Anna menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, bergelung layaknya janin dalam rahim. Suhu tubuhnya mencapai 39° celcius, bisa dikatakan ia sedang demam dan flu.
Bukan karena tidak cocok dengan suhu di daerah Singapura, memang sejak tadi ia merasa demam. Namun, karena tak ingin mengecewakan seseorang, ia terpaksa datang dalam kondisi begini.
Tadi Yerin sudah memberinya parasetamol yang menyebabkan rasa kantuk. Makanya, ia meninggalkan pesta dan tidur di kamar yang disediakan di dalam kapal pesiar mewah ini, dengan riasan dan gaun yang masih terpasang di tubuhnya.
Dalam beberapa detik, ia langsung terlelap. Lalu, tak lama kemudian pintu kamarnya terbuka. Seseorang dengan langkah gontai masuk, kemudian menghampiri ranjang.
Anna tidak menyadarinya, bahkan mendengar derap langkah sepatu saja tidak. Dan kini, seseorang itu menghempaskan diri di ranjang, menghela napas sambil bergumam dan melonggarkan dasi.
"Panas ... panas...."
Aneh, pendingin udara dalam keadaan menyala, tetapi pria asing itu malah mengeluh kepanasan. Bahkan, dia sampai membuka seluruh pakaiannya dan membuangnya asal. Namun, rasa panas itu tidak reda, malah semakin menggila.
Sesaat kemudian, ia mendongak, melirik sosok wanita yang sedang membelakanginya dengan mata nanar. Bibirnya melengkungkan senyum, lalu perlahan merayap ke arah wanita itu dan mendekapnya.
"Sayang, kau di sini? Aku pikir kau tidak akan datang," bisik di telinga Anna yang masih terlelap.
Dengan lembut, pria itu menghelanya ke hadapannya. Ia mengelus pipi, menyibakkan rambut, menatap seluruh wajahnya lamat-lamat, hingga tatapan itu berhenti di bibir ranum Anna.
Detik-detik kemudian, bibir merah muda itu dikecup, mel*matnya dengan lembut bagai marshmalow yang manis. Pria itu mengubah posisinya, menindih tubuh Anna di atasnya, kemudian menciumnya lagi.
Anna merasakan hal yang ganjil. Entah ini mimpi atau bukan, tetapi ciuman itu rasanya nyata. Matanya dibuka perlahan, kemudian terbelalak begitu melihat seorang pria berada di atasnya.
Anna spontan memberontak, mendorong tubuh pria itu. Dalam cahaya remang, ia mencoba meraba rupa pria yang telah dalam keadaan tanpa busana itu.
"Siapa kau?" tanyanya menjerit geram sekaligus takut.
Pria itu tidak menjawab, malah tersenyum, lalu kembali mencium Anna. Tentu saja Anna memberontak, tetapi pria itu dengan cepat menyergap kedua tangannya.
Dasi biru yang ada di dekatnya, lantas diraih oleh pria itu. Kemudian, kedua tangan Anna diikat dan diletakkan di atas kepalanya.
"Lepaskan! Jangan!" jerit Anna lagi.
Pria itu kembali melakukan aksinya. Ciumannya kini mengarah pada leher gadis itu. Anna mendesis tetapi masih sempat menjerit dan meronta.
"Kurang ajar! Hentikan!"
Dalam keadaan seperti itu, pria asing itu sembari menurunkan resleting gaunnya, dan menyingkapkannya sampai ke perut. Lalu, ia membuka bra, dan melemparkannya ke lantai. Sebuah ciuman mendarat di dadanya, dengan sedikit remasan yang lembut yang membuat bibir Anna tanpa sadar mengeluarkan *******.
Tak berhenti di situ, tangan pria itu sibuk meraba seluruh tubuhnya, mencari area sensitif milik Anna. Gadis itu terkejut, kakinya bergerak gelisah, berusaha menghentikan perbuatan pria itu.
"Jangan! Saya mohon...."
Seberapa keras Anna menjerit, tidak ada satu pun yang mendengarnya. Sebab, semua orang sedang berada di dek kapal, menyaksikan kembang api yang menghiasi langit malam Singapura, yang dentumannya sangat kencang.
Anna tercengang mendengar dentuman itu, kemudian air mata putus asa mengalir di ujung matanya. Tak ada yang bisa menyelamatkannya, kini hanya pasrah.
Setelah puas menggerayangi tubuh Anna, gerakan pria itu terhenti sejenak. Anna merasakan kaki pria itu tengah melebarkan kedua kakinya, kemudian ia merasakan sebuah benda menghentak keras di area sensitifnya.
"Sakit...." Anna meringis.
Pria itu semakin kuat menghentakannya, tak peduli keluh kesakitan dan isak tangis Anna yang semakin jadi. Anna merasa tak sanggup lagi, rasanya ingin pingsan. Pria itu akhirnya berhasil merobek selaput daranya.
Hening sejenak, Anna dan pria itu saling mengatur napas. Darah keperawanan mengalir, Anna memejamkan matanya erat. Kesuciannya telah terenggut.
"Papa, Mama, maafkan aku," gumamnya dalam hati.
Selama 27 tahun, Anna menjaga mahkota kesuciannya dari para pria penggoda yang mencoba merenggutnya. Namun, pertahanannya goyah, dan pria ini yang mengambilnya.
Anna menyesal telah pergi ke sini, dan semua kebohongan yang pernah dilakukannya pada pria yang mencoba mendekatinya. Ia sangat menyesal, terutama pada orangtuanya.
Detik berikutnya berlalu, pria itu kembali menggerakkan tubuhnya. Perih dan sakit yang dirasakan ditahan oleh Anna, membiarkan pria itu menggaulinya sampai puas.
Namun, terkadang ia merasa khawatir. Walaupun baru pertama kalinya Anna berhubungan badan dengan pria itu, tetap saja ia takut kehamilan akan terjadi. Bukankah itu wajar? Apalagi, saat ini ia sedang mengalami masa subur.
...***...
Dua bulan sebelumnya
Mungkin terlambat 5 menit sudah biasa. Bagaimana kalau terlambat sampai 30 menit?
Anna melirik arlojinya, tersenyum setelah memarkirkan mobil sedan Ayla-nya di tempat parkir. Lalu, ia keluar, memeriksa penampilannya di kaca spion.
"Cantik," gumamnya sembari tersenyum.
Kaki mulus nan putihnya melangkah ke dalam restoran cepat saji yang cukup ramai pada malam Rabu ini. Ia berdiri sejenak di depan pintu, tersenyum sinis pada seorang pria yang sedang duduk di meja dekat jendela.
"Kasihan. Pasti udah nunggu lama," gumamnya, lantas kembali melangkahkan kakinya.
Ya, Anna akan bertemu dengan seseorang. Pria berpakaian cukup rapi dan cukup tampan dengan kemeja biru muda yang lengannya di gulung hampir mencapai siku, lalu dipadukan dengan celana bahan warna hitam.
"Lumayan," puji Anna dalam hati.
Melihat seorang wanita cantik berdiri di hadapannya, pria itu sontak berdiri. Ia membalas senyum Anna yang memesona, lalu mengulurkan tangan dengan gugup
"Anna, ya?"
"Iya. Kamu Adam?" tanya Anna, lalu menarik tangannya, setelah dirasa cukup berjabat tangannya dengan pria itu.
"Silakan duduk," kata pria itu sopan, mempersilakan Anna.
"Terima kasih," kata Anna sambil duduk. "Maaf, ya, aku terlambat."
Ketika mengucapkan hal itu, Anna bukan sekadar meletakkan tasnya, tetapi sambil melihat reaksi pria itu. Sepertinya, Adam tampak kurang senang, walaupun ditutupi dengan senyum paksanya.
"Nggak apa-apa," jawab Adam. "Hari ini, jalanan memang sedang macet, makanya kamu datang terlambat. Aku maklumin."
"Hari ini nggak macet kok," sahut Anna menyela cepat, nada bicaranya terdengar menjengkelkan. "Ya, tahulah. Perempuan itu harus tampil cantik, apalagi buat ketemu sama cowok. Makanya, kalau aku dandan agak lama sedikit."
Anna sudah menebak dari raut wajah pria itu. Ia benar-benar berhasil membuatnya jengkel! Ia yakin, pria itu pasti memaki-maki di dalam hati seperti ini:
"Perempuan macam apa yang membuatku menunggu lama hanya karena berdandan?"
Anna terkikik di dalam hati jika membayangkannya.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Adam berganti topik.
"Em ... aku lagi diet. Jadi, aku pesan ayam plus nasi 2, beef burger 3. Spaghetti kayaknya enak? Pesan 2. Minumannya cola dan lemon tea." Setelah mengatakan semua itu, Anna tersenyum simpul.
Adam melongo, tapi akhirnya beranjak dari tempatnya untuk memesan semua menu yang disebutkan oleh Anna.
"Itu yang disebut diet? Ini cewek atau raksasa sih?" gerutu pria itu ketika sudah jauh dari meja yang mereka tempati.
Anna menjalin jemarinya, lalu meletakkannya di atas meja. "Oke. Sekarang kita lihat, bagaimana reaksinya nanti?"
Hidangan sudah ada di meja, Anna tersenyum senang. Oke, ia mulai dari ayam plus nasi dulu! Ia langsung menyantapnya, sampai tak mengacuhkan pria yang sedang menatapnya dengan aneh.
"Eh, maaf. Kalau aku lagi makan, suka lupa situasi," kata Anna, menyeringai malu. "Ayo, dimakan dong makanannya."
Adam mengangguk tersenyum segan. "Eh, iya."
Tunggu, ini bukan acara makan-makan. Mereka sedang ingin melakukan PDKT. Tentunya, harus ada obrolan. Makanya, Adam memulai suatu pembicaraan selagi Anna makan.
"Kapan kamu sampai di Jakarta?"
Pertanyaan apa itu? gerutu Anna di dalam hati. Bukannya dia sudah tahu dari tante Asti? Oh, ia mengerti. Lagi mencoba akrab rupanya.
"Sudah seminggu," jawab Anna, lalu dengan sengaja menjilat tangannya. Dan yang lebih parah lagi, ia bersendawa, sehingga Adam mengernyit jijik. "Ups! Maaf, ya."
Adam tersenyum paksa. "Jadi, apakah kamu akan kerja lagi di sini?"
Ekspresi Anna dingin dalam beberapa detik, lalu tersenyum lagi. "Terpaksa. Sebenarnya, aku malas kerja lagi. Toh, perempuan kerjanya hanya di dapur, mengurus anak dan suami. Uang akan terus mengalir dari suamiku. Tinggal menegadahkan tangan seperti ini," lalu, ia mengulurkan telapak tangannya ke hadapan Adam, "aku tetap akan punya uang."
Anna menunduk, seolah sedang mengorek serpihan daging yang masih menempel di tulang ayam. Tapi, diam-diam sambil melirik pria itu.
Coba kita lihat, reaksi seperti apa yang ditunjukkan oleh Adam, setelah mengetahui bahwa wanita yang akan dinikahinya adalah seorang pemalas.
"Ya, memang seharusnya seorang istri begitu—fokus mengurusi suami dan anaknya. Ya, 'kan?" jawab Adam sambil tersenyum lebar.
Anna memiringkan kepala. Rupanya, Adam masih berupaya bertahan. Ia tahu arti senyuman itu. Sangat palsu! Ia yakin, Adam sebenarnya sudah cukup gerah dengannya.
Tidak apa. Mari kita coba tahap selanjutnya.
"Kan kamu udah tanya soal aku," kata Anna, menatap dengan wajah polosnya. "Sekarang, giliran aku yang tanya."
"Silakan. Apa yang mau kamu ketahui tentang aku?" ujar Adam.
Soal pekerjaan, pertanyaan yang biasa. Anna akan langsung to the point untuk mendapatkan jackpot yang diincarnya sejak tadi.
"Kenapa kamu mau dijodohkan sama aku?" tanyanya sambil meraih tisu, lalu mengelap tangannya. "Tampang kamu lumayan, umur juga nggak terlalu tua. Pasti bisa dong cari cewek yang pas dan kamu suka di luar sana? Ya, 'kan?"
Adam tidak perlu pikir panjang untuk menjawabnya. Seulas senyuman terkembang di bibir. "Karena aku ingin coba dulu."
Anna meminum lemon tea sambil mendengarkan, tatapannya berubah dingin seketika.
"Mencoba?" tanyanya sambil meletakkan gelas ke meja.
"Mamaku dengar dari Tante Asti, katanya kamu rajin, sukses, dan cantik."
"Oh, begitu?" timpal Anna, tersenyum sinis. "Tante Asti kalau cerita berlebihan banget."
Adam tertawa kecil.
"Terus, apalagi yang Tante Asti ceritakan tentang aku?"
"Em ..." Mata Adam melirik ke atas, berpikir. "Katanya kamu penurut, rajin shalat. Menurutku sempurna banget."
Pujian yang berlebihan, Bung! Bahkan Anna muak mendengarnya.
Anna terkekeh. "Tante Asti seharusnya kerja di bagian marketing—bisa aja promosiin aku kayak gitu. Padahal, aku nggak kayak gitu."
"Maksudnya?" tanya Adam, tertegun.
"Ya, aku ini sebenarnya pemalas," jawab Anna, agak berbisik. "Alim? Oh, tidak, tidak. Aku memang sering bawa mukena, tapi sesampainya di masjid, aku main HP. Habisnya, itu cara aku buat istirahat di jam kerja."
Ding dong! Sepertinya Adam syok sekali. Makin lebarlah senyuman Anna. Ayo, Adam. Seberapa kebal kamu dekat-dekat dengan perempuan tak sesempurna seperti yang kamu bayangkan?
Adam salah tingkah, sehingga bingung mau berkata apalagi. Dalam beberapa saat, entah mungkin sudah berapa banyak air yang diminumnya, ia terdiam. Anna berpikir, perlukah menyerangnya lagi?
"Anna," panggil Adam, membuat Anna memfokuskan pandangannya. "Kalau soal itu tidak masalah. Karena saya sudah suka sama kamu. Kamu pasti bakal berubah nantinya."
Sial! Apa harus pakai rencana selanjutnya? Jemari Anna disatukan membentuk kepalan yang sangat kuat. Tatapannya dingin, tapi sulit terbaca. Di dalam hati berkecambuk kemarahan yang diredam.
"Benar, kamu mau menerima aku apa adanya?" tanya Anna kemudian, bicaranya melunak.
"Iyalah," sahut Adam.
"Walaupun aku tua, jelek, keriput, mungkin juga gendut setelah melahirkan?"
Kali ini, Adam agak lama menjawab, lalu mengangguk ragu.
"Dan Walaupun aku sudah tidak perawan lagi?" tanya Anna, senyumannya berubah misterius.
Adam mendelik. "Tidak perawan lagi?" gumamnya terlihat syok.
"Iya. Sebenarnya, aku udah nggak perawan lagi," sahut Anna. "Aku pernah dengar dari seseorang: 'jika kamu cantik, manfaatkan kecantikan itu!' Aku sadar, aku cuma pegawai rendahan yang suka berfoya-foya. Jadi, aku memanfaatkan kecantikanku dengan menjadi simpanan bosku."
Adam melongo, ucapan Anna membungkamnya.
Anna menghela napas. "Tujuh puluh juta, tidak ada orang yang sanggup mengeluarkan mahar sebanyak itu. Makanya, aku merelakan tubuhku pada bosku agar mendapatkan uang itu."
"Dasar wanita murahan!" Anna menebak, ucapan itulah yang dikatakan dalam hati Adam. Bom yang dilemparkannya tepat mengenai Adam. Pria itu menunduk, mengernyit seperti sedang berpikir. Dia jadi salah tingkah, berpura-pura melirik arlojinya.
Tak perlu mencoba membuat alasan Mas Adam. Dia terselamatkan oleh telepon masuk dari ponsel Anna.
"Halo? Iya, Pak? Bapak kangen sama saya?" kata Anna, diam-diam melirik Adam sambil tersenyum sinis. "Oke, Bapak jemput saya ke sini, ya. Nanti saya share lokasi saya."
"Em ... kamu mau pulang?" tanya Adam ragu.
"Nggak. Bos saya mau datang ke sini," jawab Anna, lalu tersenyum lebar.
"Oh," kata Adam kecewa. "Kalau begitu, saya pulang duluan, ya."
"Hmm ..." jawab Anna acuh tak acuh sambil memainkan ponsel. "Oh, iya. Makasih udah dibayarin makanannya."
"Iya." Adam tersenyum kecut, lalu berbalik pergi dari hadapan Anna.
Yakin pria itu sudah keluar dari restoran, Anna melirik, lalu meletakkan ponselnya. Ia tersenyum menang karena misinya sukses.
"Mbak!" serunya sambil melambaikan tangan pada seorang pegawai restoran ini.
Ketika perempuan berseragam merah itu menghampiri, ia berkata, "Tolong, semua makanan ini dibungkus, ya."[]
Anna tersenyum menuju mobilnya sambil menenteng kantong plastik putih berisi makanan.
Sukses besar! Berhasil lagi mengagalkan perjodohan yang dilakukan mama dan tantenya. Entah sudah berapa kali mereka berusaha mengenalkannya dengan pria bodoh yang tak bisa diandalkan sebagai suami. Dan Adam adalah pria paling payah, dari sekian pria yang dijodohkan untuknya.
Ponselnya berbunyi, ia tertegun. Nama yang tertera di layar membuat hatinya semakin senang. "Ranti?" gumamnya, tersenyum riang. Lalu, ia mengangkat teleponnya. "Halo, Ranti?"
"Halo, An," sahut seorang wanita di seberang sana. Kemudian, terdengar suara bayi yang sedang menangis.
"Dito bangun tuh!" seru Anna, "Ladenin dulu deh!"
"Sebentar-sebentar. Jangan ditutup dulu," kata Ranti buru-buru, sepertinya meletakkan ponselnya dulu, baru menghampiri anaknya.
Sementara itu, Anna berjalan menuju mobilnya terparkir. Tatapan seorang pria membuatnya risi. Pasti karena gaun ketat yang dipakainya, makanya pria itu tergoda. Uh, dasar mesum!
Kini, Anna sudah sampai di depan mobil dan akan membuka pintunya. Lalu, terdengar sahutan dari Ranti.
"Halo, An. Kamu lagi di mana?"
"Kencan buta di resto," jawab Anna, agak berbisik sambil duduk di kursi pengemudi.
"Dijodohin lagi?" tanya Ranti sedikit agak berseru. "Nggak ada bosen-bosennya, ya, tante sama mama kamu?
"Ya, gitu deh," timpal Anna santai. "Tahu sendiri, mama pengin aku cepat-cepat menikah."
"Terus, gimana?" tanya Ranti, terdengar antusias jika mendengar cerita kencan buta sahabatnya itu. "Cocok nggak sama kamu?"
"Nggak," sahut Anna cepat. Dan sebelum Ranti bertanya soal hal umum, ia lebih dulu menjawab, "Kalau dibilang tampan, nggak. Tapi dia lumayan mapan. Mama aku bilang, dia punya 3 toko di Pasar Tanah Abang."
"Seriusan?" seru Ranti. "Wah, kamu bakal jadi tajir mendadak nih?"
Anna terkekeh sembari menghidupkan mesin mobil. "Berlebihan deh! Tapi, Ran. Sayangnya, dia nggak lulus tes."
Tes? Awalnya Ranti mengernyit bingung, tapi kini ia mulai mengerti. Apalagi, setelah mengingat sesuatu. "Oh. Pantes tadi waktu aku telepon, kamu panggil aku 'pak'. Jadi, kamu sedang menjahili dia?" ujarnya agak berseru, kemudian tertawa kecil.
"Yap!" sahut Anna riang. "Dan aku berhasil! Mentalnya payah banget."
"Aduh, ada-ada saja kerjaan kamu. Mama kamu bakal marah lagi nanti," tegur Ranti, mulai ribut lagi ala ibu-ibu komplek.
Anna terkekeh. "Kamu nggak usah khawatirin aku. Urusin aja baby Dito. Soal mama aku, gampang lah cara memadamkan amarahnya."
Ranti hanya bisa menghela napas. Susah memang ngomongin cewek yang hidupnya "semau gue". Apa dia tidak ingat umur? Mau sampai kapan melajang, Sis?
"Eh, ngomong-ngomong. Kamu masih di resto?" Capek menasihati Anna yang tidak akan didengarnya, jadinya Ranti mengalihkan topik.
"Lagi di mobil," jawab Anna. "Nggak bagus kan kalau naik mobil sambil menelepon?"
Walau begitu, Ranti suka dengan sifat bijak Anna yang datangnya kadang-kadang.
"Ya, udah. Nanti aja telepon aku lagi. Mending kamu pulang deh!." sarannya.
"Siap!" Anna menyahuti, lalu menyudahi berteleponan ria dengan ibu muda beranak satu itu.
Akan tetapi, naru saja ia akan menghidupkan mesim mobil, ponselnya berdering lagi. Ia berdecak. "Siapa sih yang telepon?"
Setelah melihat nama adik perempuannya yang tertera di layar, diangkatnya telepon itu. "Iya. Ada apa, Sya?"
"Kak, ini aku Adnan."
Anna mengernyit heran, lalu melihat layar ponselnya. "Mana kakak kamu? Kok kamu yang angkat?"
Bocah itu terkekeh. "Emang aku yang telepon. Habisnya, kakak nggak pernah angkat telepon dari aku."
Ih! Malas juga Anna mengangkat telepon darinya. Soalnya, adik bungsunya itu suka minta yang macam-macam padanya.
"Dan sekarang, aku juga akan tutup teleponnya—"
"Eh ... jangan dong, Kak!" sahut Adnan cepat. "Ini penting nih."
Anna menghela napas, menyerah. "Ya, udah cepetan mau ngomong apa?"
"Kakak masih di resto MC?"
"Iya, kenapa emang?"
"Beliin aku chicken sandwich itu dong?" pinta Adnan memelas.
Sudah Anna duga! Menjengkelkan sekali nih anak! "Aku udah bungkusin beef burger double cheese nih," decak Anna.
"Iih, tapi aku maunya yang itu. Burger-nya buat kak Tasya aja." Adnan bersikeras. "Ayolah, Kak. Beliin, ya. Kakak cantik, baik, nggak pelit lagi. Pokoknya, Kak Anna paling best deh!"
Kalau sudah maunya aja, keluar deh jurus maut basi yang sudah tidak mempan lagi bagi kakak-kakaknya. Adnan ini pasti susah dibujuk, tapi malah orang lain yang dia bujuk untuk menuruti keinginannya. Dasar!
"Anak siapa sih kamu?" Anna menggerutu pelan. "Iya deh, kakak beliin." Yah, dengan terpaksa ia mengatakan hal itu.
Sorak riang mengakhiri telepon itu. Anna keluar dari mobil dengan sedikit kesal, yang akhirnya kalah karena rasa sayang ke adik bungsunya itu.
Terpaksa balik lagi ke sana hanya untuk membeli makanan pesanan adiknya. Namun, baru saja ia akan menyentuh gagang pintu, seorang pria membuka pintu restoran dari dalam. Ia terkejut sekejab, lalu bergeser ketika pria berbadan tinggi itu melintas di depannya.
Anna menoleh sebentar pada pria itu, kemudian masuk ke dalam restoran. Kemudian, tiba-tiba ia berpapasan dengan seorang wanita yang sedang berseru memanggil seseorang sambil terisak. Tanpa bisa dihindari, ia bertabrakan dengan gadis itu.
Gadis itu terkejut, lalu berkata sambil menundukkan kepala, "Eh, maaf."
"I ... iya. Nggak apa-apa kok," balas Anna, kikuk.
Setelah itu, gadis tadi berlari keluar. Mungkin, mengejar pria itu? Pasalnya, Anna melihat raut wajah pria tadi dalam keadaan marah. Sepertinya, mereka sedang bertengkar.
Begini nih, hal yang tidak disukai oleh Anna dalam berpacaran. Bertengkar memang biasa. Tapi kalau sama pasangan yang ribet dan egois, cuma capek hati, stress, dan lainnya. Makanya, menurutnya enaknya menjomblo.
Entah, berapa lama ia berdiri di sana sambil bergumam sendiri di dalam hati dan menatap pasangan itu lenyap dari pandangan. Lalu tiba-tiba, Anna terkesiap. "Eh, kenapa malah ngurusin orang sih?" gerutunya.
Ia akan kembali melangkah, tetapi tak sengaja ia menoleh ke bawah dan menemukan sesuatu. Iapun jongkok, mengulurkan tangan untuk mengambil benda itu, yang ternyata adalah sebuah kalung emas putih liontin batu rubi berbentuk hati.
"Punya siapa ini ...?" Kemudian, ia mendelik. "Jangan-jangan punya mbak yang tadi?"
Anna bergegas berlari keluar, berharap menemukan perempuan yang menabraknya tadi. Bagaimanapun juga, ia harus mengembalikan benda ini. Namun, sia-sia, wanita itu tidak ada di manapun setelah ia mencari di sekitar restoran.
Anna menatap kalung itu, berpikir sejenak. "Apa aku laporkan aja manager restoran, ya? Siapa tahu, si pemilik kalung mencarinya."
Hal yang seharusnya memang ia lakukan. Tanpa buang waktu, ia kembali ke restoran. Lantas, ia menghampiri salah satu pelayan yang sedang membersihkan meja bekas pengunjung yang makan.
"Maaf, Mbak. Boleh saya bertemu dengan manager restoran ini?" ujar Anna, begitu sopan.
"Memangnya, ada keperluan apa, ya, Mbak?" tanya si pelayan, yang berhenti sejenak dari pekerjaannya.
"Em ... begini. Saya ada keperluan dengan beliau. Apa bisa saya bertemu dengannya?"
Pelayan itu tak perlu banyak berpikir ataupun pengin tahu soal urusan yang dimaksud Anna. Maka, ia mengijinkan, lalu membawa Anna ke ruangan manager sambil membawa nampan kotor.
Di ruangan itu, Anna bertatap muka dengan seorang wanita berperawakan kurus dan kecil, memakai seragam rapi layaknya pegawai kantoran. Senyuman menyambut kedatangan Anna, dia berdiri, lantas mempersilakan dia duduk dengan sopan.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya wanita itu. Anna hampir saja berburuk sangka padanya karena menilai wanita itu tidak ramah jika dilihat dari rupanya.
"Begini, Bu. Nama saya, Anna. Saya menemukan kalung ini di depan pintu masuk," kata Anna, meletakkan kalung temuannya di atas meja.
Wanita itu mengambilnya dan memperhatikannya, sementara Anna menjelaskan. "Saya rasa, pemiliknya itu adalah wanita yang menabrak saya di pintu masuk. Tapi sewaktu saya ingin mengembalikannya, dia sudah tidak ada. Jadi, kalau pemilik ini mencarinya, tolong hubungi saya."
"Em ... baiklah, saya mengerti," kata wanita itu sambil menganggukkan kepala.
"Dan ini." Anna mengeluarkan sebuah kartu nama dari sebuah dompet kecil berwarna biru muda, yang kemudian diberikan pada wanita itu. "Kartu nama saya. Ada nomor handphone saya di sana."
Tanpa banyak tanya, manager tadi menerima kartu nama itu. Urusan sudah selesai, Anna pun beranjak dari kursi dan berpamitan dengan wanita itu. Namun, ia tak langsung pulang karena harus membeli pesanan Adnan dulu.
🍀
"Wah," kata Tasya, terpesona melihat kalung yang Anna temukan. Lalu, gadis itu menoleh pada kakaknya, dan bertanya, "Pasti kalungnya mahal?"
Anna menaikkan kedua bahunya. "Kayaknya, sih," jawabnya sangsi. "Makanya, kalungnya aku yang simpan. Takutnya, mereka malah menjual kalungnya."
"Hem ... segitu skeptisnya kakak sama orang?" komentar Tasya sambil memangku bantal guling yang tadi diraihnya.
"Di jaman sekarang ini, sulit bisa percaya sama orang," timpal Anna.
"Jadi, Kakak nggak pernah percaya sama aku dong?" sahut Tasya, niatnya cuma mau jahil.
"Itu lain cerita, Sya."
Tasya mengangguk, puas dengan jawaban Anna. "Terus, mau Kakak apakan tuh kalung, kalau pemiliknya nggak nyariin?"
Anna memandang kalung yang ada di dalam genggamannya, termenung mencari jawaban. Lalu, ia berucap lirih, "Nggak tahu deh. Mungkin mau aku gadaikan buat beli HP baru."
"Yeeee!" seru Tasya sambil menepuk pelan lengan Anna. "Punya orang tauk!"
"Biarin. Kan kata kamu kalo orangnya nggak nyariin."
"Ya ... kalo ini kalung emas putih benaran. Kalau imitasi, gimana?"
"Ya, aku pake dong," sahut Anna, jail.
.
.
.
Anna tiduran di kamar, termenung sambil menatap laman e-mail yang kosong oleh pesan baru.
"Apa aku ditolak, ya?" gumam Anna kecewa, lalu menghela napas dan meletakkan ponselnya di ranjang.
Disandarkan kepalanya di atas bantal, tubuhnya dalam posisi tengkurap, lalu kemudian termenung memikirkan sesuatu.
Sudah sepuluh hari di Jakarta, menganggur, jadi kaum rebahan—" Ia terhenyak, lalu sekonyong-konyong beranjak dari pembaringan. "Oh, iya. Kalung!"
Anna memeriksa ponselnya, mencari pesan atau telepon masuk yang tak disadarinya seharian ini.
Nihil. Hanya telepon dari nomer yang ada di kontaknya, dan pesan yang kebanyakan dikirim oleh operator.
"Nggak ada. Apa orang itu nggak nyariin?" gumamnya menduga. "Atau jangan-jangan, ini kalung palsu?"
Selang sedetik kemudian, sebuah notifikasi masuk. Sebuah e-mail!
Anna langsung menyambar ponselnya, dengan riang dan penuh harap, membuka pesan itu. Benar, dari perusahaan yang ia ajukan lamarannya sebelum ia kembali dari Singapura.
Dibacanya pesan itu. Lama-lama, senyumnya terkembang lebar. "Yes! Aku diterima kerja!" serunya senang.
Kemudian, ia mendengar suara gaduh seperti teriakan dari lantai bawah. "Anna! Anna! Turun! Mama mau ngomong!"
Ia mengernyit dan bergumam, "Mama ngapain panggil-panggil aku?"
Anna menghampiri pintu, hendak turun ke bawah. Namun, baru akan membukanya, tiba-tiba pintunya diketuk. Lantas, ia membuka pintu, dan muncullah Tasya yang ekspresinya tampak cemas.
"Kenapa kamu, Sya?" tanya Anna, mengernyit heran.
"Kak, gawat! Mama marah besar sama Kakak," kata Tasya setengah berbisik, terlihat bergidik ngeri.
Anna termenung, cemas. Bakal kena omel lagi kayaknya.[]
Area perkantoran yang ramai seperti biasa. Para pegawai telah sibuk mengerjakan pekerjaannya masing-masing di mejanya. Namun, ada seorang gadis cantik begitu asyik memulas make-up di wajahnya.
Ia melirik, melihat seorang pria tengah lewat di depannya. "Feri!" serunya memanggil pria itu.
Feri mendecak, terpaksa berhenti dan berbalik, padahal tadi ia sudah mempercepat langkahnya untuk menghindari gadis itu.
"Iya, ada apa?" tanyanya, terpaksa sopan, ketika sampai di meja gadis itu.
"Tuh berkas mau diantarkan ke ruangan bos, 'kan?" tanya gadis itu, melirik map biru yang dipegang Feri. "Aku yang antarkan, ya?"
Huh, pasti mau modus dekati si bos. Bukannya semua orang sudah tahu bahwa bos mereka itu sudah memiliki calon tunangan? Tidak, Feri tidak akan membiarkannya.
"Nggak, biar aku aja."
Baru saja Feri selangkah pergi, gadis itu buru-buru beranjak mengejarnya sembari berseru, "Feri, tunggu dulu! Kok kamu gitu sih? Aku kan cuma mau bantuin kamu aja. Kamu lagi banyak kerjaan, 'kan? Pekerjaan receh kayak gini biar aku yang lakukan," bujuknya sambil berusaha meraih berkas yang ada di tangan Feri.
Feri melirik tangan itu, dan buru-buru menjauhkan berkasnya seraya menukas, "Emangnya kamu lagi nggak ada kerjaan?"
Gadis itu langsung menyahut, "Nggak, pekerjaan aku udah beres kok."
Ternyata, beberapa karyawan yang bekerja di dekat meja gadis itu mendengar percakapannya dengan Feri. Lalu, seorang gadis berkacamata berceletuk:
"Cin, data yang kemarin aku suruh revisi udah selesai kamu kerjain?"
Gadis yang bernama Cindy itu terhenyak, sementara Feri dan karyawan lainnya diam-diam tersenyum geli. Perlahan, ia melirik, lalu berpura-pura belagak pilon sambil kembali duduk ke tempatnya.
"Oh, iya! Saya lupa. Ya, saya akan segera kerjakan," katanya menahan kesal, memutar tubuhnya ke arah layar komputer dan berpura- pura mengetik di atas papan keyboard.
Akhirnya, terbebas juga dari wanita itu. Feri bisa tenang pergi ke ruangan direktur, terbebas dari omelan bosnya karena pernah membiarkan Cindy menggodanya dengan modus seperti tadi.
Sesampainya di depan kantor, Feri mengetuk pintunya dan berseru, "Pak, ini saya Feri."
"Silakan masuk!" sahut seseorang di dalam ruangan.
Masuklah Feri ke dalam ruangan, menghampiri meja kerja seorang pria berparas rupawan dengan kulit putih khas Asia Timur, dan mata sipitnya yang tajam tapi mempesona.
"Pak, ini proposal dari PT Simera, yang ingin mengajukan kerja samanya dengan kita," kata Feri, meletakkan berkas itu di atas mejanya.
Sang direktur tampan sedang sibuk menulis sesuatu di atas sebuah berkas, hanya mendengarkan Feri, lalu berkata dengan nada datar, "Letakkan saja, nanti saya baca."
"Baik, Pak."
Ponsel yang ada di meja direktur berdering, Feri pun melirik. Namun, bosnya tak mengindahkannya, hanya melirik sekejab.
Feri mengernyit, bertanya-tanya dalam hati: "Kenapa teleponnya tidak diangkat?"
Menyadari Feri masih belum beranjak dari tempatnya, pria itu menoleh padanya dengan tatapan menusuk. "Ada apa lagi? Kenapa masih di sini?"
Mendapati tatapan seperti itu, Feri terhenyak. "Maaf, Pak. Saya permisi." Ia bergegas pergi terbirit-birit dari tempat itu.
Bertepatan dengan pintu tertutup, suara dering ponsel berhenti. Pria itu melirik sekejab ke arah ponselnya, lalu kembali tenang melanjutkan pekerjaannya.
Sayangnya, ketenangan itu hanya sementara karena ponsel kembali berdering. Secepat kilat, pria itu menyambar ponselnya, lalu melemparkannya ke pintu yang sedang dibuka dari luar oleh seseorang.
Untungnya, belum sempat ponsel itu membentur pintu, karena seseorang yang masuk ke dalam ruangannya dengan spontan menangkapnya.
"Aduh, gila! Hampir aja kenapa jidat aku," seru pria itu, setengah berseloroh, setengah gugup.
Dia adalah Kenan, sahabat dari pria itu. Berbeda dengannya, Kenan tipe pria murah senyum dan santai, tapi serius jika sedang bekerja.
"Kok dibuang?" tanya Kenan seraya menghampiri meja pria itu dan melihat layar ponsel itu. Setelah melihat nama penelepon, Kenan mengerti dan tersenyum. "Oh, dari Nina."
Kenan menghela napas, duduk di kursi yang ada di depan meja kerja sang direktur. Ponsel itu diletakkan di meja, lalu ia berkata, "Berantem, putus, balik lagi. Huh! Apa nggak capek?"
Sindiran yang membuat telinga pria itu panas. Namun, dia bersikap acuh tak acuh, terus menulis, seakan tak merasa apa pun.
"Ada urusan apa ke sini?" tanyanya dingin.
"Pengin jenguk sahabat tersayang dan mengajak kamu makan siang," jawab Kenan.
Pria itu diam saja sejenak, jemarinya berhenti menulis. Pena berujung runcing itu diletakkan di sebuah kotak yang berisi banyak alat tulis. "Udah cukur, tuh, jenggot? Aku tidak berselera makan karena melihat jenggotmu itu."
Kenan tertawa kecil, bahkan sengaja mengelus bulu-bulu halus yang tumbuh di sekita pipi dan dagunya. "Tapi, aku tampan kalau pakai ini."
"Kau mirip pria Arab yang suka wara-wiri di TV. Hanya tinggal pakai gamis dan sorban saja," komentar pria bernama Logan itu, tajam.
Alih-alih tersinggung, Kenan justru tertDireawa keras. "Ya! Aku sempat berpikir untuk jadi ulama nanti."
Selalu saja menyahutinya dengan ucapan ngaco. Logan malas menimpali. "Kau makan saja sendiri, aku masih sibuk."
"Sibuk galau?" sindir Kenan. Tentu saja, ia tak percaya pada alasan kosong itu.
Logan menoleh, melemparkan tatapan tajam dan garang seperti elang pemangsa. Namun, hal itu tidak mempan bagi Kenan. Pria itu justru menanggapinya dengan santai.
"Ah, baiklah! Baiklah!" gumam Kenan, dengan terpaksa beranjak dari kursinya. "Aku pergi. Tapi, jangan lupa makan siang, ya?"
Tidak ada reaksi dari Logan, selain menatap Kenan sampai sosoknya menghilang di balik pintu. Setelah itu, Logan menghela tubuhnya pada punggung kursi, bersandar sambil memijat keningnya.
Klik! Notifikasi pesan masuk membuatnya melirik sejenak. Namun, ia memilih mengabaikan, dan malah memejamkan mata.
🍀
Pipi Anna menggembung, lalu menghela udara yang terperangkap di dalamnya. Ia duduk di sofa yang ada di ruang tamu, menunduk sambil memainkan jemarinya. Di hadapannya, mama dan ayah sedang duduk menatapnya. Sesekali, Anna melirik ke arah sang ibu yang alisnya tampak bertaut tajam.
Sebentar lagi, di malam ini, keganasan mamanya akan terlihat. Dan sasarannya adalah Anna, yang membuat masalah dengan rencananya pada Adam waktu itu.
Pertanyaan dimulai oleh ayah, dengan penuh kesabaran. "Anna, benar kamu sudah tidak perawan?"
Anna mendongak. "Aku masih 100% perawan kok," sahutnya cepat.
"Terus, kenapa kamu bilang kalau kamu sudah tidak perawan sama Adam?" Mama menimpali kemudian, tak dapat menahan amarah.
Dasar cowok rese! Gerutu Anna di dalam hati, gusar, sambil melirik ke arah lain. "Aku cuma mengetes dia aja kok, Ma," jawabnya setelah itu.
"TES?!" seru mama, matanya menyalang tajam, membuat Anna terhenyak. "Kamu pikir, Adam sedang mengikuti ujian PNS, sampai kamu uji begitu?"
"Anggap aja begitu," sahut Anna menaikkan kedua bahunya, bicaranya enteng. "Ma, untuk mendapatkan seorang suami yang berkualitas, tentu ada tesnya. Ya, termasuk yang tadi itu. Apakah Adam akan terus cinta sama Anna, kalau Anna udah nggak perawan?"
Jawaban yang malah membuat kemarahan mamanya semakin dobel. "Tes macam apa itu? Pantas aja semua orang yang tante kamu kenalkan pada menyerah. Kamu malah bilang begitu ke mereka?"
"Iya," jawab Anna disertai anggukkan. "Ya, aku lihat ... semua cowok cuma lihat kecantikan aku aja, aku nggak pernah lihat ketulusan mereka."
Ayah menepuk keningnya, mama menghela napas, sedangkan Tasya menatap kakaknya dengan heran.
"Iya, tapi nama kamu jadi tercemar karena tindakan kamu," kata ayah.
Lebih tepatnya nama keluarga Anna. Cowok sialan itu buat Anna susah!
"Ayah tenang aja," kata Anna, tatapannya berubah misterius. "Anna akan urus semuanya."
🍀
Cinta itu berat. Kalau sudah sakit hati, maka sulit dilupakan. Kata orang, rokok dan alkohol obat terbaik untuk menghilangkan sejenak semua beban di hati. Maka, itulah yang dilakukan oleh pria itu.
Logan menghisap dalam-dalam rokoknya, lalu menghela asapnya di dalam ruangan yang jendelanya dibiarkan terbuka. Ia melamun, lalu menoleh pada bingkai foto yang ia telungkupkan di atas meja.
"Lima tahun aku mencintainya. Apa dia tidak bisa mengalah sedikit buat aku?" ratapnya, menatap ke langit-langit ruangan sambil termenung.
Sebatang demi sebatang rokok telah habis dihisapnya, menyisakan bungkusan yang kemudian dibuangnya ke tempat sampah. Beberapa saat kemudian, ia beranjak dari kursi, berjalan keluar dari ruangan menuju dapur.
Ting-tong.
Ia berhenti melangkah karena mendengar suara itu dari arah pintu masuk rumah. Entah siapa yang bertamu malam-malam begini ke rumahnya. Namun, ia tetap membukakan pintunya.
Seorang gadis tersenyum getir muncul dari balik pintu yang dibukanya. Ekspresi Logan mendadak dingin.
"Logan, boleh kita bicara?" pinta gadis itu, suaranya agak pelan.
"Apa kamu nggak tahu malu? Kita sudah putus," kata Logan, sebisa mungkin menahan rasa geramnya.
Gadis itu langsung meraih tangan Logan, memasang wajah memelas dan mulai terisak. "Please, Logan. Beri aku kesempatan. Aku mau menikah sama kamu."
Logan memiringkan kepala, senyum sinis terkembang kemudian. "Kenapa tiba-tiba berubah pikiran begini? Apa urat malu kamu sudah putus?"
Ia tahu Logan sangat sinis pada orang lain, tapi tak pernah padanya. Gadis itu mendelik mendengarnya, seolah-olah dikejutkan oleh rasa sakit yang menghantam dadanya.
"Logan. Terserah kamu mau mengatakan apa pun," balasnya terisak. "Tapi, aku ingin mempertahankan hubungan kita karena aku mencintaimu."
Mungkin, Logan pria yang paling lemah. Kata "cinta" menyihir hatinya menjadi luluh. Ekspresinya tak lagi dingin. Jujur, ia juga masih mencintai gadis itu.
"Nina," katanya, setelah menghela napas panjang. "Kamu yang menolakku. Kamu bilang, kamu masih ingin melanjutkan karier sebagai pianis."
"Maaf, Logan," tukas Nina, semakin terisak. "Aku sudah berpikir soal ucapanmu waktu itu. Dan menurutku itu memang benar. Pernikahan kita tidak akan mempengaruhi karierku. Aku menyukai piano dan musik klasik, tapi aku lebih mencintaimu dan tak ingin kehilanganmu."
Logan mengernyit, mulai ragu. Dan di saat itulah, Nina memanfaatkannya dengan menggenggam erat tangan pria itu, menatapnya dengan lembut dan membelai pipinya.
"Aku janji, ini terakhir kalinya aku mengecewakanmu," ucapnya lirih.
Cinta ini masih menggebu. Senyuman Nina menghempaskan keraguannya untuk menerima permintaan maaf Nina. Ia mengangguk, lalu berkata, "Baiklah. Kita balikkan."
Sangking senangnya, Nina memeluk Logan yang awalnya terkejut, lalu merasa bahagia, sama halnya seperti Nina.
"Logan, kamu merokok, ya?" tanya Nina, setelah melepaskan pelukan dan mengendus aroma tembakau dari helaan napas Logan. Nina tersenyum simpul. "Ya, sudah tidak apa-apa. Tapi ini terakhir kali, ya. Aku tidak mau kamu merokok lagi."
Logan mengangguk, tersenyum. Kemudian, lengannya mendekap bahu Nina, akan mengajaknya ke dalam rumah.
"Yuk, masuk...."
Pria itu berhenti dan tertegun, begitu melihat leher putih Nina tanpa dihiasi apa pun. "Nina, mana kalung kamu?" tanyanya.
"Ah!" Nina sontak memegang lehernya. "Iya, maaf. Waktu itu kalungnya hilang. Aku tidak tahu hilang di mana," jawabnya, lalu memasang wajah memelas. "Maaf, ya, Sayang."
Logan menghela napas. Masalahnya, ini bukan soal harga, tapi kalung itu sangat berarti bagi hubungannya dengan Nina. Sebuah hadiah pertama yang diberikan Logan, ketika mereka mulai menjalin kasih.
"Sudahlah. Yang hilang, biarkan saja hilang. Nanti, akan aku belikan yang baru," kata Logan.
"Nggak usahlah, Sayang. Mending, kamu beliin aku cincin," kata Nina, lemah lembut dan penuh perhatian sambil mengamit lengan Logan. "Dua minggu lagi, aku mau ke Inggris untuk mulai latihan lomba. Aku berpikir, bagaimana kalau kita tunangan sebelum aku pergi ke London?"[]
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!