Apa yang harus aku lakukan jika ternyata aku adalah pemilik kekuatan terkuat di dunia?
Semuanya bermula dari ketika itu. Di kamar kontrakan 3x4 meter yang berantakan dan pengap, aku lupa kapan terakhir kali membereskannya. Jam dinding dengan kacanya yang pecah dan tampak berdebu menunjukan pukul 23:29 mendekati tengah malam.
Aku yang baru saja merebahkan badan sebab kelelahan setelah seharian bertarung dengan nasib yang pelik tanpa sadar tertidur begitu saja di malam itu.
Lalu ketika aku kembali membuka mata dengan kondisi yang belum sepenuhnya sadar, aku merasakan hangat cahaya matahari, di langit terlihat barisan awan putih bersih seperti dalam lukisan, serta angin lembut yang mengusap wajahku.
Rasanya begitu tenang dan damai, dan sesekali terdengar suara pekik elang di kejauhan. Aroma padang rumput yang segar sejenak membuat aku lupa keras dan angkuhnya kehidupan.
Sebelum kemudian aku tiba-tiba menyadari tempat itu terasa asing. Apakah di bumi masih ada tempat yang belum terkontaminasi polusi? Tanyaku dalam hati.
Sebentar kemudian aku menoleh ke sekitar sebelum kembali memejamkan mataku yang masih sayu. Sedetik, dua detik, kemudian menit, setelahnya entah berapa waktu yang telah berlalu, mataku seolah enggan tertidur lagi.
Maka kembali kubuka mata, lalu perlahan bangkit. Sekali lagi menatap sekitar sembari merenggangkan sendi-sendi tubuhku yang masih terasa kaku.
Hijau padang rumput di bawah langit luas, begitu bebas dan lepas, suasana pemandangan yang belum pernah kurasakan sebab melulu terjebak di bising rutinitas ramai kota, kota dengan kerumunan yang terburu-buru seolah selalu ketinggalan dan mengejar sesuatu. Kota yang sesak wajah-wajah lesuh di antara wajah-wajah angkuh. Kota yang bising dengan deru mesin-mesin. Kota yang mempermainkan nasib sekian juta orang miskin.
Aku percaya bahwa aku sedang bermimpi, mimpi yang indah dan sunyi. Kurentangkan kedua tanganku, kuhirup dalam-dalam kesegaran itu dengan perlahan. Kunikmati tiap hirupan dan hembusan udara segar yang masuk dan keluar dari paru-paru.
Setelahnya lambat laun segalanya mulai terasa tak nyaman. Waktu berjalan lamban dan kian membosankan. Lalu hari pun kian tinggi, panas matahari semakin terik, pekik elang telah lama tak terdengar lagi. Aku mulai merasa gerah dan kepanasan.
Rasa jenuh pun semakin terasa, aku kian gelisah, tak ada sesuatu yang terjadi dan tak ada siapa pun. Hanya aku di padang rumput yang luas, mulai merasakan kesepian. Aku berjalan, berlari, berteriak dan terbaring sendirian, waktu terasa makin panjang dan lengang.
Aku pun dan terus menyusuri padang rumput yang seolah tanpa akhir, mungkin ada sesuatu atau seseorang, pikirku. Hingga hari pun berlalu. Rasa lapar dan lelah menyerang tubuhku. Semua keindahan dan kesegaran sebelumnya telah lama memudar, berganti gusar.
Tubuhku mulai gemetar karena haus dan lapar. Lelah bercampur resah. Mimpi yang aneh mulai terasa seolah nyata.
Begitulah awal mula ketika aku terbangun di sini, di mana hal-hal yang tak masuk akal dan klise terjadi.
Lalu tepat pada hari ke empat, ketika aku meringkuk sakit perut setelah mengunyah rumput, tiba-tiba seorang gadis jatuh dari angkasa dan menimpaku.
Gadis itu mendarat tepat di atasku. Matanya bulat merah darah, rambutnya yang juga berwarna merah darah terurai sepinggang bergoyang tertiup angin. Kulitnya putih pucat dengan bibir mungil yang menggemaskan. Dan sepasang sayap hitam membentang, mengepak di punggungnya.
“Akhirnya, akhirnya hamba menemukan tuan” Ucapnya dengan suara bergetar, tiba-tiba. Lalu secepat kilat ia memeluk tubuhku yang terbaring tak berdaya, sangat erat.
Sementara tumpukan daging kenyal di dadanya menempel tepat di perutku yang ‘kriuk’, juga aroma rambutnya yang has segera menghadirkan sensasi aneh bagi tubuh dan otakku.
Sebagai lelaki normal, apa pun jenisnya, ia adalah seorang perempuan yang tampak cantik. Maka dengan segera bagian lain paling sensitif di tubuhku bangkit, menciptakan rasa gelisah, sebab terusik keberadaannya.
Apakah benda itu masih bertenaga? Ah!
Sementara aku resah dan sibuk dengan pikiranku sendiri, perempuan itu tiba-tiba bangkit dan segera bersujud di sampingku.
“Maafkan kelancangan hamba tuan… maafkan..”
Masih dengan kondisi terbaring lemas, aku menepis kemesuman yang sedang menyerang otakku.
Kemudian aku perlahan berdiri dengan tenaga yang masih tersisa sembari merasa nyeri di bagian punggung dan pangkal paha setelah tertimpa tubuh perempuan yang datang entah dari mana itu.
Sejenak kemudian aku menatap perempuan yang masih bersujud di hadapanku itu “Bisa kau buka bajumu? Ah, bukan. Maksudku…” Entah ada apa dengan otakku ketika itu.
Sebelum sempat aku menyelesaikan kata-kataku “Apa pun perintah anda, tuan” Perempuan itu segera bangkit, lalu ia dengan cepat menarik ujung bawah gaunnya yang berwarna hitam tanpa lengan itu, kemudian mulai menyingkapnya ke atas.
“Berhenti…!” Pintaku cepat sembari memalingkan pandangan ketika gaunnya itu tersingkap hingga pusar di perutnya yang putih pucat.
Ah sial, dia menggunakan penutup dalam bawah, merah muda bergambar panda. Meski sekilas, aku dapat mengingatnya itu dengan benar. Sungguh logika dan nafsu memang tak bisa bersatu!
“Tuan tidak tertarik dengan hamba?” Tanyanya kemudian dengan malu -malu, kulit wajahnya yang putih pucat menjadi kemerahan. Itu tampak aneh.
“Tentu saja aku tertarik, ah, maksudku, kau menggoda” Apa yang baru saja aku saksikan masih terbayang. “Duh, maaf, bisa kau bangunkan aku?”
“Bangunkan?” Perempuan itu sedikit memiringkan kepalanya lalu kembali bicara “Tuan terlihat kurus dan berantakan, apa yang terjadi selama ini pada tuan? Ah, apa maksud tuan tadi bangunkan di bagian… hem..” ia malu-malu menatap bagian bawah perutku.
“Kau punya makanan?” Segera aku mengalihkan pembicaraan yang semakin, mungkin sebenarnya aku inginkan andai saja aku masih punya tenaga tersisa.
Tapi ini tidak normal, seorang perempuan berkulit putih pucat dan memiliki sayap? Tentu saja hal-hal seperti itu hanya ada di alam mimpi. Aku meyakinkan diri.
“Tuan lapar? Sebaiknya kita segera kembali. Semua orang telah mencari tuan, semua orang menunggu kedatangan tuan…” Ucapnya cepat sembari menanggalkan pedang di pinggangnya, kemudian melangkah mendekatiku.
“Apa yang kau laku…”
Sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, perempuan itu telah berlutut tepat di depanku dan bicara dengan cepat “Pedang ini merindukan pemiliknya” sembari menyodorkan sebilah pedang bergangang ukiran kepala singa dengan taring panjang berwarna keemasan.
Sementara itu aku terdiam ragu untuk menyentuh pedang tersebut. Perempuan itu kembali bicara setelah melihat aku yang hanya diam “Ah, maafkan hamba tuan…”
Tiba-tiba ia maju ke depan, melingkarkan tangannya di pinggangku, sesaat kemudian pedang itu telah tergantung di sisi kiri pinggangku seolah aku seorang kesatria.
Tapi di sisi lain, dengan posisi yang sedemikian, kepala perempuan berkulit putih pucat itu tepat berada di ‘sana’.
Aku mendongak ke atas berpura-pura tidak terjadi apa pun, seolah tak merasakan apa-apa. Sebenarnya ketika itu aliran darah di tubuhku menjadi lebih cepat, dadaku rasanya berat dan terbakar, menanggung sesuatu yang berkobar.
Aku tak ingat kapan terakhir kalinya aku membelai seorang wanita. Sial! Mungkin sebentar lagi aku akan berkarat dan terkapar.
Setelah itu perempuan tersebut kembali berdiri dan bicara “Tuan, sepertinya ada serangga bergerak di dalam celana tuan, tepat di sana” Ia menunjuk di ‘sana’ itu dengan jarinya yang ramping “Haruskah hamba membunuhnya?” dengan polosnya.
“Ahk!” Wajahku pasti memerah. “Tolong abaikan..”
“Kita harus segera kembali, tuan” Ucap perempuan itu lagi, lalu dengan cepat meraih tanganku, kemudian dengan cepat ia mengibaskan kedua sayap hitam di punggungnya itu, membawaku terbang bersamanya.
Aku terseret sebelum kemudian terbawa ke atas bersamanya. Aku pikir itu cara yang kasar untuk membawa seseorang. Dan ia tampak tak peduli.
Aku tak tahu apa yang terjadi, hanya saja aku meyakini bahwa semua yang kualami adalah mimpi. Selain di komik atau novel fiksi, mungkinkah kau bertemu seorang perempuan yang bisa terbang?
Setelah beberapa saat, pangkal lenganku terasa nyeri dan sakit. Tubuhku yang lemas akhirnya terkulai tak berdaya, pasrah di udara.
Dunia itu disebut Alam Baka, tempat bagi berbagai mahluk dan ras hidup. Manusia, Iblis, Malaikat, Vampir, Elf, Kurcaci dan Dedemit merupakan ras dominan atau ras utama. Selain ketujuh ras dominan tersebut masih terdapat banyak ras dan bangsa lainnya yang hidup saling berdampingan atau menghuni wilayah-wilayah tertentu.
Di Alam Baka usia seseorang dapat mencapai 2000 tahun lamanya, tak peduli ras dan bangsa. Sangat berbeda dengan cerita-cerita fiksi di bumi yang mengatakan manusia berkehidupan pendek dan elf berumur panjang.
Alam Baka, dikisahkan dahulunya Alam Baka merupakan tempat hidup yang nyaman dan tentram. Sebuah kekaisaran bernama kekaisaran Maha menguasai seluruh alam, kekaisaran tersebut dipimpin oleh Yang Maha, yang merupakan raja dari segala raja, sang Kaisar Agung yang tak boleh disebutkan nama. Semua ras dan bangsa bersujud dan tunduk padanya.
Namun, 400 tahun yang lalu sang kaisar Yang Maha menghilang dan sejak saat itu kekacauan di Alam Baka pun terjadi. Perebutan wilayah dan tanah, intrik politik dan perang perluasan batas-batas kerajaan, masing-masing pemimpin dari berbagai kerajaan yang dahulunya tunduk pada kekaisaran Maha mulai saling serang. Alam Baka telah menjadi tempat persaingan ambisi dan nafsu.
Hasrat yang tak pernah tuntas dan tanpa batas itu mengakibatkan peperangan yang tak sudah-sudah. Kehancuran dan pertumpahan darah di mana-mana. Tak terhitung korban kehilangan nyawa hanya demi rencana-rencana para penguasa yang seolah tak ada puasnya.
Apa kah yang dikatakan mahluk berakal memang selalu rakus dan dikuasai nafsu? Aku ingat bahkan di Bumi manusia saling berperang dengan alasan paling konyol sekali pun. Apa kah dengan saling membunuh dapat menciptakan proses berkehidupan yang ideal bagi semua orang atau malah menciptakan dendam berkepanjangan? Memikirkan hal-hal demikian rasanya membuat umurku cepat berkurang.
Dan kembali ke cerita utama. Sekarang aku mulai mengerti, mencoba menerima apa yang terjadi meski akal sehatku menentangnya. Dalam pikiranku, juga harapanku, jika Alam Baka adalah mimpi aku berharap semoga menjadi mimpi yang menyenangkan. Namun andai benar kenyataan dan bukan mimpi seperti yang aku pikirkan, maka nanti akan aku pikirkan lagi harus bagaimana aku menjalaninya. Betapa absurd apa yang terjadi.
Sementara, setelah menempuh perjalanan selama dua hari satu malam melintasi luasnya padang rumput, akhirnya aku dan perempuan yang kemudian kuketahui seorang dari ras Iblis bernama Lucia itu, tiba di dalam hutan lebat dengan pepohonan yang besar dan tinggi, pohon-pohon raksasa. Aku terasa sangat kecil, seperti seekor semut yang merangkak dalam semak di bawah pohon-pohon itu.
Di dalam hutan lebat dengan pohon-pohon besar dan tinggi itu, dedaunannya menutup pandangan pada langit. Kami telah ditunggu oleh enam orang lainnya yang kemudian tiba-tiba bersujud ketika mendapati kehadiranku bersama Lucia.
“Yang Maha, tuan, akhirnya anda kembali…” Ucap salah satu dari mereka segera ketika aku tiba, ia seorang lelaki dengan kemeja putih dilapisi jubah hitam di punggungnya. Ia merupakan seorang Vampir bernama Lewang.
Ia merupakan Vampir terkuat di antara seluruh Vampir yang hidup di Alam Baka. Ia seorang yang memiliki kebanggaan tinggi dan tampak angkuh. Meski demikian, Lewang merupakan pengikut yang setia terhadap Yang Maha. Namun sering bertingkah bodoh dan selalu banyak bicara.
“Apa anda baik-baik saja tuan? Anda terlihat kurus berantakan…” Seorang perempuan dengan suara lembut ikut bicara. Rambutnya hitam lurus tampak lembut dan halus tergerai, sepasang sayap putih kecil di punggungnya memberikan kesan imut dengan pakaian seperti dewi dalam mitos Yunani. Wajahnya cantik dan penuh ketenangan. Di tangannya tergenggam harpa kecil keemasan.
Perempuan itu dipanggil Ana, seorang malaikat dengan kemampuan penyembuhan dan mantra perlindungan yang hebat.
“Ke mana saja tuan selama ini?” Nada cemas dengan suara bergetar jelas terasa dari seorang pria tua bertubuh paling pendek. Jenggotnya yang putih berantakan dengan dua kepangan pada bagian kiri dan kanan, yang tampak kasar. Di sampingnya terdapat sebuah palu yang melebihi besar kepalanya sendiri. Aku pikir benda itu pasti berat.
Ia seorang kurcaci pemberani. Sebagai seorang kurcaci tubuhnya tak lebih tinggi dari sepinggang orang dewasa. Meski demikian dalam pertempuran ia merupakan penghancur musuh yang mengerikan. Rekan-rekan memanggilnya dengan Paman, Paman Januar.
“Bisakah kalian berdiri?” Aku merasa tak nyaman diperlakukan demikian oleh orang-orang itu. Meski aku mulai paham dengan kekeliruan bahwa mereka menganggap aku penguasa tertinggi Alam Baka yang pernah menghilang. Hanya saja jika mereka mengetahui kebenarannya bahwa aku hanya seseorang yang datang entah dari mana dan tiba-tiba ada di dunia mereka, wah bisa dianiaya aku pikirku dalam kecemasan.
“Tapi tuan…” Suara enggan datang dari seorang gadis Manusia berbaju zirah ala kesatria eropa zaman perang kerajaan dengan pedang dan kuda. Rambutnya sebahu kecokelatan dengan kulit kuning langsat. Namanya adalah Putri, seorang kesatria yang belum pernah kalah dalam menghadapi musuh. Ia seorang yang agak pendiam namun mengerikan ketika menghabisi musuh-musuhnya.
“Itu perin.. perintah..” Aku memaksa keberanian dan menahan gemetar pada suaraku sembari menguji apakah mereka akan mengikuti kata-kataku atau malah mengabaikannya, dan ternyata dengan cepat ke enam orang itu segera berdiri, berjejer tepat di depanku. Tentu saja, bukankah aku adalah pemimpin mereka?
“Tuan, semenjak tuan menghilang Alam Ba…” Lelaki manusia harimau dengan tubuh kekar coba menceritakan apa yang terjadi di Alam Baka semenjak Yang Maha menghilang 400 tahun yang lalu. Sebelum kemudian dengan cepat aku menghentikan kata-katanya dengan kata-kataku.
Lelaki itu seorang Dedemit bernama Rimba. Ras dedemit merupakan jenis yang unik, mereka dikenal atau biasa juga disebut dengan ras manusia binatang. Rimba memiliki kecepatan yang luar biasa. Cakar dan taringnya mampu merobek dan menembus baja. Ia adalah petarung yang lincah.
“Ya, aku tahu…” Cepat aku bicara sembari coba membiasakan diri di antara mereka, diam-diam aku berusaha menyimpan dengan rapi rasa takut di dalam diri. Semua cerita itu telah diceritakan Lucia berulang-ulang sepanjang perjalanan padaku sehingga aku telah mengingat cerita itu, sangat detail.
Di sepanjang perjalanan sebelum akhirnya tiba di hutan lebat itu, Lucia tak henti-hentinya bercerita tentang berbagai hal dan persoalan mengenai apa yang terjadi di Alam Baka selama sang Kaisar Yang Maha atau kita sebut saja dengan Yang Maha menghilang tanpa seorang pun tahu jejak keberadaannya.
Selama itu pula ia dan enam orang rekannya itu terus mencari keberadaan Yang Maha ke seluruh tempat. Tiap inci belahan Alam Baka pun telah mereka terlusuri, hingga pada akhirnya ia menemukan aku terkapar di padang rumput yang luas itu. Sungguh rekan-rekan yang setia dan penuh pengabdian.
Lucia dan enam rekannya tersebut, yang baru saja aku temui, merupakan pengawal pribadi Yang Maha. Mereka dikenal dengan sebutan Tujuh Bintang, tujuh orang kepercayaan sang Kaisar. Mereka orang-orang terpilih dari tiap ras dominan dengan masing-masing kekuatan dan kemampuan. Seorang Manusia, Iblis, Malaikat, Vampir, Elf, Kurcaci dan seorang Dedemit atau ras manusia binatang.
Ah ya, tentang Lucia, ia merupakan gadis Iblis yang polos dan ceroboh. Meski demikian ia adalah seorang pembunuh yang kejam. Ia mampu menghancurkan musuh-musuhnya hingga tak tersisa sampai ke tulang. Ia adalah pengguna sihir yang mahir dan mengerikan. Ia seseorang yang selalu siap melakukan apa saja demi Yang Maha.
“Lalu apa perintah tuan?” Tanya Tora yang merupakan seorang pria dari ras Elf sembari memindahkan busur panah dari tangan kanan ke tangan kirinya sebagai pertanda siap bergerak. Ia merupakan Elf dengan kewaspadaan tinggi dan seorang yang bijak. Wajahnya tampan dan selalu tampak tenang. Selain itu, ia juga merupakan ahli racun nomor satu. Dan dalam pertempuran jarak jauh belum seorang pun yang dapat menandingi kemampuan memanahnya.
Mendapatkan pertanyaan demikian segera muncul dengan kuat gambaran makanan lezat, minuman segar dan kasur yang empuk di dalam benakku. Dengan sedikit ragu, aku mengungkapkan apa-apa yang ada dalam benakku itu pada mereka dan segera setelah itu aku, Lucia, Lewang, Ana, Paman Januar, Putri, Rimba dan Tora bergerak melakukan perjalanan menuju kota terdekat.
Kami menerobos semak belukar dan akar berduri yang menjalar lebih besar dari pahaku, menghindari seekor ular yang lebih besar dan panjang dari pohon kelapa. Sepasang kijang setinggi dua setengah meter sedang kawin terkejut dan bubar oleh kehadiran kami. Seekor burung biru ungu melompat dan terbang membuat suara gaduh dengan kepakan sayapnya.
Aku bertanya-tanya dalam kepalaku, apakah penghuni hutan ini berukuran raksasa semua?
Sebelum kemudian tiba-tiba Tora si Elf yang berjalan paling depan berhenti dan tampak penuh waspada. Ketika itu hutan mulai temaram menuju gelap, cahaya matahari tersisa samar-samar menerobos di celah-celah daun. Suara jangkrik dan sesekali pekik burung malam mulai terdengar.
“Ada yang mengawasi kita” Bisik Elf lelaki berwajah tampan itu pada kami sebelum kemudian ia dengan gesit memanjat pohon dan bergelantungan dengan cekatan seperti seekor kera sembari terus memperhatikan sekitar dengan cermat.
Tepat saat ia tiba di sebatang cabang pohon yang besar ia segera menarik busur panahnya dan lalu ‘slup’, anak panah itu terbang dengan tenaga dan kecepatan penuh. Panah itu seketika melesat membelah angin dengan kecepatan yang sangat cepat sehingga aku tak dapat melihatnya dengan benar, apa lagi dengan kondisi temaram tersebut.
Kemudian tiba-tiba terdengar suara raungan yang mengerikan searah anak panah dari Tora melesat. “Aaarrggg… Dasar kurang ajar, akan kumakan kalian semua!” Suara seekor monster raksasa tiba-tiba terdengar menggema-gema di sekitar sebab terkena anak panah Tora yang ia terbangkan sebelumnya, tepat menancap pada mata kanan raksasa itu.
Sesaat kemudian satu mata merah menyala muncul dari balik pohon-pohon besar di depan kami, beriringan dengan derak pohon dan ranting patah. Raksasa yang terluka mata kanannya itu pun mengamuk, lalu datang tergesa-gesa untuk menyerang kami.
Saat itu juga ketika menyaksikan mahluk besar yang sangat mengerikan itu seluruh tubuhku pun gemetar ketakutan, rasanya aku ingin pipis tapi malu. Tubuhku pun membatu dengan wajah pucat membeku.
Kepala monster rakasasa itu tampak seperti kepala badak dengan tiga tanduk tajam seperti ujung tombak, dua di atas kepala dan satu di keningnya. Gigi-giginya tajam berkilau dapat terlihat meski dalam gelap. Monter itu sangat tinggi, kira-kira tiga puluh meter. Raungannya serak menggema terdengar seram dan menakutkan. Seluruh tubuhnya hitam legam sekeras logam.
Segera Putri dan Paman Januar berlari ke depan coba menghentikan pergerakan raksasa itu dengan menyerang bagian kakinya, masing-masing kiri dan kanan.
Paman Januar berlari lalu melompat sembari mengayunkan palunya dengan kekuatan penuh, palu itu tiba-tiba terbakar, memunculkan api pada bagian ujungnya seolah-seolah udara di sekitar menyala. Palu itu dikenal juga dengan sebutan palu api sang Kurcaci, palu dengan kekuatan penghancur yang dahsyat, merupakan sebuah senjata tingkat legenda yang ia terima sebagai warisan dari kakek buyutnya.
Saat palu itu menghantam kaki monster raksasa tersebut terdengar suara dentang yang memekakkan, seolah dua baja saling beradu pada kecepatan yang tinggi.
Di waktu yang bersamaan Putri pun mencapai raksasa itu dan mengayunkan pedangnya pada bagian bawah kaki kanan monster raksasa itu. Pedang itu berkilau tajam, pedang dengan ukiran naga yang dikatakan mampu memotong apa saja, memunculkan kilatan petir dari seluruh sisinya ketika menyayat musuh.
Menerima dua serangan pada kakinya, raksasa tersebut sempat terhuyung dan melambat sebelum kemudian ia semakin murka dan segera mengayunkan kepalan tinju kedua tangannya pada Putri dan Paman Januar yang dengan gesit segera menjauh. Dua tinju monster raksasa itu menghantam tanah, membuat getaran seolah terjadi gempa. Putri dan Paman Januar yang berhasil menghindari serangan balasan tersebut, segera kembali bersiap untuk serangan berikutnya.
Namun monster raksasa tersebut dengan cepat kembali menyerang, kali ini ia mengarah pada Paman Januar, mendapati serangan itu Paman Januar cepat melompat menghindarinya. Di sisi lain, Putri kembali mengayunkan pedangnya. Moster itu kembali terhuyung. Kemudian Putri dan Paman Januar segera bersiap untuk kembali menyerang secara bersamaan.
Meski telah terkena serangan dan sempat terhuyung, monster raksasa berkepala badak tersebut tidak terlihat melemah. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, seolah monster tersebut semakin kuat dan marah.
Sementara itu, tepat di depanku Ana mulai merapal mantra sembari memetik dawai kecapinya, terdengar alunan nada-nada lembut yang menenangkan dan nyaman. Bersamaan dengan itu ketika aku mendengar nada-nada dari kecapi Ana kurasakan tubuhku seperti kembali terisi oleh energi dan semua rasa letih tiba-tiba menghilang. Dan ajaibnya rasa takut yang meyelimutiku sebelumnya terasa berkurang.
Sejenak kemudian tepat saat musik itu berhenti kepingan es beku menyerupai kristal tajam tiba-tiba muncul di sekitar Ana dan lalu melesat berterbangan ke arah raksasa tersebut. Kristal-kristal es itu terbang dengan cepat ke arah monster tersebut.
Terkena serangan dari Ana monster itu pun meraung kesakitan. Meski begitu, luka-luka pada tubuh monster raksasa itu belum cukup untuk membunuhnya, bahkan ia tampak semakin bertenaga dan ganas.
Tepat sebelum Lucia, Lewang dan Rimba yang berada di sisiku bersiap untuk ikut bertempur tiba-tiba Tora melompat dari ketinggian, dari dahan pohon sebelumnya. Ia mendarat lalu berdiri di depan kami. Dan kemudian dengan cepat berucap padaku sembari sedikit membungkukan badannya “Tuan, sepertinya kita menghadapi musuh yang merepotkan”. Seolah dia telah melakukan analisa pada pertarungan yang dilakukan Putri dan Paman Januar saat menghadapi monster tersebut.
Sebenarnya bagiku yang tak tahu cara bertarung seperti mereka monster raksasa tersebut bukanlah monster yang merepotkan, tapi mematikan.
Mengerti dengan situasi Rimba segera berbicara pada Lucia “Bawa Tuan bersamamu, kami akan coba menahan raksasa itu sementara waktu” dan Lucia menganggukan kepalanya sebagai tanda mengerti sebelum kemudian dengan cepat meraih tanganku dan mengepakan sayapnya yang hitam. Seperti kejadian sebelumnya aku kembali terseret untuk kemudian terangkat ke atas terbang bersamanya. Seperti anak ayam di cengkraman seekor elang, aku hanya pasrah, terseret lalu terangkat ke udara untuk kedua kalinya.
Namun sial, tiba-tiba raksasa itu mengayunkan tangan kanannya ke arah kami sebelum Lucia dan aku sempat menjauh. Seolah monster itu mencegah siapa pun dari kami untuk pergi.
Melihat itu Lewang dan Rimba segera melompat coba menghentikan serangan raksasa tersebut namun terlambat, demikian juga dengan Paman Januar dan Putri.
Pukulannya pun berhasil menyapu kami meski tak sepenuhnya. Aku, Lucia, Rimba dan Lewang terpental jauh lalu aku mendarat menghantam pohon. Rasanya tubuhku remuk, punggung dan leherku terasa sakit, hanya saja entah bagaimana setelah itu aku masih mampu untuk kembali berdiri. Sesaat kemudian kurasakan tubuhku kembali normal, rasa nyeri dan sakit dengan cepat memudar. Mungkin efek mantra dari Ana yang sebelumnya masih tersisa.
Sembari memegang lengan kirinya yang tampak sakit Lewang mendekatiku, sedikit menundukan kepala lalu bicara agak tergesa “Tuan, ini memalukan, setelah empat ratus tahun akhirnya kita kembali bertemu, tapi hamba justru menunjukkan kekalahan di hadapan Tuan. Ini memalukan, hamba pantas dihukum, silahkan bunuh hamba pertama kali”. Kemudian ia bersimpuh.
“…….”
“Akan menjadi kehormatan tertinggi untuk mati dalam hukuman tuan”
“Tidak..”
“Tapi, tuan…”
“….....” Bagaimana mungkin aku bisa membunuh. Lagi pula ketika itu dalam pikiranku aku hanya ingin lari. Jika pun mimpi, tetap saja aku takut mati.
“Tapi tuan…”
“Tidak..”
“Tapi”
“Tidak!”
“Maksud hamba..”
“Tidak!”
“Tapi tuanlah satu-satunya yang mampu mengalahkan monster itu, karena itu sebagai pengawal dan pelayan tuan hamba telah gagal dan pantas dihukum”
“Ya?” Hanya aku? Maksudnya aku harus bertarung dan mati? Yang benar saja.
“Sebelum tuan membunuh raksasa itu, hukum lah hamba terlebih dahulu” Lewang benar-benar terlihat pasrah dengan mata berkaca untuk menerima hukumannya dariku.
Tepat di saat itu pula, entah bagaimana, monster raksasa itu tiba-tiba melompat ke arah kami setelah membuat Paman Januar dan Putri terpental dengan pukulannya. Putri dan Paman Januar lalu cepat mengejar namun tertinggal. Monster itu telah mendarat tepat di hadapan aku dan Lewang. Semuanya terjadi begitu cepat.
“Hei.. hei hei bangun, lawan dia. Sial!” Tubuhku gemetar ketakutan. Sementara Lewang tetap di posisinya tak bergeming.
Setelah raksasa tersebut tepat berdiri di hadapan aku dan Lewang, monster itu dengan cepat mengayunkan kepalan kedua tangannya ke atas lalu dengan cepat ke bawah tepat di mana aku dan Lewang berada.
Ahk!.
Sebagai seorang yang takut mati, menerima serangan yang demikian tanganku reflek menarik pedang yang tergantung di pinggang kiriku coba melindungi diri dengan menangkis kepalan tinju raksasa tersebut demi keselamatan hidup yang berada di ujung tanduk. Sungguh ajaib tinju monster raksasa itu terhenti tepat di ujung pedangku.
Lalu seketika cahaya putih menyilaukan muncul dari pedang di tanganku itu, cahaya itu menembak lurus ke atas menembus dahan dan daun-daun hingga ke langit, membuat kegelapan di sekitar menjadi terang.
Karena terkejut dan silau, tanpa sengaja tanganku menggerakan pedang tersebut ke arah raksasa yang berada di depanku. Cahaya putih menyilaukan yang muncul dari pedang itu ikut bergerak searah pedang dan mengenai kepala hingga tubuh si monster raksasa. Akibatnya, raksasa tersebut langsung terbelah dan kemudian menghilang seperti serpihan debu yang diterbangkan angin ke segala penjuru, juga pepohonan dan apa saja yang terkena dampak cahaya dari pedang di tanganku itu. Semua yang dilewati jalur cahaya pedang ikut menjadi abu.
Dan aku hanya ternganga, tak dapat percaya menyaksikan itu semua. Seketika kemudian seluruh tubuhku tiba-tiba lemas dan terduduk lemas di tanah. Aku selamat. Sungguh kekuatan pedang yang sangat luar biasa. Aku melakukannya, aku masih tak percaya bisa selamat dari kematian di depan mata.
Setelah yang terjadi itu, sementara malam telah larut. Beberapa dari kami terluka, meski tak parah dan Ana segera melakukan mantra penyembuhan. Kami putuskan untuk beristirahat di hutan itu sebelum esok kembali melanjutkan perjalanan menuju kota. Sebab aku sudah terlalu lelah. Tubuh dan mentalku mencapai titik batas mampunya. Tanpa sadar aku pun terlelap begitu saja.
Kemudian cahaya pagi menerobos di sela dedaunan, burung-burung berkicauan, seekor kelinci berukuran besar melompat cepat tampak semangat sebelum kemudian hilang di balik semak belukar. Kicau burung seolah saling bersahutan. Hijau daun meneteskan bulir sisa embun. Udara dingin dengan aroma daging panggang yang membangunkan aku pagi itu. Dan seorang gadis Malaikat tersenyum lembut di hadapanku.
Seharusnya mereka memberiku makan dari semalam. Ahk! Daging panggang tanpa garam. Aku lahap setelah tak gosok gigi berhari-hari.
Kemudian sebelum hari cukup siang, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju kota setelah semalam bertarung dengan monster raksasa yang mengerikan. Monster raksasa Badak Baja, seekor monster yang ternyata merupakan monster kelas bencana yang sangat dihindari oleh siapa saja.
Di Alam Baka monster tidak lah secerdas manusia dan ras utama lainnya. Namun terdapat pengecualian bagi beberapa jenis monster, terutama monster yang diidentifikasi sebagai monster kelas bencana.
Monster raksasa Badak Baja, salah satu monster terkuat yang ada di Alam Baka dan tanpa sengaja aku telah membunuhnya. Monster yang mampu menghacurkan satu kota hanya dengan pukulannya. Sungguh luar biasa.
“Itu memalukan..” Lewang sangat menyesali kekalahannya. Kebanggannya sebagai pengawal dan pelayan Yang Maha sangat terusik.
“Sekali lagi kita gagal melindungi Yang Maha setelah kesalahan yang sama empat ratus tahun silam” Timpal Tora menambahkan dengan wajah penuh penyesalan yang mendalam.
“Tuan, hamba siap dihukum” Mata Lewang kembali berkaca-kaca.
“…….”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!