangan sebagai tanggapan.
"Jangan berpikiran kotor ya. Aku masih perawan!" tegasku.
"Baguslah, saya akan mendekati dan memacarinya!" kata Shelin dengan penuh semangat.
"Hush! jika dia diburu orang, nanti kamu bisa kena! setiap malam aku merasa ngeri. Bagaimana bila sampai si penjahat datang ke rumahku lalu melukai kami," kataku dan bulu kudukku meremang.
"Kamu minta tolong Eric saja, biar dia tinggal di rumah Eric." Tossa berbisik dengan serius. "Aku takut dia hanya pura-pura hilang ingatan, padahal tujuan utamanya untuk mencelakai mu, Lun."
"Benar. Rumah kamu paling ujung dan dua rumah di sebelahmu kosong. Jangan-jangan kamu akan diculik, lalu di jual atau dimutilasi-"
"Shelin! keterlaluan sekali. Kamu, sedang mendoakanku apa?" bentak ku semakin merinding.
"Maaf Lun, kemarin aku baca artikel itu, modus baru."
Terdiam, kami mematung kembali pada pekerjaan kami.
"Badannya juga besar, apa kamu pernah melihat dia memilki tato? walau tampan tapi auranya tetap gelap. Kita tidak boleh terlalu menganggap enteng, tapi harus bersikap baik," kata Tossa.
Kami saling mengangguk sebagai persetujuan. Mobil bak terbuka berhenti di depan toko, Bagas turun dari mobil setelah ikut mengantar bunga papan, kami bertiga serentak mengamati tubuh Bagas tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
Aku merinding, bagaimana nanti malam, apa aku akan selamat?
Perkataan Shelin dan Tossa membuatku tidak bisa tidur. Bolak-balik aku berguling di tempat tidur lalu bersembunyi dibalik selimut.
Ketukan inten di pintu kamar dan suara lirih Bagas membuatku makin merinding.
Bodoh. Lupa mengunci pintu! jantung makin berdebar mendengar pintu berderit. Aku menebak-nebak dan menyingkirkan pikiran buruk. Mutilasi, penjualan organ.
Aku salah mengambil keputusan. Hidupku benar-benar akan berakhir.
"Luna, kamu sudah tidur?" Langkah kakinya semakin dekat. Tempat tidur berdecit, dia duduk di sampingku.
Dingin merayap di bawah kulitku, aku menahan nafas.
"Luna, kamu sudah tidur ya? terimakasih Lun, hari ini kamu mengajakku keluar dari rumah. Apa kamu tahu? aku ketakutan di rumah sendiri. Takut bila sakit kepala itu berlangsung tapi tidak ada kamu."
Dia terdiam cukup kama, aku perlahan menghembuskan nafas. Bagas menarik selimutku ke bawah. Aduh! aku takut akting tidurku terbongkar dan dia mau apa!
Namun, apa yang dia katakan, ketakutan? Lelucon atau jebakan? Sebenarnya, dia tahu aku tidur atau tidak?
Aku hampir kehabisan nafas, tidak tahu apa yang dia lakukan. Panas mendekat ke daerah atas tubuku.
Ya Tuhan, aku akan di per ko sa dan hembusan panas nafasnya telah di pipi ku. Aku harus memukul dia kan?
Aku akan memukulnya tetapi tubuhku membeku. Perlahan dia menjauh lagi, hah aku sedikit lega.
"Apa kamu tinggal sendiri, Lun? mengapa aku tidak menjumpai keluarga mu?"
Pertanyaan apa itu, apa jika aku tinggal sendiri lantas dia akan menjualku!
"Mimpi indah, Lun, Selamat malam ... " kata dia dengan suara sangat indah dan dia berlalu meninggalkanku yang masih tersentak.
Tidak ada apa-apa. Tidak terjadi sesuatu. Dia hanya mengucapkan selamat malam dengan suara serak, seksi, berat, yang menari-nari di telingaku.
Aku membuka mata begitu pintu tertutup. Dalam kegelapan, aku mengukir seutas senyuman.
Mungkin, aku terlalu berpikiran buruk. Bagaimana jika kami salah paham pada Bagas.
Aku memiringkan tubuh ke kiri. Besok adalah hari kematian ibu, aku tidak bisa membawa Bagas.
Ayah, apakah ayah akan mendatangi makam ibu? Ayah tidak mencintai ibu lagi kah? Walau marah kepadaku seharusnya ayah tetap mengingat ibu, kan?
**
Jam weker memukul telingaku dengan suaranya melengking. Tanganku meraba meja dan aku menemukan kehangatan yang kenyal, sejak kapan jam berubah tekstur dan aroma.
Aku mengucek mata, hidung terus bergerak-gerak mencari aroma menyegarkan.
"Selamat pagi Lun ... "
Alisku terangkat sepertinya aku mulai berhalusinasi atau masih dalam alam mimpi.
Usapan lembut menyenangkan. Aku tersenyum.
Nyawaku mulai berkumpul dan aku merasakan sesuatu hangat di pipiku. Silau cahaya jendela, aku memicingkan mata "Uhhhh ... " menyingkirkan sesuatu dari pipi.
"Bagas!!" Aku langsung duduk dalam sepersekian detik, mengangkat selimut mengintip pakaian masih utuh. "Kenapa di kamarku!?"
Dia tersenyum duduk di pinggir kasur, meraih cangkir dari meja.
"Maaf Luna, aku membawakan kopi, kamu lihat ini sudah jam delapan." Bagas memasang raut muram.
Aku mengeluarkan udara dari paru-paru, mengatur jantungku yang terlajur deg-degan, "Bagas, kamu tidak boleh ke kamarku tanpa ijin."
Kecewa, jadi dihantui rasa takut walaupun Bagas tampan dan tampak tidak berbahaya, tetapi dia tetap pria.
"Maaf, Luna, aku tidak akan mengulangi," mengulurkan kopi, "untuk kamu."
**
Aku tengah menggosok gigi di westafel depan meja makan ketika gebrakan pintu ruang tamu mengejutkanku.
"Biar aku." Bagas langsung ke depan.
Aku selesai mencuci muka lalu melangkah ke depan sambil mengelap wajah dengan handuk.
"Nah, kamu kumpul kebo?!" Anton, kakak tiri ku dengan satu tangan di pinggang. "Dasar murahan seperti ibumu, ya," dia mendesis.
"Jadi kenapa kamu ke sini, Anton?" aku menghalangi pintu tengah yang hanya cukup untuk lewat satu orang. "Berhenti menghina ibuku, sebaiknya kamu berkaca dulu!"
"Minggir, ini juga masih rumahku." Anton mendorong bahuku untuk minggir, dan aku bersikukuh tidak memberikan jalan.
Bagas menyeret kakak tiri ku lalu mendorong hingga Anton terjengkang. Tenaga Bagas kuat. Dia langsung mencekal kaos Anton. "Jangan membuat keributan disini."
Anton menghadap Bagas. Jadi, ja..lang membayar mu untuk menjadi bodyguard? eh, dia tidak memiliki apa-apa, atau dia membayar dengan tubuh kotornya? mura-"
Tanganku mengepal kuat.
BUK! Bagas melayangkan tinjuan ke rahang Anton. "Mulut kotormu harus belajar."
Aku menangkap tinjuan Bagas yang kedua, dan aku otomatis tersungkur ke dada Anton.
"Luna kenapa kau menghalangi--"
"Sia..lan." Anton mendorongku.
Bagas dengan hati-hati membantuku berdiri.
"Berani sekali kamu ya." Anton meludah ke kiri, mulutnya telah berdarah. "Aku akan beri tahu mama soal ini, Ja..lang."
Aku menyusul kepergian Anton ke lantai dua dan menghentikan dia yang meraih kotak perhiasan. "Jangan ambil milik ibu!"
Aku dan saudara tiri tarik-tarikan kotak kayu. Kotak kayu jatuh, perhiasan ibu tercecer. Darahku mendidih, menangkap tatapan jahat Anton saat dia langsung meraih kalung berlian Ibu.
Bagas datang dan meninju kepala Anton membuat lelaki itu tersungkur.
Aku terkejut karena Bagas mengendong Anton yang tak bertenaga di bahu.
Bahkan sampai di depan pintu rumah "Bagas!!!!" Aku mencoba menghentikannya, terlambat. Bagas telah melempar tubuh Anton seolah itu barang. Aku menghampiri Anton tetapi dihalangi tangan kiri Bagas.
"Dia harus mendapatkan pelajaran."
Anton meringis terlihat kesulitan meraih ponsel lalu menghubungi seseorang.
Setengah jam kemudian, Anton masih di dalam mobilnya di depan rumah. Kami tidak menggubrisnya.
Sementara aku dan Bagas di dalam rumah, akan bersiap ke makam ibuku.
Gedoran pintu kembali mengusik ketenangan kami.
"Anak Ja..lang buka pintu!!!"
Aku telah bersiap dengan tas, saat membuka pintu pipiku terkena tamparan keras.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!