‘’Lelaki yang sungguh mencintaimu karena Allah pasti tak kan berniat untuk mengajakmu berbuat maksiat dan jika dia menginginkanmu pasti dia akan mendatangi ayahmu, lalu mengajak mengabadikan cinta bersama’’
‘’Monik! Tunggu!’’ Aku menoleh kepada pemilik suara yang memanggilku. Dia, kok tumben ya?
‘’Ada apa, Ndre?’’ Aku menghentikan langkahku seketika.
Dia berlari dengan napas terengah-engah pun sampai di depanku.’’Kamu mau pulang?’’
‘’Aneh nih lelaki. Ya, jelaslah setelah pulang sekolah aku langsung pulang ke rumahku. Ke mana lagi aku? Ke rumahmu?’’ Rutukku dalam hati sambil menyunggingkan sedikit bibir.
Aku masih bergeming, tak sadar aku memandanginya. Duhh! Dia begitu tampan ternyata. Ya, aku baru menyadari hal itu.
‘’Monik, kok bengong?’’ Dia mampu membuyarkan lamunanku.
‘’E—eh iya, Ndre. Aku mau pulang langsung,’’ sahutku terbata sembari memperbaiki kerudungku. Padahal itu kerudung tak amburadul. Mungkin karena salah tingkah di depan lelaki setampan Andre.
‘’Jangan dulu. Temani aku makan siang yuk!’’ Dia memainkan sebelah matanya, melirikku.
Aku jadi salah tingkah lagi,’’Hemmm….Gimana ya?’’ Seketika jantungku berdegup lebih kencang, tetapi aku mencoba untuk menenangkannya dan menarik napasku dengan perlahan.
‘’Kamu mau traktir aku?’’ tanyaku. Malah tak menjawab pertanyaannya. Dasar aku! Kalau yang gratis pasti nomor satu.
Dia tampak berpikir sejenak,’’Ya maulah. Yuk!’’ ajaknya.
‘’Mumpung cuma dekat. Kita jalan kaki aja, nggak apa-apa kan?’’
‘’Ya udah deh. Nggak apa-apa.’’ Sejujurnya aku ingin naik motor saja, apalagi Andre punya motor sport yang begitu keren. Tapi karena tempatnya dekat dengan sekolahku. Ya, sudahlah jalan aja kali ya.
Aku dan Andre bergegas melangkah. Tak berselang lama kami sampai di sana.
Kulihat masih ada beberapa siswa-siswi yang mengobrol sembari makan siang. Tetapi tak seramai ketika jam istirahat. Mungkin karena sudah jam pulang, mereka memilih untuk makan siang di rumah masing-masing.
Aku dan Andre bergegas duduk di kursi yang disediakan, Andre memandangku membuat aku salah tingkah.
‘’Duh! Apaan sih natap begitu ke aku, Ndre? Kan aku jadi deg-degkan,’’ batinku.
‘’Tapi….Aku senang ditatapnya. Walaupun jantungku mau copot rasanya. Duhh!’’
‘’Hei! Kenapa malah melamun?’’ Dia melambaikan tangannya.
‘’E—enggak kok, Ndre,’’ kilahku cepat.
‘’Ya udah deh. Kamu mau pesan apa?’’
‘’Aku terserah kamu aja.’’
‘’Terserah gimana sih? Ntar kamunya nggak suka lagi.’’ Dia mengernyitkan keningnya.
Walau sedang seperti itu, ketampanannya tak hilang sedikitpun. Ahh! Dasar aku! Ya, bohong rasanya jika aku tak tergoda dengan ketampanannya. Bahkan di kelas, dialah lelaki yang jadi rebutan para wanita. Tetapi kini pada mundur begitu saja, karena Andre sendiri yang menolak dan membuat mereka jenuh mengejar.
‘’Aku suka apa aja kok,’’ jawabku sembari memandangi dua orang siswa-siswi yang tengah romantisan. Mereka makan berdua? Hah. Jadi kepengen deh. Ternyata Andre tahu kalau aku tengah memperhatikan pasangan muda yang tengah romantis.
‘’Woi, Monik! Kenapa? Kamu mau seperti itu juga, hah?’’ Dia terkekeh memandangiku. Ah, dia tahu saja.
‘’Apaan sih, Ndre.’’
‘’ Buruan pesan sekarang! Aku mau pulang nih,’’ sungutku. Berusaha untuk bersikap biasa saja. Padahal jantungku terus saja berdetak tak karuan.
‘’Iya, iyaa.’’ Dia bergegas beranjak dari duduknya dan memesan makanan untuk kami.
Tak Berselang lama dia kembali duduk di depanku,’’Kamu cantik, Monik.’’
Jleb! Jantungku berdegup kali ini makin kencang dan pipiku mungkin seperti kepiting rebus. Dan aku tersipu malu,’’Ka—kamu ada-ada aja deh, Ndre.’’
‘’Aku serius, Monik.’’ Dia makin memandangku. Napasku semakin sulit diatur. Untung pelayannya datang membawa pesanan itu. Membuat aku bisa bernapas lega.
‘’Makasih udah menyelamatkan hidupku, membuat aku bisa bernapas lega,’’ gumamku.
‘’Permisi, Mas, Mbak!’’ Pelayan cantik itu menyuguhkan makanan yang dipesan oleh Andre.
Apa? Mi ayam bakso? Bukannya harga Mi ayam bakso ini lebih mahal. Karena setahuku makanan ini begitu favorit dan enak sekali di sekolahku. Dan aku juga pernah mendengar sahabatku bercerita. Katanya ada mi ayam bakso di cafe sekolah, yang rasanya sungguh enak membuat ketagihan membelinya dan pengunjungnya pun ramai setiap hari. Itu yang kudengar dari sahabatku. Karena memang aku tak pernah membeli mi ayam bakso ini sekalipun.
Ahh, lebih tepatnya aku tak suka banyak jajan, padahal orang tuaku memberi begitu banyak uang. Aku lebih suka menyimpannya untuk keperluan mendesak, aku tak suka sering meminta uang ke papa dan mama walau mereka bisa dibilang punya banyak uang.
Andre yang menuangkan cabe dan saus seketika memandangiku,’’Monik, kok malah melamun sih? Tuh baksonya keburu dingin loh,’’ tunjuknya.
‘’Berapaan harga bakso ini, Ndre?’’ tanyaku yang tak menjawab tanya Andre.
‘’Kok kamu malah nanya harga? Aku bukan penjual bakso.’’ Dia terkekeh.
‘’Ihh..Orang malah serius dia bercanda,’’ketusku.
‘’Jangan ngambek dong.’’
‘’Tuh baksonya keburu dingin. Makan dulu.’’
‘’Iya iya,’’ jawabku.
Bergegas kuambil kecap, saus dan cabe kutuangkan ke mangkok yang berisi mi ayam bakso sambil menatap wajah lelaki yang kini berdekatan duduknya denganku. Seketika langsung kusantap dengan masih mencuri pandangan. Mumpung Andre sibuk menyuap bakso dan dia tak memperhatikanku. Kapan lagi kesempatan ini akan aku dapatkan coba?
‘’Ahh. Pedaaasss!’’ Aku mengibaskan tanganku. Mungkin kebanyakan cabe yang kutaburkan. Jujur saja, aku tak suka banyak cabe dan tak tahan dengan yang namanya pedas.
Seketika Andre terkekeh.
‘’Dasar Andre! Bukannya ngebantu ambilin air putih kek.’’
Tak lama jus pesanan Andre pun tiba.
‘’Silakan Mbak, Mas!’’
Aku langsung bergegas mengambil jus dan menyeruputnya.
‘’Kamu itu lucu deh.’’ Dia terkekeh sembari menyuap mi ayam bakso yang tersisa di mangkok itu.
‘’Lucu? Aku kepedesin dibilang lucu. Kamu aneh, ya?’’ ketusku.
‘’Jangan begitu dong, Monik. Aku ketawa aja melihat wajahmu itu loh. Ngegemesin’’ jawabnya perlahan.
‘’A—aku sebenarnya mencintaimu.’’ Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca.
Jantungku seketika berdegup tak karuan. Untung aku selesai makan mi ayam bakso, jika belum pasti akan tersedak dibuatnya.
Aku masih bergeming, jantungku pun tak hentinya berdegup.’’Kamu mau kan jadi pacarku?’’ Kali ini dia menggeser posisi duduknya dan memegangi jemariku. Membuat aku menggeser tempat dudukku sedikit.
‘’Sebenarnya aku udah lama memendam perasan ini. Tapi, kamunya selalu cuek sama aku. Dan aku takut di tolak.’’
‘’Kalo sekarang aku ngga akan takut lagi ditolak. Aku ngga maksa kamu untuk nerima aku. Yang jelas aku udah ngungkapin semuanya ke kamu,’’
imbuhnya yang membuat aku ternganga, jika ada nyamuk yang lewat pasti akan masuk ke mulutku. Untung saja tidak ada. By the way, sejak dulu dia punya rasa untukku? Ternyata aku yang tak peka. Dasar aku!
‘’Aku harus jawab, sebelum aku menyesal,’’ gumamku.
‘’Se—sebenarnya aku juga mencintaimu,’’ jawabku dengan terbata dan mukaku pun mungkin bak kepiting rebus.
‘’Jadi kamu mau menerimaku?’’ tanya Andre kembali sembari menatapku lekat. Makin jelas olehku, wajah tampannya itu. Membuat aku kembali menggeser posisiku sedikit.
‘’Aku begitu mencintainya, bahkan sejak kelas 1 SMA. Kapan lagi aku akan merasakan manisnya pacaran coba,’’ gumamku.
‘’Monik,’’ panggilnya begitu lembut. Dan masih memegang jemariku yang dingin seperti es di kulkas.
‘’I—iya, Ndre. Aku mau.’’ Aku mengangguk walau begitu gugup.
‘’Terima kasih, Sayang.’’ Dia mengecup jemariku.
Aku pun hanya tersipu malu dan mengangguk.
‘’Kamu cantik banget dan beda dengan wanita yang lain. Makanya aku sangat menyukaimu.’’
Seketika pengunjung café matanya tertuju kepada kami, membuat Andre tersenyum dan merasa bangga.
‘’Kamu bisa aja membuat hatiku berbunga,’’ jawabku dan menyeruput jus lemon yang masih tersisa.
‘’Aku serius loh, Sayang.’’ Bibirnya manyun. Membuat aku tak tega.
‘’Iya. Aku percaya.’’
‘’Nah, gitu dong.’’ Dia tersenyum dan menyeruput jus yang masih tersisa.
‘’Aku ke kasir dulu ya. Kamu tunggu di sini aja,’’ titahnya bergegas melangkah menuju kasir. Aku mengangguk lantas tersenyum.
Hari ini hatiku sungguh berbunga-bunga. Bagaimana tidak? Seseorang yang selama ini kucintai dengan diam, ternyata punya perasaan yang sama terhadapku dan kini dia menyatakan perasaannya kepadaku. Bagaimana aku bisa menolak coba? Ahh! Andre begitu tampan dan dia pun tak pelit sepertinya. Sungguh idaman para wanita. Tapi dia hanya boleh mencintaiku saja. Duh! Sungguh mabuk kepayang aku hari ini.
‘’Kok senyam-senyum sendiri?’’ Tiba-tiba dia datang dan kembali duduk.
‘’Aku bahagia,’’ jelasku apa adanya.
‘’Aku pun bahagia, Sayang,’’ sahutnya
Ya ampun. Aku lupa. Kan dari tadi belum pulang ke rumah. Kulirik benda yang melingkar di tanganku ini.
‘’Pukul 13.25?’’ Itu artinya sudah lama aku nongkrong di sini dan azan zuhur pun sudah lama berkumandang. Mama dan papa pasti marah jika mereka tahu kalau aku tak solat hari ini.
‘’Kenapa, Sayang? Kamu baik-baik aja?’’
‘’Atau kamu mau pulang?’’
Aku mengangguk,’’Mama dan Papa pasti khawatir. Kita pulang dulu, Sayang,’’ lirihku.
‘’Nanti aku anterin kamu, ya?’’ Dia menenangkanku.
Kami pun bergegas keluar dari café. Menuju tempat dimana motor Andre diparkirkan.
Dia menghidupkan mesin motornya,’’Yuk naik, Sayang. Hati-hati ya.’’ Duhh! Andre memang pacar terbaikku.
***
Di perjalanan aku merasa sungguh bahagia diriku. Angin berhembus menerbangkan kerudungku dan entah kenapa aku begitu bahagia bergoncengan dengannya. Membuat lupa akan segalanya. Tak lama kemudian hampir tiba di dekat rumahku.
‘’Ndre. Aku disini aja, ya?’’
‘’Kenapa? Kan belum sampai di rumahmu, Sayang.’’
‘’Aku takut kena marah. Di sini aja. Aku nggak apa-apa kok, Sayang.’’
‘’Tapi aku takut kamu capek nanti.’’ Andre mematikan mesin motornya. Perlahan aku turun dari motor itu. Sungguh perhatian dan sayang sekali pacarku kepadaku. Berjalan kaki yang jaraknya dekat saja dia tak memperbolehkan.
‘’Duhh! Beruntungnya aku.’’
‘’Dekat kok, Sayang. Tuh di persimpangan itu masuk ke dalam sudah sampai di rumahku,’’ tunjukku.
‘’Nanti kamu kecapek-an, Sayang. Aku nggak mau kamu kenapa-napa,’’ lirihnya yang masih duduk di motor kesayangannya. Dia memandangiku.
‘’Nggak kok. Percayalah. Kan cuman dekat, Sayang.’’
‘’Kamu yakin, Sayang?’’
Aku mengangguk,’’Ya udah. Kamu hati-hati ya. Jangan lupa makan dan istirahat. Aku nggak ingin kamu kenapa-napa.’’ Huh! Membuat hatiku luluh dan tubuh ini lemas seketika, apalagi persendianku pun terasa sangat lemas dibuatnya. Andre memang bisa meluluhkan hatiku. Memang lelaki idamanku.
‘’Terima kasih ya. Kamu juga, jangan lupa makan dan istirahat. ‘’
‘’Iya, Sayang. Pasti dong.’’ Dia mengacungkan tangannya.
‘’I love you.’’
‘’I love you too.’’
‘’Aku pamit dulu ya.’’ Dia melambaikan tangan lantas menghidupkan mesin motornya.
Lalu mengendarai motor sport itu,’’Hati-Hati, Sayang.’’
Dia menoleh dan tersenyum, lalu kembali fokus mengendarai motornya. Dan seketika hilang dari pandanganku.
‘’Akhirnya aku memilikinya.’’
Bersambung....
Aku tengah merebahkan tubuh di tempat tidur, ponselku berdering seketika. Dengan cepat kuraih benda itu. Siapa lagi kalau bukan kekasihku yang tampan dan perhatian padaku.
‘’Sayang, udah makan apa belum?’’ tulis Andre melalui aplikasi hijau itu, dan tak lupa menyelipkan emoticon love di sana. Biasanya aku selalu tersenyum setiap kali membaca pesan singkat darinya. Tidak untuk kali ini
Aku hanya memandangi isi pesannya.’’Masa dia nggak tahu kalau hari ini adalah hari ulang tahunku? Padahal kemaren sempat kubilang. Dan kami udah 8 bulan menjalin hubungan.’’
Dring!
‘’Sayang. Kamu baik-baik aja kan?’’ tulisnya kembali, karena pesannya hanya kuread saja.
Habisnya aku kesal! Masa hari ulang tahunku saja dia tak ingat. Ya, sekarang sudah genap usiaku 17 tahun. Atau jangan-jangan dia emang tak mau merayakan ulang tahunku. Ah, kalau tak mau merayakan, setidaknya ada ucapanlah yang keluar dari mulutnya.
‘’Aku baik-baik saja,’’ balasku dengan singkat.
Langsung centang dua berwarna biru.
‘’Eh, kenapa ini? Kok ngambek? Jangan-jangan kamu kangen sama aku ya?’’ tulisnya dengan pede.
‘’Nggak ngambek kok. Apaan sih, Kamu,’’ balasku dengan emot sedih.
‘’Tuh kan. Ada apa sih sebenarnya, Sayang? Kok tiba-tiba berubah begini? Jangan begini dong, aku nggak mau kamu berubah dan aku mencintaimu, Sayang.’’ Dia menulis emoticon menangis dan beberapa emoticon love terletak di akhir. Membuat aku luluh dan tentunya aku tak tega mengacuhkannya.
‘’Iyaa, Sayang. Ma’afin aku deh. Aku nggak berubah kok. Cuman kurang sehat aja. Aku juga mencintaimu, Sayang.’’
"Andre begitu sangat mencintaiku. Sampai nggak mau aku berubah. Andre memang bisa meluluhkan hatiku.’’ Aku senyam-senyum memandangi isi pesannya.
Suara yang memanggilku, mampu membuyarkan lamunanku.
‘’Monik! Bantu Mama!’’
‘’Iya. Sebentar, Ma,’’ sahutku yang masih memandangi ponselku. Tampak Andre sedang mengetik pesan balasan
‘’Apa? Kamu sakit, Sayang? Tuh kan. Aku sering bilang, kamu istirahat dan jangan telat makan,’’ balasnya dengan tak lupa menyelipkan emot sedih dan love.
‘’Kuharap kamu nggak akan pernah berubah, Sayang. Aku ingin selalu bersamamu sampai akhir hayatku,’’ tulisnya lagi membuatku terharu dan merasa melayang di udara.
‘’Ahh! Andre. Bisa aja sih kamu. Membuat hari-hariku berwarna dan membuat diri ini seperti melayang di udara.’’
‘’Monik! Kamu nggak denger? Bantu Mama masak!’’ terdengar suara mama begitu kesal di luar sana. Mungkin karena aku tak terlalu mempedulikan panggilannya.
‘’E—eh, Iya. Sebentar lagi, Ma.’’
‘’Nggak kok. Cuman kurang fix aja. Begitupun denganku, Sayang. Ya udah. Aku bantu Mamaku dulu ya. I love you.’’
‘’Benaran kan, Sayang? Semoga kamu baik-baik aja."
‘’Wahh! Pacarku memang idaman banget. Suka bantu-bantu camer. Iya, Sayang. I love you too.’’
Aku tersenyum memandangi balasan pesan darinya. Hidupku terasa bewarna sejak Andre hadir di dalam hidupku. Ah, tapi aku penasaran, kenapa dia tak mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Biasanya lelaki lain jika kekasihnya ulang tahun, pasti dia memberikan kejutan. Bahkan bela-belain tak istirahat hingga tengah malam demi mempersiapkan surprise untuk sang kekasihnya. Tapi, kenapa aku tak diperlakukan seperti itu sama Andre? Apa dia sebenarnya tak mencintaiku? Kata-kata yang diucapkannya ke aku sewaktu di warung sekolah hanya palsu semata?
‘’Kalo emang beneran. Tega banget kamu, Ndre!’’ aku mencoba menenangkan pikiranku, kutarik napas pelan-pelan dan menghembuskannya.
‘’Monik!’’
‘’Ah, iya, Ma.’’
Kucoba untuk menepis pikiran buruk yang menghantuiku.
Gegasku matikan data. Dan kuletakkan ponsel di tempat tidur. Lalu melangkah keluar menuju ruang dapur. Kudapati Mama sedang memotong sayur bayam.
‘’Ma,’’ panggilku dengan hati-hati.
‘’Kamu ngapain sih? Lama banget!’’ ketus Mama.
Ya, Mama marah karena aku tak kunjung mendengarkan panggilannya. Aku lebih sibuk dengan pacarku itu.
Kudekati Mama,’’I—iya, Ma. Ma’afkan aku,’’ lirihku.
‘’Lain kali kalo orang tua manggil disamperin, bukannya malah asyik di kamar!’’
Aku terdiam dan menunduk, karena memang akulah yang salah.
‘’Ya sudah. Bersihkan ayam itu!’’ tunjuk Mama.
‘’Iya, Ma.’’
Tanpa berpikir lagi aku bergegas membersihkan ayam yang telah dibeli Mama dan beberapa menit kemudian kuolesi bumbu-bumbu yang telah disiapkan oleh Mama.
Kubiarkan agar bumbunya meresap dan tercampur, biar ayamnya enak. Mama ternyata sudah berada di belakangku.
‘’Biar Mama yang melanjutkan. Makasih sudah bantu ya.’’
‘’Iya. Aku ke depan dulu, Ma.’’ Mama membalas dengan anggukan.
Aku melangkah kembali ke kamar.
Aku yang berniat akan membaca novel, tiba-tiba ponselku berdering.
Langsung aku memasuki kamar dan kupandangi ponsel itu. Di sana tertulis ’Sayang Call’
‘’Gimana kalo aku kerjain dia aja."
‘’Ada apa?’’ ketusku. Padahal aku tengah menahan tawaku.
‘’Lah, kok begitu tanyamu?’’
‘’Aku menelponmu karena rindu, Sayang,’’
’’Kenapa ya? Jadi enggak tega begini sama dia."
‘’Masa sih? Beneran kamu rindu sama aku?’’
‘’Iya, kamu yang nggak rindu sama aku, Sayang.’’ Seketika membuat senyumanku mengembang.
‘’Kamu bisa aja, Sayang. Ya, iyalah aku rindu.’’ Aku terkekeh. Jadi tak tega memprank dia lama-lama. Ya, walaupun sebenarnya aku masih kesal sama dia karena sudah jam segini tak ada sepatah kata ucapan yang keluar dari mulutnya itu. Apa dia lupa hari kelahiranku?
‘’Kamu sibuk nggak hari ini?’’
‘’Pasti Andre ngajak jalan nih."
‘’Ummm….Nggak sih. Emangnya kenapa, Sayang?’’
‘’Kamu mau nemani aku nggak? Aku pengen makan di luar, tapi malas sendiri,’’ sungutnya dengan manja, biasalah kalau denganku manjanya berlebihan.
‘’Mau banget malahan. Tumben kamu makan di luar ketika libur sekolah.’'
‘’Makasih, Sayang. Kamu memang pacar terbaikku."
‘’Aku sedang nggak ada selera, Sayang.’’
‘’Kamu sakit?’’
‘’Enggak. Aku cuman nggak ada selera aja. Jangan khawatir, aku baik-baik aja kok.’’
‘’Ta—tapi kenapa dia ingin makan di luar? Ada apakah gerangan?’’
‘’Syukurlah.’’
‘’Yuk, kita makan di luar!’’ ajaknya kembali.
‘’Aku siap-siap dulu ya, Sayang.’’
‘’Dandan yang cantik ya, Sayang.’’
‘’Oke, nanti. aku jemput dan aku hubungi kembali.’’
Aku memutuskan telepon dan meletakkan kembali ponselku.
Beberapa menit kemudian, aku telah selesai berdandan. Dan bergegas menyambar tas kecilku. Lalu menemui Mama ke dapur. Kulihat beliau sudah selesai memasak dan sibuk beberes.
‘’Mau ke mana, Kamu?’’ Tangan beliau sibuk beberes dapur. Tanpa menoleh padaku. Atau Mama masih kesal? Sejujurnya saja, aku paling takut jika Mama kesal apalagi marah, walaupun ketika Mama marah hanya satu atau dua patah kata yang dikeluarkan dari mulutnya. Itu yang membuat aku semakin takut. Mama memang jika sedang marah maka lebih banyak diam.
‘’Mau keluar, Ma. Sama temanku,’’ kataku hati-hati.
‘’Kamu pakai mobil?’’ Mama menoleh seketika. Kupandangi raut wajahnya dengan sedikit rasa takut. Alhamdulillah, beliau sepertinya tak kesal lagi.
‘’Nggak usah, Ma. Ntar dijemput kok.’’
‘’Ya udah, Monik. Hati-hati ya, Nak.’’ Aku takdzim dengan Mama. Akhirnya aku kembali melihat senyuman beliau.
‘’Assalamua’laikum, Ma.’’
Aku pun bergegas melangkah keluar dan beberapa menit kemudian aku menanti Andre di tepi jalan yang tak jauh dari rumahku.
Ponselku seketika berdering.
‘’Nih sebentar lagi aku nyampe,’’ tulisnya.
‘’Iya. Aku tunggu. Nih aku sudah di tepi jalan.’’
Tak berselang lama kumenunggu. Andre pun datang dengan motor sportnya.
‘’Duh! Ma’af kamu jadi lama menungguku, Sayang.’’
‘’Kamu sebenarnya sayang nggak sih sama aku?’’
Dia terperanjat dengan pertanyaanku,’’Ya ampun, kok kamu malah nanya begitu? Ada apa sih, Sayang?’’ Dia bergegas turun dari motor sport kesayangannya dan menatapku lekat.
‘’Kalo aku nggak sayang sama kamu. Mana mungkin aku mau pacaran sama kamu.’’ Mata elangnya menatapku. Tak ada kebohongan di sana. Aku menghela napas pelan. Dalam hati sedikit membenarkan ucapan Andre. Pun juga tak ada tampak kebohongan dikedua netranya itu. Walaupun ada sedikit kecemasan di hatiku ini.
‘’Mana tahu kan. Mana tahu kamu cuman pura-pura—‘’ Belum selesai aku mengatakan sesuatu yang mengganjal di pikiranku, dia bergegas meletakkan jari telunjuknya di bibirku membuat aku bungkam.
‘’Ssstt, itu cuman perasaanmu saja. Aku paham kok.’’
‘’Tapi, percayalah! Aku sungguh sangat menyayangimu.’’
‘’Coba kamu tatap mataku! Apakah ada kebohongan di sana?’’ lirihnya dengan suara bergetar. Dia masih menatapku lama. Kutatap baik-baik netra elangnya. Dia benar, tak ada kebohongan di sana sedikit pun tak kudapati.
Aku menggeleng pelan,’’Ma’afkan aku yang mencemaskanmu.’’
‘’Nggak apa-apa aku paham kok.’’
‘’Kamu percaya kan sama aku?’’
‘’Aku percaya.’’ Aku mengangguk lantas menyeka air mata yang diam-diam berjatuhan. Dia tersenyum lantas mengenggam erat tanganku.
‘’Makasih ya, Sayang. Jangan pernah berniat untuk mengakhiri hubungan kita.’’
‘’Sama-sama. Aku bahkan ingin hidup bersama kamu selamanya,’’ ungkapku dengan nada manja.
‘’Syukurlah. Begitupun dengan aku.’’ Dia tersenyum dan mengusap kepalaku yang dibalut kerudung.
‘’Ya udah, katanya aku mau nemanin kamu makan di luar. Gimana sih?’’ Aku melirik ke arahnya yang tengah senyam-senyum.
‘’Ah, iya. Tuh kan jadi hilang nafsuku untuk makan.’’
Alisku terangkat sembari menatapnya dan seolah berkata ‘Kenapa?’
‘’Karena kamulah. Yang berpikiran yang enggak-enggak sama aku,’’ sungutnya.
‘’Iya deh. Ma’af.’’
‘’Ya udah, yuk aku temani makan di luar. Kamu pasti laper kan, Sayang? Aku nggak mau kamu entar sakit.’’ Akhirnya dia mengangguk dan menaiki motor sportnya itu lantas menghidupkan mesin.
‘’Ya udah. Naiklah, Sayang. Hati-hati ya.’’
Aku mengangguk dan segera naik dengan hati-hati. Kami langsung menuju ke suatu tempat. Entahlah, aku pun tak tahu tempatnya.
‘’Kalau kamu takut jatuh, pegangan aja ke pinggangku,’’ titahnya yang membuat senyumanku melebar. Benar-benar romantis pacarku ini dan perhatian lagi. Aku salah telah berprasangka buruk terhadapnya.
Aku hanya tersenyum tersipu malu sembari menikmati hembusan angin dan pemandangan di sekitarnya.
Sudah beberapa warung nasi yang terlewati, tapi Andre tak berhenti. Aneh! Ke mana sebenarnya ini?
‘’Sayang. Masih lama sampainya ya?’’ tanyaku menepuk pundaknya pelan.
‘’Nggak kok, Sayang. Sebentar lagi.’’
Tak lama kemudian, kami sampai di sebuah cafe yang begitu indah. Selera pemuda-pemudi banget. Katanya mau makan. Kok di cafe sih? Apa dia mau minum kopi?
‘’Yuk turun!’’
Aku langsung bergegas turun.
‘’Tunggu sebentar. Kamu harus pakai ini dulu.’’ Dia mengeluarkan kain kecil.
‘’Bukannya kamu mau makan? Kok di cafe?’’ Aku bergegas menahan tangan kekarnya yang akan memasangkan kain kecil itu.
‘’Sebenarnya aku nggak laper sih.’’ Dia malah cengengesan dan menggarut kepalanya yang menurutku tak gatal.
‘’Lah, trus ini untuk apa?’’ Aku makin bingung dibuatnya dengan perilaku lelakiku ini.
‘’Sudah. Ikuti saja kemauanku, Sayang.’’ Tanpa menungguku dia menutup kedua mataku dengan kain itu. Dan memegang tanganku perlahan. Lalu menuntunku untuk melangkah.
‘’Yuk, jalan! Biar kupegangi!’’ titahnya.
‘’Ini ada apa sih? Jangan buat aku takut deh,’’ kesalku sembari meraba.
‘’Kamu tenang aja, Sayang. Aku nggak ngapain kamu kok. Jalan aja perlahan.’’ Dia terkekeh.
‘’Apa sih sebenarnya. Pakai menutup mata segala!’’
‘’Atau dia ngasihku surprise? Ah, enggak mungkinlah.’’
Tak lama kemudian. Terdengar olehku bisikkin suara beberapa orang. Yang tak asing lagi suaranya olehku.
‘’Tadaaa! Happy birthday to you!’’ Dia membuka penutup mataku dan seketika kuterharu memandangi surprise yang telah diberikannya. Ya, teman sekelasku juga ikut meramaikan. Café ini dihiasi seperti perayaan hari ulang tahun dan di atas meja ada kue ulang tahun yang harganya perkiraanku harganya sangat mahal. Aku melongo.
‘’Happy birthday, Monik!’’ Sahabatku, Mila. Dia memelukku erat.
Aku bergeming dan rasanya tak percaya dengan semua ini.’’ Makasih, sahabatku.’’
Semuanya mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Kupandangi Andre wajahnya sumringah,’’Sayang, makasih banyak ya,’’ ucapku lirih.
Dia mengangguk,’’Sama-sama, Sayang,’’
‘’Ihhh! So sweet….’’ Teriak mereka dan tertawa keras.
‘’Apaan sih kalian.’’ Aku tersipu malu.
‘’Andre yang udah lama kita incar malah Monik yang ngedapetinnya. Iya nggak guys?’’ kata Melinda dengan tampang kesal.
‘’Ah, udahlah, Mel. Kita ikhlasin aja,’’ sahut yang lain, membuat Melinda wajahnya kesal dan menyilang kedua tangannya di dada.
‘’Hem.’’ Andre seperti sengaja berdehem keras.
Andre seketika kembali menatapku dan tersenyum.’’Kamu nggak berterima kasih juga ke mereka? Mereka yang merencanakan ini denganku,’’ jelasnya memandangiku.
‘’Wahh! Makasih banget untuk teman-temanku yang super duper baik.’’
‘’Sama-sama, Sayang,’’ ledeknya terkekeh.
‘’Ihh! Apaan sih. Nggak lucu,’’ sungutku.
‘’Ma’af deh. Becanda boleh dong di hari ulang tahunmu.’’
‘’Jangan begitu, Sayang.’’ Dia mencubit pipiku.
‘’Ihhh…Sakiit tahu!’’ sungutku sembari tersipu malu.
‘’Kalian ini mau memamerkan keromantisannya atau gimana sih?’’ Salah seorang dari mereka tampak sebal.
Aku tertawal lepas,’’Jombloo!’’ ledekku.
‘’Sudah sudah!’’
‘’Kita mulai aja.’’
Mereka menyanyikan lagu happy birth day untukku dan disertai tepukan tangan yang meriah.
‘’Saatnya memotong kue,’’ ujar Andre yang berdiri di sampingku.
Aku sungguh begitu bahagia hari ini. Acara ulang tahunku begitu mewah. Apalagi di cafe yang begitu indah tempatnya. Duhh! Sungguh pacar terbaik dan idaman wanita di luar sana.
‘’Lah, senyam-senyum sendiri loh, Monik,’’ goda si Enjel, si gadis punya lesung pipi. Yang terlihat manis jika tersenyum.
Banyak yang naksir sama dia, dia malah naksir sama Andre. Tapi Andre sendiri tak mau, malah jadian denganku. Dan sekarang dia sudah mulai menerima kenyataan itu. Ah iya, ada banyak cewek kelas yang tak datang hari ini. Ke mana mereka?
‘’E—eh iya. Sabar dulu kenapa sih!’’ sungutku yang tak menoleh, aku masih fokus memotong kue.
‘’Kue pertama pasti untuk Andre tuh,’’ cibir Dion.
‘’Nah benar. Namanya juga kekasihnya. Kita ini cuman karet yang terbuang aja,’’ imbuh Tarno.
‘’Lah, apaan sih loh, Tar? Walaupun begitu karet juga berguna kali untuk mengikat. Iya nggak?’’ Dion malah kesal dengan ucapan Tarno dan yang lain pun ikut mengangguk.
Aku hanya menunjukkan seulas senyuman,’’Nih, untukmu, Sayang.’’ Aku menyodorkan kue yang potongan pertama itu ke Andre.
Semuanya bertepuk disertai sorakan. Untung cuman kami di cafe ini. Tapi, Tunggu! By the way tempat ini sepertinya sudah disewa oleh Andre. Secara kan Andre orang kaya, Papa dan Mamanya bekerja di kantor terbesar di kota ini. Dia tinggal minta aja tuh sama orang tuanya.
Sudah sejam waktu kami menghabiskan untuk menyantap makanan yang tersedia di meja. Ada kue ulang tahun, fizza, aneka minuman jus, dan makanan lainnya yang tak kalah lebih lezat lagi. Perutku terasa sangat kenyang sekali hari ini.
‘’Sayang, kamu udah kenyang? Yuk kita keluar!’’ ajaknya. Kok aku sendiri yang diajak keluar olehnya?
‘’Ngapain? Teman-teman gimana?’’ tanyaku lirih sembari mengernyitkan kening, aku menatapnya dengan tatapan malas.
‘’Ada deh. Mereka akan keluar juga kok, Sayang.’’ Dia memandangi teman-teman yang sedang asyik mengobrol diiringi canda tawa.
Tatapanku masih tertuju ke mereka,’’Ayuk!’’ ajaknya dan langsung menggandeng tanganku.
‘’Upps! Tunggu sebentar, Sayang!’’ titah Andre ketika aku mau melangkah keluar dari pintu café.
‘’Ihh....Ada apa sih, Sayang?’’ Aku merasa kesal dan menghentakkan kaki.
‘’Jangan gitu dong. Kamu tuh tambah cantik kalau seperti itu. Tuh lihat!’’ Dia terkekeh. Dan menoel hidungku. Membuat aku tersenyum tersipu malu.
Membuat bibirku manyun,’’Pakai ini dulu!’’ pinta Andre lalu menutup kedua mataku dengan kain kecil.
Hingga hanya tampak gelap. Kejutan apalagi ini sih? Tapi walaupun aku sering kesal dibuatnya, dia sungguh perhatian dan sayang sekali kepadaku.
‘’Ayuk jalan, Sayang!’’ Dia memegang tanganku perlahan. Mengiringiku bak anak kecil yang belum bisa berjalan.
Tak berselang lama kemudian,’’Nah stop! udah sampai, Sayang.’’
‘’Buka penutup mata ini!’’ Aku kesal yang jenuh memakai penutup mata.
‘’Iya, Sayang. Sabar dulu ya.’’ Suaranya terdengar agak jauh dariku. Ke mana Andre? Sungguh aneh! Tangan aku meraba-raba.
‘’Eh, sabar dong.’’ Dia bergegas menghampiriku.
‘’Kamu udah siap?"
‘’Udah.’’
‘’Satu dua tiga. Tadaaa!’’ Ya ampun. Kucoba mengucek bola mataku kembali. Apa aku salah lihat? Di depanku tergeletak motor yang harganya menurutku lumayan mahal. Ya, motor sport. Dan beberapa kado dengan sampul yang cantik di pandang oleh mata tergeletak di atas meja kecil yang dirias seindah mungkin. Aku menatap Andre dengan tatapan bahagia dan terharu.
‘’I—ini untuk aku?’’ tanyaku yang diselimuti rasa ragu dan tak percaya.
Dia mengangguk dan tersenyum,’’Iya, Sayang. Kenapa? Kamu nggak suka?’’ tanya Andre. Bukan tak suka sih. Kurasa ini berlebihan sekali.
‘’Ini mahal dan berlebihan bangat loh, Sayang,’’ lirihku. Dia pun memandangiku.
‘’Hei, Sayang. Jangan ngomong gitu dong. Ini nggak seberapa harganya dari rasa cintaku padamu, Sayang.’’
Duuh! Membuatku melayang di udara saja. Andre memang bisa membuat hatiku dag-dig-dug ser!
‘’Iya. Aku tahu. Ta—tapi—’’ Aku yang belum selesai bicara, Andre langsung mendekat dan meletakkan jari telunjuknya di bibir tampannya itu, pertanda menyuruhku diam.
‘’Husshh. Aku senang jika bisa membahagiakanmu dengan caraku.’’
‘’Hem!’’ Semuanya berdehem, mereka keluar dari cafe dan melangkah ke tempat kami.
‘’Ma’af menganggu sebentar.’’ Salah satu dari mereka berucap.
‘’Apaan sih, kalian. Ayuk cepat ke sini!’’
‘’Makasih banyak untuk kalian. Yang udah menyiapkan surprise dan memberikan kado juga.’’ Mataku berbinar memandangi teman-temanku. Ya, mereka sudah susah payah menyiapkan semuanya dan memberikan kado yang banyak juga. Mereka mengangguk dan tersenyum.
‘’Dan makasih banyak juga buat kamu, Sayang. I love you.’’ Aku memandangi Andre yang berdiri di sampingku. Tak peduli dan tak malu lagi aku melontarkan kata-kata romantis di bibirku ini.
Bersambung.
Instagram: n_nikhe
‘’Aku takut, Sayang. Aku takut pulang ke rumah. Ini sudah jam 11.00 loh,’’ bibirku bergetar dan ketakutan sembari menatap benda kecil yang melingkar di pergelangan tanganku. Takut kalau papa dan mama marah. Padahal aku minta izin tadi sore hanya untuk ketemu dengan teman-temanku, dengan alasan menyelesaikan tugas kelompok saja. Tapi ternyata setelah itu aku menghabiskan waktu dengan kekasihku. Tanpa kenal waktu dan tak sadar ternyata sudah larut malam.
‘’Sayang! Kalau kamu takut pulang, kita di hotel aja gimana? Cuman malam ini kok,’’ Dia memandangiku yang tengah duduk di tepi jalan. Suara deru motor dan mobil yang berlalu lalang membuatku tak begitu jelas apa yang dikatakan oleh Andre barusan.
‘’Apa, Sayang?’’ tanyaku kembali.
‘’Iya. Kalau kamu takut pulang ke rumah, kita nginap di hotel aja,’’dia mengulangi pembicaraannya dengan menambah nada suaranya.
Degh! Hotel? Aku masih berstatus pacaran dengan Andre. Tak mungkin aku dan dia menginap di hotel.
Aku terdiam sejanak. Pikiranku begitu kalut. Terbayang olehku Mama dan Papa mengkhawatirkanku. Jika aku kembali pulang jam segini, kedua orang tuaku pasti sudah terlelap tidur dan mereka bakalan memarahiku. Dan jika aku menginap di hotel. Aku takut syetan menghasutku. Ahh! Bagaimana ini? Aku mengacak kerudungku frustasi.
‘’Bagaimana, Sayang? Kamu tampaknya kelelahan loh. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Jika nginap di hotel, kamu bisa beristirahat. Kamu jangan khawatir akan kupesan dua kamar. Satu untukmu, dan satu lagi untukku,’’ jelasnya sembari memandangiku yang kelihatan frutasi. Aku rasa dia tahu apa yang tengah aku cemaskan. Aku masih terdiam membisu dengan pikiran yang melayang ke mana-mana.
‘’Nah, lihat tuh hujan pun mulai turun. Aku nggak mau kamu entar sakit,’’ Dia memandang ke atas langit yang tampak gelap. Aku pun ikut memandang ke atas. Ternyata benar. Hujan mulai menetes.
Tanpa berpikir lagi aku mengangguk,’’Nah gitu dong, Sayang. Ayuk naik!’’ dia bergegas menaiki motor kesayangannya.
Aku gegas naik. Dan sesaat kemudian motornya melaju dengan cepat. Tiba-tiba hujan makin lebat membasahi kami.
‘’Sayang, apa tadi kubilang. Kamu lihat hujan sangat lebat. Pasti kamu kedinginan kan?’’ ucapnya di sela-sela bunyi hujan lebat.
‘’I—iya, ka—kamu benar, Sa—yang,’’ saking kedinginannya tubuhku ini menggigil dibuatnya dan bicara pun terbata-bata.
‘’Ka—kamu kenapa, Sayang? Kamu kedinginan? Apa kamu baik-baik aja?’’ dia menoleh ke belakang. Tampak raut mukanya begitu mencemaskanku.
Tubuhku semakin menggigil, tetapi masih belum sampai di hotel. Hari pun semakin larut malam. Yang tadinya masih ada pejalan kaki , namun sekarang tak lagi. Hanya kendaraan yang berlalu lalang, itu pun bisa dihitung pakai jari. Karena hujan yang begitu lebat membuat orang-orang terhalang untuk ke luar dari rumah.
‘’A—aku baik-baik saja,’’ singkatku. Padahal kepalaku begitu pusing, perut sakit mungkin masuk angin, dan tubuhku tak berhentinya menggigil.
‘’Kamu bertahanlah. Sebentar lagi kita akan sampai,’’ lirihnya di sela suara hujan lebat. Aku hanya mampu mengangguk walau tak begitu terlihat olehnya.
Beberapa menit kemudian, kami sudah tiba di depan hotel yang begitu terlihat mewah. Andre gegas memarkirkan motor kesayangannya. Aku perlahan turun dari motor. Pakaianku terlihat basah kuyup dan tubuhku tampak menggigil kedinginan. Kepalaku begitu pusing dan perutku kian sakit.
‘’Sayang, bertahanlah. Kita akan beristirahat di sini,’’ Dia bergegas menghampiriku.
‘’Ayo kita masuk!’’ dia mengulurkan tangannya. Aku bergeming.
‘’Kenapa? Kamu butuh istirahat loh, Sayang,’’ ucapnya.
‘’Ji—jika pihak hotel bertanya tentang kita. Apa yang akan kamu jawab, Sayang?’’ tanyaku dengan cemas. Karena kuyakin hotel seperti ini adalah untuk para pasutri, bukan untuk sepasang kekasih seperti kami. Yang belum ada label halalnya.
‘’Kamu jangan khawatir. Aku tahu apa yang harus kulakukan,’’ Dia tersenyum sembari melap air hujan yang membasahi wajahnya.
‘’Ayuk!’’ dia mengulurkan tengannya kembali kepadaku dan tanpa berpikir lagi aku segera mengenggam tangannya dengan erat. Dia membantuku untuk melangkah memasuki hotel. Aku yang lemas tak berdaya, namun ketika memasuki hotel membuat aku terpenganga dengan keindahan hotelnya.
‘’Selamat, Malam!’’
‘’Malam, Mas! Ada yang bisa kami bantu?’’ sahutnya ramah.
‘’Ada, Mbak. Masih adakah kamar kosong yang tersedia?’’ tangannya masih sibuk menyeka mukanya yang dibasahi air hujan tadi.
‘’Saya cek dahulu ya, Mas,’’ Mbak itu tampak begitu ramah.
Tubuhku begitu lemas dan menggigil yang kutahan sedari tadi.
‘’Ma’af, Mas. Hanya tinggal satu kamar yang tersedia. Selebihnya penuh,’’ jelasnya setelah mengecek di computer, pelayan itu memakai kerudung. Tampaknya dia sholehah. Jarang sekali pelayan hotel yang mengenakan kerudung. Baru kali ini kutemukan pelayan atau petugas hotel yang mengenakan pakaian yang sangat sopan.
Apa? Satu kamar? Tak mungkin aku sekamar dengan Andre. Itu tak mungkin.
Andre melirikku, pertanda menanyakan pendapatku.
‘’Bagaimana, Mas? Nanti keburu dipesan orang lain,’’
‘’Oh ya, kalau boleh tahu kalian ini—’’ Belum selesai pelayan hotel itu bicara Andre langsung bicara.
‘’Kami suami istri, Mbak,’’ lirihnya satu napas. Andre sungguh gila! Apa-apaan dia mengaku kalau aku dan dia adalah suami istri. Dasar Andre! Kepalaku kian pusing dibuatnya, begitupun dengan perutku.
‘’Arrgghhh!’’ aku mengerang kesakitan memegang perutku. Mungkin masuk angin karena berhujan-hujan.
‘’Lihat itu istrinya, Mas. Kasihan loh, bawa istirahat dulu. Lagian juga nggak apa-apa jika satu kamar. Kan kalian suami istri,’’ Dia tersenyum ramah memandangiku.
‘’Ini kuncinya, Mas,’’ Pelayan itu menyodorkan ke Andre dan tanpa berpikir lagi Andre meraihnya.
‘’Ma—makasih, Mbak,’’ si mbak itu langsung mengangguk dan tersenyum.
‘’Ayuk, Sayang. Kamu harus istirahat!’’ tangannya memegangi kedua pundakku, lantas menuntunku melangkah.
‘’Ya Allah. Sungguh suami idaman ya. Beruntung Mbak itu mendapatkan suaminya yang begitu sangat sayang dan perhatian kepadanya,’’ lirih pelayan yang mengenakan kerudung. Samar-samar terdengar olehku.
Aku hanya menggeleng seketika dan langsung Andre memapahku menuju lantai dua. Tak berselang lama, kami sampai di lantai dua. Napasku terengah-engah, kepala terasa makin pusing, perut pun sakit dan ditambah lagi tubuhku yang menggigil.
Andre bergegas membuka kunci kamar itu, seketika langsung terbuka. Kamarnya begitu sangat besar dan mewah.
Badanku seketika luruh ke lantai,’’Sayang. Aku bawa kamu ke dalam ya,’’ Andre kelihatan panik sekali. Dia memopong tubuhku masuk ke kamar dan membaringkanku di kasur empuk.
‘’Pakaianmu basah, Sayang. Diganti ya,’’ lirihnya yang menatapku dengan tatapan tak biasanya.
‘’A—aku nggak bawa baju ganti,’’ jawabku seadanya.
‘’Nggak apa-apa. Kamu di sini dulu sebentar,’’ dia bergegas keluar dari kamar. Mau kemana dia? Apa yang mau dilakukannya. Aku memijit kepalaku yang terasa makin nyeri.
‘’Mama dan Papa pasti mencemaskanku,’’ Perlahan aku mencoba untuk duduk dan mencari ponselku yang masih terletak di tas kecil.
‘’Syukurlah, ponselku nggak basah,’’ Aku segera mencari kontak mama dan mengetik pesan di aplikasi hijau itu.
(‘’Assalamua’laikum, Ma. Ma’af Monik baru ngasih kabar ke Mama. Kalau malam ini Monik nginap di rumah teman dulu, Ma. Soalnya kami selesai belajar tadi jam 11 dan hari pun hujan lebat. Jadi nggak mungkin Monik bisa pulang ke rumah. Bilang juga ke Papa ya, Ma,’’) tulisku. Segera kukirimkan. Ternyata mama sedang online. Langsung centang dua berwarna biru? Jantungku berdegup kencang. Ada rasa takut dan rasa bersalah. Kutakut Mama memarahiku, apalagi jika papa tahu. Allah..Pantaskah aku mengadu kepadamu?
(‘’Kamu benar-benar ya, Monik. Membuat Mama dan Papa cemas. Apa salahnya kamu bilang lebih awal jika kamu akan nginap di rumah temanmu!’’) ketus mama. Aku tahu sekarang bagaimana raut wajah mama dan bagaimana orang tuaku itu mencemaskan putri satu-satunya.
(‘’Iya, Ma. Ma’af. Monik kira nggak akan nginap di rumah teman. Ini karena hujan lebat dan larut malam juga. Monik benar-benar minta ma’af, Ma,’’) tulisku dengan emot sedih dan tak lupa emot love.
(‘’Ya Sudah. Mama mema’afkanmu. Jaga dirimu baik-baik. Jangan keluyuran. Beristirahatlah! Sudah larut malam. Mama akan sampaikan ke Papamu. Mama juga mau istrihat,’’)
Degh! Kata-kata mama mampu membuat tubuh ini berguncang dan jantung berdegup kali ini lebih cepat. Buliran bening pun membasahi pipiku. Sesaat kemudian terdengar olehku langkah kaki menuju kamar ini. Pasti itu Andre. Aku segera menyeka buliran yang menetes sedari tadi. Bergegas kuletakkan kembali ponsel.
‘’Kamu habis nangis?’’ tanya Andre sembari menenteng beberapa pakaian. Entah dari mana didapatkannya.
Aku menggeleng,’’Nggak kok, Sayang. Mataku hanya kelilipan,’’ Aku berbohong.
‘’Biar aku tiupin, Sayang,’’ lirihnya sembari meletakkan beberapa pakaian itu ke atas kasur.
Dia mendekat dan pandangan kami beradu, dia begitu lembut meniup mataku. Padahal aku bukan kelilipan, melainkan habis menangis. Dia memperlakukanku layaknya sebagai seorang ratu. Ya, ratu di hatinya.
‘’Sayang. Aku ganti pakaian dulu. Mataku sudah tak terasa pedih lagi kok,’’ ujarku. Membuat dia berhenti memandangiku dan kembali berdiri.
‘’I—iya, Sayang,’’
‘’Ini untukmu!’’ dia mengambilkanku baju tidur? Tanpa kerudung? Setelah aku baligh, aku tak pernah diberikan pakaian tanpa kerudung dan aku pun tak pernah menyukainya.
‘’Ada apa? Kenapa kamu menatap baju itu, Sayang?’’
‘’A—apa nggak ada kerudungnya?’’ tanyaku melirik ke beberapa pakaian yang masih terletak.
‘’Nggak, Sayang. Ayuk cepat ganti pakaianmu. Aku nggak ingin kamu kenapa-napa,’’
‘’Ta—tapi..’’
‘’Udah, ayuk sana ganti pakaianmu! Ntar sakit loh, Sayang,’’ dia mendorongku pelan.
Tanpa berpikir lagi, aku bergegas ke kamar mandi untuk mengganti pakaian yang basah kuyup.
Tak lama kemudian, aku melangkah keluar dengan memakai baju tidur dan kerudung basah yang masih kukenakan. Tampak Andre yang sudah mengganti pakaiannya duduk di atas kasur sembari tangannya begitu lincah memainkan ponselnya. Aku duduk menghenyak di sofa. Dia menatapku dan berhenti bermain ponsel.
‘’Buka kerudungmu! Kerudungmu itu basah loh!’’ titahnya.
‘’Ta—tapi…’’ tenggorokanku begitu tercekat.
‘’Apa alasannya kamu nggak mau buka kerudungmu? Nggak ada kan?’’
Aku menggeleng. Karena memang aku sangat minim sekali pengetahuanku tentang ilmu agama.
Perutku begitu terasa sakit dan tubuhku masih menggigil.
‘’Tuh kan. Tunggu di sini biar aku carikan obat untukmu!’’titah Andre, bergegas meletakkan ponselnya. Lalu melangkah keluar dari kamar.
Beberapa menit kemudian. Tampak di tangan Andre sudah membawa beberapa obat dan teh hangat untukku. Seketika dia menganga memandangku yang tak mengenakan kerudung.
‘’Ka—kamu kenapa, Sayang?’’ tanyaku dengan sedikit takut, karena tatapannya tak seperti biasanya.
‘’Ka—kamu cantik sekali malam ini, Sayang,’’ lirihnya. Aku hanya tersenyum tipis.
‘’Ini diminum dulu obatnya. Habis itu kamu istirahat!’’ Andre begitu baik dan perhatian kepadaku. Dia membukakan obat dan memberikannya, lalu meminumkanku teh panas. Tubuhku pun mulai terasa hangat.
‘’Makasih ya, Sayang,’’ lirihku.
‘’Sama-sama. Itu sudah kewajibanku untuk menjagamu,’’ Dia meletakkan obat dan secangkir teh panas itu di atas nakas. Jawaban Andre membuatku semakin mencintai dan menyayanginya. Andre memang pria idaman.
‘’Untukmu mana tehnya?’’ tanyaku seketika.
‘’Husshhh! Jangan pikirkan aku. Yang penting olehku adalah kamu, Sayang,’’ Dia meletakkan jari telunjuknya di bibirnya.
‘’Kamu harus istirahat dulu. Aku pegangin,’’ Dia menarik tanganku perlahan untuk berdiri dan membawaku menuju kasur. Seketika tubuhnya jatuh mengenai tubuhku. Jantungku berdegup lebih kencang, begitupun dengan dia.
‘’Aku mencintaimu, Sayang. Tolong temani aku malam ini,’’ lirihnya dengan napas terengah-engah. Dia merangkulku erat. Dan aku mulai terhanyut dalam rayuannya. Sehingga kami melakukan suatu hal yang tak senonoh, yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Entah apa yang merasukiku, sehingga aku tak menolak permintaan gila kekasihku itu. Malam ini juga kesucianku telah diranggut oleh kekasihku sendiri. Tubuhku berkeringat dan tertidur pulas dalam keadaan tanpa sehelai benang pun.
Aku terbangun. Tubuhku begitu terasa lelah dan sakit-sakit semuanya. Seperti aku selesai bekerja di sawah seharian. Tapi, tunggu! Bukannya aku melakukan sesuatu dengan Andre? CCTV? Kupandangi setiap sudut, namun nihil tak kutemukan satu buah CCTV pun.
‘’Arrgghh! Sungguh bodohnya aku. Bahkan aku tak sadar sedikit pun. Bajuku? Jadi aku tidur dalam keadaan seperti ini?’’ aku mengerang frustasi dan memandangi tubuhku yang hanya diselimuti kain saja.
‘’Andre mana?’’ kulihat ternyata dia tidur di sebelahku.
‘’Andreeee! Huhuhu!’’ aku berteriak dan tangisanku pecah seketika.
Dia menggeliat dan terbangun. Selimutnya terbuka tanpa menggunakan sehelai benang pun membuat aku mengalihkan pandangan,’’Ada apa, Sayang? Kamu sudah ba—’’
‘’Ada apa katamu? Kamu nggak sadar apa yang kita lakukan semalam? Hah!?’’ kali ini emosiku sudah berada di ubun-ubun. Buliran bening itu luruh tak henti-hentinya. Dadaku sangat terasa sesak.
Dia duduk dan menutup kain selimut ke seluruh tubuhnya,’’Itu bukti cintaku ke kamu, Sayang,’’
‘’Apa? Cinta? Kamu salah! Nggak seharusnya kita kayak gini—’’ ucapku di sela isakan tangisku.
‘’Ka—kamu harus tanggung jawab!’’ ketusku menunjuknya dengan telunjuk kiri yang bergetar saking marahnya diriku.
‘’Hei, Sayang. Tenang dulu dong. Aku akan selalu bersamamu. Semalam bukankah kamu menikmatinya?’’ dia mencoba memegang jemariku, tapi aku berusaha menepisnya dengan kasar.
‘’Itu di luar kesadaranku! Semua itu karena kamu!’’ ketusku dengan buliran bening yang membasahi pipiku tak henti-hentinya.
‘’Hussh! Malu kalau semua orang mendengar. Nanti kita bicarakan baik-baik,’’ Dia bergegas memasang pakaiannya. Aku membelakangkan tubuh.
‘’Arrrghh! Apa yang kulakukan semalam? Kenapa aku bisa melakukan ini?’’ aku mengacak rambutku frustasi. Sedangkan Andre sudah selesai memakai pakaiannya.
‘’Aku mau keluar sebentar. Mandi dan ganti pakaianmu!’’
‘’NDREE!’’ panggilku dengan nada keras. Tetapi dia sudah bergegas keluar dari kamar.
‘’Si*l!’’ aku mengepalkan tanganku.
‘’Allah! Pantaskah aku menyebut-Mu? Aku sudah mencicipi kemanisan yang belum pantas untuk kurasakan! Aku sudah berbuka belum pada saatnya!’’ aku mengacak rambutku dengan frustasi. Pikiranku begitu kalut. Terbayang olehku kejadian yang tak senonoh semalam. Terbayang olehku cara Andre melakukannya kepadaku. Terbayang olehku pesan mama semalam ketika aku mengiriminya pesan. Dan terbayang olehku pesan papa. Aku sudah berbohong kepada kedua orang tuaku, kepada Tuhanku, dan diriku sendiri.
‘’Aaarrgghhh!!’’
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!