NovelToon NovelToon

The Mafia Who Is Looking For The Truth His Identity

Chapter 1. Kehebatan Sang Pria Tampan

Malam hari di pelabuhan salah satu negara terkenal menguar suasana mencekam dan penuh ketegangan, terlihat dua kelompok manusia yang sedang menanti datangnya kesempatan untuk menjatuhkan satu sama lain.

Pria-pria gagah dan pemberani saling adu pandang mengirim sinyal intimidasi terhadap mereka yang siap untuk melakukan perebutan kekuasaan. Mata mereka saling bergerilya mencari celah untuk melancarkan strategi yang sudah matang terorganisir.

Di antara perkumpulan ini, ada sosok pria gagah yang sangat tampan dengan rambut panjang yang terikat dengan rapi, memakai jas panjang berwarna hitam dan di hadapannya seorang lawan yang tidak kalah gagahnya tengah tersenyum, merendahkan pria yang kini melihat padanya.

Lusinan tukang pukul siap bertarung memperjuangkan harga diri mereka, mempertahankan gelar terhebat yang telah lama tersemat.

“Ada baiknya kita selesaikan dengan segera, banyak orang yang menunggu. Waktu adalah uang, bukan?” ucap seorang lawan yang tidak kalah gagah di ujung sana.

“Tidak kusangka, kau bisa berbuat bijak juga ternyata,” jawab pria tampan di depannya.

“Turunkan semua yang kalian bawa, kita selesaikan dengan tangan kosong!” seru pria tampan itu.

Atas perintah langsung itu, semua yang berada di pelabuhan serentak menjatuhkan apa pun yang mereka bawa. Suara keras besi yang terjatuh bertemu dengan aspal terdengar di malam yang sepi ini, semua mata telah fokus dengan tujuan mereka, dengan tekad yang kuat dan keberanian yang tidak perlu diragukan lagi.

Wajah-wajah sangar yang siap menerkam siapa saja lawan di depannya, mengintimidasi semua mata yang tengah melihatnya malam ini.

Pemimpin dari dua kubu berjalan mendahului lusinan tukang pukul yang mereka bawa, berjalan semakin mendekat satu sama lain, kini mereka saling berhadapan. Melempar senyum untuk sekadar menyapa, tetapi sarat akan intimidasi di dalamnya.

“Kita bertemu lagi, kawan,” ucap lawan sang pria tampan.

“Senang bertemu denganmu lagi, kawan,” balas pria tampan.

“Menurut otak cerdasku ini, sepertinya sudah cukup kita saling berbasa-basinya. Bukankah kau bilang di ujung sana banyak yang menunggu kabar dari kita?” ucap pria tampan lagi, sembari menunjuk ke lautan lepas nan jauh dan gelap dengan sorot matanya.

“Benar, kami sudah siap menjatuhkan pasukanmu,” balasnya.

“Baiklah, kita lihat saja hasilnya.” Sang pria tampan tersenyum, bersiap mengambil ancang-ancang. Strategi dan taktik-taktik pertarungan telah ia susun dengan baik di kepalanya yang luar biasa cerdas itu.

Dengan komando gerakan tangan dari masing-masing pemimpin mereka, pertempuran pun terjadi, lusinan tukang pukul berlarian. Mencari lawan yang sepadan dengannya, mereka saling adu tinju dan saling tendang.

Urat-urat leher mereka merentang dan menonjol, menandakan kesungguhan mereka dalam menjatuhkan setiap lawan. Di sini, di tempat ini sekali lagi akan menjadi saksi tentang betapa hebatnya dua kubu ini.

Suara tangkisan, dan tinjuan terdengar dari berbagai sudut, pertempuran malam ini sangat sengit. Dua kubu terlihat sama kuatnya, tetapi mereka pantang untuk berkata lemah, mereka tidak kenal rasa lelah dan menyerah.

Lenguhan dan umpatan keluar dari mereka yang sengaja saling banting, teriakan-teriakan memenuhi pertempuran, mereka saling menjaga satu sama lain. Satu per satu dari tukang pukul kedua kubu berjatuhan, dengan kondisi kacau balau, babak belur dan tidak berdaya.

Di sisi lain pemimpin mereka tengah bertinju dengan sengit, sang lawan dan pria tampan saling melayangkan pukulan, lebam dan memar sudah tidak mereka perdulikan lagi.

Menjatuhkan lawan dan memukul mundur adalah tujuan dari pertempuran kali ini demi menyeberangkan bahan-bahan berbahaya ke ujung dunia sana.

“Ayolah, tidak mungkin kemampuanmu berkurang, bukan,” ucap sang lawan dan melayangkan satu tinju pada rahang tegas sang pria tampan, yang menerima tinjuan itu jatuh terpental.

Tidak terima dengan kata-kata yang diucapkan lawannya, sang pria tampan bangkit, ia membuka jas panjangnya, dan melemparnya ke sembarang arah. Tatapannya nyalang, melotot, wajahnya memerah, terlihat sangat marah dan siap menerkam mangsanya saat ini juga.

Sang pria tampan berlari, melayangkan serangan demi serangan, menendang, meninju sang lawan tanpa ampun, dirinya sudah tidak terkontrol lagi. Amarahnya sudah menyelimuti sang pria tampan seutuhnya, mereka yang berada di depannya harus siap sedia menerima pelampiasan amarahnya.

Mereka kini tengah baku hantam, sang pria tampan terjatuh dan menjadi santapan empuk bagi sang lawan, tetapi lawannya kali ini salah perhitungan rupanya, karena dengan posisi itu, memudahkan sang pria tampan untuk mengunci perlawanan. Mereka saling lempar umpatan, melanjutkan perkelahian di aspal jalan.

Pukulan demi pukulan dilayangkan, wajah, perut dan dada tidak luput dari sasarannya, hari ini stamina sang pria tampan sedang ada di atas langit, bersemangat sekali dan terlalu membabi buta. Malam yang dingin ini tidak memudarkan semangat mereka, perlawanan terus dilancarkan, hingga sang lawan tidak bisa berkutik lagi.

Napas sang pria tampan memburu, meski lawan sudah terjatuh dan tidak ada niat untuk melawan kembali, pria tampan tetap memburunya hingga dirinya merasa puas.

Suara tubuh yang terseret di aspal jalan, terdengar sangat pilu. Hari ini, di malam hari yang begitu dingin dan mencekam, untuk yang kesekian kalinya, sang pria tampan membuktikan kehebatannya di mata lawan yang tidak kalah hebatnya.

Keadaan malam ini sangat kacau dan penuh ketegangan, banyak tukang pukul yang berjatuhan dengan bersimbah darah di sekujur tubuhnya.

Kubu lawan ternyata banyak menjatuhkan korban, meskipun malam ini pertempuran dilakukan dengan jumlah yang seimbang dan sama kuat, nyatanya mereka tidak mampu untuk melawan kehebatan pasukan sang pria tampan yang masyhur di kalangan para penguasa dan pengusaha dunia.

Tukang pukul yang dibawa oleh sang pria tampan, telah teruji kehebatan dan kesungguhannya dalam setiap pertempuran, rahasianya hanya satu, kesetiaan.

“Ternyata kau masih sama hebatnya seperti dulu,” ucap sang lawan. Dengan tenaga yang masih tersisa, sang lawan melayangkan pujian yang tulus, tetapi di dalam hatinya masih terus melayangkan protes atas kekalahannya malam ini.

“Dan kau sama payahnya seperti waktu pertama kali kita bertemu,” balas sang pria tampan. Sang pria tampan mencengkeram kerah baju lawannya, melihat sekilas wajah lawannya dan langsung saja dia layangkan satu pukulan keras tanpa aba-aba.

Dengan pukulan tinju terakhirnya, sang lawan pun terjatuh, akhirnya kubu lawan berhasil dipukul mundur. Dengan hasil kemenangan telak, tujuan pun terwujud meskipun harus banyak korban yang berjatuhan.

“Sekali lagi aku mengakui kehebatanmu, kawan,” ujar sang lawan. Dengan menahan rintihan kesakitan hasil dari pertempuran mereka.

“Lain kali, cobalah mengalahkanku, kawan,” balasnya.

“Silakan, kau bebas menyeberangkan barangmu, kau menang,” pungkas sang lawan.

Setelah pertempuran selesai, kubu lawan membubarkan diri, dengan terpincang-pincang mereka membopong kawannya yang sudah tidak berdaya lagi. Sorakan kemenangan terdengar, senyuman puas yang tersungging dari sang pria tampan terlihat sangat mempesona, menambah euforia keberhasilan malam ini.

Chapter 2. Kemenangan

Setelah semua bubar, kekacauan masih terlihat di beberapa sudut, tetapi tidak menyurutkan semangat sang pria tampan untuk terus berjalan ke arah kapal besar yang tertambat di dermaga.

Pria tampan mendekati kapal besar yang mengangkut barang untuk diseberangkan ke ujung dunia sana. Dengan sedikit berlari, sang pria tampan sudah sampai di dalam kapal itu, mendekati tempat sang kapten kapal (Nakhoda) berada.

Sang pria tampan ingin menyampaikan berita gembiranya pada sang kapten. Dengan wajahnya yang dipenuhi lebam dan memar tidak mengurangi sosok dirinya yang begitu tampan, justru menambah karisma yang terpancar dari dirinya.

“Kita berhasil, Kapten. Kau bisa berlayar dengan nyaman sekarang, semua telah aku urus,” ujar sang pria tampan pada kapten kapal.

“Kau hebat, Ars. Baiklah, aku akan berlayar dan mengantarkan pesanan client-mu dengan aman,” balas sang kapten.

“Aye aye, Kapten. Silakan, terima kasih,” pungkasnya.

Setelah menyampaikan maksudnya dan berpamitan dengan kapten kapal dia pun turun dari kapal besar itu dengan rasa bangga dan lega yang menyelimuti dadanya.

Dia sudah turun, dan berdiri di ujung pelabuhan menyaksikan gagahnya kapal yang bersiap untuk berlayar di lautan luas. Dia tersenyum senang, kehebatannya sekali lagi ia perlihatkan.

Seorang pria gagah dan bijaksana menghampiri pria tampan itu. “Ars, kau berhasil lagi,” ucapnya.

“Berkat kau, Albert,” balasnya.

Kali ini Albert tidak ikut turun untuk bertarung dalam pertempuran malam ini, Albert mendapat tugas lain yang telah dititahkan kepadanya oleh sang majikan, yaitu sang pria tampan ini.

Sebelumnya, Albert tidak pernah ketinggalan untuk beradu jotos dengan lawan, itu bisa membuat stress-nya hilang, selalu itu yang terucap ketika dicegah oleh pria tampan. Sang pria tampan sebenarnya tidak begitu berkenan melihat Albert terjun langsung dan ikut bertarung, meskipun membela dirinya.

“Sepertinya kita sudah meloloskan barang yang akan membahayakan umat manusia di daratan sana, Ars,” ujarnya lagi.

“Tidak pernah kupedulikan, dan jangan kau pedulikan juga, Albert. Masalah membahayakan, itu tergantung dengan niat manusianya, jika mereka memendam niat jahat, apel pun bisa menjadi berbahaya bagi banyak orang,” jawab pria tampan itu.

“Kau benar.”

“Lihatlah, betapa gagahnya kapal itu berlayar di lautan lepas, Albert,” pria tampan menunjuk kapal yang sedang berlayar dengan wajahnya.

“Terlihat sangat kecil ketika melaju seperti itu. Indah sekali suasana lautan malam ini, Ars,” balasnya.

“Kenapa kau tidak membiarkanku membeli satu kapal saja, Albert?” tanya sang pria tampan heran.

“Kau bisa mengendarainya, Ars? Aku kira kau tidak akan suka berada di lautan lepas,” jawab Albert.

“Bukankah, lebih mudah jika kita mempunyai sendiri kapal seperti itu dan menyewa kapten kapal, Albert?” tanyanya lagi.

“Lebih baik seperti ini, Ars. Lebih mudah mengurus berkas-berkasnya, aku tidak mau menambah pekerjaanku yang sudah menumpuk itu, Ars,” jelasnya.

“Dasar, kau ini,” ujar sang pria tampan. Dia tersenyum menanggapi keluhan tidak langsung dari Albert.

“Siapkan pesawat, Albert. Kita pulang malam ini juga,” perintahnya.

“Mereka sudah menunggu kita, Ars. Pesawat sudah mendarat, segera setelah mereka mendapat kabar tentang kemenanganmu,” katanya.

“Bagus, mereka bisa diandalkan rupanya. Bereskan tempat ini, Albert. Jangan ada sisa dari pertempuran malam ini, meskipun sedikit. Urus tempat ini seperti tidak pernah ada kejadian apa pun di sini.”

“Dengan senang hati, Ars.” Albert yang mendapat perintah seperti itu, segera menghubungi rekannya untuk membereskan kekacauan di pelabuhan malam ini. Terdengar Albert memerintahkan seseorang di ujung telepon sana.

“Mari kita kembali, Albert. Aku sudah tidak sabar ingin berendam dengan air hangat malam ini,” ujarnya, setelah melihat Albert telah menyelesaikan panggilan teleponnya bersama anak buahnya yang lain. Lalu mereka berjalan beriringan, suasana hati sang pria tampan malam ini dipenuhi dengan padang bunga, dia tidak melepaskan senyuman di wajah tampannya itu.

Esok hari tidak akan ada sisa apa pun dari pertempuran malam ini, semua akan terlihat seperti sedia kala. Pelabuhan yang sekarang tampak kacau dan dipenuhi dengan darah ini, esok hari akan terlihat rapi dan bersih kembali.

Mereka tidak pernah meninggalkan jejak sedikit pun tentang perbuatan mereka, mereka selalu bertanggung jawab untuk membereskan kembali setiap tempat yang sudah mereka kacaukan.

Tidak akan ada satu sidik jari pun yang tertinggal, perkumpulan ini selalu pandai menyembunyikan tentang keberadaan mereka, karena keberadaan mereka pun tidak pernah tercium oleh orang awam. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui keberadaan mereka, itu meliputi pengusaha, penguasa dan kelompok yang tidak tercium lainnya.

***

Di belahan bumi yang lain, sesosok orang tua dengan perawakan besar dan berjanggut, tengah berkacak pinggang, terlihat merah padam mukanya diselimuti amarah besar dan berkobar.

Orang tua itu marah setelah mendengar kekalahan anak buahnya dalam pertarungan malam ini, dan yang lebih membuat dia marah karena dia kalah oleh orang yang sama, selama ini orang tua ini selalu mencari cara untuk menjatuhkan lawannya, bagaimanapun caranya.

Dia telah mencoba melakukan sendiri untuk menghabisi lawannya, tetapi gagal, dan kali ini pun ketika dia kerahkan anak buahnya yang jumlahnya tidak sedikit itu, masih juga gagal.

“Kurang ajar!” berangnya. Dia melempar segala jenis benda yang ada di atas mejanya.

“Kenapa kalian tidak bisa diandalkan!” geramnya kepada anak buah yang berdiri menghadap padanya.

Orang tua itu menggebrak meja dengan kedua tangannya, suara nyaring yang ditimbulkan membuat semua orang yang mendengarnya akan menciut nyalinya. Seketika anak buah yang melihat kemarahan atasannya bergerak mundur, mereka menunduk dan takut. Bukan tidak mungkin mereka akan dihabisi saat ini juga, semua akan mungkin ketika atasannya sedang naik pitam.

“Kenapa kalian tidak bisa menghabisi anak bebal itu?” tanya orang tua itu.

“Kenapa kalian tidak tembak mati saja anak itu?” tanyanya lagi.

“Dia menginginkan pertarungan dengan tangan kosong, Bos,” jawab ketua dari mereka.

Semakin berang mendengar alasan dari anak buahnya. “Dan kalian menurutinya, bodoh sekali kalian semua!” bentak orang tua itu sembari menunjuk mereka yang ada di hadapannya dengan tangannya. “Kenapa mau saja dibodohi oleh anak kecil itu?” tanya orang tua itu tidak habis dipikir.

“Dia seumuran denganku, Bos,” jawabnya yang mengundang tatapan sinis dari orang tua itu.

“Kau berani membantahku, kau sudah berani melawanku. Kenapa kau tidak lakukan pada anak ingusan itu?”

“Maafkan aku, Bos.” Tersadar dengan kesalahan kata yang dia ucapkan, dia segera meminta ampun pada orang tua itu.

“Maaf? Apakah dengan permintaan maafmu, akan mencegah keberhasilan anak itu?”

“Kau tetap gagal!” hardiknya. Mereka tertegun tidak berani membantah lagi, tidak ada suara lagi dari mereka sekarang. Rasa takut semakin besar menjalar di tubuh mereka, melihat begitu merahnya wajah atasannya itu.

“Aku membiarkan kalian lolos kali ini, tidak ada lagi kekalahan lain. Mengerti?”

“Mengerti?” ulangnya.

“Mengerti? Jawab pertanyaanku!” bentaknya.

“Mengerti, Bos,” jawab mereka serempak.

“Keluar kalian semua! Aku muak melihat kalian, pergi sekarang juga!” bentaknya lagi.

Mendengar perintah itu, anak buahnya membubarkan diri, dan pergi keluar dari ruangan tempat mereka disidang tadi. Kali ini mereka pun tidak mampu memberikan kemenangan bagi bosnya, sungguh malang nasibnya, setelah bertarung dan babak belur hingga rela melepaskan nyawa demi melaksanakan perintah.

Tidak ada hasil yang baik yang bisa diterima oleh bosnya, pertarungan seperti ini seperti perjudian, adakalanya menang, tetapi lebih seringnya mendapat kekalahan ketika kita tidak pandai dalam mengatur strategi. Tetapi sampai kapan pun, tidak akan ada yang bisa mengalahkan anak ingusan seperti yang orang tua itu bilang, kecuali dirinya sendiri.

Chapter 3. Mafia Tampan

Suara tawa saling bersahutan mencoba menyamakan kerasnya dengan alunan musik, ingar bingar cahaya lampu mengintip dari balik sebuah mansion megah, mewah nan indah yang terbangun di atas tanah seluas dua hektar.

Mansion yang memiliki ruang hiburan khusus berukuran besar, berisikan meja bilyar, juga terdapat bar yang megah di dalamnya. Jangan lupakan mansion ini juga dilengkapi berbagai fasilitas olahraga, dari mulai kolam berenang, lapangan golf, dan ada juga ruangan spa yang bisa digunakan penghuninya untuk bersantai ria.

Di dalam mansion saat ini tengah dipenuhi oleh pria dan wanita yang sedang mengadakan pesta untuk merayakan sebuah keberhasilan misi dari sang majikan mansion ini.

Keadaan di dalam mansion sangat meriah, berbagai makanan dihidangkan dari sebuah restoran dengan predikat Michelin Star Chef, tentunya tidak perlu diragukan lagi dengan rasa dari setiap masakannya, juga berbagai jenis minuman dari botol-botol yang sangat cantik dan unik bentuknya.

Mansion luas nan megah ini berdiri di pedalaman yang penuh dengan keasrian di sebuah negara yang sangat terkenal dengan keelokan pemandangan alamnya.

Sebuah negara yang terletak di kawasan Amerika Serikat, penamaan negara ini pun didasarkan dari letak geografis negaranya, yang dilintasi langsung oleh garis ekuator. Negara yang indah ini dinamai dengan Ekuador, yang merupakan bahasa Spanyol dari ekuator.

Ekuador merupakan negara pertama dengan penamaannya berdasarkan fitur geografis.

Negara indah ini tidak akan pernah menyangka bila salah satu penduduknya adalah seorang mafia hebat yang tidak kenal rasa takut kecuali dirinya sendiri.

Negara ini tidak akan pernah tahu jika salah satu penduduknya melakukan sebuah kegiatan ilegal, mafia itu tidak pernah tersentuh oleh badan hukum negara mana pun, tidak pernah terjamah oleh aparat negara mana pun, tetapi dia secara nyata terhukum oleh dirinya sendiri.

Pintu mansion terbuka lebar, seorang pria tampan masuk dengan mengenakan jas panjang, kali ini jas panjang yang ia kenakan berwarna biru tua, dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya membuat dirinya terlihat sangat tampan dan meyakinkan.

Suasana hati sang pria tampan saat ini sedang tidak baik, perasaannya diliputi oleh keraguan dan kecemasan, hari ini sang pria tampan begitu sensitif, padahal beberapa jam sebelumnya dirinya begitu gembira.

Melihat di dalam mansion begitu penuh, berisik membuat dirinya begitu marah, apalagi sorot lampu yang begitu terang menyilaukan mata, untung saja dia mengenakan kacamata hitam, sehingga tidak membuat matanya sakit akibat menerima banyak cahaya secara langsung.

“Hei, senang melihat kau kembali dengan selamat, kau mau?” sapa seorang pria dengan tubuh yang kekar terawat, sembari menyentuh lengan pria tampan. Pria kekar itu menawarkan minuman berwarna cokelat keemasan, yang sedang dia pegang kepada pria tampan yang baru saja datang entah dari mana.

“Tidak perlu menyentuhku, kawan, aku tidak selera dengan minuman itu,” jawabnya ketus, sang pria tampan menepis tangan pria yang menawari minuman padanya. Dia tegas, terlalu kaku, dan hari ini dia terlihat sangat galak.

Pria tampan dengan jas panjang itu meneruskan langkah kakinya untuk mencari sosok orang yang selalu bersama dengan dirinya kemanapun dia pergi, entah kenapa dia kehilangan jejaknya. Dia melihat banyak orang di sekitarnya, dia mendengus terlihat tidak nyaman.

“Albert …!” teriaknya. Membuat orang-orang terkejut.

“Di mana dia?” tanya pria itu pada dirinya sendiri.

“Hei, kau. Kau lihat Albert?” tanya dia pada seorang laki-laki yang sama kekarnya dengan pria yang menawarinya minuman di depan tadi.

“Aku belum melihatnya hari ini,” jawabnya.

“Albert …!” teriaknya lagi, kali ini dia berteriak lebih keras lagi, sehingga orang-orang yang kebetulan melihat padanya diam seketika.

Setelah tidak menemukan orang yang dia cari, pria itu melanjutkan kembali langkahnya menuju ruangan lainnya yang tidak kalah ramai.

“Albert …!” teriak pria itu lagi. Dia sudah sampai di dalam mansion dengan berbagai furnitur antik, melihat ke sana ke mari tetapi tidak kunjung menemukan sosok seorang Albert yang dia teriakan namanya dari depan mansion tadi.

“Albert, di mana kau?!” teriakannya semakin nyaring.

Karena lama tidak ada jawaban dari Albert, membuat dia semakin geram, kemarahannya memuncak, ia berjalan mendekati sebuah guci, ia bawa guci itu dan dengan sengaja dia lemparkan sebuah guci mewah itu, harga dari sebuah kemarahan yang sangat tinggi.

Karena hanya dengan satu guci itu saja kita semua bisa membeli satu mobil merek terkenal dari keluaran terbaru, guci itu hancur berkeping-keping.

Orang-orang yang sedang menikmati pesta pun berhamburan, melihat pecahan guci yang dilempar dengan sengaja, oleh seorang pria yang tengah berdiri dengan wajah yang sudah merah padam. Mereka panik, tetapi tidak tahu harus berbuat apa, tidak ada satu pun yang berani menanyakan tentang apa yang terjadi.

“Albert, di mana dia?!” tanya pria itu dengan begitu marah, mencoba bertanya pada setiap orang yang kebetulan satu ruangan dengannya.

Seorang laki-laki tinggi dan penuh kewibawaan datang dengan tergesa menghampiri seorang pria yang sedang naik pitam saat ini. Dia berjalan mendekati, menghalau kerumunan orang-orang, dia begitu terkejut melihat serpihan-serpihan guci yang berhamburan di lantai mansion yang mewah ini.

“Albert, dari mana saja kau?” tanya sang pria tampan begitu melihat sosok yang sedari tadi ia cari. Albert yang mendapat pertanyaan seperti itu dibuat heran olehnya, pasalnya sebelum pria tampan ini tiba di mansion, dia meminta Albert untuk membuka file dokumen yang ia kirimkan olehnya melalui pesan surel.

“Aku sedang melihat dokumen penting yang semalam kau kirim, Ars. Ada apa? Kenapa di sini kacau sekali? Kau terlibat pertengkaran?” Melihat kekacauan yang terjadi, membuat Albert panik, berbagai pertanyaan datang bertubi-tubi darinya.

Ars orang yang dipanggil oleh Albert adalah Arshaka Dean, sang mafia hebat yang telah memenangkan pertempuran besar dan kecil, bersama dengan pasukannya ataupun oleh dirinya sendiri, yang pasti dia melakukannya selalu dengan tangan kosong.

Arshaka Dean, seorang mafia hebat dengan misi-misi yang selalu terselesaikan dengan cantik, dengan taktik-taktik yang ciamik. Arshaka Dean yang memenangkan pertarungan di pelabuhan pada malam hari yang begitu mencekam waktu itu. Arshaka Dean, yang kemarin malam telah menyeberangkan bahan-bahan berbahaya yang bisa meledakkan sebuah negara.

Dirinya memang seorang mafia, tetapi Arshaka Dean memiliki paras yang sangat tampan, dengan rambut panjang yang sedikit ikal, selalu diikat, menambah kesan gagah dengan pesonanya. Arshaka Dean selalu memakai jas panjang untuk melengkapi penampilannya, dengan tinggi badannya yang menjulang membuat keberadaannya sangat mengancam banyak orang. Umurnya 33 tahun saat ini.

“Tidak perlu banyak bertanya, Albert. Kenapa lama sekali kau datang, Albert?” tanya Arshaka Dean.

“Aku sedang fokus memeriksa dokumen, di kantor utama. Ada apa di sini, kenapa guci hancur berantakan?” tanya Albert sembari melihat ke lantai yang dipenuhi pecahan guci.

“Jangan bertanya lagi, Albert. Bereskan semua kekacauan ini, dan satu lagi siapa yang mempunyai ide dengan acara seperti ini di mansion-ku, Albert?” tanya Ars.

“Mereka hanya ingin merayakan kemenangan kita, Ars. Biarkan mereka bersenang-senang,” saran Albert.

“Apa? Bersenang-senang bisa di tempat lain, Albert. Untuk apa semua orang ada di sini, Albert?!” teriak Ars.

“Mereka ingin merayakan bersamamu, Ars. Ayolah, Ars,” bujuk Albert.

“Tidak perlu ada perayaan, Albert. Bubarkan semua orang, atau akan aku hancurkan semua yang ada di sini,” ancam Ars.

Malang bagi Albert, semua yang terucap dari mulut Arshaka Dean adalah sebuah perintah bagi siapa saja yang mendengar ucapannya. Albert dengan nama asli Albert Abercia adalah seorang asisten pribadi yang sudah bekerja dengan Arshaka Dean dalam waktu yang sangat lama, bahkan Albert telah menemani Arshaka Dean dari sebelum menetap di Ekuador.

Albert sangat setia pada Arshaka Dean, dia sebenarnya adalah bawahan langsung dari keluarga Arshaka sebelum semuanya hancur. Albert mengetahui perjuangan berat dari hidup seorang Arshaka Dean. Tugas Albert sangat sederhana, yaitu tunduk dan patuh atas perintah yang keluar dari mulut Arshaka Dean.

Albert Abercia berperawakan tinggi, bijaksana dan juga tampan, umurnya dua tahun lebih tua dari Arshaka Dean, berkacamata dan sangat cekatan melakukan tugas yang diberikan oleh Arshaka Dean kepadanya.

Albert selalu berpenampilan rapi, selalu mengenakan kemeja dan selalu ia lengkapi dengan jas, sangat disegani oleh semua penghuni mansion, tetapi jangan salah Albert tetap tunduk pada sang majikan, Arshaka Dean.

“Tunggu apalagi, Albert? Bubarkan semua orang, kosongkan mansion. Aku ingin tidur dengan nyaman,” perintahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!