600 tahun yang lalu, di Gardena.
Kala itu, malam yang biasanya terasa dingin dan sunyi, berubah menjadi malam yang panas dan mengerikan. Tempat yang dulunya memiliki padang bunga, seketika berubah menjadi lautan api. Rumah-rumah penduduk terbakar, mayat bergeletakan di sepanjang jalan. Canda dan tawa tidak lagi terdengar, menyisakan jeritan dan tangisan yang melebur menjadi satu.
Seorang laki-laki berambut abu-abu panjang berlari tergesa-gesa menuju sebuah mansion yang telah dikelilingi oleh kobaran api hitam. Tanpa ragu, dia menembus api itu agar bisa sampai ke tempat yang dituju. Seseorang yang penting baginya telah menunggu di sana, di atap bangunan yang penuh kenangan tersebut.
Tidak peduli seberapa banyak luka yang didapat dan lelahnya berlari sampai terengah, sikapnya tetap sopan di balik punggung laki-laki berambut hitam panjang yang telah menunggunya. Dia pun menekuk salah satu lututnya, memberi hormat seperti biasa.
“Tuan—”
“Bangunlah,” ujar sang tuan, memotong ucapan laki-laki berambut abu-abu tersebut. Dia lalu berdiri menuruti perintahnya. Sang tuan kemudian berbalik, menatap dengan dalam lawan bicaranya tersebut. “Kau harus tetap hidup, Erol.”
Terkejut sekaligus tidak mengerti, laki-laki bernama Erol itu pun lantas bertanya, “Apa maksud Anda, Tuan Aaron?”
“Aku ingin kau meninggalkan Gardena dan pergi sejauh yang kau bisa,” sahut Aaron. Sebelum Erol bertanya lagi, Aaron mengimbuhkan, “Kau adalah harapan terakhir kami. Gardena harus kau rebut kembali.”
Erol mengernyit, bingung sekaligus marah. Dia pun dengan lantang berkata, “Tidak!” Kakinya kemudian melangkah menuju tuannya. “Kita akan menang malam ini, Tuan! Gardena tidak akan jatuh ke tangan siapapun! Gardena adalah milik Anda dan kita semua!”
Emosi telah menguasai Erol. Dia seakan lupa dengan siapa dirinya berbicara. Menggunakan nada tinggi di dalam ucapannya bukanlah kebiasaannya. Namun, saat itu Erol benar-benar marah dengan perkataan yang keluar dari mulut sang tuan.
“Sebaiknya kau cepat pergi dari sini, Erol,” ucap Aaron dengan tenang. Dia seolah tidak terpengaruh dengan kata-kata Erol yang emosional.
Erol tentu saja terkejut dan semakin kesal. Dalam kekalutannya, Erol meraih kerah baju laki-laki itu dan berteriak, “Aaron!”
“Wah, wah, di sini ada yang sedang bertengkar rupanya,” celetuk seorang vampir berambut semerah darah, yang sukses membuat kedua laki-laki tersebut menoleh.
"Aaron—" Belum sempat Erol melanjutkan kata-katanya, dia dicekik oleh Aaron dan dilempar dari atap, sehingga tubuh Erol pun terjun bebas.
Kenapa, Aaron? batinnya.
Erol sangat terkejut dan bingung dengan tindakan yang dilakukan oleh tuannya. Sebegitu putus asanyakah sang pemimpin werewolf Gardena itu?
Di tengah perjalanannya menuju tanah, Erol teringat masa-masa di mana ketika dirinya dan Aaron kecil berjanji akan melindungi Gardena suatu saat nanti. Erol juga berjanji akan selalu berada di samping Aaron ketika suka maupun duka. Namun, mengapa Aaron malah membuangnya seperti itu? Mengapa Erol tidak diizinkan untuk berjuang bersamanya untuk mempertahankan Gardena?
Kenapa, Aaron? Erol masih bertanya-tanya di dalam hatinya yang sakit.
Tanpa disadari, air matanya menetes, dadanya terasa sesak, sakit sekali sampai sulit bernapas. Akankah kematian menjemputnya malam ini?
Tidak! Aku tidak boleh mati! Pikiran Erol seketika jernih kembali. Dia langsung tersadar bahwa Aaron menyuruhnya untuk tetap hidup. Aaron ingin Erol merebut kembali Gardena. Mana mungkin Erol enggan melaksanakan perintah terakhirnya itu? Meskipun dirinya tidak bisa berjuang saat ini, tetapi dia akan berjuang di masa yang lain.
Erol pun berteriak sebelum kakinya menyentuh tanah. Dia berhasil mendarat dengan sempurna, lalu berlari meninggalkan mansion itu. Semangatnya kembali membara dalam sekejap.
Perjuangan, kematian, keputusasaan tergambar jelas di depan matanya. Erol tidak sanggup melihat, akan tetapi sulit pula untuk memalingkan wajah ketika pemandangan mengerikan itu berada di mana-mana.
Tidak hanya sekali Erol dihadang oleh vampir yang mengincarnya. Mereka tahu, Erol bukan werewolf sembarangan, mereka ingin dia mati juga. Pada akhirnya, Erol pun harus bertarung agar bisa melarikan diri.
Tidak mudah untuk mengalahkan vampir kelas atas yang jumlahnya cukup banyak. Demi bertahan hidup, Erol mati-matian melawan mereka. Meskipun rasanya tidak adil karena harus mengalahkan segerombol vampir, sementara dia hanya seorang diri.
Setelah lepas dari para vampir yang menghadangnya, Erol kembali berlari, berusaha meninggalkan tanah kelahirannya itu. Namun, tanpa sengaja dia bertemu dengan werewolf yang tengah sekarat. Werewolf yang sangat dia kenal sebagai pasangan dari kembaran Aaron, Mikhaela.
Rambut pirangnya sudah ternodai oleh darah. Kulitnya juga semakin pucat dan dingin. Bibirnya yang membiru, terbata-bata mengucapkan, “To-tolong jaga ... A-abigail, Erol ….”
“Tidak, saya tidak mau! Anda yang harus menjaga Nona Abigail, Tuan Mikhaela! Anda harus bertahan!” ujar Erol dengan kepanikan yang mencekik dirinya.
Namun, Mikhaela tidak mau mendengar. Dia justru menutup matanya dan membiarkan napasnya menghilang. Mikhaela membiarkan Erol berteriak sendirian, menangis dalam kekalutan.
Tidak mau berlama-lama menangis, Erol pun bangkit dan bertekad untuk putar balik. Erol tidak mau mengecewakan Mikhaela, apalagi Aaron dan Abigail. Erol akan melindungi apa yang seharusnya dia lindungi. Apa pun risikonya akan dia terima, kecuali kematian.
Erol kembali ke rumahnya yang sudah setengah terbakar. Di dalam ruang bawah tanah, dia mengambil dua kristal sebesar buah zaitun dan membawanya pergi. Bukan tanpa alasan Erol membawa kristal itu. Justru benda tersebut menjadi langkah awal untuk melancarkan rencananya.
Kedua kaki Erol kembali berlari mengikuti bau yang tercium kuat di hidungnya. Dia menemui Abigail yang hampir tewas dengan salah satu tangan yang entah hilang ke mana. Sementara di seberangnya, terdapat seorang vampir wanita yang sama sekaratnya seperti Abigail.
“Pergi …,” ujar Abigail, pelan.
“Tuan Mikhaela meminta saya untuk menjaga Anda, Nona.” Erol lantas menggendong Abigail di pundaknya dan berlari dengan kecepatan penuh.
Sementara di tempat lain, Aaron tengah bersusah payah berdiri di atas kakinya yang sudah bersimbah darah. Wujudnya telah berubah menjadi manusia kembali dengan luka yang mengenaskan. Sebagian tubuhnya hampir menjadi arang. Penglihatannya pun hanya mampu menggunakan mata kanan. Isi perutnya yang berupa darah sulit untuk berhenti keluar.
“Dasar keras kepala!” Vampir berambut merah yang juga terluka pun kembali menyerang Aaron dengan tendangan, membuat Aaron terlempar dan terguling sampai menumbangkan beberapa pohon.
Aku sudah tidak bisa bergerak, batin Aaron. Dari balik rambutnya yang menutupi wajah, Aaron bisa melihat vampir itu melangkah dengan angkuh menuju dirinya.
Saat hendak menebas Aaron, Erol tiba-tiba muncul dan menyerang vampir itu. Meskipun wujudnya tidak berubah menjadi serigala, Erol mampu bertarung dengan lincah. Namun, dia tidak bisa berlama-lama meladeni vampir tersebut, sebab Aaron bisa mati.
Aku harus bagaimana?
Beberapa werewolf mendadak datang setelah Erol membatin. Mereka meminta Erol untuk pergi membawa Aaron dan membiarkan mereka untuk membereskan vampir tersebut. Apakah ini yang dinamakan pertolongan dari langit? Kalau benar, Erol akan sangat berterima kasih.
“Tuan Aaron, bertahanlah,” ucap Erol sembari menggendong Aaron di pundaknya.
Selama di perjalanan menuju ke tempat yang aman, Erol terus bergumam agar Aaron bertahan. Sejujurnya, dia sangat ingin menangis dan berteriak, tetapi hal tersebut Erol urungkan karena hanya akan memancing vampir lain berdatangan.
Aku berjanji akan merebut Gardena bersamamu, Aaron!
Dalam pelariannya, janji itu terus Erol ucapkan di dalam hati. Berkat janji itu pula, dirinya tertidur dengan sangat lama setelah kematian hampir menjemputnya.
...***...
600 tahun kemudian, di Jepang.
Kembali menjalani masa muda di era dan di dunia yang berbeda, memiliki tantangan tersendiri yang tentunya tidak mudah. Kehidupan normal layaknya anak SMA harus dijalani oleh Erol sejak musim semi tahun ini, di mana saat itu dirinya resmi menjadi seorang siswa. Usianya memang sudah tidak lagi muda, tetapi wajahnya masih terlihat seperti remaja berusia belasan tahun.
Erol atau yang kini lebih dikenal dengan nama Takeda Arata, memiliki tugas baru di kehidupan barunya, yakni berbaur dengan manusia seusianya, tanpa sedikit pun membocorkan jati dirinya yang merupakan seorang werewolf. Kini dia menyamar menjadi siswa tahun pertama yang berusia lima belas tahun dengan penampilan khas siswa SMA.
Erol mengenakan kacamata berbingkai hitam, meskipun matanya tidak rabun. Rambut abu-abunya dipotong lebih pendek dari yang dulunya hampir sedada, lalu ditata sedemikian rupa, membuat dirinya seperti seorang kutu buku.
Ramainya koridor sekolah, terkadang membuat Erol teringat masa lalu ketika dirinya melewati koridor kastil atau mansion milik tuannya. Mereka yang melihat keberadaan Erol akan tersenyum dan menyapa sembari sedikit membungkukkan tubuh.
“Arata!” panggil seseorang yang suaranya tidak asing di telinganya. Erol kemudian menoleh ke belakang, meskipun dia sudah tahu siapa pemilik suara tersebut. Namun, ketika hendak menghampiri Erol, laki-laki berambut hitam itu dihadang oleh dua perempuan yang ingin memberikan sesuatu kepadanya.
Erol hanya tersenyum kecil melihat pemandangan yang sudah biasa tersebut. Sama seperti di masa lalu, di masa sekarang pun laki-laki itu masih tetap populer.
Setelah selesai dengan kedua perempuan tersebut, laki-laki itu pun menghampiri Erol yang menunggunya. “Kita punya camilan manis untuk siang nanti,” ujar laki-laki itu sembari menunjukkan tas kertas berwarna cokelat pemberian dua perempuan tadi.
“Menjadi populer itu menyenangkan, bukan?” tanya Erol, seraya melanjutkan langkahnya bersama laki-laki tersebut.
“Tidak juga,” sahut laki-laki itu. “Aku menghargai mereka kalau menyukaiku masih dalam batas wajar, tetapi kalau sudah terobsesi dan mengganggu kehidupanku, aku sama sekali tidak akan menghormati mereka.”
“Kau benar. Seperti saat turnamen kemarin, kau sampai tidak fokus akibat perempuan-perempuan itu menyorakimu.” Erol kemudian tertawa geli ketika mengingat laki-laki itu mengomel di lapangan akibat sorakan dari penggemarnya, yang sukses membuatnya kehilangan fokus saat akan melakukan service.
Belum lama ini, Erol dan laki-laki itu beserta tim mereka mengikuti turnamen voli antar SMA seprefektur Tokyo. Namun, tim mereka harus menelan pil pahit karena kalah di babak perempat final, sehingga tim mereka tidak bisa maju ke Kejuaraan Inter-High.
Raut laki-laki itu pun langsung berubah menjadi kesal seraya berucap, “Asal kau tahu, semenjak itu rasanya aku ingin bermain tanpa diketahui oleh siapapun.”
“Kalau begitu, jadi pemain cadangan saja.”
“Tidak mau!”
Sesampainya di kelas, mereka lalu duduk di kursi masing-masing yang berada di paling belakang dekat jendela. Posisi Erol berada tepat di belakang laki-laki itu. Angin berembus menerpa wajah Erol ketika dirinya membuka sedikit jendela yang berada di sampingnya.
Hari berlalu begitu cepat. Tidak terasa, musim panas sudah di depan mata. Kejadian menarik yang kualami bersamanya, pasti akan kuceritakan ketika Anda kembali, Tuan, batin Erol. Matanya kemudian melirik punggung laki-laki yang duduk di hadapannya sembari tersenyum kecil.
...***...
Bel tanda jam istirahat telah berbunyi. Mereka yang membawa bekal makan siang, akan menyantapnya bersama dengan teman di kelas atau di atap. Jika tidak membawanya, mereka bisa membeli makan siang di kantin.
Seperti biasa, laki-laki berambut hitam itu membalik kursinya agar bisa duduk berhadapan dengan Erol. Ketika hendak membuka bekal, laki-laki itu melihat seorang perempuan cantik menghampiri mereka berdua dengan senyum yang mengembang.
“Ryuuka?” ujar laki-laki itu, sontak Erol pun menoleh.
“Yui tidak masuk karena demam, jadi aku ke sini saja,” sahut Ryuuka seraya menarik salah satu kursi yang berada di dekatnya. “Sudah lama kita tidak makan siang bersama.” Dia lalu melempar senyum kepada Erol yang langsung mengangguk dengan senyum simpul.
“Mengapa kau hanya tersenyum ke Arata saja, huh?!” protes laki-laki itu.
“Kau ingin aku tersenyum kepadamu juga? Baiklah.” Ryuuka pun tersenyum lebar dengan amat terpaksa.
“Senyummu jelek sekali,” ejek laki-laki itu sembari membuka kotak bekalnya. Rautnya memperlihatkan rasa jijik ketika melihat senyum gadis itu.
Tidak terima diejek seperti itu, Ryuuka pun menyeletuk, “Kau juga jelek!”
“Hei, jaga bicaramu, ya!” ujar laki-laki itu sembari menunjuk Ryuuka dengan sumpit.
“Kalau aku jelek, kau juga pasti jelek!” sahut Ryuuka tidak mau kalah.
“Mana mungkin seperti itu! Walaupun kita lahir di hari, di jam, dan di rahim yang sama, aku tidak jelek sepertimu, tahu! Kau tidak lihat wajahku yang tampan ini, huh?!”
“Ah, aku mendadak mual ketika melihat wajahmu.”
“Kau pikir aku tidak mual melihatmu?”
“Mana kutahu! Aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiran jahatmu!”
Laki-laki itu masih terus membalas ucapan Ryuuka dengan ejekan-ejekan yang tidak ada habisnya. Erol yang tidak ingin ikut campur pun memakan bekalnya sembari menonton drama kakak beradik tersebut. Dia juga sudah terbiasa melihat mereka bertengkar di mana pun dan kapan pun.
Tsukiyama Ryuuka, gadis berambut hitam panjang yang mengenakan dua jepit putih di bagian rambut sampingnya, merupakan kembaran dari laki-laki itu. Waktu kelahiran Ryuuka lebih lambat dari laki-laki tersebut, sehingga membuat Ryuuka mendapat gelar sebagai adik dari laki-laki berambut hitam dan berponi pendek itu, yang memiliki nama Tsukiyama Ryuuku.
Ryuuku dan Ryuuka lahir sebagai kembar tidak identik. Tidak hanya berbeda secara fisik, pola pikir mereka pun terkadang ‘tak sejalan. Bak sayur tanpa garam, akan terasa hambar apabila tidak ada perdebatan dan pertengkaran setiap harinya.
...***...
Suara pukulan bola yang di-smash dengan kuat, terdengar sampai keluar gimnasium. Langit sudah berubah menjadi gelap, tetapi kegiatan klub voli di SMA Hoshiro belum juga rampung. Ryuuku yang menerima smash itu, berusaha untuk memblokir bola tersebut dan berhasil.
“Kakak, kapan latihanmu selesai? Aku ingin makan!” ucap Ryuuka sembari memungut bola yang menggelinding di lantai.
“Sebentar lagi,” sahut Ryuuku dengan napas terengah. "Setelah ini, aku selesai!"
“Kau sudah mengulang kata-kata itu sampai dua puluh kali, lho,” ujar Erol yang berada di seberang Ryuuku.
Laki-laki yang melakukan smash tadi turut menimpali, “Arata benar, Ryuuku. Kalau kapten tahu kita belum pulang, dia pasti akan marah.”
“Kapten sudah pulang sedari tadi, jadi dia tidak akan tahu,” jawab Ryuuku, meyakinkan mereka.
“Siapa yang kau bilang tidak akan tahu?!” ujar seseorang dengan lantang dan tegas, yang menyebabkan keempat anak kelas satu itu terkejut.
“Kapten?!” ucap mereka serentak.
Hayashi Kintarou, siswa kelas tiga yang saat ini menjabat sebagai kapten di tim voli putra SMA Hoshiro. Air muka Kintarou sangat marah dengan dahi yang mengerut dan tatapan setajam pisau. Rambut pirangnya yang sedikit panjang, diikat sebagian ke belakang, membuatnya terlihat seperti ketua geng berandalan penguasa sekolah.
“Kalian berempat, cepat pulang sekarang!” bentak sang kapten.
“Baik!” sahut keempat remaja tersebut.
Mereka pun bahu-membahu membereskan gimnasium sebelum ditinggal pulang. Tentu saja aktivitas mereka tersebut diawasi oleh Kintarou yang masih berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan dilipat di dada.
Setelah semuanya selesai, Erol, Ryuuku, dan Ryuuka berpamitan dengan sang kapten dan salah satu teman mereka yang sudah membantu latihan hari ini. Rumah Erol searah dengan rumah Ryuuku dan Ryuuka, sehingga mereka sering pulang bersama setelah latihan atau sepulang sekolah.
“Padahal latihanku belum cukup hari ini,” keluh Ryuuku. “Aku harus membalaskan dendamku saat turnamen kemarin!”
Erol pun menanggapi, “Kau tidak bisa hanya memikirkan kepentingan pribadimu saja, Ryuuku. Ingat, ada Naoki yang turut membantu tadi. Dia bisa tewas kalau mengikuti kemauanmu.”
“Benar, kau juga tidak peduli kalau aku mati kelaparan,” celetuk Ryuuka yang berjalan di samping Ryuuku.
“Mana mungkin kau mati kelaparan! Aku tahu tadi kau makan roti melon saat aku latihan, ‘kan?” sahut Ryuuku. Mendengar hal itu, Ryuuka pura-pura tidak dengar seraya memalingkan wajahnya.
Gemas dengan respons Ryuuka, Ryuuku lantas merangkul leher Ryuuka dan menggosok kepalan tangannya ke kepala adiknya itu. Ryuuka pun mengaduh kesakitan, tetapi Ryuuku menulikan pendengarannya.
Seperti biasa, Erol hanya bisa tertawa geli melihat kelakuan anak kembar tersebut. Mau memisahkan mereka pun percuma, tidak akan bisa. Mereka akan berhenti, jika salah satu dari mereka mengalah atau merasa puas.
Di tengah tawanya, bahu Erol tiba-tiba disenggol oleh seseorang yang berjalan melewatinya. Erol pun menoleh untuk meminta maaf, tetapi dia amat terkejut ketika matanya beradu dengan pejalan kaki berpakaian serba hitam tersebut. Mata merah menyala itu seperti menghipnotis dirinya selama sekejap. Kulitnya yang pucat, serta senyumannya itu membuat Erol seketika merinding. Sampai pejalan kaki tersebut kembali melanjutkan langkahnya, Erol masih membeku dengan tatapan tertuju pada orang bermata merah itu.
“Arata!” panggil Ryuuku sembari memukul pundak Erol. Erol pun tersadar dengan wajah linglung ketika melihat sang kawan. “Kau kenapa?” tanya Ryuuku kemudian.
Erol menoleh lagi untuk melihat pejalan kaki tadi, tetapi sosoknya sudah menghilang. Dia pun mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok tersebut, tetapi nihil, hanya ada pejalan kaki lain yang berlalu lalang di sepanjang trotoar.
“Kau baik-baik saja, Arata?” Ryuuka bertanya memastikan.
“I-iya, aku baik-baik saja,” sahut Arata disertai dengan senyum tipis yang terpaksa. “Ayo, cepat kita pulang. Aku sudah lelah.”
Ryuuku dan Ryuuka pun hanya mengangguk dan kembali melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti.
Dia siapa ...? Mengapa ada di sini? batin Erol. Dia kemudian melihat ke arah Ryuuku dan Ryuuka yang melangkah di sampingnya.
“Ryuuku,” ujar Erol seraya menghentikan kedua kakinya.
Ryuuku pun menoleh, “Ada apa?”
“Bolehkah aku menginap di rumahmu malam ini?”
...***...
“Bolehkah aku menginap di rumahmu malam ini?” ucap Erol tiba-tiba.
“Huh?” Kedua anak kembar itu terkejut sekaligus bingung. Mereka terdiam beberapa detik, berusaha mencerna apa yang telah dikatakan oleh sang kawan.
Ryuuka kemudian bertanya, “Ada apa, Arata? Mengapa tiba-tiba sekali?”
“Aku hanya …” Erol menggantungkan ucapannya sembari menatap Ryuuka dan Ryuuku bergantian, “… nanti akan kuceritakan saat di rumah kalian.”
Ryuuku pun menyipitkan matanya, menaruh curiga kepada Erol yang seperti sedang menutupi sesuatu. “Kalau aku tidak memperbolehkan bagaimana?”
“Kau tidak akan pernah tahu alasanku ingin menginap,” sahut Erol, Ryuuku pun seketika terdiam. Pasalnya, dia juga penasaran dengan alasannya.
Setelah menatap tajam laki-laki berkacamata itu beberapa saat, Ryuuku kemudian mengambil ponselnya untuk menghubungi orang rumah kalau malam ini sang kawan akan menginap.
“Apa benar tidak terjadi sesuatu padamu? Tadi wajahmu terlihat ketakutan, lho,” ucap Ryuuka, memastikan.
Erol pun mengangguk dibarengi dengan lengkungan senyum kecil. “Aku baik-baik saja.”
Setelah mengakhiri panggilan teleponnya, Ryuuku lantas berujar, “Kau boleh menginap di rumahku.”
Napas lega akhirnya bisa Erol embuskan. Ucapan terima kasih pun keluar dari mulut laki-laki berambut abu-abu itu.
“Ingat, jangan macam-macam di rumahku! Jaga jarak dan pandanganmu dari Ryuuka atau kutendang kau keluar! Aku akan mengawasimu!” ucap laki-laki bertubuh tinggi itu sebelum melengos pergi sembari menggandeng Ryuuka.
...***...
Sesampainya di kediaman Tsukiyama, Erol disambut baik oleh orang tua Ryuuku dan Ryuuka. Tidak hanya orang tuanya saja, anjing peliharaan mereka pun turut senang dengan kehadiran Erol.
“Lupin!” ujar Erol sembari memeluk gemas anjing besar tersebut. Anjing yang serupa dengan serigala berambut abu-abu dan putih itu pun langsung menjilat Erol berulang kali sebagai bentuk kebahagiaannya.
“Mulai besok kau jadi peliharaan Arata saja,” ucap Ryuuku saat melewati mereka berdua. Seketika kuping anjing tersebut naik dan matanya membelalak terkejut. Lupin pun berlari ke arah Ryuuku dibarengi dengan gonggongan, lalu merengek setelahnya.
Ryuuka pun tidak mau ketinggalan melontarkan protes kepada Lupin karena tidak disambut sebahagia itu. Gonggongan serta rengekan Lupin semakin menjadi-jadi akibat ulah kedua anak kembar tersebut.
Erol mengulas senyum kecil selepas melihat kepergian anjing beserta majikannya tersebut. Dia kemudian dipersilakan untuk masuk ke dalam oleh seorang wanita bersuara lembut dan berwajah teduh. Dia adalah Tsukiyama Rui, seorang wanita berusia empat puluh tiga tahun itu sangat Erol hormati. Berkat dirinyalah Ryuuku dan Ryuuka bisa lahir ke dunia, sehingga membuat Erol tidak lagi kehilangan arah ditelan keputusasaan.
Masih dengan senyuman yang belum pudar, Erol pun membungkuk perlahan untuk mengucapkan terima kasih dan permintaan maaf karena sudah merepotkan. Wanita berambut hitam itu tertawa kecil, dan dengan halus meminta Erol untuk jangan terlalu sungkan.
Sebelum Erol melangkah masuk, tatapannya dialihkan kepada laki-laki bertubuh tinggi yang berdiri di samping Rui. Laki-laki berambut hitam dikucir kuda itu menatap Erol dengan tajam dari balik kacamatanya. Raut Erol seketika menjadi kaku, senyumannya pun hilang, sama seperti raut laki-laki itu.
Keempat mata yang memiliki iris serupa itu pun saling beradu. Tatapannya begitu intens, seolah mata mereka saling berbicara. Sepersekian detik berlalu, raut Erol kembali berubah. Diiringi dengan senyum tipisnya, Erol melangkah masuk mengikuti Rui.
Singkat waktu, makan malam telah usai. Tubuh mereka juga sudah bersih dari kotoran dan siap untuk beristirahat. Malam itu, Ryuuku harus berbagi tempat tidur dengan Erol. Ranjangnya cukup untuk ditiduri oleh dua orang remaja laki-laki, sehingga futon¹ tidak diperlukan untuk sementara.
Di dalam kamar yang didominasi warna kuning dan putih itu sudah dihuni oleh sang pemilik kamar, yang duduk di atas bean bag sembari memainkan ponselnya. Kaus putih longgar dengan celana hitam selutut menjadi pembalut tubuhnya untuk tidur. Sama seperti Ryuuku, Erol yang duduk di atas kursi belajar sembari membaca buku pun memakai pakaian yang sama, hanya warnanya saja yang terbalik. Dikarenakan kunjungannya kali ini terlalu mendadak, dia tidak membawa pakaian ganti, sehingga dirinya harus meminjam milik sang kawan, yang untung saja ukurannya pas, meskipun tubuh Ryuuku lebih tinggi lima senti darinya.
Tidak ketinggalan pula perempuan satu-satunya di dalam trio tersebut, yaitu Ryuuka. Gadis berpiyama biru pendek dengan motif bulan dan bintang itu tengah bersimpuh sembari memakan semangkuk popcorn di salah satu sisi meja persegi berkaki pendek.
“Ryuuka,” ujar Ryuuku tanpa berpaling dari ponselnya.
“Hm?” Ryuuka menoleh dengan mulut yang mengunyah olahan jagung tersebut.
“Aku tidak menyuruhmu kemari. Pergilah dan bawa makananmu.”
“Tidak mau. Aku belum mendengar alasan Arata yang mendadak ingin menginap. Kau juga pasti penasaran, bukan?” celetuk gadis itu, yang sukses membuat Ryuuku terkesiap.
“Oh, benar juga! Aku hampir lupa!” Dengan sigap Ryuuku mematikan ponselnya, lalu memutar posisi duduknya ke arah Erol yang masih berkutat dengan buku di tangannya. “Hei, kau bisa mendengar ucapan kami, ‘kan?” tanya Ryuuku kemudian.
Erol pun menutup bukunya dan menjawab, “Iya, aku bisa mendengarmu.”
“Kalau begitu, apa alasanmu ingin menginap tiba-tiba? Apa apartemenmu sedang bermasalah?” tanya Ryuuku.
“Tidak.” Erol menyahut sembari memutar kursinya. “Ada seseorang yang menguntitku.”
“Apa?!” ujar kedua anak kembar tersebut secara bersamaan. Erol hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.
“Sejak kapan? Mengapa dia melakukan itu? Apa kau punya masalah dengan orang lain?” sambar Ryuuku, penasaran.
“Atau kau sudah berbuat onar di sekolah lain tanpa kita ketahui?” Ryuuka pun menerka-nerka.
“Mungkin saja kau pernah mengajak duel sekolah lain, lalu mereka kalah dan tidak terima?” Kini, giliran Ryuuku yang menebak. “Tetapi siapa yang kau ajak? Tidak mungkin anggota tim dari sekolah kita, ‘kan?”
“Oh, atau jangan-jangan kau sudah merebut kekasih orang itu, sehingga dia ingin balas dendam?” celetuk Ryuuka.
Ryuuku sontak menoleh terkejut ke arah Erol. “Apa benar itu, Arata?!”
“Tidak. Aku merasa tidak pernah melakukan itu semua. Aku juga tidak tahu mengapa orang itu menguntitku,” jelas Erol. “Saat di jalan tadi, orang itu menabrakku. Aku tahu dari pakaian yang sering dia gunakan untuk menguntit.”
Ryuuka kemudian bertanya kembali, “Jadi, itu sebabnya tadi kau terlihat ketakutan?”
Erol mengangguk. “Aku tidak berani melaporkannya ke polisi karena aku takut orang itu akan melakukan sesuatu yang tidak kuinginkan.”
Ryuuku yang sedari tadi menyimak pun bertanya, “Apa dia tahu di mana kau tinggal?”
“Ya, dia tahu, dan sudah satu minggu dia menguntitku. Saat pertandingan pun aku melihat dia berada di bangku penonton,” sahut laki-laki berambut abu-abu tersebut, yang sontak membuat kedua anak kembar itu bergidik ngeri.
“Mengerikan sekali,” gumam Ryuuka. Wajahnya mendadak pucat setelah mendengar penjelasan Erol. Berbeda sekali dengan Erol yang justru tetap tenang, padahal bahaya tengah mengintainya.
“Kau harus segera melaporkannya, Arata! Ini sudah berbahaya! Atau kita tangkap saja bersama-sama baru kita serahkan ke polisi?” ujar Ryuuku. Dia kemudian bergumam, “Tetapi kita pukul dulu sedikit.”
“Itu juga berbahaya! Bagaimana kalau dia membawa senjata tajam?” balas sang adik. Dia lantas bertanya kepada Erol, “Kau sudah menceritakannya kepada pamanmu?”
Erol pun menggeleng. “Aku tidak mau membuatnya khawatir. Itu juga berlaku untuk orang tua kalian. Tolong jangan katakan apapun mengenai masalah ini.”
Ryuuku kemudian menyanggah. “Tidak! Kita harus mengatakan ini! Nyawamu sedang dalam bahaya, tahu!”
“Itu benar, Arata. Ini sudah termasuk ke dalam tindakan kejahatan. Entah apa yang nanti orang itu lakukan, kau harus tetap melaporkannya. Kau tidak perlu cemas, kami akan membantumu, benar, ‘kan?” Ryuuka pun menoleh ke arah Ryuuku dan disambut dengan anggukan setuju.
“Tetapi …—” Erol menghentikan ucapannya ketika tiba-tiba pintu kamar Ryuuku diketuk oleh seseorang. Terdengar dari suaranya, itu adalah Rui yang ingin memberikan sesuatu kepada mereka.
“Kebetulan sekali,” gumam Ryuuka saat bangun dari duduknya, hendak membukakan pintu.
“Ryuuka!” seru Erol. Dia kemudian menggeleng pelan dengan air muka memohon kepada gadis itu. Ryuuka pun bimbang, membuat dirinya ragu untuk melangkah. Di sisi lain, Rui yang sedang menunggu di luar, terus mengetuk dibarengi dengan memanggil nama mereka, meminta untuk segara dibukakan pintu.
Ryuuku yang tidak tahan dengan kebisingan ibunya itu pun berinisiatif untuk membukanya, sehingga membuat Erol terkejut sampai meneriaki namanya. Namun ‘tak disangka, Ryuuku hanya menerima baki yang berisi teko dan tiga buah cangkir keramik berwarna putih dengan ukiran emas, tanpa mengatakan apapun mengenai masalah yang dialami oleh Erol. Rui yang mengintip dari daun pintu hanya berpesan, untuk tidak tidur terlalu larut. Wanita itu lalu pergi setelah melemparkan senyum hangatnya.
“Apa yang kau takutkan?” ujar Ryuuku sembari menaruh baki tersebut.
“A-aku pikir, kau akan mengatakannya,” sahut Erol seraya turun dari kursi, kemudian duduk di sisi lain meja.
Ryuuku kemudian membalas, “Ini sudah malam, kita bisa membicarakannya besok sebelum berangkat latihan.”
“Aku setuju,” Ryuuka menimpali. Gadis itu kemudian menaruh cangkir beserta alasnya ke hadapan mereka, lalu menuang teh chamomile hangat dari teko tersebut. “Untuk sekarang, sebaiknya kau beristirahat saja dulu. Jangan terlalu dipikirkan masalah itu. Aku yakin, selama seminggu ini, kau tidak bisa tidur nyenyak, ‘kan?”
Erol terdiam dan hanya menatap secangkir teh di hadapannya. Benar yang dikatakan Ryuuka, dirinya tidak bisa tidur nyenyak karena begitu banyak pikiran yang berputar di kepalanya. Erol tidak menampik jika saat ini dirinya tengah ketakutan. Langkahnya sudah jauh, penantiannya sudah terlalu lama, rencananya tidak boleh gagal hanya karena takut.
Erol mengangkat kepalanya perlahan. Matanya menatap satu per satu kedua saudara kembar yang sedang meminum teh tersebut. Sama seperti dulu, di taman belakang mansion, di Gardena, mereka bertiga berkumpul ditemani secangkir teh di sore hari.
“Erol?”
“Aaron?” gumam Erol tanpa sadar.
“Apa? Kau bilang apa tadi?” ujar Ryuuku seraya mendekatkan telinganya ke bibir Erol.
Erol pun terkesiap. Jantungnya berdebar begitu kencang setelah tersadar dari lamunannya. Wajahnya tampak linglung sembari mengedarkan pandangannya. Ilusi dari masa lalu yang dilihatnya tadi, membuatnya tidak sadar, seperti terhipnotis oleh pikirannya sendiri.
“Kau baik-baik saja, Arata?” tanya Ryuuka, khawatir.
Erol menggeleng dan meminta izin untuk ke kamar mandi. Ryuuku dan Ryuuka yang kebingungan pun membiarkan saja laki-laki itu pergi. Mereka berdua lalu saling menatap, menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi pada temannya tersebut.
Setelah membasuh wajahnya, Erol menatap pantulan dirinya di depan cermin. Air mukanya agak kacau dengan bulir-bulir air yang meluncur bebas di wajahnya. Ketakutan yang melandanya saat ini, harus dia lawan bagaimanapun caranya. Dia tidak ingin lari dan bersembunyi lagi. Dia akan melawan seperti dulu, di Gardena, 600 tahun yang lalu.
Sementara itu, di kamar Ryuuku, kedua anak kembar itu tengah berusaha untuk membuka kelopak mata yang begitu berat. Entah mengapa, rasa kantuk yang luar biasa tiba-tiba menyerang mereka. Ryuuku yang sudah tidak mampu lagi membuka matanya pun tertidur di atas lantai dengan kaki yang berada di kolong meja. Ryuuka sendiri berusaha untuk bangkit dan pindah ke kamarnya. Akan tetapi, kesadarannya menghilang saat berada di ambang pintu. Beruntung, Erol yang kebetulan hendak masuk ke kamar, dapat menahan tubuh Ryuuka yang hampir terjatuh.
“Mereka sudah tidur?” gumam Erol. Matanya pun melirik Ryuuku yang sudah terlelap. Dia pun dapat bernapas lega, sebab kalau kakak dari gadis yang tengah dia gendong tersebut melihatnya, dapat dipastikan wajahnya babak belur malam ini.
Erol kemudian membaringkan Ryuuka di ranjang, lalu dia pun duduk di tepiannya. Beberapa saat dia menatap wajah gadis itu, begitu tenang di dalam kedamaian tidurnya.
Mengapa wajah mereka harus mirip? batin Erol dengan mata yang menyiratkan kesedihan.
“Tolong jaga Abigail ....”
Ingatan tersebut, kerap kali terlintas saat Erol melihat Ryuuka. Rasanya, dia ingin sekali terkena amnesia agar tidak teringat tentang kejadian itu. Kejadian yang membuatnya tersiksa sampai sekarang ....
“Erol,” ujar seseorang, yang sukses membuyarkan ingatan tersebut. Erol pun menoleh dan mendapati laki-laki tinggi berkucir kuda melangkah menghampirinya.
“Bagaimana dengan istri Anda, Tuan?” tanya Erol seraya bangkit dari duduknya.
“Rui sudah tidur,” sahut laki-laki itu.
“Baiklah kalau begitu.” Erol kemudian menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya dengan kencang sebelum memulai penjelasannya. “Saya bertemu vampir saat di perjalanan pulang tadi. Maka dari itu, saya kemari.”
Mendengar penjelasan singkat itu, raut laki-laki tersebut pun berubah. Wajahnya tampak tegang dengan dahi yang mengkerut. Belum sempat laki-laki itu menanggapi, Erol langsung melanjutkan ucapannya. “Saya akan menangkap vampir itu, Tuan.”
“Tetapi keadaanmu belum pulih, Erol,” ujar laki-laki itu dengan raut khawatir. “Biar aku saja yang menangkapnya.”
“Tidak, Anda di sini saja. Kemungkinan mereka juga akan mengintai rumah ini.” Erol menatap serius laki-laki itu. “Saya akan pergi sekarang. Permisi, Tuan Alois.” Dia kemudian melangkah pergi, meninggalkan laki-laki bernama Alois itu.
...***...
Note:
¹ Futon: perangkat tidur tradisional Jepang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!