"Apa ... Sayang, ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba kau memutuskan aku begitu saja? Apa salahku?" Ian terkejut dengan ucapan Vika barusan.
"Kau mendengar dengan jelas apa yang aku katakan 'kan?" Vika melipat tangannya di dada dan mencondong tubuhnya ke depan. Wajahnya terlihat sangat serius menatap kekasihnya itu.
Diam sebentar, Ian pun mengulum senyum. "Kau cuma bercanda 'kan, Sayang?" Pria itu mencoba meraih lengan pacarnya itu pelan.
Vika menepisnya dengan kasar. "Apa aku terlihat bercanda untukmu?" Ia mengangkat kedua alisnya. "Bodoh!"
"Sayang, kenapa kamu bicara sekasar itu? Kau tak pernah berkata-kata kasar sebelumnya padaku." Pria itu begitu terkejut dengan cara bicara wanita itu yang berubah kasar seakan ia baru bertemu dengan Vika yang lain.
"Karena itu kubilang padamu, kau bodoh! Aku sudah tak tahan padamu lagi!"
"Tak tahan apa, Sayang?" Ian makin tak mengerti.
"Ya, tak tahan pacaran dengan bule miskin sepertimu lah! Ya ... pekerjaanmu sih lumayan ... Marketing Manager, tapi kalau aku bisa dapat yang lebih, kenapa aku harus bertahan denganmu, bodoh!" ejek wanita itu kembali dengan penuh penekanan. Ia mengatakan itu agar Ian mengerti dengan jelas apa maksud perkataannya kali ini dan tidak lagi datang mencarinya. Segera ia meraih tas yang berada di atas meja dan pergi meninggalkan tempat itu.
Ian meraih serbet makan dan mengusap mulutnya cepat. Ia lalu melemparnya ke atas meja dengan kesal.
Ia pikir ia telah menemukan tambatan hati. Seorang wanita cantik berhati emas yang mau menunggunya hingga ia mencapai posisi yang lebih baik. Atau paling tidak menerima apa adanya dirinya sekarang ini.
Namun ternyata wanita itu hanya seorang penipu. Mulut manisnya selama ini hanyalah kedok, untuk menanti pria yang lebih baik darinya lalu memutuskannya dengan dalih, ia tak sehebat pria yang dipilihnya kini.
Sungguh, Ian merasa telah ditipu habis-habisan oleh Vika sementara hatinya sudah terlanjur terpaut. Luka yang ditorehkan terlampau dalam hingga ia tak sanggup untuk berhenti di tengah jalan. Hatinya hancur berkeping-keping menyisakan genangan air di sudut mata.
Ya, ia sudah terlanjur menyukai wanita itu hingga sulit percaya, wanita itu sanggup berkata kasar untuk menyudahi semua kenangan indah yang sudah mereka lewati bersama. Terlalu sakit untuk ditelan sendiri.
Ian kini harus berhenti berharap, wanita itu kembali karena cinta.
----------+++---------
Di salah satu sudut restoran mewah, dua orang pria usia matang di awal 30an tertawa lepas. Mereka sedang mengenang kisah lama mereka berdua yang kembali muncul ketika mereka kembali bertemu.
"Ho, ho, ho, kau masih ingat masa-masa itu ya?" ucap pria di depannya. Ia bersantai dengan melipat kakinya ke samping.
"Tentu saja. Karena saat itu aku bebas berekspresi. Sekarang wow, untuk melakukan itu saja aku harus perpikir dua kali. Bagaimana nanti kalau anak-anak dan istriku melihatnya? Apa pendapat mereka nanti kalau mereka tahu aku sekonyol itu dulu ...." Ia tergelak.
"Mmh, begitu ya?" Pria tampan yang sudah menduduki kursi CEO ini, walaupun mempunyai garis wajah tegas tapi masih memperlihatkan sisi lembutnya. Terbukti dari cara bicaranya yang ramah.
"Makanya Ian, menikahlah! Agar kau tahu bagaimana teduhnya rumah saat kau pulang. Lagi pula kau kan bule keturunan Amerika-Rusia. Indonesia adalah surgamu untuk menemukan wanita muslim yang kau inginkan. Bukankah itu tujuanmu dulu datang ke Indonesia."
Ian tersenyum seraya menundukkan kepalanya. "Ya, ya, ya, ya, ya, ya ...," ucapnya pelan seraya memiringkan kepala.
"Kenapa sejak putus dengan yang dulu itu, kamu belum lagi menemukan yang baru?" Vincent, bule Amerika yang kini kembali menetap di Jakarta setelah sempat pindah ke Bali itu, mempertanyakan kesendirian temannya itu. Ia melipat tangannya di dada dan dengan serius menatap Ian seraya mencondongkan tubuhnya ke depan. "Hei, serius lah! Masa satu saja tidak bisa kau temukan."
Ian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Entahlah. Aku serius mengejar uang hingga tak sadar, sudah 5 tahun berlalu dari sejak kejadian itu. Aku sendiri tidak sadar sudah selama itu."
"Well, now(nah, sekarang) ... bukalah matamu lebar-lebar. Barangkali kau telah melewati wanita itu sedangkan dia sendiri mungkin sedang berada di dekatmu."
"Mmh." Pria itu mengangkat bahu seraya kembali memiringkan kepala.
Vincent menyudahi makannya dengan mengusap mulutnya sedikit dengan serbet dan meletakkannya di samping. "Bagaimana kalau kita teruskan pembicaraan kita di kantorku, mmh?"
"Tapi aku sedang banyak kerjaan."
"Ah, lupakan itu sejenak. Pekerjaanmu akan tetap ada walaupun kau menundanya hingga esok. Aku tahu itu karena aku juga CEO. Sekali-sekali beristirahatlah atau ambil cuti karena pekerja seperti kita ini lumayan sibuk. Kita harus menyegarkan otak dan tubuh kita agar bisa maksimal dalam bekerja. Bagaimana menurutmu?"
Mau tak mau Ian menyerah. Ia memang ingin sekedar bersantai dan mengenal dunia yang kini mengelilinginya.
----------+++---------
Kedua bule yang bersahabat itu kembali duduk di kursi sofa ruang kerja Vincent.
Ian kembali mengedarkan pandangan untuk kedua kalinya pada ruang besar itu. Cukup nyaman dan tertata apik. "Jadi kamu pindah kerja hanya karena ingin pindah ke Jakarta, begitu?"
"Well, walaupun Bali cukup indah tapi istriku tidak mau jauh dari orang tuanya jadi terpaksa aku ganti pekerjaan agar bisa kembali kemari."
"Mmh, cukup nyaman juga ruang kerjamu." Ian menyandarkan punggung dan merentangkan tangannya pada sandaran sofa.
Terdengar pintu diketuk. Seorang pegawai masuk menghadap Vincent. Seorang wanita berjilbab dan berkacamata dan dia .... "Maaf Pak, ini laporannya untuk bulan ini." Ia mengangkat sedikit kacamatanya di atas hidung dan menyerahkan berkas-berkas itu pada pria bule itu.
"Oya, terima kasih." Vincent menerimanya di kursi sofa.
Wanita itu ... pandangan mata Ian tak bisa berkedip melihatnya. Kacamata, jilbab ... ah! Tanpa itu ia sangat mirip. Eh, tapi tunggu dulu. Dia tidak secantik Vika. Ah, kenapa nama sialan itu kini kusebut lagi, ck! Mmh ... matanya beda. Matanya lebih lembut di banding mantanku. Ya, dia lebih cocok disebut mantan karena seharusnya sejak dulu ingatanku tentangnya sudah kumasukkan ke dalam tempat sampah!
Ya, itu tempat yang cocok untuk seorang mantan.
Sudah, jangan mengingat-ngingat dia lagi. Ian mengalihkan pandangan.
Wanita itu kemudian keluar dan menutup pintu. Ian kembali mengobrol dengan temannya, tapi sepanjang percakapan pikirannya terus berputar-putar membayangkan wanita tadi.
Wanita itu mungkin melihat keberadaannya hanya dalam waktu beberapa detik saja tapi bagi dirinya pertemuan itu membuat ia tak bisa melupakan wanita itu. Pertemuan yang sangat berkesan.
Ian, apa kau sudah gila? Kau mencari orang yang sama, atau sebenarnya kau masih mencintai mantanmu itu, mmh? Kau masih ....
"Ian ... oi! Kau melamun?" Vincent menjentikkan tangannya di depan mata sahabatnya itu.
"Mmh, boleh aku tahu siapa namanya?"
___________________________________________
Selamat datang di novel terbaru author ingflora. Ini visual Ian Xander pria bule yang sedang mencari cinta sejatinya. Tekan favorit agar terus bisa mengikuti novel ini dan jangan lupa like, vote, komen atau hadiah sebagai penghargaan jeri payah author. Salam, ingflora💋
"Mmh, siapa? Bawahanku yang tadi itu?" tanya Vincent tak percaya.
"Iya."
Vincent melihat heran pada Ian tapi kemudian berubah senyum. "Hei, temanku sudah mulai mendengarkan nasehatku rupanya?" Ia menepuk lengan Ian.
Pria itu hanya tersenyum ringan.
"Namanya Noura. Dia Manager Accounting dan masih lajang." Sahabatnya memberi informasi.
Kembali Ian tersenyum simpul.
Di luar ruang kerja Vincent, Noura kembali ke ruangan dengan dikelilingi teman-teman sekantornya. Para wanita itu ingin tahu informasi lebih dalam tentang tamu atasan CEO mereka yang tengah datang ke kantor.
"Siapa namanya?"
"Ganteng kan?"
"Klien atau tamu Pak Vincent, kok aku belum pernah lihat ya?"
Berondongan pertanyaan yang ditujukan padanya membuat ia bingung. Kembali ia menaikkan letak kacamatanya yang melorot ke atas hidung. "Maaf, aku hanya mengantarkan berkas yang diminta Pak Vincent tadi sebelum pergi."
"Aduhh Noura ... Noura. Untuk apa punya kacamata tapi gak juga bisa lihat cowok ganteng."
Teman wanita yang berada di sebelah wanita itu mencubitnya.
"Aduhh!" Wanita itu mengusap-usap lengannya. "Sadis ih, cubitannya!"
"Lagian ... sopan banget ngomongnya."
"Memang kamu gak lihat Noura, cowok itu ganteng lho!" Seorang teman wanitanya yang lain menangkup pipi sendiri karena terbayang pesonanya. "Mana wajahnya Baby Face(kekanak-kanakan) lagi!"
"Eh ... mungkin," jawab wanita berkacamata itu singkat.
"Memang kamu gak lihat bener?" Teman yang lain memastikan.
"Lihat. Ganteng," ujar Noura lagi.
"Iya kan?"
Saat Noura hendak kembali ke kursinya, ia masih ditahan oleh sesama teman wanitanya. "Namanya siapa, Ra?"
"Oh, aku tidak tahu." Noura kembali menaikkan kacamatanya dengan satu telunjuk.
"Yaaa ... Noura ...."
Dan para wanita itu masih belum berhenti bergosip. Mereka sibuk menceritakan tentang kedatangan pria itu dan pesonanya. Para pegawai pria hanya geleng-geleng kepala.
Seorang pria yang duduk tak jauh dari kursi Noura, memperhatikan wanita itu. Ia tersenyum penuh arti. Noura yang tidak terpengaruh dengan gosip panas yang tengah dibicarakan teman-temannya, membuat hati pria itu kembali sejuk. Pria itu merapikan letak kacamatanya dengan sentuhan di bingkai samping, dan kembali tenggelam dalam pekerjaan.
-----------+++----------
Noura yang baru saja keluar dari lift, masih terus dibuntuti pria berkaca mata itu hingga pria itu mendahuluinya. "Oh, Ryan ...," ucapnya membuat langkahnya terhenti.
"Eh, ma-mau kuantar pulang?" tanya pria itu gugup.
"Eh, tidak usah. Aku naik ojek saja," tolak wanita itu dan mulai melangkah lagi.
Ryan berusaha mensejajarkan langkah. "Eh, ada yang mau aku bicarakan. Bisa?"
"Mmh?" tanya wanita itu seraya menoleh.
Mengetahui wanita itu memandanginya, Ryan dengan susah payah menelan saliva. Pandangan lembut itu langsung ke ulu hatinya. Aduhh, Ryan ... katanya berani? Baru dipandangi matanya saja sudah gugup. Bagaimana ini? "Mmh ...."
Sementara itu, di lobi ramai orang yang tengah menuju ke pintu depan karena sudah jam pulang kantor. Sebagian ada yang dijemput atau pulang dengan kendaraan umum.
"Ada apa?" Noura sudah mencapai pintu kaca yang terbuka oleh orang lain sehingga ia bisa ikut keluar.
"Aku ...."
"Noura!"
Wanita itu menoleh. Tempat itu sedang ramai dan ia melihat tamu bos bulenya itu ada di depan, tapi ia tak yakin pria itu yang memanggilnya. Ia memutar tubuh mencari sumber suara.
"Noura."
Kini wanita itu yakin pria bule itulah yang memanggilnya karena pria itu mendatanginya. Beberapa orang di sekitar mereka juga memperhatikan pria itu, jadi tidak mungkin orang lain kan, tapi kenapa?
"Namamu Noura kan?"
Wanita itu terkejut. Jelas dan pasti ia bisa melihat pria itu melangkah ke arahnya seraya tersenyum manis. Dari mulut pria itu ia mendengar sendiri namanya disebut. "I-iya." Ia menaikkan kacamatanya ke puncak hidung dengan satu telunjuk.
Pria tampan itu makin mendekat sehingga Noura harus sedikit mendongak karena tinggi tubuhnya. Pria itu menyodorkan tangannya. "Halo, nama saya Ian. Boleh kenalan?"
"Eh ... boleh ...." Perlahan Noura mengangkat tangannya menyambut tangan pria itu. Ia masih bingung dengan situasi yang terjadi. Pria ini, ingin berkenalan denganku? Ia merasa seperti mimpi.
"Kamu ingat aku kan? Teman bosmu."
"I-iya." Wanita itu segera menarik kembali tangannya. Ia masih belum sadar dari keterkejutannya.
"Aku sudah izin dengan bosmu."
"Izin apa?" tanya Noura masih tercengang.
Pria bule itu mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Sebuah buket bunga mawar yang indah berwarna pink. "Untuk mengagumimu."
Orang-orang bersorak di sekeliling mereka. Ternyata keberadaan bule tampan itu cukup menyedot perhatian sekitar. Apalagi sebagian dari mereka telah melihat buket bunga yang disembunyikan pria itu di belakang punggungnya sehingga mereka menanti kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya.
Wajah wanita itu memerah. Bunga mawar ... untukku? Netranya masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya.
Ian menyodorkan bunga itu pada Noura. "Aku menyukaimu."
Kembali orang-orang bersorak di sekeliling mereka. Yang menonton mereka pun makin ramai.
"Terima aja Mbak, terima!" teriak salah seorang dari mereka memberi semangat.
"Ta-tapi ...." Wanita itu kembali merapikan kacamatanya.
"Kau tak kenal aku?" sambung pria itu. Ian menyodorkan lengannya. "Ayo kita jalan untuk saling mengenal."
Ragu-ragu wanita itu berpegangan pada lengan kokoh Ian. Pria itu terlihat senang begitu pula mereka yang menonton. Sorak sorai makin riuh. Pria itu kembali menyodorkan buket bunga itu yang kini diterima Noura dengan wajah masih memerah. Noura mengikuti ke mana pria itu membawanya.
Sorak sorai semakin ramai. Ryan yang ditinggalkan hanya bisa melihat kepergian Noura bersama pria itu tanpa mampu berbuat apa-apa.
Vincent tersenyum lebar melihat dari kejauhan. Ia geleng-geleng kepala melihat tingkah berani Ian pada Noura yang menyedot perhatian orang-orang di sekitar. "Ian, kini kau kembali. Si pemuja cinta ...."
----------+++---------
Sejak di dalam mobil wanita itu hanya melihat ke arah jendela, entah itu jendela di samping atau di depannya tapi tidak pada Ian hingga pria itu merasa yakin wanita itu juga menyukainya.
Bagaimana tidak, pria tampan seperti Ian pasti sangat mudah mendapatkan wanita, bahkan yang paling cantik sekali pun tapi ia malah memilih wanita berjilbab yang jauh dari kata cantik, ditambah kacamata minus yang mungkin untuk sebagian orang akan melewatinya.
Namun seorang Ian memilihnya. Pria tinggi, putih, dengan hidung mancung seperti itu sudah pasti impian semua wanita. Apalagi wajahnya yang sangat Eropa, bagi sebagian wanita Asia, mereka memujanya.
"Mmh, kamu mau pesan apa?" Ian menyodorkan sebuah buku menu pada Noura yang masih bengong menatap pria itu.
"Kamu gak bercanda kan?" tanya wanita itu menyelidiki. Ia mulai bisa menguasai dirinya.
"Kamu mau aku bagaimana?" Ian meletakkan kedua sikutnya di atas meja dan menyatukan ujung jari di depan wajahnya.
"Kalau Bapak hanya bercanda, terima kasih. Saya tersanjung." Noura berusaha berbesar hati dan menyadari pria itu adalah teman bosnya.
"Bagaimana kalau kita pacaran?"
Noura masih terlihat tak percaya. Ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Bagaimana kalau aku melamarmu?"
"Apa?"
"Besok?"
Wanita itu terperangah.
____________________________________________
Terus dukung author dengan like, komen, vote, dan hadiah. Ini visual Noura, si wanita jilbab berkacamata. Salam, ingflora💋
"Pak ...."
"Apa?"
"Bapak kan hanya melihat aku paling eh ... beberapa menit. Bagaimana Bapak bisa yakin?"
"Jika saat ini kamu menolakku saja, aku serasa ingin mati. Kau mungkin bisa bilang, beberapa menit tapi bagiku selamanya karena sejak saat itu potret wajahmu tak bisa lepas dari ingatan. Aku tak bisa tidak mengingatmu, semua yang kulihat seperti ada kamu. Apa kau bisa menerangkan fenomena ini? Voodoo apa yang kau pakai sehingga aku tidak bisa melupakanmu?"
"Voodoo?" Wanita itu bertanya heran sambil mengerut kening.
"Iya. Dukun canggih apa yang kau pakai untuk memikatku?"
"Dukun?" Wanita itu tersenyum lebar sambil tertawa. Tawanya sangat manis dan indah didengar.
Ian jatuh dalam cinta yang membuainya.
"Aku baru saja mengenalmu, Ian." Noura mulai berani menyebut namanya.
"Apa kamu masih menyangsikan cintaku ini?"
Wanita itu menatap Ian dengan mata lembutnya. "Aku pikir mataku ini sudah sangat parah hingga perlu kacamata tapi ternyata ada pula orang yang melihat dengan sangat parah tapi ia yakin tak butuh kacamata."
"Aku yakin dengan apa yang kulihat, Cinta. Dirimu dengan atau tanpa kacamata itu, aku tak perduli. Penampilan terburukmu saja aku cinta, apalagi penampilan terbaikmu. Mungkin aku memuja."
Noura masih bingung dengan pria di depannya. Semakin ia pertanyaan, semakin pria itu melambungkannya, rasanya ia sedang bermimpi saja dan ia pun tak sanggup untuk bangun. Pria itu terlalu sempurna untuk diimpikan tapi pria itu nyata-nyata memang memujanya.
Wajah Noura bersemu merah setiap kali bicara dengan pria itu. Adakah seseorang yang bisa mengatakan padanya ia sedang bermimpi? Ini sangat tidak mungkin.
"Emm ...." Wajah wanita itu masih bersemu merah.
"Noura."
"Ya?"
"Apa kau tidak lapar? Ini waktunya makan malam lho ...."
"Oh, iya." Noura dengan tersenyum malu mengambil buku menu yang sejak tadi sudah berada di hadapannya.
"Jangan sampai cinta membuatmu lupa makan."
Noura terlihat semakin malu dengan pipinya merah merona.
"Tidak kenyang makan cinta," goda Ian membuat Noura makin menunduk malu.
Seusai makan malam, Ian mengantar pulang Noura. Ternyata Noura masih tinggal dengan orang tuanya. Sebuah rumah dengan gaya minimalis yang cukup besar.
Ian meminta izin Noura bertemu dengan orang tuanya yang kebetulan ada di beranda.
"Apa kau sudah yakin padaku Ian?" Noura kini tidak lagi memanggil Ian 'Pak.'
"Aku yakin padamu Noura, bahkan aku sedang meyakinkanmu." Ian menatap wanita itu, memastikan wanita bermata lembut itu bisa mempercayainya.
"Look(dengar ya?), bukankah di dalam Islam pernikahan itu harus disegerakan untuk mengurangi banyaknya dosa yang akan timbul setelahnya. Dosa memandangmu, dosa menyentuhmu, dosa mengkhayal tentangmu dan dosa-dosa yang lainnya yang akan mengikuti kemudian. Bukankah kewajibanku membawa calon istriku ke pintu surga yang paling indah bersamaku?"
"Ian ...." Noura kehilangan kata-kata mendengar ucapan pria itu.
"Noura, percayalah padaku. Kau takkan menyesal."
Keduanya akhirnya turun dan menemui orang tua Noura.
----------+++----------
"Begitulah Pak, aku harap Bapak setuju," penjelasan Ian ditutup dengan senyum yang paling sopan pada kedua orang tua Noura.
Ayah dan Ibu Noura memandangi putrinya memastikan ia juga bahagia.
"Mmh, begini saja. Karena mendadak sekali, sebaiknya pastikan dulu keberadaan orang tuamu di Jakarta, baru kita buat lagi tanggal pastinya, bagaimana?" ujar ayah Noura memastikan.
"Itu kebetulan tanggal pasti Pak, karena Daddy saya memang ke Jakarta karena suatu urusan jadi tidak ada masalah dengan kedatangan orang tua saya."
"Mmh, kalau begitu tanggal segitu sudah fix(pasti) ya? Tidak perlu diganggu gugat lagi." Pria paruh baya itu melipat tangannya di dada dan merapikan duduknya.
"Benar Pak. Kalau diganti lagi, saya agak kesulitan karena pekerjaan saya yang sibuk ini tapi nanti saya akan libatkan EO(Event Organizer) untuk mempermudah pekerjaan."
"Mmh."
Sebuah mobil mewah berhenti di belakang mobil Ian. Seorang pria dan seorang wanita keluar dari mobil itu.
Ian yang masih berada di beranda terkejut melihat pada yang wanita. Wajah yang begitu dikenal yang takkan pernah ia lupa sekaligus wajah yang paling dibencinya. Vika?
"Ian, itu saudara kembarku," ujar Noura senang.
Kembar? Mereka kembar ..? Bencana apalagi ini? Apakah ada yang lebih buruk lagi dari ini? Mereka kem-bar ....
Vika terkejut melihat Ian di sana, tapi ia tak begitu takut. Ada suaminya yang kaya raya yang bisa ia pamerkan pada pria itu. Seketika Vika mendekati suaminya dan melingkarkan tangannya pada lengan kokoh pria itu. Keduanya mendatangi beranda.
"Ada apa ini?" tanya Vika ingin tahu.
"Oh, kenalkan. Ini calon suami Noura. Namanya Ian," ucap ayah mewakili.
Vika dan suaminya bersalaman dengan Ian.
"Ini saudara kembar Noura, namanya Vika dan suaminya." Kembali ayah memperkenalkan.
"Suami saya pemilik hypermarket terkenal di Jakarta, kamu pasti tahu kan siapa," terang Vika pada Ian.
"Vika. Kamu tidak boleh sombong seperti itu. Calon suami Noura juga seorang CEO," terang ayah lagi.
Vika mengangkat satu alisnya. Mmh, sudah CEO ya ... tapi kau bukan apa-apa di banding suamiku, tatapnya angkuh. Kau pikir aku akan cemburu kalau kamu menikahi saudara kembarku. Mmh, bodoh! Bahkan mengakuinya sebagai saudaraku saja aku malu. Dia adalah bayang-bayang hidup terburukku.
Ian juga mengangkat satu alisnya dengan senyum lebar. Kamu pikir aku akan cemburu melihatmu bersama suamimu, hah? Semua orang pasti bisa menilai siapa kamu. Suamimu itu, entah bagaimana seleramu. Kenapa kamu tiba-tiba punya selera yang amat buruk? Oh, aku lupa. Kau ... menikah karena harta ya?
Ian kemudian menoleh pada Noura. Kalau begitu, boleh kan aku buat saudara kembarmu sengsara? Sesengsara aku dulu waktu masih sayang padamu dan kau tinggal pergi. Bahkan lebih. Kau harus bisa merasakan rasa sakit hatiku waktu kau tinggal pergi.
Luka yang kau tinggalkan itu mengendap lama sebelum akhirnya benar-benar sembuh. Aku tak rela, kebahagiaanmu sempurna. Saksikan bagaimana aku mencabik-cabiknya lewat penderitaan saudara kembarmu ini.
--------+++---------
Sebulan kemudian pernikahan pun dilangsungkan. Pesta pun cukup meriah. Banyak para tamu undangan datang bahkan dari luar negri. Ternyata Ian adalah anak salah satu konglomerat di Amerika. Demi mencari cinta sejatinya, ia bekerja di Jakarta dan memulai kariernya dari nol. Ia mencari wanita yang bisa mencintainya apa adanya tapi ternyata ia terjerat cinta wanita kembar.
Setelah pesta usai, Ian memboyong istrinya ke rumah miliknya yang cukup besar di sebuah perumahan mewah. Setelah sampai di depan rumah, Ian mematikan mesin mobil dan menatap istrinya. Permainan pun di mulai ....
"Noura ...."
"Iya sayang." Wajah wanita itu terlihat berbunga-bunga.
"Aku harus berterus terang denganmu."
"Mengenai apa ya?" Pipi wanita itu memerah membayangkan pujian apalagi yang akan suaminya berikan padanya kali ini.
"Aku tidak ingin tidur denganmu."
_____________________________________________
Halo reader. Jangan lupa beri semangat author karena author mengikutsertakan novel ini dalam event lomba 100% kekasih ideal. Beri dukungan dengan like, vote, komen, dan hadiahnya ya? Ini visual Vika, kembaran Noura sedang memamerkan rumah mewahnya. Salam, ingflora💋
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!