NovelToon NovelToon

Loving You

Prolog

Malam telah larut. Suasana sudah mulai sepi dan sunyi. Semilir angin malam yang tenang mampu membuat perasaan siapa saja menjadi nyaman.

Seorang gadis sedang duduk dengan nyamannya di atas ayunan yang ada di taman. Lokasi taman itu tak begitu jauh dari rumahnya.

Ia terlihat menikmati semilir angin malam yang menyapanya. Rambutnya yang panjang sepinggang, tergerai dengan indah. Dia memejamkan matanya untuk lebih meresapi sejuknya angin malam.

Kini, hanya ia yang ada di taman itu. Keheningan malam mampu memberikan ketenangan pada pikirannya. Kini perasaannya sudah jauh lebih membaik dari yang sebelumnya.

“Ah, bulannya begitu indah malam ini,” ucapnya kala melihat langit malam yang terang dihiasi oleh cahaya bulan purnama.

“Bulan itu begitu indah. Namun, dirinya hanya sendirian di atas sana. Apakah dia tidak merasa kesepian?” Ia kembali berbicara pada dirinya sendiri.

Gadis itu mulai mengayunkan ayunan yang dinaikinya dengan perlahan. Sembari bersenandung kecil, ia terus menatap rembulan yang bersinar begitu indah.

“Betapa bersinarnya bulan itu. Setidaknya walaupun dia sendirian di atas sana, tapi dia bisa begitu bersinar dengan indahnya. Tak seperti diriku,” ucapnya sembari tertawa kecil, miris.

“Hah, aku sedikit iri melihatnya,” desah gadis itu. Ia kini mulai mempercepat ayunannya.

“Wahai bulan yang indah, tak bisakah kamu berikan sedikit cahaya indahmu kepadaku?” tanyanya pada sang rembulan.

Setelah mengajukan pertanyaan tersebut, dia hanya tertawa kecil. Sepertinya dirinya sudah mulai gila karena menanyakan hal yang ia sudah tau jawabannya, mustahil!

“Ah, sepertinya kamu tidak perlu menjawab pertanyaanku wahai bulan purnama. Aku rasa aku sudah mengetahui apa jawabanmu.” Dia pun akhirnya hanya bisa tertawa geli dengan sikapnya itu yang sebenarnya tidak ada hal yang lucu sama sekali.

Rambutnya tersapu angin malam dengan indah. Ia memiliki rambut hitam legam yang terlihat bersinar di bawah cahaya rembulan. Ia semakin mempercepat tempo ayunannya.

Dirinya begitu hanyut dalam pikirannya sendiri tidak menyadari bahwa sedari tadi ada seseorang yang terus memperhatikan tingkah lakunya itu. Orang itu melihatnya dari kursi yang berada agak jauh dari taman. Tudung dari jaket yang dikenakannya, membuat wajah orang itu tidak terlihat.

Setelah beberapa saat kemudian, dirinya memutuskan untuk menghentikan ayunannya. Kini ia bangun dari ayunan dan mulai berjalan kecil di atas hamparan pasir yang ada di taman itu.

Dia melompat-lompat kecil sembari bersenandung pelan, tanpa mengunakan alas kaki. Sepatunya sudah dilepas sedari tadi untuk menikmati sensasi pasir.

Ia tertawa kecil, menikmati waktunya. Perasaannya kini sudah jauh lebih membaik. Sepertinya, pergi ke taman memang menjadi pilihan yang tepat.

Dia begitu asik dalam dunianya, sehingga tak menyadari seseorang yang terus memperhatikannya sedari tadi kini hanya tersenyum kecil melihat tingkah lakunya. Mungkin, bagi orang itu tingkah lakunya kini seperti anak kecil, begitu menggemaskan.

Setelah dirinya merasa puas bermain di taman, akhirnya ia pun memutuskan untuk pulang. Tak lupa ia mengambil sepatu miliknya yang diletakkan di dekat ayunan.

Ia memilih untuk menenteng sepatunya dan berjalan pulang tanpa alas kaki alias nyeker. Kakinya yang menyentuh aspal terasa dingin, menyegarkan.

Dalam perjalanan pulang dia terus bersenandung kecil. Sedangkan seseorang yang memperhatikan dirinya sedari tadi, terus mengikuti pergerakannya hingga hilang di persimpangan.

Setelah ia sudah tak tertangkap oleh retina mata orang itu, barulah orang itu akhirnya memutuskan untuk bangun dari duduknya. Dia melangkah mendekati taman yang disinggahi oleh gadis tadi.

“Lucu,” ucapnya sembari tersenyum kecil. Setelah mengatakan hal itu, orang itu pun memutuskan untuk pulang. Sepertinya malam ini dirinya menemukan hal yang begitu menarik perhatiannya.

Masuk Sekolah

...“Jika bisa memilih, maka aku akan memilih untuk tidak mengenalmu sama sekali. Namun, apa daya takdir berkata lain.”...

...****************...

Lalu lintas di pusat kota begitu penuh sesak, padahal hari masih begitu pagi. Orang-orang sudah berlalu lalang, melakukan aktifitasnya.

Lautan manusia yang berwarna-warni menjadi penghias suasana pagi. Kendaraan-kendaraan penuh dengan kepulan asap, menambah polusi bumi. ah, begitulah kehidupan terutama jika tinggal di pusat kota.

“Niken! Cepat turun kamu! Sudah jam 6 pagi, nih,” teriak seorang wanita paruh baya.

“Iya, Mi. Niken udah selesai kok,” sahut seorang gadis berseragam putih abu-abu. Ia berjalan dengan langkah yang tergesa-gesa keluar dari kamarnya dan segera datang ke arah dapur, menuju sumber suara. Kamarnya berada di lantai 2, jadi dirinya harus menuruni tangga terlebih dahulu.

Rambutnya diikat kuncir kuda. Sedangkan seragamnya begitu tertutup dengan rok yang panjang hingga mata kaki dan baju yang berlengan panjang. jangan lupa kacamata minus miliknya yang bertengger dengan nyaman di wajahnya yang agak chubby, menambah kesan manis.

“Kamu anak gadis tapi kok lelet banget sih geraknya! Kalau nggak dipanggil, nggak ada pengertiannya untuk langsung keluar setelah bersiap-siap,” sungut wanita paruh baya itu yang tak lain adalah ibunya yang ia panggil mami.

Niken yang mendengar perkataan maminya itu hanya bisa menundukkan kepala.

“Ah, selalu saja seperti ini,” desahnya dalam hati.

“Iya, Mi. Niken yang salah, jadi Niken minta maaf,” tuturnya.

“Kamu itu udah jadi kebiasaan banget, lelet! Masa jam segini belum ada sarapan di atas meja? Kamu lupa kalau semua orang yang ada di rumah ini sibuk?” cerca sang mami.

“Niken tadi lagi siap-siap untuk sekolah, Mi. Hari ini kan hari pertama Niken masuk. Apalagi hari ini Niken ada orientasi siswa baru,” papar Niken memberikan alasan.

“Alah, alasan aja terus! Bilang aja sebenarnya kamu malas!” tuding sang mami.

“Udah, sekarang kamu siapin sarapan. Mami mau ke kamar dulu, siap-siap untuk kerja,” ucap sang mami, tak memberi kesempatan pada Niken untuk memberikan sanggahan.

“Bentar lagi Papi kamu bakalan turun dari kamar. Pokoknya sarapan dan kopi harus sudah ada di atas meja. Kalau belum ada, awas aja kamu!”

Setelah mengetakan hal itu, maminya pun langsung pergi menuju kamarnya yang juga berada di lantai 2 tanpa menunggu jawaban yang akan diberikan sang anak. Niken yang diperlakukan seperti itu hanya bisa menghembuskan napasnya sedikit kasar, mencoba bersabar.

Kejadian seperti barusan sudah menjadi rutinitas paginya. Jika bisa diibaratkan, maka kejadian itu sudah seperti sarapan pagi rutin bagi Niken.

Niken adalah anak satu-satunya atau anak tunggal. Sebenarnya kedua orang tuanya menginginkan seorang putra. Namun, yang mereka dapatkan adalah seorang putri.

Ketika melahirkannya, sang mami mengalami pendarahan yang hebat akibat kecelakaan. Akibat hal tersebut, maminya memiliki resiko yang sangat tinggi untuk kehamilan berikutnya.

Tak ingin membuang waktu, akhirnya Niken pun segera menyiapkan sarapan pagi untuk mereka. Dia hanya membuat roti bakar karena simpel dan waktu pembuatan singkat.

Setelah membuat roti, ia membuat kopi untuk papinya dan teh untuk maminya. Sedangkan untuk dirinya sendiri, ia memilih untuk minum air putih saja.

Setelah selesai, dirinya pun menghidangkan semuanya di meja makan. Sekitar 5 menit kemudian, mami dan papinya pun turun dari kamar. Sarapan pagi itu juga berlangsung dengan hening seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada seorang pun yang berbicara.

*****

“Aduh, aku telat!!” ujar Niken sembari melihat jam tangannya.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 lewat 5 menit. Padahal hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah, tapi ia sudah telat.

Semalam kakak-kakak kelas yang menjadi panitia pelaksanaan orientasi untuk siswa baru, memberikan informasi bahwa hari ini mereka harus sudah ada di sekolah jam 7 tepat. Bagi siswa yang telat, maka akan diberikan sanksi.

“Aduh! masa hari pertama udah kena hukuman aja?!” ujarnya seraya semakin mempercepat tempo larinya.

Ketika matanya melihat gerbang sekolah, ia semakin mempercepat tempo larinya. Ketika sampai di depan pagar, ternyata sudah ada 2 orang kakak pelaksana yang berjaga. Mereka berdua adalah laki-laki.

Niken yang baru sampai, berusaha untuk menetralkan napasnya ngos-ngosan. Ia memegang lututnya untuk menopang tubuhnya yang lelah setelah berlari. Keringat kini sudah memenuhi dahinya.

“Kenapa kamu telat?” tanya salah satu kakak pelaksana. Niken melihat name tag kakak itu, ternyata namanya adalah Ghaza Al-Ghazali.

“Hah, hah, hah. Bentar, Kak, saya atur napas dulu, capek barusan lari,” ucap Niken masih berusaha untuk menetralkan napasnya.

Setelah napasnya stabil, ia pun mengatur posisi tubuhnya menjadi tegak. Ia juga merapikan rambutnya yang sedikit berantakan akibat berlari tadi.

“Oke, Kak, napas saya udah stabil. Tadi Kakak tanya apa?” tanya Niken, meminta sang kakak pelaksana untuk mengulang kembali pertanyaannya.

“Kenapa kamu terlambat? Sekarang sudah lewat 15 menit dari peraturan yang sudah ditetapkan,” tutur Ghaza.

“Maaf, Kak. Tadi ban sepeda saya bocor, jadi saya terpaksa lari dari rumah ke sini,” papar Niken.

“Memangnya tidak ada orang yang bisa kamu mintai tolong untuk mengantarkan kamu ke sekolah?” tanya kakak pelaksana yang satunya, Namanya adalah Nabil Airlangga Putra.

“Nggak ada, Kak. Soalnya tadi Mami sama Papi udah berangkat kerja,” jawab Niken.

Bohong!

Sebenarnya tadi dia sudah meminta kepada orang tuanya untuk mengantarnya ke sekolah karena sepeda kesayangannya sedang rusak. Namun, orang tuanya menolak, mereka beralasan bahwa mereka sudah sangat telat. Akhirnya pun, mereka langsung berangkat kerja setelah sarapan.

Sebenarnya, jika Niken langsung berangkat setelah sarapan, ia mungkin tak akan telat. Jarak antara rumahnya dengan sekolah hanya memakan waktu sekitar 20 menitan untuk sampai dengan berjalan kaki. Sedangkan jam dinding di dapur rumahnya masih menunjukkan pukul setengah 7 pagi, artinya masih ada waktu 30 menit lagi.

Namun, Niken harus merapikan meja makan setelah sarapan. Ia juga harus mencuci piring dan gelas yang digunakan untuk sarapan tadi. Kegiatan itu memang tidak lama, mungkin hanya memakan waktu sekitar 7-8 menitan untuk merapikan semuanya.

Tapi, di perjalanan menuju sekolah, dia mendengar suara anak kucing. Ketika mengikuti sumber suara, ia melihat anak kucing berwarna oranye belang putih sedang terbaring dengan penuh luka di sekujur tubuhnya.

Niken yang merasa tak tega, akhirnya memutuskan untuk membawa kucing itu ke klinik hewan yang berada tak jauh dari posisinya saat itu. Ia menitipkan kucing itu untuk dirawat di klinik selama ia sekolah. Waktu Niken banyak terkuras saat dirinya mengisi administrasi.

Setelah selesai, Niken melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 8 kurang 5 menit. Ternyata dirinya sudah menghabiskan waktu 10 menit lamanya. Niken yang merasa akan telat, segera berlari menuju sekolahnya. Sebelum itu, tak lupa dirinya menyampaikan pada dokter bahwa akan melihat kucing itu setelah pulang sekolah.

Jadi, itulah alasan sebenarnya mengapa ia bisa terlambat datang ke sekolah pagi ini.

“Karena peraturan tetaplah peraturan, maka kamu akan kami berikan sanksi. Kamu harus memberikan surat ini kepada kakak pelaksana yang bernama Mahendra,” ucap Ghaza seraya memberikan surat yang ditulis oleh Nabil barusan.

“Eh, jangan dibuka!” Seru Nabil ketika melihat Niken yang ingin melihat isi surat tersebut. Niken hanya bisa cengengesan.

“Pokoknya jangan sampai ada melihat surat itu selain Kak Mahendra. Oh ya, nanti apa pun yang dikatakan oleh Kak Mahendra, kamu harus nurut. Jika kamu melanggar salah satu yang dari Kakak sebutkan tadi, maka sanksi kamu akan dilipatgandakan. kamu paham?” tanya Ghaza setelah memberikan arahan.

“Paham, Kak. Jadi sekarang saya bisa masuk ke barisan atau langsung jumpai Kak Mahendra, Kak?” tanya Niken.

“Langsung jumpai Kak Mahendra saja. Nanti jika ada kakak-kakak pelaksana lain yang bertanya, kamu tunjukkan saja surat itu. Tapi ingat, jangan sampai ada yang melihat isinya,” tutur Ghaza.

“Oke, saya paham, Kak. Kalau gitu saya pamit ya, Kak. Permisi.”

Setelah mendapat persetujuan, Niken pun langsung melangkahkan kakinya untuk mencari kakak pelaksana yang bernama Mahendra. Ia tak akan menyangka, bahwa hal itu adalah awal dari takdir yang tak bisa dihindari olehnya.

Pertemuan Takdir

...“Aku tak pernah sedikit pun menyesali apa yang aku jalani saat bersamamu. Yang aku sesali hanyalah betapa singkatnya waktu yang terasa saat aku bersamamu.”...

...****************...

“Mahendra, Mahendra, Mahendra.” Niken terus menyebut pelan nama kakak pelaksana yang harus ditemuinya itu.

Di sepanjang perjalanan, dia melihat-lihat di sekitarnya baik itu di sebelah kanan, kiri, maupun depan untuk mencari kakak pelaksana yang name tag nya Mahendra. Namun, sudah hampir 10 menit ia berjalan, dirinya masih belum menemukan orang yang dicarinya.

Niken sangat asik melihat sisi kanan dan kirinya, hingga tak menyadari ada orang yang berdiri di depannya. Dia yang tak melihat ke depan pun akhirnya menabrak tubuh orang itu.

“Aduh!!” Dengan refleks Niken mengaduh ketika badannya menabrak tubuh orang itu. Syukur saja tabrakan itu tidak terlalu kencang hingga membuat Niken tidak perlu sampai terjatuh seperti cerita di novel.

“Maaf, saya nggak sengaja.” Niken meminta maaf dengan membungkukkan badannya sedikit, sebagai sopan santun. Ia tak menatap wajah orang yang ditabrak oleh dirinya.

“Saya tidak mau memaafkan kamu,” sahut orang itu. Tentu saja jawaban itu membuat Niken refleks melihat siapa orang yang ditabraknya itu.

“Eh, kok gitu...” ucapan Niken terhenti ketika dirinya menyadari siapa orang yang ditabraknya barusan.

Ia langsung merubah raut wajahnya menjadi malas. Sedangkan sang pelaku perubahan raut wajahnya kini sedang berusaha menahan tawanya.

“Ck, ternyata Kak Aril! Tadi Niken kirain siapa. Padahal Niken udah takut kalau nggak mau dimaafin,” ucap Niken sebal.

Akhirnya, tawa yang sedari tadi ditahan oleh orang yang dipanggil Kak Aril oleh Niken itu pun lepas. Aril tertawa geli melihat raut wajah Niken yang sebal.

Aril adalah mantan tetangganya dulu, mungkin sekitar 8 tahun lamanya. Namun, sekitar 3 tahun lalu karena tuntutan pekerjaan ayah Aril, mengharuskan mereka untuk pindah.

Dulu Niken lumayan sering bermain bersama Aril. Alasan terbesarnya sih karena hanya Aril anak yang hampir seusianya yang ada di sekitar perumahan yang ia tinggali hingga sekarang, perumahan keraton.

Niken dan Aril bisa dibilang cukup akrab dulu. Saat Aril harus pindah, Niken bahkan sampai menangis diam-diam di dalam kamarnya hingga seharian lamanya.

“Memangnya kalau nggak dimaafin, kamu mau ngapain?” tanya Aril penasaran setelah berhasil meredakan tawanya.

“Ya, nggak ngapa-ngapain sih. Palingan Niken bakalan terus minta maaf sampai orangnya mau maafin,” tutur Niken dengan dengan cengiran andalannya.

“Bisa aja kamu,” ucap Aril sambil mencubit pelan pipi Niken.

“Ck, apaan sih! kebiasaan banget deh, suka banget cubit pipi Niken,” ucap Niken sebal sambil berusaha melepas cubitan Aril di pipinya.

Sepertinya mencubit pipinya masih menjadi salah satu kebiasaan Aril. Dulu Aril juga sangat sering mencubit pipinya hingga memerah. Jika mengingat hal itu membuat Niken semakin sebal saja.

“Oke, oke,” ucap Aril sambil mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah.

“Yaudah, nggak usah ngambek gitu kali, Ken. Nanti semut-semut pada takut loh. Muka kamu itu garang banget,” ejek Aril.

“Apaan sih, Kak! Udah ah, Niken males! Padahal tadi mau nanya kabar Kakak gimana? Terus kok bisa Kakak sekolah di sini? Bukannya Kakak pindah ke luar kota? Tapi, ya sudahlah, males Niken.”

“Ih, ih, ih, ngambek dia. Iya deh, iya, Kakak yang salah. Jadi Kakak minta maaf oke?” ucap Aril mengalah.

“Tau ah, capek,” ucap Niken.

“Yaudah lah, dimaafin aja. Anggap aja kita impas. Tadi kan kamu duluan yang nabrak Kakak,” tutur Aril, berusaha bernegosiasi.

“Iya deh iya, Niken maafin. Lagian capek kalau harus debat, apalagi sama Kakak, pasti ujung-ujungnya Niken lagi yang kalah,” sahutnya.

“Nah, itu baru Niken yang Kakak kenal.”

“Btw, kamu memangnya lagi cari apaan sih? Kok sampai nggak lihat jalan?” tanya Aril.

“Oh iya, hampir lupa!” Niken menepuk keningnya pelan. Gara-gara meladeni Aril, ia hampir saja melupakan tujuannya.

“Ini, Niken disuruh untuk cari kakak pelaksana yang namanya Mahendra. Kak Aril kenal nggak orangnya yang mana?” tanya Niken.

“Mahendra?” tanya Aril heran yang dibalas anggukan oleh Niken.

“Kenal kok. Memangnya kamu ada urusan apa sama Mahendra?” tanya Aril.

“Niken tadi telat, Kak. Jadi kakak-kakak pelaksana yang jaga di depan gerbang nyuruh Niken kasih amplop ini untuk kakak pelaksana yang bernama Mahendra,” jelas Niken sembari menunjukkan amplop yang dipegangnya.

“Oooo, jadi ini alasan kenapa kamu nggak masuk ke barisan siswa baru untuk orientasi ya,” ucap Aril mengangguk paham.

“Nah, pinter Kak Aril!” seru Niken.

“Jadi kakak tau nggak nih?”

“Tau kok. Tadi kalau nggak salah kakak, Mahendra lagi ada di aula. Coba aja kamu ke sana, mana tau dia masih di sana.”

“Oke, Kak. Tapi ini arah aula ke mana? Dari koridor ini terus ke mana?” tanya Niken karena belum mengetahui semua denah sekolahnya.

“Kamu lurus aja terus sampe ujung koridor, nanti belok ke kiri. Siap itu terus aja sampai lihat pohon besar, baru nanti kamu belok kanan. Nanti kamu jalan aja sedikit lagi sampai lihat gedung warna cream. Nah, itu aulanya,” jelas Aril memberikan arahan untuk Niken.

“Kamu paham?” tanya Aril ketika melihat Niken yang tak menyahut.

“Kamu paham, Niken?” ulang Aril.

“Oh, paham kok, Kak,” jawab Niken.

“Beneran?” tanya Aril kembali untuk memastikan.

“Beneran, Kak. Nih ya, dari koridor ini terus terus sampai ujung baru belok kiri. Kalau udah belok lanjut terus sampai jumpa pohon besar baru belok kanan. Nanti jalan sikit lagi sampai jumpa gedung warna cream. Nah, itu aulanya. Benarkan, kak?” ucap Niken mengulang arahan yang diberikan oleh Aril tadi.

“Bagus, udah bener tuh. Udah, pergi terus sana kamu, nanti takutnya hukumannya makin ditambah karena kelamaan,” ucap Aril dengan bergaya seperti mengusir.

“Hehehe, iya ini Niken juga mau jalan, Kak. Makasih ya, Kak Aril.”

“Iya, sama-sama. Tapi, sorry Kakak nggak bisa ikut nganterin karena Kakak masih ada urusan,” ucap Aril sambil melihat jam tangannya.

“Aman tuh, Kak. Yaudah Niken berangkat sekarang.”

“Yaudah sana, hush, hush, hush,” usir Aril.

“Iya Niken pergi, nggak usah pake ngusir juga, Kak,” ucap Niken yang melihat tingkah laku Aril.

“Iya, yaudah sana pergi terus.”

“Iya, bawel banget sih,” sungut Niken. Ia nya pun mulai melangkahkan kakinya untuk pergi ke aula. Namun, baru sana beberapa langkah, Niken sudah berhenti dan membalikkan badannya.

“Kak Aril! Nanti kapan-kapan Niken bakalan nagih cerita Kakak. Awas aja kalau nggak mau! Karena itu hutang Kak Aril yang harus dilunasi!” ucap Niken sedikit berteriak karena posisi Aril yang sudah lumayan jauh.

“Oke!” ucap Aril ikut berteriak.

Setelah itu, Niken pun melanjutkan perjalanannya menuju aula. Dia berdoa semoga Mahendra masih ada di dalam aula. Alasannya tentu saja supaya ia tidak perlu lagi bersusah payah berkeliling sekolah untuk mencari. Dirinya sudah lumayan lelah setelah berlari tadi dan harus berkeliling sekolah untuk mencari Mahendra.

Niken berjalan dengan santai sambil melihat-lihat lingkungan sekolahnya. Ia juga sedikit bersenandung untuk menghibur kesendiriannya. Rambutnya yang diikat kuncir kuda ikut sedikit bergoyang, mengikuti setiap langkah kakinya.

Setelah jalan beberapa saat, akhirnya Niken sudah sampai di tempat yang dituju. Di depannya kini terdapat pintu yang tertutup dengan tulisan “Aula” di atasnya.

Niken sedikit menghembuskan napasnya dengan kasar, berusaha menenangkan dirinya yang tiba-tiba saja menjadi gugup. Setelah dia merasa sudah sedikit tenang, barulah ia memberanikan diri untuk membuka pintu aula yang tertutup.

Baru saja membuka pintu dan ingin melangkahkan kakinya untuk memasuki aula, ia malah kembali menabrak seseorang yang ingin keluar dari dalam aula.

“Akh!” Niken merintih pelan ketika tubuhnya terjatuh, menyentuh tanah. Niken kehilangan keseimbangan karena tabrakan barusan.

“Eh, Sorry. Kamu nggak kenapa-kenapa kan?” tanya orang yang ditabrak olehnya barusan dengan sedikit cemas.

“Nggak kok, Kak,” ucap Niken sambil bangun dari jatuhnya. Ia juga membersihkan baju bagian belakangnya yang sedikit kotor karena terjatuh barusan.

“Beneran nggak kenapa-kenapa?”

“Beneran kok, Kak.” Setelah bajunya bersih, barulah Niken melihat siapa orang yang ditabraknya. Namun, tiba-tiba keheningan tercipta kala retina mata mereka melihat satu sama lain. Kini mereka sedang bertatap-tapan tanpa suara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!