"Salsa, kenapa kamu hanya mengurus anak orang lain? Ayah dan Bunda ingin kamu menikah dan memiliki anak sendiri," ucap Herman, lelaki paruh baya, berusia 50 tahun yang tidak lain adalah ayahku.
"Ayah, impian Salsa adalah memiliki sebuah yayasan untuk menampung anak-anak berbakat namun kekurangan biaya dan tidak mampu untuk bersekolah."
Dengan penuh semangat, aku menjelaskan kepada orang tuaku tentang apa yang menjadi keinginan hatiku.
Aku ingin anak-anak di kampungku mendapatkan pendidikan yang layak dan mengenyam pendidikan yang tinggi meski kami tinggal di desa terpencil.
"Tapi, Nak, usiamu sudah tidak lagi muda. Kamu sudah 27 tahun dan di kampung ini hanya kamu satu-satunya gadis yang belum menikah!" ucap Rina, ibuku yang terlihat sangat cantik walaupun keriput telah menghias wajah beliau.
Ya, aku sering menjadi bahan gunjingan orang-orang di kampungku karena di usia yang menjelang kepala tiga masih belum menikah. Aku terlalu sibuk mengurus anak-anak dan aku terlalu haus akan pendidikan, dan aku ingin mencerdaskan anak-anak di kampungku. Ya, aku ingin orang kampung seperti kami bisa mengenyam pendidikan yang layak, walaupun di sini pendidikan tidaklah terlalu penting apalagi untuk seorang wanita sepertiku.
"Sekolah apaan, buat makan sehari-hari saja susah." Kata-kata itu sering ke luar dari mulut orang tua di sini yang memang tidak paham tentang pentingnya pendidikan.
Beruntungnya aku, karena kedua orang tuaku mengizinkan aku untuk bersekolah sampai sarjana keguruan, walaupun dengan mengandalkan beasiswa.
"Itu si Salsa, anak Pak Herman dan Bu Rina, kuliah jauh-jauh ke kota dan menyandang gelar sarjana, tahu-tahunya balik ke kampung juga, kehidupannya tidak berubah, bahkan jadi perawan tua."
Sudah hapal di telingaku kata-kata gunjingan yang membuat panas telingaku. Namun, aku berbagai gunjingan itu tidak pernah ku pedulikan, karena aku percaya mereka yang menggunjing adalah mereka yang sebenarnya tidak punya kerjaan selain mengurus hidup orang lain. Dengan tekat bulat, aku juga berusaha untuk membuktikan kepada masyarakat di kampungku kalau pendidikan itu penting. Ya, walaupun jalanku tidak mudah, aku percaya setiap usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, pasti tidak akan sia-sia hasilnya.
Berbeda dengan kedua orang tuaku, hati beliau merasa sangat sakit dan terluka ketika putri semata wayang beliau dibicarakan.
"Sayang, Ayah dan Bunda akan mengizinkanmu membuka yayasan dan menjadi seorang guru ketika kamu telah menikah," ucap ayah dengan sejuta kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah beliau.
"Benar, Bunda setuju dengan Ayah, Nak. Ingat, Sayang, kamu adalah wanita, jadi kamu tidak perlu terlalu sibuk mengurus hidup orang lain. Kodrat kaum wanita adalah menjadi ibu rumah tangga dan tetap akan mengurus dapur juga!"
Nada suara bunda sedikit ditekan, berharap aku akan mengabulkan keinginan beliau.
Aku tahu, kedua orang tuaku merasa gelisah karena menikahkan anak perempuan adalah kewajiban beliau. Allah SWT berfirman dalam surat An Nur ayat 32 yang berbunyi:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya mu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
"Iya, Ayah, Bunda, nanti sore Salsa akan memperkenalkan calon suami Salsa," jelasku dengan rona wajah bahagia.
"Kamu serius, Nak?"
Bunda terlihat heran dan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.
"Iya, Bunda," jawabku untuk meyakinkan kedua orang tuaku.
"Baiklah, Ayah dan Bunda menunggu kedatangan calon suamimu itu," ujar ayah dengan wajah penuh harap.
"Kalau begitu, Ayah dan Bunda mau ke kebun untuk mengambil hasil kebun kita setelah itu ke pasar, mau belanja untuk menyambut calon menantu kita."
Rina terlihat bersemangat menunggu kedatangan calon menantunya.
"Ayah, Bunda, jangan berlebihan, toh ini belum lamaran," ucapku.
Kedua orang tuaku sepertinya terlalu bahagia, hingga beliau bergegas ke luar dari rumah kami.
Sementara aku, hal pertama yang kulakukan adalah membongkar lemari sederhana berbahan dasar kayu milikku, mencari pakaian terbaik yang kupunya yang akan aku kenakan sore ini.
Ya, sebagai seorang wanita, aku ingin terlihat cantik dan mempesona ketika bertemu dengan calon suamiku.
Dalam bahagiaku, aku bernyanyi dan bersenandung lagu-lagu rindu. Sungguh, hari ini aku merasa sangat senang, dengan hati yang berbunga-bunga.
“G E M P A ...!” teriakku dengan pekikan dan nada suara tinggi.
Dunia bergoyang sangat kencang hingga membuat kepalaku pusing. Dengan bergegas, aku segera berlari ke luar dari kamarku.
Tumpukan setrikaan yang menggunung sudah tidak lagi aku pedulikan.
Oleng!
Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu lagi bertahan. Sungguh, bumi berguncang sangat kuat. Aku seperti diayun dan dibuai dalam beberapa saat.
Dalam ketakutan dan kekhawatiran, aku kembali bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki. Aku berlari menjauhi bangunan-bangunan rumahku yang tinggi menjulang untuk menyelamatkan diriku.
Rasa panik dan ketakutan mendalam membuatku teringat akan kedua orang tuaku.
“Ayah, Bunda!” pekik ku.
Aku berjalan ke sana ke mari, mencari keberadaan kedua orang tuaku, namun tidak kudengar sahutan apapun dari kedua orang tuaku.
"Apakah Ayah dan Bunda belum pulang?" ucapku di dalam hati.
Dak ..., Dik ..., Duk ....
Jantung ini berdegup kencang, bukan karena jatuh cinta, namun ada ketakutan yang menyelimuti hati ini. Kekhawatiran tentang keberadaan dan keselamatan orang tua yang sampai saat ini belum kutemukan.
"Apakah Ayah dan Bunda baik-baik saja?" batinku.
Mataku tidak henti-hentinya menatap ke sana ke mari, mencari keberadaan kedua orang tuaku.
Setelah digoyang dan diayun selama lebih kurang 3 menit, gempa akhirnya berhenti.
"Alhamdulillah, akhirnya gempa berhenti juga," ucapku di dalam hati.
Dengan tubuh gemetar, kulangkahkan kembali kaki ini untuk mencari keberadaan kedua orang tuaku di sekeliling rumahku.
Nihil!
Aku tidak menemukan apa-apa.
"Apa Ayah dan Bunda masih di kebun ya?"
Tanpa fikir panjang lagi, aku berlari menuju kebunku yang berada di kaki gunung Talamau, sekitar 10 menit dari rumahku jika di tempuh dengan berjalan kaki.
Terpontang-panting, dengan nafas ngos-ngosan, aku terus berlari tanpa alas kaki.
Saat ini aku tidak lagi mempedulikan keselamatan ku, karena di dalam otakku hanya bertemu secepatnya dengan kedua orang tuaku.
Panik!
Rasa ketakutan semakin menghantuiku ketika melihat wajah orang-orang yang kutemui pucat dan risau. Mereka tengah berlari kian kemari seperti hilang arah dan tanpa tujuan.
“Ayah …, Bunda …! Ucapku terisak.
Air mata yang sedari tadi ku tahan akhirnya mengalir membasahi pipi bulat ku, aku teringat dengan keluargaku, ayah dan bundaku.
Perasaan berkecamuk menghantui fikiranku. Sejujurnya saat ini aku sangat takut teramat sangat takut hal buruk menimpa kedua orang tuaku.
”Salsa, sepertinya kedua orang tuamu saat ini masih berada di kebun," ucap salah seorang warga yang kutemui.
Terdengar olehku suara khawatir dan panik dalam setiap ucapan yang ke luar dari lisannya.
“Ter-terima kasih, Pak,” jawabku dengan suara bergetar.
Kembali kulangkahkan kakiku menuju kebun yang jaraknya tinggal separuh jalan lagi.
Namun, Bumi kembali bergoyang dan kali ini goyangannya lebih kencang dari pada yang sebelumnya.
"Astagfirullahalazim, Allahuakbar, Allahuakbar."
Berbagai macam lafaz zikir memuji Tuhan-ku.
"A-yah, Bun-da, Salsa takut ....!"
Aku menangis dan merintih sejadi-jadinya dengan tubuh yang saat ini tersungkur ke tanah.
Bruk ...!
Terdengar olehku seperti bongkahan batu besar tengah menggelinding dari puncak gunung Talamau.
"Allahuakbar ..., Allahuakbar!" ucapku keras.
Ku perhatikan banyak pohon-pohon tumbang dan batu-batu menggelinding, tanah gunung Talamau mengalami longsor. Dalam beberapa detik saja kulihat dengan mata kepalaku sendiri semua hancur, langit menangis, gunung mengamuk.
Sungguh, jika Tuhan telah berkata "Kun fayakun," semua akan terjadi.
Mataku yang awalnya melotot langsung terpejam, dengan air mata yang jatuh membasahi pipiku.
Hari ini adalah hari di mana aku akan memperkenalkan calon suamiku kepada kedua orang tuaku. Akan tetapi, semua berjalan tidak sesuai dengan yang ku harapkan. Bumi tempatku berpijak hancur lebur, berantakan.
"Bunda, Salsa ingin menyetrika baju yang akan kita pakai untuk pertemuan dengan Adrian, jadi Bunda dan Ayah santai saja dan jangan melakukan apa-apa," terngiang-ngiang olehku percakapan terakhirku dengan kedua orang tuaku sebelum beliau ke luar rumah.
"Masyaallah, anak Ayah dan Bunda terlihat benar-benar sangat bahagia karena nanti sore calon suaminya akan datang."
Suara ayah terdengar lembut dengan senyum manis yang tergambar di wajah tampan beliau. Wajah yang saat ini sudah penuh dengan keriput itu, tetap menggambarkan pesona malaikat bagiku.
Namun, entah mengapa perasaanku seperti tidak enak melihat senyum kedua orang tuaku. Keduanya seperti tengah menanggung beban yang teramat sangat, yang tidak bisa beliau ungkapkan kepadaku. Senyum itu malah terlihat seperti perpisahan.
"Ayah ..., Bunda ...!" Teriakku keras sembari mencoba bangkit.
Kakiku bergetar dan tidak lagi bertenaga untuk berdiri, namun keinginan keras untuk menemukan kedua orang tuaku membuat ku harus bangkit dan bangkit lagi untuk mencari kedua orang tuaku.
"Salsa akan secepatnya menemukan Ayah dan Bunda. Tolong tunggu Salsa!" ucapku di dalam hati sembari mencoba bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki.
"Ayah ..., Bunda ....!" Aku berteriak sekeras-kerasnya ketika sampai di kebunku yang saat ini telah rata dengan tanah longsor.
Fikiranku mulai melayang, aku takut kedua orang tuaku tertimbun tanah.
"Ya Allah, apa yang terjadi? Di mana Ayah dan Bunda hamba?" ucapku dalam isak tangisan.
Air mata terus mengalir membasahi pipi bulat ku, dengan dada yang terasa teramat sangat sesak.
Aku duduk bersila di tanah, sembari memukul-mukul dadaku. Teringat olehku senyum kedua orang tuaku yang terlihat sangat berbeda hari ini. Sungguh, terngiang-ngiang dalam ingatanku semua kata-kata dan nasehat yang beliau sampaikan. fikiranku melayang dan rasanya dada ini terasa semakin sesak, seluruh tubuhku menggigil.
Takut!
Sejujurnya aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini selain menangis sejadi-jadinya. Teringat olehku tentang harapan dari kedua orang tuaku, yang mengharapkan anak gadis semata wayangnya untuk menikah dan memiliki seorang imam yang akan membimbingku di dunia hingga ke surga. Ya, selama 27 tahun hidupku, aku belum bisa mewujudkan keinginan kedua orang tuaku. Aku belum bisa membahagiakan kedua orang tuaku, bahkan aku hanya menjadi beban untuk keduanya. Ya, bahkan impian sederhana beliau untuk memiliki cucu dariku belum bisa aku kabulkan.
Kini, penyesalan mulai muncul di dalam hatiku, aku takut sesuatu yang buruk terjadi kepada kedua orang tuaku, dan aku sangat takut tidak diberi kesempatan lagi oleh Tuhan untuk berbakti kepada kedua orang tuaku.
"Ayah, Bunda, hari ini Salsa akan mengenalkan calon suami Salsa, bukankah itu keinginan Ayah dan Bunda?" teriakku sangat lantang dan keras sembari meraung-raung dalam tangisan.
Namun, tidak ada yang mendengar dan menjawab teriakan ku selain gema dari pantulan suaraku sendiri.
Rasa menyesal, panik dan takut menghantuiku, bahkan hati kecilku mulai terusik ketika kulihat seorang anak yang berjalan tertatih-tatih sembari membawa orang tuanya yang sedang terluka parah, mungkin saja karena terhimpit sesuatu ketika gempa bumi melanda.
"Salsa, ayo bangkit! segera temukan Ayah dan Bundamu!" ucapku di dalam hati.
Dengan sisa-sisa tenaga, aku menguatkan diriku sendiri untuk bangkit dan berdiri, aku berlari sekencang yang ku bisa untuk kembali pulang dan meminta maaf kepada ayah dan bundaku. Dalam fikiranku mungkin saja saat ini kedua orang tuaku juga sudah di rumah dan sedang mencari ku juga.
“Ya Allah, izinkan aku menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuaku. Impianku adalah memiliki sebuah yayasan untuk anak-anak kurang mampu bersama suamiku. Dengan begitu aku bisa membuktikan kepada kedua orang tuaku dan semua orang kalau seorang wanita yang sudah menikah juga masih bisa berkarir membantu suaminya untuk mencerdaskan anak bangsa,” ucapku di dalam hati sembari menatap langit yang terlihat mendung.
Dalam perjalanan menuju rumah, langit biru dengan awan putih pun berubah menjadi hitam, hujan lebat membasahi bumi, petir menyambar-nyambar, seolah saat ini Tuhan sedang marah kepada kampungku.
"Salsa, apa yang kamu lakukan di sini? Ayo pergi!"
Kurasakan tangan seseorang menarik tanganku, entah siapa, karena saat ini tatapanku menjadi kabur.
"Salsa, Salsa!" teriakan lelaki itu menyadarkan ku.
"Lepaskan aku!" teriakku.
Aku menarik tanganku dari sosok seorang lelaki tampan yang tidak lain adalah Fatir, sahabat kecil sekaligus rekan kerjaku. Pria terbaik yang mendukung semua cita-citaku di saat semua orang memandang remeh.
"Salsa, kamu kenapa?"
Fatir terlihat heran dengan sikapku yang penuh dengan emosi dan amarah.
Bagaimana tidak, lelaki itu datang tiba-tiba dan menarik tanganku untuk pergi meninggalkan kebun ini tanpa meminta persetujuanku. Harusnya sebagai sahabatku, ia setidaknya menanyakan keadaan kedua orang tuaku dan membantuku mencari beliau.
"Fatir, tidak bisakah kamu membantuku mencari Ayah dan Bundaku?" teriakku dengan air mata yang jatuh menggenangi pipiku.
Ya, air mata kesedihan yang menyatu bersama hujan.
"Salsa, kedua orang tuamu mungkin saat ini telah berada di rumah dan sedang mencari mu juga!"
Penjelasan Fatir membuatku terdiam, hingga perasaanku menjadi lebih baik.
"Salsa, kita harus segera menyelamatkan diri dari sini!"
Tanpa meminta persetujuanku lagi, Fatir menarik tanganku dan membawaku berlari menuju kampung karena hujan semakin deras.
Dalam hujan, aku dan Fatir hanya terus berlari tanpa berkata apa-apa.
Mata kami hanya tertuju pada bangunan-bangunan sekitar kami yang sudah rata dengan tanah.
"Apa yang terjadi pada yayasan kita, Fatir?"
Seketika aku teringat dengan yayasan yang baru saja akan kubangun bersama Fatir.
Sebuah bangunan sederhana yang kami bangun dari hasil kerja keras dan jerih payah yang kami dapatkan dari mengajar les private anak-anak orang kaya di kampung tetangga. Sedikit demi sedikit uang itu kami kumpulkan dan kami setiap bulannya kami belikan ke bahan bangunan untuk membangun yayasan.
"Aku hanya ke rumahmu, belum sampai ke yayasan," jawab Fatir singkat dengan wajah yang terlihat menanggung banyak beban.
Kutatap wajah tampan yang selalu meneduhkan itu, kali ini terlihat berbeda dari biasanya.
"Apakah ada hal buruk yang terjadi?" batinku merasa tidak tenang.
Feeling ini mengatakan ada hal buruk yang terjadi, sesuatu yang disembunyikan oleh Fatir dariku.
"Fatir!"
Aku melepaskan genggaman tangan Fatir dan berhenti berjalan di sela-sela hujan.
Kutatap mata Fatir, namun lelaki itu menghindari tatapanku, dan di saat itulah aku tahu kalau lelaki yang ada di depanku itu tengah menyembunyikan sesuatu dariku.
Aku sangat mengenal Fatir, lelaki itu tidak pernah berbohong kepadaku. Namun, ketika lelaki itu diam, maka ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan.
"Fatir, tatap aku!"
Wajahku memerah dengan mata membelalak. Aku harus segera tahu apa yang sebenarnya di sembunyikan oleh Fatir.
"Salsa, Ayah dan Bunda sedang menunggumu sekarang."
Hanya itu kata-kata yang ke luar dari mulut Fatir, dengan wajah yang terlihat penuh dengan kerisauan dan sejuta tanda tanya.
Huft ....
Aku menarik nafas panjang, dengan detak jantung yang berdetak sangat hebat. Tanpa berkata-kata lagi, aku memasang kuda-kudaku dan berlari menuju rumahku.
Ya, hujan tidak menghalangiku untuk bisa segera sampai ke rumahku. Ada rasa was-was di hati ini, takut hal buruk terjadi kepada kedua orang tuaku, akan tetapi tidak ada yang bisa aku lakukan.
Menangis!
Kali ini air mataku menyatu bersama hujan.
"Aw, sakit!"
Dalam lari, aku terjatuh hingga lutut ku berdarah.
Perih!
Tentu saja luka bersatu bersama hujan ini semakin membuat kakiku sakit.
"Salsa, kamu kenapa?"
Dengan sigap Fatir menggendongku.
Dalam tangis dan hujan, aku pasrah!
Aku melingkarkan kedua tanganku di leher Fatir.
Kutatap wajah itu, wajah yang selalu meneduhkan dan menenangkan ketika aku menatapnya.
"Fatir, sebenarnya apa yang terjadi kepada Ayah dan Bunda?" ucapku dalam isak tangisan.
Fatir hanya diam membisu tanpa menatapku. Fokus Fatir saat ini adalah berjalan dan membawaku sampai ke kampung kami.
Kulihat bangunan-bangunan sudah rata dengan tanah, termasuk rumahku.
"Turunkan aku, Fatir!"
Dalam diam, Fatir menurunkan ku tepat di depan rumahku.
"Fatir, di mana Ayah dan Bunda?"
Tidak ada jawaban apa-apa dari Fatir kecuali diam membisu.
Sikap Fatir semakin membuatku curiga dan merasa tidak enak.
Dengan menarik nafas panjang, aku melangkahkan mengelilingi rumahku yang telah rata dengan tanah sembari memanggil-manggil kedua orang tuaku. Akan tetapi aku tidak menemukan siapa-siapa.
Kemudian kulangkahkan kakiku menuju lokasi yayasan yang jaraknya sekitar 5 menit dari rumahku, jika di tempuh dengan berjalan kaki.
"Salsa, tunggu!"
Teriakan Fatir tidak ku hiraukan.
"Astagfirullahalazim, Allahuakbar, Allahuakbar!"
Semua bangunan yayasan yang masih belum rampung itu rata dengan tanah.
Hidupku, masa depanku dan cita-citaku hancur berantakan.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Fatir?"
Aku menjatuhkan tubuhku ke bumi. Sungguh, rasanya aku tidak lagi mempunyai tenaga untuk berdiri ketika harapan yang kubangun dengan keringat dan air mata, sesuatu yang paling berharga yang aku punya habis dalam sekejab mata.
Aku hanya merindukan surga untuk anak-anak di kampungku, surga ilmu dan ladang amal bagiku. Namun, surga yang ku rindukan hancur dalam sekejab mata.
"Fa-tir ...! Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Aku menepuk-nepuk dadaku dengan kepalan tanganku, rasanya benar-benar sangat menyesakkan.
"Salsa, sudahlah! Kita masih bisa membangun yayasan setelah ini!" ujarku Fatir.
Lelaki tampan itu membantuku berdiri dan membawaku ke dalam pelukannya.
Pelukan hangat yang terasa sangat nyaman dan menenangkan. Setidaknya untuk sesaat kehadiran Fatir membuatku merasa lebih baik.
"Salsa, langit sudah gelap, kita harus segera mencari bantuan," ujar Fatir.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Ku menengadahkan wajahku sembari menatap Fatir yang saat ini masih memelukku.
Dalam hujan, air mata dan kesedihan ini sudah membaur menjadi satu.
"Sal, kita harus mendirikan sebuah tenda di kampung ini sampai bantuan datang," ucap Fatir.
Ya, Fatir adalah sosok pria yang memiliki jiwa sosial tinggi, relawan sejati yang bekerja tanpa lelah dan tanpa mengharapkan imbalan apa-apa.
"Aku, setuju."
Dengan suara lemah dan wajah tertunduk aku mendukung ide Fatir. Namun, hatiku masih merasa tidak tenang karena belum bertemu dengan kedua orang tuaku.
"Kamu memikirkan Ayah dan Bunda ya, Sal?"
Seolah pahan dengan kesedihan dan sesuatu yang mengganjal fikiranku saat ini.
Aku menatap dalam mata Fatir dan mengangguk.
"Sal, kamu tenang ya dan kamu banyak berdoa."
Fatir menepuk-nepuk dengan lembut pundakku. Sepertinya ia berusaha menenangkan hati dan perasaanku, namun bagaimana mungkin aku akan tenang jika aku belum melihat wajah kedua orang tuaku dalam keadaan baik-baik saja.
"Salsa, Ayah dan Bunda pasti baik-baik saja. Allah akan melindungi beliau."
Kata-kata yang ke luar dari lisan Fatir selalu menenangkanku, namun ada lagi keraguan di hati ini.
"Kenapa lagi, Salsa?" tanya Fatir.
Fatir menggenggam bahuku dengan kedua tangannya, kemudian menatap mataku dalam.
Untuk beberapa saat aku membalas tatapan itu, tatapan yang terlihat berbeda dari sebelum-sebelumnya
Dak ..., Dik ..., Duk ....
Jantungku berdetak hebat, hingga aku langsung memalingkan wajahku darinya.
"Debaran apa ini? Apakah ini kekhawatiran?" batinku.
"Fa-Fatir, apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Aku berusaha menghindari Fatir dan berjalan kian kemari di bawah hujan.
"Salsa!"
Ku rasakan tangan Fatir menggenggam tanganku, hingga tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain menghadapinya.
"Fatir, maafkan aku! Aku hanya tidak bisa berfikir jernih saat ini."
Sejujurnya hatiku berkecamuk, hati ini tengah mengkhawatirkan keselamatan kedua orang tuaku, sebagian hatiku kecewa karena aku gagal memperkenalkan calon suamiku kepada kedua orang tuaku, dan satu hal lagi yang membuatku kikuk, hatiku tiba-tiba berdebar ketika menatap Fatir.
"Salsa, jika yang kamu khawatirkan saat ini adalah pertemuan mu dengan Adrian, maka kamu ingatlah bahwa perkara rezeki, maut dan jodoh telah diatur oleh Allah di lauh mahfudz jauh sebelum manusia terlahir ke dunia," ucap Fatir dengan nada suara lebih tinggi dari sebelumnya.
Fatir memang lelaki sahabat terbaik yang selalu menasehati ku, tapi kali ini nasehatnya terdengar berbeda dari biasanya.
"Sudahlah, Fatir, kita jangan berdebat lagi! Yang perlu kita lakukan sekarang adalah mengambil terpal di antara reruntuhan bangunan ini dan membawanya ke lapangan bola," ujarku.
Aku berjalan dan mencari sesuatu yang bisa diselamatkan dan kulihat Fatir menurut dan melakukan hal yang sama denganku. Setelah itu, kami berjalan menuju sebuah lapangan yang lokasinya tidak terlalu jauh dari yayasan. Lapangan yang biasanya digunakan oleh warga di kampungku untuk bermain bola atau berbagai macam kegiatan sosial lainnya.
Aku dan Fatir berfikir untuk mendirikan tenda dan menggiring semua warga terutama anak-anak ke sana sampai bala bantuan datang.
"Sal, kita harus cepat!"
Dalam hujan aku dan Fatir bergegas mendirikan tenda.
Terlihat juga beberapa orang warga mulai berdatangan mendekati dan membantu kami mendirikan tenda.
"Sepertinya listrik juga mati, kita semua basah kuyup dan bahan makanan juga tidak ada," ucap salah seorang warga yang terlihat sangat pucat dan kedinginan.
"Fatir, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!