Langit tampak begitu cerah, sinar matahari menerangi bumi dengan pancaran sinarnya yang menghangatkan hati, hembusan angin pagi itu cukup terasa sejuk menerpa wajah cantik seorang gadis yang berdiri di balik jendela sambil merenung memikirkan takdir cintanya. Tatapannya kosong ke depan, raut wajahnya tampak sendu dengan air mata yang mulai berkumpul di pelupuk matanya.
Namanya Rabiah Al-Hafizhah Yusuf, gadis cantik dengan mata indah itu juga hanya manusia biasa yang tidak luput dari rasa cinta. Cinta yang ia rasakan untuk pertama kalinya sejak dua tahun lalu, cinta yang senantiasa ia jaga kerahasiaannya sehingga tidak ada satu pun orang yang mengetahuinya.
Sebagaimana kisah cinta Fatimah Az-Zahrah, putri Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang mencintai Ali bin Abi Thalib dalam diam, bahkan konon setan pun tidak dapat mengendus tentang adanya perasaan cinta di antara keduanya. Rabiah juga ingin menjaga kesucian cintanya hingga tiba saat cinta itu diungkapkan, maka pahala akan menghampirinya.
Kak Ameer, begitulah Rabiah memanggilnya. Dia adalah anak dari sahabat kedua orang tuanya. Tumbuh bersama sejak kecil rupanya tidak bisa menjadi alasan untuk tidak jatuh cinta kepada pria yang memiliki nama lengkap Ameer Baihaqi Wildan. Sifatnya yang begitu ramah dan hangat membuat gadis cantik itu selalu merasa nyaman saat bersamanya, meski masih dalam lingkaran batasan.
Rabiah pernah memiliki mimpi hidup bersama pria yang ia cintai seperti Ameer di masa dewasa nanti, namun sepertinya takdir itu belum berpihak kepadanya, harapannya seolah hilang di terpa angin tatkala di usianya yang baru menginjak 18 tahun, ia sudah harus menerima kenyataan pilu bahwa ia akan menikah dengan seorang pria yang tidak pernah sama sekali ia bayangkan sebelumnya, pria yang tidak pernah ia kenal dan bahkan ia tidak pernah melihatnya secara langsung. Sifatnya yang begitu patuh kepada kedua orang tuanya membuat Rabiah tak kuasa menolak permintaan sang ibu selama itu tidak menyimpang dari ajaran agama.
Rabiah membuang napas berat, ia lalu kembali melangkah ke hadapan cermin yang menempel kokoh di dinding kamarnya, sejenak ia menatap bayangan seorang gadis yang begitu cantik dengan polesan make up sederhana dari pantulan cermin itu. Tubuhnya yang tinggi dan ramping kini tampak begitu anggun dengan balutan kebaya modern berwarna putih dan dipadukan dengan jilbab berwarna senada. Mahkota kecil melekat indah di atas kepalanya yang tertutup jilbab, beberapa bunga yang berjejer rapi di jilbabnya semakin menambah kecantikan Rabiah.
Hari ini merupakan hari spesialnya, dimana dalam beberapa menit lagi, tanggung jawab ayahnya terhadapnya akan berpindah ke pria lain yang akan menjadi suaminya, statusnya akan berubah menjadi istri dari seorang pengusaha Farmasi terkenal di kotanya yang bernama Muhammad Kamil Abdullah, pria yang merupakan anak dari teman ibunya.
Tentu menikah dan menjadi istri dari pria tampan dan mapan adalah hal yang sangat membahagiakan dan di dambakan oleh semua wanita. Namun, berbeda dengan Rabiah, raut wajahnya justru memperlihatkan gambaran perasaan yang sebaliknya.
Bulir air mata yang sejak tadi berkumpul di pelupuk matanya perlahan mengalir membasahi pipinya yang begitu mulus, nafasnya seolah tercekat, ia hanya bisa menangis dalam diam. Sekuat tenaga ia menahan rasa sesak yang bergejolak di dalam dadanya, namun rasa itu seolah berusaha menerobos keluar dan menumpahkan segala kesedihannya.
Di saat yang sama Rabiah sadar, apa yang ia lakukan saat ini adalah salah, tidak sepantasnya wanita yang akan segera menikah malah menangisi pria lain. Namun ia bisa apa, hatinya begitu sakit menerima kenyataan dimana ia harus melupakan cinta pertamanya yang begitu indah.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu dari luar kamarnya seketika mengagetkan Rabiah, dengan cepat tangannya bergerak menghapus jejak air mata di pipinya secara lembut agar tidak merusak bedak yang sudah melekat di pipinya sejak pagi tadi.
“Biah, apa kamu sudah siap sayang? sebentar lagi mempelai prianya akan datang untuk aqad nikah,” ujar Yasmin yang tidak lain adalah ibunya.
Namun, bukannya raut wajah bahagia yang ia dapatkan dari sang putri, ia justru mendapati mata sang putri dalam keadaan sembab, dan itu tentu menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam benak Yasmin. “Kamu kenapa sayang? Apa ada yang sakit?” tanyanya khawatir.
“Tidak Ummi, Biah hanya terharu.” Rabiah tersenyum kepada Yasmin, meski senyum itu tidak sampai ke matanya.
“Biah, kamu itu tumbuh dalam pengawasan Ummi selama 18 tahun, jadi Ummi tahu bagaimana kamu saat sedang terharu dan saat sedang sedih. Dan yang Ummi lihat saat ini, kamu bukan sedang terharu, tapi kamu sedang bersedih.” Rabiah hanya tertunduk menahan air matanya yang seolah ingin tumpah kembali, ia tidak mampu menyangkal perkataan sang ibu sebab apa yang dikatakan memang benar adanya.
“Katakan pada Ummi apa yang terjadi sayang? Apa kamu belum siap dengan pernikahan ini, atau kamu tidak ikhlas dengan pernikahan ini?” tanya Yasmin lembut tanpa kesan mengintimidasi sama sekali.
Rabiah menatap mata sang ibu sejenak, ia lalu menggelengkan kepalanya, “tidak Ummi, Biah ikhlas, hanya saja Biah.. Biah... hiks.” Rabiah tidak mampu melanjutkan kata-katanya dan langsung memeluk perut Ummi yang sedang berdiri dihadapannya.
“Iya kamu kenapa sayang? Katakan pada Ummi.” Yasmin mengusap punggung Rabiah dengan lembut, berharap putrinya itu bisa lebih tenang.
“Maafkan Biah Ummi, Biah.. Biah tidak mencintainya.”
-Bersambung-
-----------------------------------‐---------------------------------
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat datang di novel ketiga saya. Novel ini adalah lanjutan dari novel yang berjudul "Kisah Cinta Dua Mutiara".
Novel ini adalah cerita fiksi murni dari hasil pemikiran saya sendiri, jika terdapat kesamaan nama, tempat atau kisah, mohon dimaklumi karena itu semua diluar dari kesengajaan saya yang hanya manusia biasa.
Terima kasih karena sudah berkenan mampir dan mohon maaf bila dalam novel ini masih banyak kekurangannya, karena saya juga masih dalam tahap belajar. Adapun isi dari karya ini adalah pandangan dari saya dan bukan bermaksud untuk menggurui ataupun menjatuhkan pandangan yang lain.
Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan dari kakak-kakak readers agar saya bisa lebih banyak belajar lagi dalam membuat novel yang lebih baik kedepannya.
Salam hangat dari saya,
UQies
“Maafkan Biah Ummi, Biah.. Biah tidak mencintainya.”
Bukannya terkejut, Yasmin justru tersenyum kemudian ia melepas pelukan Rabiah dan memegang kedua pundaknya dengan lembut.
“Sayang, dengarkan Ummi baik-baik, menikah itu tidak selamanya harus diawali dengan cinta, justru sebaliknya, melalui pernikahan cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Kamu bukannya tidak mencintainya sayang, kamu hanya BELUM mencintainya. Kelak kamu akan mengetahui betapa indahnya jatuh cinta secara perlahan kepada pasangan halalmu, jalani dan nikmati setiap detiknya, karena cinta setelah menikah adalah anugerah yang teramat sangat berharga.” Yasmin menekan kata belum untuk menegaskan maksudnya kepada Rabiah. Sementara Rabiah hanya diam mendengar nasehat ibunya.
“Jika saat ini kamu belum mencintainya, maka berusahalah mencintainya saat kalian telah halal nanti,” lanjut Yasmin sembari memperbaiki jilbab sang putri.
“Maaf ummi, Biah akan berusaha melakukan apa yang ummi bilang, tapi Biah harus jujur sesuatu kepada ummi,”
“Apa itu sayang?”
“Sebenarnya..” Rabiah terdiam cukup lama, ia tidak yakin apa mengatakannya kepada sang ibu adalah pilihan yang tepat atau salah.
Melihat ekspresi Rabiah yang begitu gelisah, Yasmin mulai menebak apa yang terjadi pada putrinya.
“Kamu kenapa Biah? Apa jangan-jangan kamu mencintai pria lain?” selidik Yasmin.
Seketika mata Rabiah membola, ia tidak menyangka bahwa ibunya mampu menebak dengan benar tentang apa yang di sembunyikan Rabiah saat ini.
Melihat ekspesi Rabiah, Yasmin semakin yakin jika tebakannya tepat sasaran. Kini jantungnya mulai berdegup kencang setelah mengetahui fakta tentang putrinya saat ini.
“Siapa dia?” tanya Yasmin setelah beberapa saat diam.
“Maafkan Biah ummi, dia.. dia kak Ameer.”
Kaki Yasmin tiba-tiba terasa lemas, ia terduduk di kursi sambil menatap Rabiah dengan sendu. Air matanya mengalir begitu saja. Kedua wanita beda usia itu kini saling terdiam dengan air matanya yang telah membasahi pipi.
“Apakah Ameer memiliki perasaan yang sama padamu? Kenapa kamu tidak pernah cerita ke ummi atau abi?” tanya Yasmin lagi.
“Biah tidak tahu Ummi, kak Ameer selalu bersikap seperti biasa saat berhadapan dengan Biah, itu sebabnya Biah tidak berani cerita karena Biah merasa cinta Biah bertepuk sebelah tangan,” jawab Rabiah lesu.
Yasmin terdiam sejenak, sungguh ia ingin membantu putrinya itu, tapi rasanya semua sudah terlambat, dalam beberapa menit lagi pernikahannya akan dilangsungkan.
“Kalau begitu lupakan cintamu padanya, dan mulailah membuka hatimu untuk Kamil, suamimu nanti. Dialah yang lebih berhak mendapatkan cintamu saat ini,” tegas Yasmin.
Rabiah kembali menunduk. “Baik Ummi.” Rabiah menghapus air matanya secara perlahan dan berusaha menetralkan hatinya.
🌷🌷🌷
Di tempat lain, seorang pria dan seorang wanita sedang berbicara empat mata di dalam mobil.
“Tenanglah, kenapa kamu terlihat gelisah seperti itu?” tanya seorang wanita cantik dengan kebaya yang sedikit ketat di tubuh rampingnya, dan rambutnya yang ia sanggul begitu indah.
“Entahlah, rasanya aku begitu gugup,” jawab pria itu dengan wajah tegangnya. Wanita itu tersenyum kepadanya, namun sesaat kemudian tertunduk lesu.
“Kenapa?” tanya pria itu.
“Tidak kenapa-kenapa kok, semoga pernikahanmu berjalan lancar,” ucap wanita itu.
“Aamiiin, kamu benar-benar tidak apa-apa kan?” tanya pria itu.
Wanita itu mengulas senyum, “tidak apa-apa,” jawabnya singkat.
Pria itu hanya menatap sendu wajah wanita yang sedang duduk di sampingnya, tangannya kemudian terulur untuk mengusap rambut wanita itu.
“Terima kasih atas pengertianmu,” ucap pria itu, dan wanita itu mengangguk.
Beberapa saat kemudian, ponsel pria itu berdering, dimana nama ‘mama’ tertera jelas di layar ponselnya.
“Aku sudah di panggil oleh mama, aku keluar dulu, jika kamu mau, menyusul lah di belakang mobilku,” ujar pria itu sebelum keluar dari mobil wanita itu.
“Hmm, baiklah,” sahut wanita itu dan tersenyum, namun senyum itu seketika hilang saat pria itu sudah keluar.
“Kamil, darimana saja kamu? Dari tadi di cariin,” ujar Maryam yang tak lain adalah ibu Kamil.
“Maaf ma, tadi Kamil ada urusan sebentar.”
“Ya udah, ayo berangkat, sebentar lagi aqadnya dimulai,” seru Abdullah, ayah Kamil yang kini sudah duduk di samping supir. Kemuduan di susul oleh Maryam, Kamil dan adik perempuannya yang duduk di belakang.
Akhirnya mobil Kamil mulai melaju meninggalkan kediaman Abdullah, tak lama setelah itu, sebuah mobil menyusul di belakang mobil Kamil.
Selama perjalanan, Abdullah tidak berhenti memberikan petuah-petuah seputar pernikahan kepada putra sulungnya itu.
“Kamil, ingatlah untuk selalu memperlakukan istrimu dengan baik, cintai dia, sayangi dia sebab dialah yang akan selalu mendampingimu saat ini hingga tua nanti di saat anak-anak kalian sudah memiliki kehidupan masing-masing,” tutur Abdullah.
“Benar nak, apalagi Rabiah, dia adalah gadis sholehah dan lembut, dia tumbuh dalam kasih sayang yang melimpah dari keluarganya, maka limpahkan pula kasih sayang padanya agar dia selalu merasa nyaman saat berada di sisimu dan selalu merindukanmu saat kamu sedang jauh,” imbuh Maryam.
“Iya pa, ma, Kamil akan berusaha menjalankan rumah tangga Kamil seperti yang papa dan mama katakan.
Kamil adalah pria yang memiliki karakter hangat dan ramah sehingga ia bisa dengan mudah menerima petuah sang ayah, dan ia yakin bahwa ia bisa menjadi sosok suami yang baik untuk wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.
“Kenapa hatiku begitu gelisah, apakah yang ku lakukan saat ini sudah benar?” batin Kamil lalu menoleh ke belakang untuk melihat mobil yang mengikutinya sejak tadi.
-Bersambung-
Di rumah Rabiah tempat akan berlangsungnya aqad
Ameer sejak tadi hanya terduduk lesu di dekat meja tempat akan dilangsungkan aqad nikah beberapa menit lagi. Pandangannya kosong ke depan, seolah ia sedang mendapat musibah yang sangat berat dalam hidupnya.
“Hufth." Ia mengembuskan napasnya kasar. Ingin rasanya ia lari dari tempat ini, namun apa daya, keadaan memaksanya harus tetap berada di dekat meja aqad nikah karena ia ditunjuk menjadi saksi nikah Rabiah. Wanita yang sangat ia cintai sejak dulu, bahkan saat Rabiah masih kecil.
Apakah takdir saat ini sedang berlaku tidak adil padanya? Ameer yang dahulu mencintainya, Ameer pula yang rela menahan perasaannya agar bisa selalu menjaganya, bahkan Ameer juga yang dengan setia selalu menyebut nama Rabiah di sepertiga malamnya, namun saat ini, bukannya menjadi pasangan pengantin untuk Rabiah, ia justru menjadi saksi pernikahannya.
Bukan mau Ameer, bukan pula mau Rabiah. Cinta mereka memang saling terpaut, tapi masing-masing tak saling mengetahui. Ingin menyalahkan pun percuma, sebab kuasa dan takdir Allah lah yang sedang bekerja saat ini.
“Kak, kenapa dengan wajahmu? Ada masalah?” tanya Rahul yang sejak tadi juga duduk di samping Ameer membuyarkan lamunannya.
“Nggak kok, ini pengantin nya mana yah? Kok lama banget?” Ameer mengalihkan pembicaraan sambil menoleh kesana kemari seolah-olah mencari pengantinnya.
Namun, mata tidak bisa berbohong, sorot mata Ameer jelas menunjukkan kesedihan yang amat dalam, dan itu berhasil di tangkap oleh Rahul. Tentu saja Rahul paham akan sorot mata Ameer saat ini, ia bukan lagi anak kecil yang bisa dibohongi. Dan dari sorot mata itu, Rahul menaruh curiga pada Ameer, kenapa Ameer terlihat sedih? Apakah dia sedih karena Rabiah menikah? Apakah Ameer mencintai Rabiah? Itulah yang saat ini sedang berputar-putar di pikiran Rahul saat ini.
Beberapa menit kemudian, rombongan pengantin pria datang. Meskipun Ameer tidak pernah melihat calon suami Rabiah, namun dari jauh ia sudah dapat memastikan bahwa pria dengan setelan jas putih, dengan postur tubuh tinggi dan tegap itu adalah calon suaminya.
Setelah mengucapkan salam, calon suami Rabiah dipersilahkan mengambil tempat untuk melangsungkan prosesi aqad nikah. Hati Ameer semakin terasa sakit saat posisinya semakin dekat dengan calon suami Rabiah itu.
Tak lama setelah itu, Rabiah yang di dampingi Yasmin turun dari lantai dua menuju ke tempat aqad. Semua mata terpesona memandang kecantikan Rabiah. Bahkan Ameer dan Kamil juga terpukau dengan kecantikannya. Namun dengan cepat, Ameer menyadarkan dirinya. Ia menoleh ke arah Kamil yang sesekali mencuri pandang untuk melihat calon istrinya. Terlihat ada rasa kagum dari sorot mata Kamil kepada Rabiah. Namun, Ameer seperti tidak melihat cinta dalam sorot matanya melainkan kegelisahan, mungkin karena mereka belum menikah, begitulah pikirnya.
Beberapa menit kemudian
“Ananda Muhammad Kamil Abdullah bin Abdullah, saya nikahkan engkau dengan putri saya Rabiah Al-Hafizhah Yusuf binti Yusuf dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan satu stel emas tunai karena Allah...” ucap Yusuf dengan mata berkaca-kaca karena menyadari saat itu juga, tanggung jawabnya kepada putri kesayangannya akan ia lepas kepada suaminya.
“Saya terima nikahnya Rabiah Al-Hafizhah Yusuf binti Yusuf dengan mas kawin tersebut tunai karena Allah.
“Sah”
“Sah” ucap Ameer dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya, sesekali ia menunduk untuk menghapus air mata yang berhasil lolos ke pipinya. Putus sudah harapannya sejak dulu untuk menikahi Rabiah. Wanita yang ia cintai kini telah resmi menjadi istri orang.
“Aku pernah bermimpi kita bisa hidup bersama dalam ikatan suci, membangun mahligai cinta bersama untuk meraih ridho Allah, tapi rupanya cinta telah membuatku lupa bahwa tidak selamanya mimpi dan takdir berjalan searah. Allah lebih tahu mana yang terbaik untukku dan untukmu,” batin Ameer sambil menatap Rabiah yang kini sedang duduk di samping Kamil.
“Semoga pernikahan kalian selalu diberikan keberkahan, dan kebahagiaan,” lirihnya kemudian lalu beranjak dari duduknya dan pergi dari tempat itu tanpa berbicara apapun.
Tanpa Ameer sadari ada tiga pasang mata yang menatapnya dalam diam. Mereka adalah Yasmin yang telah mengetahui perasaan Rabiah kepada Ameer, Rahul yang mencurigai perasaan Ameer kepada Rabiah, dan tentu saja yang terakhir adalah Rabiah, ia hanya bisa menatap punggung pria yang selama ini ia cintai dalam diam kini semakin menjauh.
“Semoga kelak kakak bertemu dengan wanita terbaik yang tulus mencintai kakak,” batin Rabiah dengan mata berkaca-kaca.
🌷🌷🌷
Hari ini semua keluarga merayakan pernikahan Rabiah dan Kamil dengan penuh suka cita. Raut wajah bahagia jelas terpancar dari wajah Maryam dan Abdullah serta Yusuf dan Yasmin selaku orang tua kedua mempelai.
Berbeda dengan kedua mempelai yang diam tanpa ekspresi, mereka hanya senyum saat ada yang datang untuk memberikan ucapan selamat kepadanya. Entah apa yang terjadi, namun kedua mempelai itu tampak sedang memikirkan sesuatu yang membuat hati mereka gelisah. Bahkan Kamil tampak sedang menyisir seluruh ruangan mencari seseorang yang tadi mengikutinya di belakang saat menuju ker rumah Rabiah.
Sementara di sebuah kamar mandi, seorang wanita tengah menangis meratapi nasibnya yang tidak berpihak padanya. Ia sungguh tak mampu berlama-lama melihat pernikahan pria yang mulai ia cintai tengah bersanding di atas pelaminan bersama wanita lain.
-Bersambung-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!