"Berani-beraninya kau melawanku?!" Ryan, menarik kerah baju teman sekolahnya—Theodor, yang ia anggap telah berani melawan aturannya di Aquilla high school.
Semua orang yang melihat perundungan yang dialami Theodor hanya diam karena tentu dia mereka tidak ingin bernasib sama sama seperti Theodor, siswa yang terkenal berprestasi. Namun, tidak mudah bergaul.
"Pukuli dia!" Ryan meminta anak buahnya, untuk kembali memukul Theodor hingga babak belur.
Sementara itu Sora, yang baru saja pertama kali masuk ke sekolah, karena baru saja di terima menjadi pengajar Matematika di sekolah itu, tampak berlari kecil. Langkahnya terhenti ketika dia melihat penganiayaan keji yang dilakukan Ryan dan teman-temannya.
"Hei... ada apa ini?" Wanita cantik yang sudah berpakaian rapi, dah heels setinggi tiga sentimeter itu mendekat ke arah segerombolan siswa yang tengah menganiaya temannya tersebut.
Seketika suara hening seiring kedatangan Sora, yang berjalan mendekat ke arah mereka. Ryan yang melihat seorang gadis cantik yang terlihat lebih tua darinya, tidak merasa terprovokasi.
"Kalian membully temanmu?! Apakah kalian mau aku adukan ke kepala sekolah atau guru lain?" hardik Sora, yang merasa perihatin dengan Theodore yang sudah mulai lemas.
Namun, kenyataan yang harus Sora terima, salah satu dari siswanya itu, tampak mendekat ke arahnya dan tiba-tiba memegang dagu Sora hingga gadis yang baru saja lulus kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota Western tampak mendongakkan kepala, karena pria berseragam sekolah itu memang lebih tinggi dari dirinya.
"Ibu guru yang cantik, kau orang baru? Belum tahu siapa aku, bukan?" kelakar Ryan dengan begitu sombong menantang Sora.
"Lepaskan tanganmu dari daguku, anak kurang ajar!" Sora dengan sekuat tenaga menampik tangan Ryan. Namun, bukannya takut Ryan malah terkekeh dengan sikap Sora, tentu saja diikuti dengan gelak tawa yang lainnya.
Sora memindai seluruh siswa, dia sadar semua yang ada di sini adalah siswa laki-laki yang bisa saja melakukan hal buruk dengan dirinya. Saat itu juga Sora memilih pergi untuk meminta bantuan dengan guru lain.
Sora setengah berlari menuju ke ruang guru, hingga napasnya terengah-engah, membuat semua guru yang ada di dalam ruangan langsung melirik ke arah Sora, wanita dengan rambut coklat gelap dengan mata biru itu.
"Halo... Apakah Anda Miss Soraya Foster, guru matematika baru di sekolah ini?" tanya salah satu guru yang masih terlihat muda.
Sora mengangguk, dia mengatur napasnya sendiri yang tersengal. Kemudian gadis itu menunjuk keluar.
"Ada apa di luar?" tanya salah satu guru paruh baya perempuan.
Sora menelan ludah, mencoba sekuat tenaga menjawab pertanyaan guru tersebut.
"Ada siswa yang dibully, di sana."
Mendengar jawaban Sora, membuat semua guru saling memandang, seolah tahu siapa pelakunya.
"Tolong lihat anak itu! Jika tidak, dia akan mati di tangan siswa-siswa brandal itu!" lanjut Sora dengan masih terengah-engah.
Namun, anehnya seolah mereka malas menanggapi laporan Sora, dan dengan terpaksa mereka berjalan mengikuti Sora ketika gadis itu keluar.
Ketika mereka sampai di tempat kejadian, nyatanya Theodor tergolek lemah sendirian dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Sora terkejut dan mencari lima anak yang menganiaya siswa ini.
"Tadi aku melihat lima siswa berandalan itu di sini." Sora memekik, meyakinkan semuanya.
Anehnya guru-guru yang mengikuti Sora, membopong Theodor dan langsung mereka bawa ke rumah sakit.
"Miss Soraya. Tolong jangan perpanjang masalah ini. Kami akan menanganinya." Suara kepala sekolah yang tiba-tiba datang membuat Sora tertegun. Bukannya mencari siapa pelakunya. Sora harus menerima kenyataan jika dirinya dipaksa melupakan kejadian tragis ini. Ada apa dengan sekolah ini? Hal itu membuat Sora merasa aneh, dan terus mencari tahu kenapa tempat ini seolah mewajarkan kasus Bullying. Padahal ini serius dan harus benar-benar ditangani.
**
Terpaksa Sora mengindahkan apa yang dia lihat tadi, wanita itu berjalan ke sebuah kelas yang berada di lantai tiga, kelas tingkat akhir, di mana kelas itu terdapat siswa yang mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian tingkat akhir menuju universitas.
Dari jauh tampak riuh suara bising murid-murid yang tentu saja menjadi pemandangan biasa. Di dalam kelas yang ditujunya. Sora mengintip suasana kelas itu dari pojok jendela. Beberapa siswi sedang berdandan atau mungkin memamerkan barang miliknya. Ya, sekolah ini adalah tempat belajar bagi anak-anak orang penting dan berada, bisa dibilang menengah ke atas, dan Sora beruntung mendapatkan pekerjaan ini sebagai guru pengajar matematika. Setidaknya gaji yang akan dia dapat akan cukup untuk dikirimkan kepada sang ibu yang sedang sakit di kampung halamannya Torai—kota kecil yang bisa ditempuh dengan kereta atau pesawat. Sementara Sora melihat siswa laki-laki tampak berbincang dan bersenda gurau berkelompok dengan teman-temannya.
Sora menarik napas dalam-dalam, kemudian menelan ludahnya sendiri. Mempersiapkan diri untuk masuk ke kelas.
Saat Sora menarik panel pintu, seketika suasana hening, dan Sora masuk dengan begitu anggun.
"Selamat pagi, anak-anak." Sora berjalan sembari menyapa para siswa yang tampak kebingungan karena baru pertama kali melihat guru muda yang cantik seperti Sora.
"Saya akan menjadi Wali kelas kalian yang baru, dan sekaligus mengajar Matematika di sini."
Semua siswa siswi masih terdiam.
"Nama saya Soraya Foster, dan karena usia saya masih dua puluh empat tahun, kalian bisa memanggil saya Miss Sora."
Tiba-tiba mata Sora menangkap sesuatu yang aneh, dia melihat pemuda yang tadi menganiaya temannya, dia tampak tidak memedulikan dirinya dan malah asik memejamkan mata dengan headset yang terpasang di telinganya. Pandangan Sora berubah nyalang, dia terlihat marah pada anak laki-laki itu, dia berjalan mendekat ke arahnya dan langsung menarik benda yang menutupi indera pendengaran murid badung itu. Sora sedikit membungkuk lalu dia berbisik, "Hai... kita bertemu lagi, saatnya belajar, simpan barangmu ini atau akan kusita!" desis Sora.
Semua murid yang ada di dalam kelas tampak terbelalak melihat Sora berani memprovokasi Ryan. Padahal pemuda itu salah satu orang yang tidak boleh disinggung di sekolah ini.
Sementara Ryan yang tadinya akan marah, dia berubah tersenyum menyeringai saat melihat guru cantik yang ada di hadapannya. Mata mereka saling bersirobok, bahkan Ryan bisa merasakan embusan napas Sora yang menyapu wajahnya.
"Hai... cantik, kita bertemu lagi."
Ucapan Ryan membuat Sora terbelalak, dari mana nyali anak ini sehingga dia bisa berbuat kurang ajar pada gurunya.
"Panggil saya Miss Sora!" Pekiknya mulai resah.
"Tapi, aku hanya ingin memanggilmu dengan sebutan sayang?" balas Ryan, yang langsung mengambil helaian rambut coklat Sora, dan menghirup aroma stroberi yang telah teresidu dengan rambut cokelat Sora."
Sora tersentak mendapat perlakukan seperti itu. Lalu ia menegakkan tubuh, dan menjauh dari Ryan.
"Sinting!" gerutu Sora.
Semua murid yang melihat adegan itu tampak canggung. Namun, tidak untuk Bella Swan. Gadis yang telah memiliki hubungan dengan Ryan. Dia sangat cemburu karena melihat sang pujaan hati menggoda wanita lain di hadapannya.
Sora berjalan keluar setelah selesai mengajar, tentu saja memberi pelajaran pada murid tingkat akhir tidaklah mudah, karena sebagian dari mereka seolah acuh pada apa yang dikemukakan Sora. Padahal jelas-jelas ini demi kebaikan mereka juga, demi bisa masuk ke Universitas andalan paling prestisius di kota ini.
Apalagi dengan Ryan, yang selama pelajaran sangat mengganggu pikiran Sora, murid nakal satu itu berani terang-terangan menggoda Sora, kadang dia bisa mengerlingkan mata saat Sora tanpa sengaja memandang ke arahnya. Sungguh anak yang berani.
Sesampainya di ruang guru, Sora langsung meletakkan bokongnya ke kursi empuk yang sudah disediakan oleh pihak sekolah untuk dirinya. Seorang guru muda perempuan, menghampirinya. Umurnya mungkin tak jauh beda dengan Sora.
"Miss Sora?" sapanya, dia langsung duduk di hadapan meja Sora seolah ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting. "Perkenalkan saya Gabriella Aston, Anda bisa memanggil saya Gabi," tambah wanita itu, wajahnya teramat serius saat memerhatikan Sora, dia tahu betul jika Sora seperti ditumbalkan karena dia di tempatkan di Kelas tiga D di mana anak-anak paling berandal di sekolah ini di semayamkan.
"Iya, ada apa Miss Gabi?" Sora mengerutkan kening ketika melihat Gabi yang tiba-tiba mendekatinya.
"Apakah Anda baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lirih seolah tidak ingin siapa pun mendengar pembicaraan mereka.
"Ya, saya baik-baik saja."
Seketika Gabi menarik napas lega. "Syukurlah...." Gabi mengelus dadanya sendiri. Lalu kemudian dirinya kembali berucap, "Karena kelas Anda sangat angker."
"Hah... maksudnya?"
"Ya, kelas Anda adalah kelas di mana anak-anak paling badung di tempatkan. Dan Anda tahu Ryan Matthew? Dia adalah anak paling nakal diantara anak-anak yang lain. Karena dia adalah anak pemilik sekolah ini."
Akhirnya Sora mendapat jawaban atas semua pertanyaan yang ada di kepalanya.
"Jadi Ryan si kurang ajar itu adalah anak pemilik sekolah ini?"
"Apakah dia berbuat macam-macam dengan Anda?"
"Ah... Tidak." Cepat-cepat Sora mengelak, meski dia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari anak itu. Mau bagaimanapun Ryan telah menjadi tanggung jawabnya sekarang.
"Semoga Anda selalu dalam lindungan Tuhan." Gabi mengembuskan napas pelan. "Kalau begitu, nanti kita bicara lagi, karena ada banyak yang harus saya bicarakan. Saya akan masuk ke kelas untuk mengajar anak tingkat satu." Gabi melirik jam tangan di lengan kirinya.
"Oh... silakan." Sora mengangguk. Gabi pergi meninggalkan Sora, dan langsung mengambil buku dan tasnya, untuk menuju ke kelas yang akan menerima pelajaran darinya.
Sora masih belum bisa berpikir jernih. Namun, saat dirinya telah melamun dan memikirkan tentang kejadian ini. Tiba-tiba dirinya dikejutkan oleh kedatangan salah satu muridnya.
"Miss.... " Dia tampak terengah-engah seolah baru saja lari maraton ribuan meter. Seketika mata Sora menyambar wajah si murid dengan tatapan tidak suka. "Miss... tolong, Ryan pingsan... sekarang dia ada di ruang kesehatan."
Sora menyipitkan matanya. Bukankah di ruang kesehatan seharusnya ada dokter yang bisa memeriksa murid yang sakit? Lalu sekarang apa?
"Tunggu sebentar. Kalau Ryan sakit, harusnya ada dokter yang memeriksanya, bukan? Apa lagi dia sudah ada di ruang kesehatan."
"Tapi, miss... dokter tidak ada di sana, saya harap Miss Sora mau mengecek keadaan Ryan."
Mau tidak mau, karena Sora adalah wali kelas dari anak itu, gadis itu pun berdiri, dan berjalan mengikuti murid laki-laki tersebut, berjalan menuju ke ruang kesehatan. Yang terletak di ujung sekolah, di bagian belakang dekat dengan gazebo dan taman.
Saat keduanya sampai, si murid dengan nametag yang terjahit di bajunya dengan nama Simon mempersilakan Sora masuk. Ketika Sora sudah berada di dalam, Simon menutup pintu dan mengunci dirinya dari luar. "Hei!" hardik Sora, tentu saja ia sangat gusar. Ia mencoba menggedor pintu itu. Namun, tiba-tiba suara seseorang membuat Sora mengurungkan niatnya.
"Tidak akan ada yang mendengarkanmu!"
Sora menoleh, dan dia terkejut ketika ia melihat Ryan si anak badung itu sudah berdiri melipat kedua tangan ke dada.
"Apa maksudmu?!" desis Sora. "Bukannya kau sakit?"cecarnya lagi.
" Sabarlah, Miss Sora!" Ryan berjalan mendekat ke arah Sora, hingga Sora harus mundur ke belakang hingga menyentuh pintu.
"Mau apa kau?" tanyanya, Sora menelan ludah. Tentu saja wanita itu sangat takut, meski dia jauh lebih tua dari Ryan. Namun, tidak bisa ia pungkiri jika Ryan jauh lebih besar baik kekuatan maupun tubuhnya.
"Tenang, Miss!" ucap Ryan lembut, lalu mengambil helaian rambut Sora, dan menciumnya. "Miss Sora sangat cantik... Aku suka sekali menatap wajah cantikmu. Aku tidak pernah bosan." Sentuhan Ryan bergerak hingga ke pipi Sora, membuat napas gadis itu kembang kempis karena takut. Hingga ia menelan ludahnya sendiri. "Aku hanya ingin memperingatkan padamu! Jangan terlalu ikut campur dengan semua urusanku di sekolah ini! Atau...." Wajah Ryan bergerak turun hingga membuat mereka benar-benar sangat dekat, hingga Sora bisa merasakan embusan napas Ryan yang mengenai hidungnya.
"A–atau apa....?" Sora sekuat tenaga meski dengan suara terbata. Bertanya pada Ryan.
"Atau akan kubuat kau menyesal, dan angkat kaki dari sekolah ini!" ancam Ryan. "Kau tidak mau kehilangan pekerjaan, bukan?" tanyanya lagi, dengan senyum menyeringai menakutkan. Sora seolah berhenti bernapas saat bibir Ryan mendekat ke arahnya, membuat gadis itu memejamkan mata dan membuang muka ke samping, agar bibir mereka tidak saling beradu.
Suara seseorang memutar kunci, lalu membuka pintu hingga terbuka lebar. Membuat Sora yang menempelkan badan di pintu hampir saja jatuh, untungnya dia bisa menguasai keadaan, dan langsung keluar dari ruangan kesehatan itu. Sora menjauh dari Ryan yang masih saja tersenyum menyeringai seolah mengancam Sora.
Sora berlari menjauh, jantungnya dua kali berdegup lebih kencang, baru kali ini dia berada sangat dekat dengan lelaki, sayangnya lelaki itu adalah murid Sora sendiri.
"Apakah kau yakin dia paham dengan ancamanmu, Ryan?" tanya Simon yang sama-sama memerhatikan pelarian Sora.
"Kurasa begitu, tapi jika dia masih bersikeras menggangguku. Akan aku beri dia pelajaran."
Simon melirik ke arah sahabatnya. "Mau kau apakan dia?"
"Aku akan memerkosanya, jika dia nekat."
"Kau yang nekat!" dengus Simon. "Kau akan memerkosa gurumu sendiri? Kau sudah tidak waras!"
"Ya, aku sudah tidak waras. Aku juga bingung, saat tadi aku ada di dalam bersamanya, jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Entah mengapa, padahal selama ini jika aku mendekati wanita, aku tidak pernah seperti ini. "
"Mungkin kau telah jatuh cinta padanya," seloroh Simon.
"Omong kosong!" Ryan menolak kenyataan jika dia kali ini benar-benar tertarik dengan wanita yang lebih tua dari dirinya. Tapi untuk ukuran wanita, Sora benar-benar idamannya. Hanya Sora yang mampu melawan dirinya. Entah mengapa ini bisa terjadi pada Ryan.
Sora terus berlari dan tidak berani menatap ke belakang. Karena dirinya tahu jika Ryan telah memerhatikan dirinya, dan tentu saja dia tidak mau itu. Napasnya berat bahkan keringat dingin keluar dari keningnya.
Sesampainya dirinya berada di dalam ruang guru, napasnya benar-benar berat. Ia tidak menyangka jika berandalan itu sangat berani pada gurunya. Bahkan Ryan ingin melecehkan Sora yang notabennya lebih tua dari dirinya.
"Ada apa, Miss?"
Sapaan seseorang membuat Sora tersentak, spontan menoleh ke belakang, seorang wanita paruh baya mendekat ke arahnya karena melihat Fusia yang tampak ketakutan tak berdaya.
"Tidak... tidak apa-apa, Bu."
"Anda baik-baik saja, bukan?"
"Ya, saya baik-baik saja."
Akhirnya wanita itu pergi meninggalkan Sora tanpa sepatah kata apa pun. Hari pertama yang cukup berat untuk Sora, dia tidak menyangka dunia pendidikan yang ia anggap indah harus tercoreng karena ulah Ryan si anak pemilik sekolah ini. Padahal Aquila High School sangat terkenal mencetak murid berprestasi baik akademis maupun non akademis. Tapi di balik itu semua Sora sungguh tidak menyangka ada borok besar yang sengaja ditutup-tutupi dari mata publik.
~•0•~
Bel pulang telah berbunyi. Saatnya para siswa pulang ke rumah mereka masing-masing. Sora menarik napas lega, setidaknya tugasnya hari ini telah usai, dia melirik ke jadwal mengajarnya, satu minggu sebanyak empat kali dia harus masuk ke dalam kelas Ryan. Hal itu membuat dia jengah dan berakhir dengan mengembuskan napas berat.
"Miss... Are you ok?" tanya Gaby yang tiba-tiba muncul di samping Sora.
"Ya, bisa Anda lihat saya baik-baik saja." Sora membalas ucapan Gaby dengan tersenyum.
"Oh... Miss Sora. Kuharap kita bisa berteman, hingga tidak harus berbicara formal seperti ini," ucap gadis muda yang umurnya memang tidak jauh dari Sora.
"Ya, kupikir ini akan lebih baik."
"Ah... Aku juga baru dua bulan bekerja di sini. Dan aku bisa menarik napas lega saat aku ditempatkan sebagai guru di siswa tingkat satu. Tapi sayang, aku ikut sedih ketika melihatmu harus mengajar murid tingkat tiga, dan—" Gaby menghentikan kalimatnya.
"Dan....?" Sora menunggu dengan tenang ucapan Gaby yang yang sengaja tercekat.
"Dan aku turut sedih, kau menjadi wali kelas anak dari pemilik sekolah ini."
Rupanya begitu, mengajar di kelas tiga bisa menjadi momok menakutkan untuk para guru, terlebih mengajar di kelas Ryan si anak kurang ajar itu.
"Apakah Ryan memang seperti itu?"
Mendengar nama Ryan membuat Gaby bergidik ngeri.
"Lebih baik kau menjauh darinya, Miss. Ini jika kau ingin hidup tenang. kau cukup mengajar, istirahat, dan pulang. Jangan mencampuri apa pun yang Ryan kerjakan. Atau jangan menjadi pahlawan kesiangan."
Wejangan dari Gaby cukup merasuk ke telinga Sora. Namun, dia tidak bisa serta merta menutup mata dengan perbuatan satu muridnya yang semena-mena. Bukankah tugas guru mencerdaskan dan mendidik siswanya?
"Ya, akan kupegang kata-kata darimu, Miss."
Gaby dan Sora kembali berpisah, mereka bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing. Sesaat Sora beranjak dari ruang guru. Ponselnya tiba-tiba berdering.
Sora merogoh totebag-nya, mencari keberadaan benda dengan layar sentuh tersebut, begitu dia mendapatkannya, Sora mengerutkan kening ketika mendapat panggilan dari seseorang yang tidak dikenal. Sora menatap kosong sebentar barisan nomor itu, tak lama baru sadar jika orang itu menghubunginya kembali. Cepat-cepat Sora menjawabnya.
"Halo?"
"Halo, benarkah saya berbicara dengan Nona Soraya?" tanya seorang wanita di balik teleponnya.
"Ya, ini saya sendiri."
"Begini, Nona. Saya adalah kepala pelayan dari keluarga Matthew. Keluarga ini memiliki anak tunggal yang sudah berada di tingkat akhir. Karena Papa dan Mamanya sangat sibuk, hingga anak ini kurang belajar. Bisakah Anda mengajari Tuan muda saya belajar?" tanya wanita itu dengan sopan.
"Oh... tentu, dengan senang hati." Setidaknya Sora kini memiliki pekerjaan tambahan di luar mengajar, dengan memberi les tambahan pada siswanya. Tanpa mengetahui siapa nama siswa yang akan dia ajari. Sora mengiyakan dan menyetujui semua persyaratan yang diajukan sang kepala pelayan tersebut.
Gadis itu harus datang jam lima sore, dan waktu belajar mereka cukup dua jam saja. Kebetulan rumah keluarga Matthew tidak terlalu jauh dari rumah sewa Sora, hal itu makin mempermudah Soraya untuk pulang pergi tanpa ongkos transportasi lagi, dan cukup berjalan kaki saja.
~•0•~
Pukul lima kurang lima belas menit, Sora mencari keberadaan rumah itu. Di mana alamat satu-satunya yang Sora miliki. Dia berdiri tepat di depan sebuah rumah dengan gaya khas Eropa, yang memiliki dua lantai, halamannya seluas lapangan bola, bisa dipastikan pemilik rumah ini sangat amat kaya raya.
Seorang sekuriti mendekat ke arah Sora, yang tengah kebingungan.
"Selamat sore, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya si sekuriti dengan sopan.
"Apakah benar ini rumah keluarga Matthew?" tanya Sora.
"Ya, Anda benar. Ada perlu apa?" tanyanya lagi.
"Saya diminta untuk memberi les tambahan pada anak pemilik rumah ini."
"Oh... Benar, Tuan muda kami perlu mempersiapkan diri untuk masuk ke Universitas. Tapi memang kurang belajar membuat nilainya menurun."
"Bisakah saya masuk, Tuan?"
"Oh... Tentu." Sekuriti itu membuka pintu gerbang besar berwarna hitam tersebut, dan membuat Sora masuk ke dalam rumah megah itu.
Soraya di sambut dengan suasana indah di dalam rumah megah itu. Rumah yang selama ini hanya mimpi bagi Soraya. Mungkinkah suatu saat dia bisa memiliki rumah seperti ini?
Saat Sora masuk ke dalam teras rumah, pintu dibuka oleh seseorang dari dalam dan langsung menyambut dengan sopan dan ramah.
"Silakan masuk, Nona Soraya."
Sora menunduk, memindai keadaan rumah itu, interior yang sangat indah sungguh memanjakan mata Soraya. Ia mengagumi kediaman keluarga Matthew yang tampak begitu sempurna di matanya.
"Mari saya antarkan Anda menuju ruang belajar Tuan muda kami. Dia sudah menunggu Anda sejak tadi."
Ah, setidaknya Sora bisa menarik napas lega, karena anak ini memiliki tekat kiat untuk belajar dengan dirinya.
Keduanya masuk menuju sebuah lorong dengan gaya khas eropa, yang memiliki penerangan samar-samar, lampunya pun seperti obor yang menyala temaram, membuat suasana rumah seolah ada di abad pertengahan.
Mereka sampai di sebuah pintu kayu dengan tinggi sekitar tiga meter, kepala pelayan itu memutar knop pintu, dan memperlihatkan suasana ruang belajar yang seolah seperti perpustakaan yang indah.
"Silakan, Nona." Si kepala pelayan itu memerintahkan Sora masuk, kemudian menutup pintunya. Namun, Sora sama sekali tidak melihat siapa pun di dalam sana. Sora mengedarkan pandangannya ke depan. Tiba-tiba dari belakang Sora terdengar bisikan sehalus embusan napas seseorang membuat Sora terkesiap.
"Hai... Kita ketemu lagi."
Reflek Sora menoleh dan betapa terkejutnya dia saat melihat Ryan si berandalan itu sudah berdiri di belakangnya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca oleh Sora.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!