...Hola,...
...Selamat bergabung di cerita baru Vi's...
...Prolog dulu, kalau cerita yang noh dan noh udah tamat, lanjut bab satu. List favorit lah biar nggak ketinggalan update....
...Selamat membaca......
...🌸🌸🌸...
...MGT by: VizcaVida...
Suara deru mesin mobil bersahutan. Semua yang ada dibalik kemudi mobil itu bersiap tancap gas untuk memenangkan taruhan. Seorang wanita muda dengan pakaian minim bahan berjalan ke arah tengah sambil membawa kain berwarna merah. Ia melenggang lenggokkan badannya ketika mengangkat kain itu ke udara.
Para pemirsa yang sudah ikut taruhan dengan penonton lain juga tidak sabar untuk tau siapa yang akan menang malam ini.
“Pasti Nolan.”
“Gue pasangnya Jonathan, njing. Dukung gue dong.”
Suara-suara seperti itu tak luput dari pendengaran. Jalan lintas timur itu memang kerap dijadikan sirkuit dadakan jika sudah memasuki akhir pekan tengah malam begini. Orang-orang kaya itu akan membuang uangnya untuk memasang taruhan dengan nominal yang tidak main-main. Mereka bisa menjadikan mobil sport harga milyaran yang mereka punya sebagai taruhannya. Pernah juga, mereka menjadikan seorang wanita sebagai barang taruhan.
Jika ada yang bertanya, apa tidak ada oknum yang menertibkan kegiatan liar dan bahaya itu? Tentu saja ada. Tapi mereka orang berduit, belum ada semalam aja mereka sudah bebas dan tidak kurang dari satu Minggu, mereka akan mengulanginya lagi. Begitulah siklusnya.
Dan hari ini, mereka balapan hanya untuk bersenang-senang dengan mobil sebagai taruhan.
Nolan vs Jonathan.
Keduanya adalah putra dari pengusaha sukses yang hartanya tidak akan habis dimakan tujuh turunan. Terutama Nolan.
Hendra Suwandi, siapa yang tidak kenal dengan pengusaha batu bara sukses ini? Namanya tercatat dalam golongan orang kaya dengan penghasilan luar biasa. Dimanapun ia berada, disitulah VVIP menyapa. Namun kekayaan tidak membuatnya mampu menaklukkan hati sang putra, Nolan Aresta Suwandi.
Pemuda pewaris seratus persen gen Hendra itu tidak pernah berhenti membuat sang papa bernafas lega. Anak semata wayangnya itu selalu membuat list pengeluaran kartu limited hitamnya mendapat tagihan dengan jumlah fantastis. Sepertinya malam ini akan menambah daftar tagihan kartu Hendra semakin membeludak, karena Nolan menjadikan mobil Bugatti yang baru seminggu lalu ia beli, menjadi bahan taruhan balapannya bersama Jonathan.
“Siap-siap lu Lan. Mobil itu bakalan jadi milik gua.”
“Mimpi.” sahut Nolan dingin dan datar ditengah suara deru mesin mobil mereka yang beradu.
Gadis berpakaian kurang bahan itu menurunkan slayer merah jambu dari udara, dan Nolan melepas pedal rem dan menginjak pedal gas.
Nolan beruntung di Start sehingga dia berhasil memimpin didepan, sekarang. Sedangkan Jonathan, masih mengejar dengan jarak tak terlalu jauh.
Jalanan ini hanya medan lurus yang nanti di ujung sana, ada sebuah tikungan tajam yang sedikit berbahaya jika ada pengandara lain dari lawan arah. Akan tetapi, untuk malam ini bisa dipastikan aman karena jalan sudah diberi tanda agar tidak ada seorangpun yang bisa masuk dan berkendara di sini.
Fokus Nolan tertuju pada aspal gelap yang berpadu dengan siraman oranye cahaya lampu jalan.
GPS di layar mobilnya menunjukkan jika tikungan itu hanya berjarak dua ratus meter dari posisinya berada saat ini. Semakin dekat, dan...
“SHIIITTT!”
Suara decit ban mobil yang beradu dengan aspal terdengar nyaring di pendengaran. Mobil yang dikendarai Nolan memutar 180 derajat diatas aspal. Bahkan kepala Nolan sempat membentur stir ketika mobilnya berhasil terkendali dan berhenti begitu saja.
“Sial!!” umpatnya keras sembari memukul stir. Bukan hanya karena ia akan kalah taruhan, tapi ia juga kesal karena hanya dia yang berhenti. Tunggu, apa Jonathan tidak melihatnya? Apa itu tadi hantu?
Ditengah pikiran Nolan yang mulai merambah kedunia mistis, seseorang mengetuk kaca mobil yang sebentar lagi bukan miliknya ini.
Nolan begitu terkejut. Tubuhnya sedikit bergetar ketika melihat sesosok berdiri dengan rambut terurai menutup wajah, baju putih yang lusuh dan kotor, serta kulitnya yang terlihat putih pucat bukan seperti manusia.
“Fix! Ini makhluk astral!” pekik Nolan dalam hati. Ia sudah hampir menyalakan lagi mesin mobilnya, namun Nolan semakin terkejut karena makhluk itu kini berdiri didepan mobilnya dengan tangan terentang dan menunjuk-nunjuk kearahnya.
Nolan memicing guna memastikan jika itu benar-benar bukan hantu atau sejenisnya. Lalu ia sadar, itu hanya manusia. Manusia yang membuatnya kalah malam ini.
“Ck! Sial!!”
Nolan membuka seatbelt dan menarik pengait pintu mobil. Berjalan cepat untuk berdiri didepan manusia aneh itu.
“Dimana otakmu hah? Ini jalan raya, bukan sirkuit balap!” itu yang dia terima ketika sudah semakin dekat dengan si gadis. Dia berkata dengan cepat seperti cerocos Bu Tina ketika menceramahi ya di ruang BP, membuat perhatian Nolan justru tertuju padanya dari ujung kepala hingga kaki. “Kenapa? Aneh? Ya, aku aneh karena masuk parit akibat ulahmu itu. Dasar manusia—”
Nolan melempar beberapa lembar uang didepan muka gadis itu hingga dia diam tak bisa berkata-kata. Kemudian Nolan berjalan ke arah parit, dimana disana ada sebuah skuter matik terperosok.
Masalah baru. Gadis ini pasti akan membawa kasus ini ke polisi, pikirnya.
Dengan gerakan cekatan melepas sepatu dan melipat celana panjangnya, tanpa merasa jijik Nolan masuk ke dalam parit dan mulai membangunkan motor gadis itu, lantas mendorongnya naik.
“Kamu mau diam aja kayak patung disitu? Bantu aku keluarin barang rongsok ini dari sini!” teriaknya kesal karena gadis itu masih saja berdiri ditempat awalnya tadi.
“Apa? Barang rongsok?!” teriak si gadis kesal karena motor kesayangannya di katai sebagai barang rongsok oleh sampah masyarakat didepan matanya ini.
“Berat! Cepetan!” teriak Nolan kesal bukan main.
Gadis itu segera berlari mendekat dan membantu Nolan menarik motor untuk kembali naik ke jalan raya.
Semoga motorku baik-baik saja.
Dan setelah berhasil naik, Nolan melihat kembali ke arah gadis itu sambil mencoba menyalakan mesin motor tersebut. Untung nggak ada masalah. Sedangkan yang ditatap, malah menjauhkan diri. Nolan dapat melihat dengan jelas jika gadis itu berjalan sedikit terpincang. Mungkin akibat jatuh tadi.
Tanpa berfikir lama, Nolan berlari ke arah mobilnya dan mengambil ponsel.
“Aku masih ada urusan. Berikan nomormu, nanti aku hubungi.”
Gadis itu membolakan mata.
“Kenapa? Aku hanya ingin bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpamu. Cepat, aku harus segera pergi.” kata Nolan sambil menyodorkan ponselnya, meminta si gadis mengetik nomor ponselnya untuk nanti ia hubungi sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Ragu, tapi gadis itu meraih ponsel Nolan dengan tangannya yang sedikit kotor oleh lumpur parit. Kemudian dia mengetik nomor dan mengembalikannya kepada pemiliknya.
“Siapa namamu?” tanya Nolan buru-buru. Tapi, dia semakin kesal karena lagi-lagi si gadis itu diam seperti patung. “Aku tanya, siapa namamu?”
“Caca.” []
..._________...
Bagaimana cerita ini menurut kalian?
Layak di baca kah? Hehehe...semoga kalian suka deh dengan tema baru yang diusung Vi's disini.
Kita coba berpaling ke pasangan muda yang sedikit...eumm... karena sesuatu ini ya...
Ringan tapi berat. Lho? Gimana sih? 😂
...instruksi:...
Jangan lupa beri dukungan dengan cara Like, komentar, serta masukkan ke dalam list favorit kalian jika suka ya teman, Beri hadiah dan vote jika berkenan.
Baca disclaimer agar tidak salah faham.
Dan sampai jumpa di bab satu...
...🌸🌸🌸...
...Disclaimer....
...-Cerita ini murni imajinasi penulis....
...-Jika ada kesamaan nama visual, gambar properti, ataupun latar yang ada didalam cerita, merupakan unsur ketidaksengajaan....
...-Semua karakter didalam cerita tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan/watak tokoh yang menjadi Visual didalam dunia nyata...
...-Diharap bijak dalam menanggapi semua yang tertulis dalam cerita, baik itu tata bahasa, sesuatu yang bersifat mature ataupun tindak kekerasan....
...-(Point terpenting!!) Hargai karya penulis untuk tidak menjiplak/meniru tanpa izin dari penulis. Dan juga dimohon kebijakannya untuk tidak menyamakan dengan cerita lain....
...Regrets,...
...Tor...
Part 1 meluncur,
Jangan lupa dukungannya untuk Me Gustas TU ya biar semangat nulisnya
Selamat membaca ...
🪐🪐🪐
...MGT by: VizcaVida...
...01...
Seperti biasa, hari Minggu adalah hari paling surga diantara hari-hari lainnya yang seperti neraka. Nolan akan menghabiskan setengah hari untuk hibernasi seperti beruang kutub didalam kamar. Dia bahkan pernah tidak bangun sampai hari berubah sore, lalu disiram air se-ember sama papa nya yang pulang dari luar kota secara mendadak—padahal sehari sebelumnya papanya memberi kabar jika tidak bisa pulang.
Nolan melirik jam dinding dengan model klassik yang ada di tengah-tengah kamar, tepat diatas tempat tidurnya. Aneh? tentu saja. Siapa yang bilang itu normal, tapi begitulah Nolan. Dia suka yang berbeda.
Kepalanya tiba-tiba berdenyut memikirkan alasan apalagi yang akan ia berikan nanti jika papanya pulang dan bertanya dimana mobil yang baru seminggu lalu dia beli?
Nolan bangkit duduk dan menyandarkan kepalanya pada kepala ranjang, kemudian mende-sah berat dengan mata terpejam. Lalu dia ingat apa penyebab kekalahannya itu.
Gadis itu. Gadis aneh yang membuatnya hampir celaka dan harus rela mengalami kekalahan dengan kehilangan mobil seharga 41 M secara cuma-cuma, yang kemungkinan besar, ini adalah jalannya menuju kemiskinan karena papanya pasti akan menarik semua fasilitas yang diberikan padanya.
Dia sudah melakukan kesalahan dengan ingkar janji kepada papa nya. Ia sudah menahan godaan Jonathan mengajak balapan, tapi semua itu hanya bertahan sampai Jonathan menyebutnya pecundang. Harga diri Nolan tersentak, dan harta papanya menjadi korban.
“Arrrgh...Siaaaal...” de-sahnya frustasi sembari menjumput rambutnya untuk ia tarik keras.
Tapi tidak lama kemudian, satu ide muncul seperti lampu pijar disisi kepalanya.
Gadis bernama Caca itu, Nolan bilang akan bertanggung jawab kan? Kini biarkan gadis itu saja yang menanggung jawaban atas pertanyaan papanya nanti.
***
Setelah mandi dan sudah segar kembali, Nolan kembali meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas samping ranjang dan mengabaikan panggilan bi Ane yang menyuruhnya makan, dari luar pintu kamar. Nolan belum merasa lapar. Ralat, Nolan memang tidak lapar karena naf-su makannya hilang hanya karena memikirkan kedatangan papa nya yang akan menghajar habis dirinya karena ingkar janji, nanti.
Ia mengscroll layar hape dan mencari nomor gadis bernama Caca yang ia simpan semalam. Setelah ketemu, ia ragu untuk menekan atau tidak nomor tersebut walaupun pada akhirnya, dia tekan juga.
Nomor yang anda tuju tidak terdaftar. Coba periksa kembali nomor—
Nolan mengakhiri suara mbak-mbak operator dan bergegas mengecek nomor tersebut.
081234567890
“Sialan!” Nolan membanting hapenya di atas ranjang, lalu meremas surainya yang masih agak basah. Mengapa dia tidak memeriksa nomor itu lagi semalam? Mengapa dia percaya begitu saja dan tidak melakukan miscall sebelum benar-benar meninggalkan gadis yang sudah membuatnya rugi besar itu?
“Bodoh!” umpatnya mengatai diri sendiri. Sedangkan diluar pintu, bi Ane masih sibuk mengetuk pintu kamarnya, menyuruhnya untuk segera makan.
Nolan berdiri, perutnya mendadak kosong setelah tau nomor yang diberikan gadis itu, palsu. Mungkin dengan makan dua atau tiga piring, lemas di kakinya akan menghilang dan dia bisa kembali tegar menghadapi kenyataan jika dirinya akan segera bertransformasi menjadi gembel.
Bi Ane berjengit ketika pintu tiba-tiba terbuka dan sosok Nolan yang menjulang berdiri didepannya. “Eh copot. Aduh den, bikin bibi kaget aja.” katanya sambil mengelus dadanya yang kini berdebar, tapi bukan karena cinta. “Den bagus mau makan? Bi Ane sudah masak sop buntut kesukaan Aden lho.” rayu bi Ane karena tau peringai Nolan yang memang susah makan sejak kecil. Dia hanya mau makan kalau yang tersedia di atas meja makan itu, sop buntut dengan resep orisinil rahasia dapur bi Ane.
Tanpa menjawab, Nolan berjalan lunglai seperti orang linglung menuju meja makan. Bi Ane yang khawatir melihat tuan kecilnya itu murung, kini bertanya. “Ada masalah den?”
Tapi pertanyaan itu justru dibalas oleh Nolan dengan sebuah pertanyaan. “Kapan papa pulang, bi?”
Bi Ane menunduk sejenak. Ia tau permasalahannya karena bi Ane melihat tuan kecilnya ini pulang tanpa mobil mewah yang baru seminggu lalu memenuhi lahan parkir di garasi rumah. Bi Ane yakin, akan ada perang dunia yang ke sekian, saat tuan besarnya sampai rumah.
“Kurang tau, den. Tapi sebelum berangkat, tuan berpesan pada bibi, jika akan pulang cepat.”
Bahu Nolan merosot. Tidak ada harapan lagi? Atau...melarikan diri saja? Ah, tidak. Itu pilihan buruk. Lebih baik di caci dan di pukul, lalu dicabut fasilitas oleh papanya, dari pada harus hidup terlunta di jalanan tanpa ada yang peduli dia sudah makan atau belum.
Belum sempat bi Ane mempersembahkan piring dihadapannya, Nolan lebih dulu menyahut keramik mahal berbentuk bulat itu untuk ia letakkan didepannya sebagai wadah menampung nasi dan kuah sop buntut kesukaannya.
Lagi-lagi batinnya mengumpat. Jonathan memang sialan. Eh, bukan. Caca yang lebih sialan. Mengapa ngasih nomor palsu dan sekarang menambah daftar beban pikirannya karena tidak ada alasan yang bisa ia gunakan didepan ayahnya. Seharusnya wanita bernama Caca itu bisa ia gunakan sebagai senjata dan alibi untuk mengelabui papanya. Tapi...sudahlah, sudah terjadi.
Terkadang bi Ane itu heran, sebenarnya tuan mudanya ini garang atau berhati hello Kitty sih? Sebab Nolan bisa berubah-ubah tanpa diduga. Seperti sekarang, wajah pemuda delapan belas tahun itu terlihat minta di kasihani. Sikapnya juga tidak sedingin dan sekeras biasanya.
“Makan yang banyak den.” pinta bi Ane tulus sambil menuang kuah sop kedalam piring Nolan, karena akhir-akhir ini pipi Nolan terlihat lebih tirus dari sebelumnya.
“Aku makan banyak hari ini. Biar nanti kalau papa pulang, aku kuat kalau papa ngajak gulat.”
Mau tertawa takut dosa. Itu yang dirasakan bi Ane setelah mendengar ucapan tuan mudanya. Memang, Hendra terkadang bersikap tegas kepada Nolan dengan cara memukul. Itupun tuan besarnya lakukan jika Nolan sudah terlalu keterlaluan membuat ulah.
Terkadang, Nolan juga berontak dan menantang balik papanya seperti pemuda remaja pada umumnya jika tersinggung. Tapi ujung-ujungnya juga pulang setelah minggat dua hari. Setelah itu mereka kembali berbaikan.
Tiba-tiba terbesit satu ide sebelum kartu pipih hitam yang dipegangnya di minta paksa oleh papanya.
Nolan meninggalkan bi Ane yang semakin melongo. Ia berlari ke kamar guna mengambil ponsel dan menghubungi salah satu kenalannya yang bisa ia mintai pertolongan untuk mencarikannya sebuah motor. Motor yang mahal, unggul, dan tentu saja classic yang bisa menjadikannya percaya diri ketika berkendara.
Bro, gua butuh motor.
Warok: Spesifikasi?
Yang penting keren saat gua naiki.
Warok: Harley?
Boleh.
Harga lu kirim aja. Ntar langsung gua transfer uangnya.
Warok: Oke.
Nolan kembali ke meja makan dan melahap cepat makanannya sambil menunggu denting pesan di ponselnya.
Ting!
Warok: 📷
Warok: Mau?
Oke.
Kirim harga dan no. rekening
Ntar gua transfer
Nolan menghembuskan nafasnya lega. Setidaknya dia masih bisa menaiki kendaraan saat ini, sebelum kartu sakti mandraguna yang dipegangnya harus berpindah tangan pada si pemilik sebenarnya.
Nolan menatap piringnya yang hampir kosong, kemudian menatap bi Ane yang dengan sabar menunggunya hingga selesai makan. Nolan tersenyum kaku, lalu menggelengkan kepala.
“Kenapa, den?”
“Kalau papa pulang, bibi ambil cuti saja.”
Bi Ane kurang paham akan ucapan Nolan yang agak aneh itu. Tiba-tiba? Kenapa harus cuti?
“Memangnya, kenapa den?”
Nolan tersenyum miring disudut bibir.
“Aku sudah buat kesalahan lagi, malah lebih parah. Papa akan marah besar kali ini. Dan aku nggak yakin, kalau papa nggak bakalan main fisik.” []
...—Bersambung—...
...SELAMAT MEMBACA......
...🪐🪐🪐...
...MGT by: VizcaVida...
...02...
“Caca berangkat, bu.” pamitnya sedikit berteriak karena sang ibu sibuk di belakang menjemur pakaian. Caca mengikat tali sepatu, memakai jaket, lalu terakhir memakai masker dan helm. Dia adalah warga negara yang taat pada peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah. Selain itu, dia juga mencintai dirinya dengan cara menjaga kesehatan. Cuma, malam dua hari lalu dia sedang apes saja, jadi hal itu tidak termasuk hitungan.
Meskipun kakinya terkilir dua hari lalu itu belum sepenuhnya membaik, Caca tetap berusaha untuk tidak absen di tempat kerjanya. Keadaan motornya sekarang sedikit rewel, minta di servis karena masuk parit, sepertinya. Mungkin mesinnya atau apalah itu yang Caca tidak paham, sedang mengalami gangguan hingga motor itu jadi sedikit sulit dinyalakan. Kalau Accu tidak mungkin, soalnya baru ganti ketika servis bulan lalu.
“Iya, hati-hati. Minta sama SPV* mu buat ditempatkan di bagian yang nggak banyak jalan dulu, biar bengkak dan nyerinya hilang.” tutur ibu memberi solusi. Ibu memang selalu perhatian sama Caca.(*SPV\= Supervisor
“Iya, Caca tau. Berangkat dulu ya.” pamit Caca sekali lagi sembari meraih telapak tangan ibunya untuk ia kecup. “Dadah ibu...”
Setelah mengucap salam, Caca segera bergegas menuju motornya dan pergi untuk mengais rupiah demi menyambung kehidupannya bersama sang ibu.
Ibu dan ayahnya bercerai ketikan usianya sepuluh tahun. Hal itu membuat Caca harus hidup mandiri dan harus bisa memanage uang pemberian sang ibu agar mereka tidak semakin jatuh kesulitan. Beruntung, Caca adalah gadis cerdas yang bisa bersekolah dengan baik hingga mendapatkan beasiswa sampai di bangku SMA. Setelah itu, dia memilih bekerja sebagai opsi. Kuliah akan memakan biaya yang tidak sedikit, dan uang tabungannya juga tidak seberapa.
Ketika rasa putus asa itu menyerangnya, dia menghibur diri dengan mencari lowongan pekerjaan. Caca tak kenal lelah, dia pergi kesana-kemari mencari pekerjaan yang mungkin sedang membutuhkan jasa dan tenaganya. Karena hape Caca termasuk hape jadul, dia menjadi kesulitan mencari pekerjaan secara online. Pergi ke warnet pun sayang, uangnya bisa dipakai buat beli pulsa. Alhasil, dia hanya mengandalkan sepeda kayuh yang ia punya dan menitipkan lamaran dibeberapa tempat yang sedang membutuhkan karyawan.
Satu bulan Caca menganggur dirumah dan semakin merasa menjadi beban ibunya, karena sejak berpisah, ayahnya sudah nggak mau peduli lagi dengan kehidupan mereka berdua.
Hingga siang itu, salah satu kedai minuman ternama yang sempat ia titipi lamaran pekerjaan, menanggapi dan menjadikan Caca sebagai karyawan hingga sekarang sudah berjalan dua tahun. Gajinya lumayan, salary nya setiap bulan juga cukup oke untuk membeli beras satu karung besar untuk mengisi perut.
Sepanjang perjalanan, Caca fokus pada jalanan yang sedikit sibuk hari ini. Ada arak-arakan mobil polisi yang sepertinya sedang mengantar orang penting. Atau itu pak presiden? Atau artis? Ah, biarkan saja.
Sesampainya di kedai, Caca memarkir motor di parkiran khusus pegawai, lantas berjalan sedikit terseok menuju tempatnya bekerja. Moonbuck.
“Eh, mbak caca.” sapa salah seorang newbie di sana. Mereka cukup dekat karena Caca sering barengan satu shift sama dia. Lolita namanya. “Udah sembuh mbak?” tanyanya antusias karena melihat cara berjalan Caca yang sudah lebih baik dan cepat dari sebelumnya.
“Udah mendingan, Li. Pak Arkan sudah datang?”
Arkan adalah SPV yang akan memegang shift Caca dan beberapa pegawai lainnya pagi ini. Caca berencana ingin meminta izin seperti dua hari lalu, ia meminta di bagian bartender saja karena langkahnya yang belum benar pasti akan menjadi kendala jika dia menjadi pramusaji.
Loli menengok area parkir sebelah kanan. Biasanya, kalau pak Arkan ini sudah datang, motor PCX berwarna merah akan terparkir manis di sana. “Kayaknya belum, mbak. PCX nya nggak ada tuh.”
“Yah...” de-sah Caca kecewa. “Ya udah, aku tunggu didalem aja dulu ya, Li. Soalnya aku mau izin buat jadi bartender aja dulu sampai kaki ku sembuh.”
“Nggak usah minta izin kali, mbak. Udah pada tau mbak lagi sakit kok.” kata Lolita membela, karena memang seharusnya begitu.
“Nggak ah, nggak enak sama yang lain kalau nggak izin dulu.”
Tak lama kemudian, pintu berderit terbuka dan sosok tinggi tegap sedang berjalan masuk sambil membawa tas punggung, memakai seragam yang pas dan membuat wajah manis pria itu semakin menggoda.
“Pak,” sapa dua pegawai yang sedang mengepel lantai secara kompak, dan di jawab anggukan oleh yang punya nama Arkan.
Langkah panjang kaki jenjang itu terus melewati beberapa meja dan akhirnya sampai di bar tempat Lolita dan Caca berada.
“Pagi pak,” sapa mereka berdua, lalu Arkan berhenti begitu saja sambil melihat kearah Caca yang duduk di kursi belakang Lolita.
“Sudah mendingan, Ca?”
Caca meringis nggak enak, tapi dia harus mensejahterakan dirinya dulu. “Agak mendingan, pak. Tapi hari ini dan beberapa hari kedepan, saya masih harus izin di bartender saja. Saya takut membuat kesalahan pada pelanggan.”
Arkan mengangguk dan tersenyum. “Nggak apa-apa. Kalau kamu sembuh saja balik ke posisi kamu. Nanti aku bilangin ke pak Reno supaya dia juga tau.”
“Makasih, pak.”
Arkan itu laki-laki dewasa yang selalu bisa membuat Caca berdebar. Dia selalu kagum pada sosok Arkan yang ketika membuka pintu saja, sudah berhasil menarik minat siapapun untuk melirik. Terutama kaum hawa bernama Clarita Winanda.
Tanpa suara, Arkan menjawab ucapan terima kasih Caca dengan anggukan dan sebuah senyuman manis.
Sudahlah, Ca. Kamu bukan tipe pak Arkan. Sadar Ca, sadar...
Caca merutuk dan mengatai dirinya sendiri dalam hati. Bagaimana dia bisa mengagumi atasannya yang sempurna itu. Sudah ganteng, baik, sopan, dan ramah pula.
Ca, sudah! Kamu bukan tipe pak Arkan.
Caca menggelengkan kepalanya seperti orang kesurupan. Dia berdiri dan mulai mempersiapkan beberapa bahan yang akan digunakan untuk membuat kopi nantinya. Cukup berat karena harus mengangkat beban berkilo-kilo. Tapi masih lumayan dari pada dia harus berjalan dengan kaki terpincang karena sakit sambil membawa nampan didepan pengunjung.
***
Jam kerja berakhir cepat sekali hari ini. Waktu seakan bergulir begitu cepat. Mungkin banyak pengunjung adalah salah satu alasan mengapa jam kerja bergulir begitu saja.
Sejak pagi, hingga sekarang jam tiga sore, Caca tidak berhenti sejenak pun. Dia terus membuat racikan kopi berbagai varian bersama dua batender cowo yang menjadi partner kerjanya hari ini.
“Haaah...”
Helaan nafas Caca menjadi penanda jika hari ini sudah berakhir. Lolita masih harus clerek dengan kasir penggantinya.
“Ca,” sapa Arkan, membuat Caca membenarkan posisi duduknya dengan cepat. Kenapa orang ini gemar sekali membuat jantung Caca berdebar sih?
“I-iya pak?” jawab Caca gugup karena terkejut.
“Bisa ke ruangan saya sebentar?”
Caca mengedip lambat sebanyak dua kali, kemudian mengangguk. Seperti di beri tugas negara, Caca segera bergegas menuju ruangan Arkan, masih dengan langkahnya yang terseok-seok.
Dan sesampainya, Caca menahan nafas ketika aroma coklat musk lembut bercampur Woody yang begitu menggoda penghirup menyapa. Dan juga, sebuah senyuman manis dari atasannya yang bisa membuatnya kelebihan kadar gula hingga pingsan ditempat, membuat Caca kaku.
“A-ada apa pak Arkan meminta s-saya datang ke sini?” tanya Caca terputus-putus. “Saya tidak sedang akan dipecat kan?” lanjut Caca khawatir jika dia akan di pecat karena terlalu banyak kemauan selama tiga hari ini.
Arkan malah tertawa renyah mendengar pertanyaan Caca. “Kamu mikir apa sih?” tanya Arkan disela tawanya yang masih terdengar. “Aku cuma mau ngasih ini.” kata Arkan sembari meletakkan sebuah amplop coklat diatas meja.
Biasanya, salary akan diberikan akhir bulan, tapi ini masih pertengahan kenapa sudah dibagi?
“Aku mengajukan klaim uang berobat ke atasan. Dan beruntungnya di kasih.”
Uang berobat? Setau Caca tidak ada klaim seperti itu. Yang ada ya BPJS ketenagakerjaan.
“Lho, nggak perlu pak. Saya sudah baikan kok.” tolak Caca nggak enak. Sumpah, dia sudah agak baikan kok. Dia nggak perlu uang itu untuk berobat.
“Udah terlanjur Ca. Terima aja ya,” pinta Arkan sembari meraih amplop tersebut, lalu membawanya berjalan mendekat ke tempat Caca berada. Lantas telapak tangannya yang besar itu meraih telapak tangan Caca yang ramping dan putih, lalu meletakkan amplop itu diatasnya. “Terima. Ini termasuk rezeki lho. Rezeki tidak terduga.” katanya, sambil menyematkan sebuah senyuman ramah di bibirnya yang tidak terlalu tebal dan...sangat se-ksih.
Sebenarnya Caca mau-mau saja diberi uang kaget seperti ini. Apalagi motornya perlu di servis dan membutuhkan uang tambahan untuk membayar biayanya. Tapi masalahnya, kenapa pak Arkan sampai sejauh itu? Mengajukan klaim uang berobat... ini tidak masuk akal. Otak Caca kembali memikirkan uang klaim berobat, ada ya?
Benar, setau nya memang nggak ada yang seperti itu. Apalagi sudah ada BPJS ketenagakerjaan. Semua klaim kesehatan pegawai masuk ke sana.
Eh, atau ini cuma akal-akalan pak Arkan? Tapi, untuk apa dia melakukan itu?
Ah, aku terlalu besar kepala. Ini memang uang asuransi dari perusahaan. Ya, anggap saja seperti itu.
Gumam Caca dalam hati, agar dia bisa menampik dan mengendalikan perasaannya untuk Arkan, SPV nya. []
...—Bersambung—...
Minta komennya dong KK...☺️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!