..."Jatuh cinta sama kamu, adalah hal tersulit yang tak sanggup untuk aku lakukan. Karena mau sampai kapan pun bumi ini berputar, aku gak akan pernah sekali-kali punya perasaan sama kamu."...
...— si paling denial....
.......
.......
.......
Paris, Prancis.
N i k i t a adalah seorang gadis cantik berdarah campuran Indonesia yang sekarang ini sudah memasuki umur 22 tahun. Di usianya yang terbilang masih cukup muda ini, ia telah lulus dari bangku perkuliahan, setelah kurang lebih empat tahun mengenyam pendidikan di salah satu universitas design ternama yang ada di negara ini.
Sejak Nikita berada di bangku sekolah menengah pertama, ia sudah mengatakan pada diri sendiri mengenai impiannya yang ingin menjadi seorang designer ternama. Awalnya Nikita sempat ragu dan takut kalau itu hanya akan menjadi sebatas mimpi yang tak mungkin bisa tergapai, karena kebetulan kedua orang tuanya memang sangat mengharapkan kalau putri semata wayangnya itu lebih berniat untuk menjadi seorang pebisnis, yang nantinya akan melanjutkan posisi sang ayah sebagai seorang pemilik dari perusahaan pariwisata terbesar yang ada di negara asalnya.
Karena harapan yang dibuat oleh kedua orang tuanya itu, Nikita jadi kurang memiliki kesempatan untuk menyampaikan tentang cita-cita yang selama ini selalu berada dalam angannya. Sampai pada akhirnya, persis beberapa hari sebelum kelulusan dari bangku SMA, Nikita menyampaikan keinginan itu kepada sang ayah.
Memang benar, awalnya sedikit agak sulit dan memerlukan usaha ekstra, tapi akhirnya sekarang Nikita bisa lulus menjadi salah seorang mahasiswa terbaik di universitas design dan telah mendapatkan banyak tawaran kerja sama dari berbagai merk terkenal. Perlahan-lahan tapi pasti, Nikita sudah mulai mendekat pada impiannya menjadi seorang designer ternama sekelas Donatella Versace.
Malam ini, masih di kamar dari apartemennya. Terlihat gadis cantik bernama Nikita itu sedang terduduk dengan pandangan yang terus terfokus pada layar laptop. Bukan karena ada tugas yang harus dikerjakan, Nikita hanya menunggu pengumuman hasil persetujuan kontrak kerjasama dari salah satu merk besar. Dari banyaknya tawaran, Nikita sengaja mengambil merk ini karena memang sejak masih menjadi mahasiswa, ia sudah begitu tertarik untuk menjadi bagian dari perusahaan merk itu.
Selagi Nikita menunggu hasil dengan penuh harapan, tanpa terduga ponsel pribadi yang sejak tadi ada di dekat laptopnya berdering. Saat dilihat dari nama yang tertera pada layar, rupanya wanita cantik itu tengah mendapatkan panggilan dari sang ayah. Tidak mau mengabaikannya begitu saja, Nikita pun dengan cepat menjawab panggilan yang sudah berdering cukup lama itu.
"Yuhuu, good evening papi tersayang aku," seperti biasa, Nikita yang terlebih dahulu memberikan sapaan kepada sang ayah yang kini tengah berjarak sekitar 11.548 km darinya.
"Disini masih siang, sayang. Matahari masih bersinar begitu terang bahkan lagi berada di atas kepala," ucap ayahnya dari balik panggilan telepon internasional ini.
"Iya, aku tahu. Aku hanya ingin menyapa ayah sesuai dengan waktu yang ada disini," kata Nikita diiringi oleh sebuah tawa kecil yang nyaris terdengar samar saat dalam panggilan ini.
"Jadi, bagaimana kabarmu sayang? Kapan kamu lulus dan kembali ke Indonesia?" Tanya sang ayah yang langsung dapat membuat Nikita terdiam sejenak.
Bukan tanpa sebab, Nikita sekarang hanya tengah berpikir bagaimana cara yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh sang ayah. Pasalnya, saat hari kelulusan yang telah terjadi beberapa minggu lalu, Nikita sengaja tak memberitahu kedua orang tuanya karena enggan diminta segera pulang ke Indonesia. Tahu sendiri kalau setelah lulus, masih banyak hal yang memang sedang ingin dilakukan oleh Nikita di negara lain ini.
"Nikita? Kenapa hanya diam?" Sang ayah seakan mendesak ingin mendapatkan jawaban.
"Iya. Kabarku baik-baik saja. Ayah tak perlu terlalu mengkhawatirkannya," ucap Nikita hanya menjawab salah satu pertanyaan yang menurutnya mudah.
"Lalu? Kapan kamu lulus? Ayah dan yang lain benar-benar sudah menunggu kepulangan mu," kata sang ayah yang merasa terlalu rindu, ingin bertemu dengan putri semata wayangnya itu.
"Sebenarnya..." Nikita sangat ingin memberitahu sang ayah tentang dirinya yang memang sudah lulus, tapi di satu sisi ia takut diminta untuk pulang ke Indonesia. Diantara Nikita dan juga sang ayah sudah memiliki sebuah perjanjian yang terlalu sulit untuk dilanggar.
"Ada apa sayang?" ayahanda Nikita merasa begitu penasaran serta ingin tahu. Selama ini beliau sudah terlalu mempercayai putrinya itu, serta menurut pada permintaan agar tak terlalu sering datang berkunjung ke Paris.
Mengingat tentang perjanjian yang dibuat oleh keduanya itu, sanggup membuat Nikita menjadi ragu dan memilih untuk mengurungkan niatnya. Akan jauh lebih baik kalau sang ayah tetap tak tahu apapun mengenai status studinya.
"Sayang? Kamu ingat kan kalau harus pulang setelah lulus?" Tanya sang ayah dari seberang panggilan internasional ini.
"Iya. Aku gak lupa soal itu."
"Jangan coba-coba untuk melanggar janji sendiri ya, sayang! Ancaman ayah tentang hak waris itu masih berlaku," kata sang ayah mengingatkan Nikita tentang perjanjian yang dibuat empat tahun lalu.
"Iya. Setelah lulus, aku pasti akan langsung pulang ke Indonesia."
"Baiklah. Jangan lupakan kalau di Indonesia kamu sudah punya suami yang menunggu!" tukas sang ayah yang kemudian mulai mengakhiri panggilan ini.
Bukan karena ingin melupakannya, namun kehidupan yang sudah dijalani selama empat tahun di negara orang lain ini, mampu membuat Nikita lupa tentang statusnya yang sudah menjadi seorang istri. Bahkan Nikita mengabaikan soal pernikahannya itu dan seperti remaja yang mulai beranjak dewasa lainnya, Nikita tak ragu untuk berpacaran dengan laki-laki lain.
Masih sambil menunggu hasil pengumumannya, Nikita tak ragu untuk membuka laci kecil yang ada di meja belajarnya. Ia mengambil sebuah kotak cincin yang ada di dalam sana dan setelah membukanya, ia mendapati cincin kawinnya yang sudah begitu lama tak pernah dikenakan. Rasanya sulit sekali menerima realita mengenai diri sendiri yang ternyata sudah menjadi istri dari seseorang pria.
"Apa aku memang harus kembali ke Indonesia hanya untuk menceraikan dia? Sudah empat tahun menikah dan kami juga tak pernah tinggal serumah, apa ini bisa dijadikan alasan bercerai?" Nikita dibuat bertanya-tanya mengenai perceraian. Jujur, kalau bisa dilakukan rasanya ia sangat ingin memutuskan tali pernikahan ini.
Sedari awal menikah, dirinya memang tidak memiliki perasaan apapun terhadap sang suami. Alasan yang membuat Nikita setuju hanya karena diancam oleh sang ayah mengenai hak ahli waris. Nikita yang memang masih membutuhkan banyak biaya agar impiannya menjadi designer terkenal bisa terwujud, pun tak memiliki pilihan lain selain menerima.
Meskipun sekarang Nikita sudah menikah, tetap saja sang ayah menggunakan hak ahli waris sebagai ancaman. Tahu saja kalau Nikita memang begitu lemah kalau menyangkut masalah uang ataupun harta.
"Menyebalkan sekali. Kenapa pernikahanku harus didasari dengan keterpaksaan?" Ucap Nikita kesal.
Padahal jelas-jelas Nikita juga memimpikan bisa menikah dengan seorang lelaki yang memang dicintai. Pernikahan yang dilandasi atas dasar cinta itulah yang juga selalu diinginkan oleh Nikita.
"Mengingatnya malah membuatku kesal," decak kesalnya sambil meneguk segelas ice americano yang tadi sempat dibuat untuk menemani.
Bersambung...
Jakarta, Indonesia.
Empat tahun yang lalu...
Seorang gadis SMA yang mengenakan seragam sekolah bercat warna-warni, terlihat sedang memasuki sebuah rumah besar dengan senyuman bulan sabit yang terus terukir di bibir ranum miliknya. Gadis bernama Nikita Gracia Anggriani itu baru saja tiba di rumah, setelah seharian berpesta kelulusan bersama teman-teman seangkatannya.
Tak tahu apa maksudnya, tapi yang jelas saat pagi tadi gadis itu berangkat ke sekolah dalam keadaan bersih dan rapi. Seragamnya pun masih kelihatan putih mulus, tanpa ada noda sama sekali. Padahal sang ayah juga sempat menyampaikan pesan kepada gadis itu, agar tidak terlalu ikut ambil andil dalam acara corat-coret seragam, namun namanya juga masih remaja usia 18 tahun, apa yang dilarang malah harus menjadi hal wajib untuk dilakukan.
Dengan ekspresi wajah yang tampak tak bersalah, Nikita secara perlahan-lahan mulai memasuki rumah itu. Dia sengaja enggan untuk membuat kebisingan, hanya supaya ayahnya yang kebetulan masih ada di rumah tak tahu menahu soal kenakalan yang telah dibuatnya. Melanggar apa yang sudah diperintahkan untuk tak dilakukan merupakan satu dari banyaknya kenakalan dari seorang Nikita.
Sepertinya Dewi keberuntungan memang sedang tak berpihak, Nikita yang telah berusaha untuk hati-hati, tetap saja harus ketahuan. Ternyata kepulangannya sudah begitu ditunggu dan dinantikan oleh sang ayah. Nikita kira ayahnya itu akan sibuk dengan pekerjaan yang ada di ruang kerja, tapi nyatanya malah menunggu di ruang tamu. Mendapati sosok sang ayah yang sekarang tengah terduduk di sofa ruang tamu sambil memberikan tatapan tajam, sanggup membuat Nikita menundukkan kepalanya. Kenapa sekarang ia harus berpura-pura merasa bersalah?
"Sedang apa? Kenapa masuk diam-diam seperti maling?" Tanya sang ayah yang tak ada hentinya untuk terfokus pada baju seragam sang putri.
"Aku hanya sedang berhati-hati, takut kalau membuat ayah terganggu," jawab Nikita diikuti dengan sebuah senyuman konyol.
"Sejak kapan kamu terpikir untuk berhati-hati?" Ayahnya tak ragu memberikan sindiran kepada Nikita. Memang benar adanya dan sesuai kenyataan yang ada, kalau gadis itu memang selalu bertindak ceroboh.
"Mungkin hari ini," beginilah Nikita. Selain suka sekali ceroboh, dia juga selalu bisa memberikan jawaban atas setiap pertanyaan.
Melihat sikap sang putri yang seperti ini, sama sekali tak berhasil untuk membuat Tuan Andri — Ayahnya, terkejut. Pasalnya sejak kecil, Nikita memang sudah begitu pandai dalam hal menjawab dan memberikan alasan.
Dalam raut wajah datar, sang ayah pun mulai beranjak bangkit dari sofa, lalu mendekat ke arah putri semata wayangnya itu. Melihat kondisi seragam yang sudah tidak lagi bersih, sanggup membuat Tuan Andri menggelengkan kepalanya. Kenapa Nikita bisa begitu nakal seperti ini? Apakah selama ini dirinya dan juga sang istri sudah salah didik atau bagaimana?
"Siapa yang suruh kamu corat-coret seragam? Bukankah sudah ayah katakan untuk tidak melakukan ini?" Tanya sang ayah sedikit kecewa akan sikap yang dibuat oleh putrinya itu.
"Ini termasuk fashion, ayah! Warna-warna yang ada di seragam malah semakin membuat indah," kata Nikita terlihat begitu senang dengan kondisi pakaian seragamnya itu.
Merasa tidak setuju dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sang putri, mampu membuat Tuan Andri sedikit meninggikan suaranya. Bukan bermaksud untuk marah, hanya saja ia ingin membuat agar putrinya itu menurut pada perintah orang tua, setidaknya sekali saja.
"Kalau seragam sekolah kamu seperti ini, besok kamu mau berangkat sekolah pakai apa? Memangnya masih ada seragam cadangan? Bukankah yang lainnya juga sudah kamu bentuk-bentuk tidak karuan?"
"Maksud ayah apa ya? Bukan bentuk-bentuk tidak karuan, tapi aku sedang sedikit mengubah gaya fashion dari seragam sekolah hanya agar terlihat semakin menarik saja. Aku terlalu bosan kalau disuruh memakai seragam yang sama, tanpa adanya variasi model," ujar Nikita merasa bangga pada diri sendiri.
"Besok masih ke sekolah kan?" Ayahnya dibuat untuk mengulang pertanyaan yang tadi belum sempat terjawab.
"Iya masih."
"Kalau seragamnya sudah hancur semua tak berbentuk, kamu besok mau pakai apa?"
"Ayah! Seragam punyaku bukan hancur, tapi hanya diubah modelnya saja dan itu masih bisa dipakai," kata Nikita tak senang ketika sang ayah menyebut hasil karya design nya hancur dan tak berbentuk.
Memang memiliki anak perempuan yang baru beranjak dewasa sangat sulit untuk ditangani. Apalagi saat tahu putrinya itu juga sangat suka membangkang dan keras kepala. Tak di rumah ataupun sekolah Nikita memang sudah terkenal sebagai seorang anak yang sulit mematuhi peraturan. Mungkin bagi dia, larangan merupakan sebuah perintah yang harus dilakukan. Jangan heran kalau poin pelanggaran sudah terkumpul begitu banyak! Nikita memang nakal, tapi untuk urusan nilai pelajaran dia selalu menjadi yang terbaik. Karena kepintaran yang dimiliki itu berhasil menutup semua sifat buruk yang ada dalam diri gadis cantik itu.
"Memangnya boleh ke sekolah dengan menggunakan seragam yang sudah dimodifikasi?" Tanya sang ayah hanya bermaksud ingin tahu saja.
"Ehm..." Nikita terlihat sedang berpikir sejenak. Apa boleh dia mengatakan hal seperti ini kepada ayahnya?
"Boleh tidak, Niki?" Sang ayah mendesak ingin jawaban.
"Tidak boleh. Aku kerap kali kepergok oleh ketua OSIS dan seragam hasil karya tanganku langsung dirobek begitu saja," ucap Nikita yang anehnya merasa sedikit sedih mengingat beberapa hasil karya modifikasi nya sudah tak berbentuk apapun.
"Ok. Kalau sudah tahu tak boleh, kenapa masih kamu lakukan terus?" Tanya sang ayah sedikit terheran akan jalan pikiran dari putri semata wayangnya itu.
"Gak ada alasan spesifik. Aku hanya menyukainya saja," jawab Nikita dengan nada bicara santai.
"Lagipula besok adalah hari terakhir aku datang ke sekolah dan seharusnya tidak masalah kalau aku mengenakan seragam modifikasi. Aku yakin guru-guru juga tak akan terlalu mempermasalahkannya," tambahnya lagi yang kali terdengar begitu percaya diri.
Awalnya memang benar Nikita sedikit takut membuat sang ayah marah hanya karena baju seragam yang lagi-lagi harus pulang dalam keadaan tak karuan, tapi setelah bertemu ayah dan sedikit berbincang, Nikita jadi tahu kalau ayahnya itu hanya akan memberikan teguran saja.
Dengan langkah santai dan terlihat seperti orang yang tak punya perasaan bersalah, Nikita mulai berjalan menaiki satu persatu anak tangga, bermaksud untuk menunju ke kamarnya yang kebetulan berada di lantai dua dari rumah mewah ini.
......................
Sebenarnya Nikita itu anaknya begitu baik, hanya saja kelakuan yang terkesan selalu membangkang dan pandai untuk menjawab segala pertanyaan ketika sedang ditegur, itulah yang membuat dirinya terlihat seperti seseorang anak yang nakal. Di rumah ia selalu menjadi seorang putri yang begitu menyayangi ibu dan ayahnya. Kalau biasanya anak gadis akan lebih dekat dengan sosok ayah, maka Nikita berbeda. Bisa dibilang Nikita itu begitu manja dan dekat kepada ibunya.
Nikita tahu kalau ibunya itu kurang lihai dalam masalah masak memasak, karena memang benar setiap kali mencoba entah itu akan keasinan, kemanisan atau begitu hambar. Ibunya memang terkesan konsisten dalam hal memasak. Meskipun begitu, Nikita tetap menyukai dan menyayanginya karena di setiap bulan selalu diberikan jatah untuk membeli barang yang memang sedang di ingin. Berbanding terbalik dengan sang ayah, ibunya memang tak pernah sulit untuk mengeluarkan uang. Setiap Nikita meminta apapun, selalu bisa dituruti oleh ibunya.
Sayangnya, beberapa minggu ini kehadiran sang ibunda sudah sulit untuk ditemukan. Hanya karena harus merawat ayahnya yang telah berusia lebih dari 70 tahun, ibunda Nikita harus tinggal di kota asal — tempat dimana ayahnya itu tinggal. Jujur, Nikita begitu merindukan sang ibunda. Rasanya sepi, karena sesi ghibah yang diadakan setiap malam harus libur sampai ibunya itu pulang kembali.
Nikita yang saat ini sudah berada di kamarnya yang bernuansa coral, pun terlihat mulai mendekati cermin yang ada pada meja riasnya. Bukan tanpa maksud, hanya saja Nikita begitu ingin untuk mengabadikan momen yang ada. Padahal tadi saat masih di sekolah, Nikita sudah mengambil banyak foto sampai ada notifikasi mengenai penyimpanan ponsel yang penuh.
Layaknya seorang model internasional, Nikita sama sekali tak ragu untuk bergaya dan tak lama beberapa hasil jepretan yang kerap di sebut mirror selca sudah banyak tersimpan pada ponselnya itu. Seperti anak muda pada umumnya, seusai mengabadikan beberapa foto diri, ia langsung memposting foto dengan hasil terbaik ke akun media sosial pribadi yang ternyata memiliki followers lebih dari tiga puluh ribu. Ternyata Nikita memang cukup famous.
"Loving all the weaknesses that are inside," gumamnya sendirian sembari jemari tangannya sibuk menari di atas layar keyboard yang ada pada ponselnya.
Merasa kalau foto sudah sesuai dengan caption, Nikita pun bersiap untuk menekan tombol upload, namun sayangnya baru mau melakukannya, ia harus diganggu oleh sebuah panggilan telepon yang berasal dari BESTie kesayangannya — Febi Destyana Arianti.
Karena selalu merasa kalau panggilan dari BESTie nya itu penting, tanpa ingin membuat terlalu lama menunggu, Nikita pun menggeser tombol hijau yang ada pada layar ponselnya dan langsung saja suara melengking khas dari BESTie terdengar menyapa telinga. Padahal belum lama berpisah, Nikita tetap masih bisa mendengarkan suara itu.
"Kenapa BESTie?" Tanya Nikita terkesan enggan untuk memberikan basa-basi.
"Gimana? Pulang dimarahi? Yang gue maksud soal seragam sekolah?" Seperti orang yang memang begitu ingin tahu, Febi menanyakan rentetan pertanyaan lewat seberang dari panggilan telepon ini
"Tenang aja. Gak sampai dimarahi yang sampai heboh, gue cuma dikasih nasihat sama teguran aja," jawab Nikita terhadap pertanyaan beruntun yang diajukan oleh sahabat dekatnya itu.
"Untung saja," helaan napas lega terdengar begitu jelas pada balik panggilan ini.
"Lo telepon gue cuma karena ingin tahu aja? Gak ada niat lain?" Tanya Nikita yang akan merasa sedikit kecewa kalau sahabatnya itu hanya akan mempertanyakan tentang kemarahan sang ayah.
"Enggak juga sih. Sebenarnya gue mau ajak lo nanti malam buat party, tapi agak ragu aja buat ajak," kata Febi dan itu mampu sedikit menyinggung perasaan Nikita.
"Ragu? Kenapa? Kalau memang party, lo memang harus ajak gue."
"Memangnya bokap lo gak akan masalah kalau tahu anaknya pergi ke bar cuma buat party?" Tanya Febi ingin mendengar jawaban dari sahabatnya itu.
"Sama sekali gak masalah, kalau papi gak tahu menahu soal anaknya pergi ke bar," kata Nikita.
"Nik, lo gak berniat pergi diam-diam lagi kan? Terakhir kali lo lakuin itu, gue yang kena omel sama bokap lo," ucap Febi enggan untuk mengambil resiko.
"Kali ini gak akan. Kasih tahu aja dimana tempat party nya, nanti malam gue langsung meluncur kesana," kata Nikita terlihat begitu bersemangat kalau menyangkut hal-hal yang dia suka.
"Ok. Tapi Nik, karena lo perginya gak izin, kalau misalnya ada terjadi sesuatu gue gak mau tanggung jawab ya?" Sekarang Febi merasa kalau mengajak temannya itu merupakan sebuah kesalahan.
"Gue juga gak berniat minta pertanggung jawaban dari lo. Jadi, tenang aja," tukas Nikita yang kemudian langsung mengakhiri panggilan itu secara sepihak.
Bersambung...
Menolak ajakan dari sebuah pesta merupakan salah satu hal yang sulit dilakukan oleh Nikita. Sejak usianya memasuki 17 tahun, dimana ia telah dianggap legal, Nikita sudah mulai kecanduan untuk menghadiri semua pesta. Kalau diingat, rasanya sekalipun gadis itu tak pernah absen dalam sebuah pesta. Dimana ada party, maka disitu juga ada Nikita. Jiwa bebasnya inilah yang membuat gadis itu begitu menyukai pesta.
Ajakan pesta yang diberikan oleh temannya - Febi, memang sudah diterima dengan senang hati oleh Nikita, tapi dibalik itu ada izin dari kedua orang tuanya yang belum bisa di dapatkan Nikita. Bukannya tak berani untuk meminta izin, hanya saja sang ayah memang terlalu terkesan sensitif, jika Nikita membicarakan tentang pesta.
Sebenarnya dulu, ayahnya kerap memberikan izin untuk pergi ke pesta, tapi hanya karena Nikita yang tak menjaga kepercayaan dari sang ayah, ia harus mengalami nasib dimana sudah begitu sulit untuk meminta izin. Iya, selain kecanduan dengan pesta, Nikita juga sangat menyukai minuman beralkohol. Selalu mendapati putri semata wayangnya itu pulang dalam keadaan mabuk, sebagai seorang ayah, beliau memutuskan untuk memberikan larangan keras kepada Nikita. Tak ada lagi namanya datang ke pesta hanya agar bisa menikmati minuman beralkohol.
Walaupun tahu kalau dirinya tak akan pernah bisa mendapatkan izin untuk pergi ke pesta, Nikita tetap terlihat sedang asyik menyiapkan dirinya. Kalau dilihat dari gelagatnya, gadis itu rasanya sudah menyiapkan sebuah alasan yang nantinya bisa digunakan untuk mengelabuhi sang ayah. Bagi Nikita, sekarang mendapatkan izin sudah menjadi nomor dua, karena yang pertama adalah harus bisa datang ke pesta.
Setelah menghabiskan waktu kurang lebih sebanyak satu jam, akhirnya Nikita sekarang sudah terlihat begitu cantik dalam balutan busana bewarna biru gelap yang terkesan sedikit terbuka. Ketika Nikita melihat ke arah cermin, dirinya langsung tersenyum sumringah. Ia hanya puas dengan penampilannya yang sekarang, kelihatan cantik dan memukau.
"Kalau seragam sekolah boleh di model seperti ini, mungkin aku bakal terlihat begitu cantik," ujar Nikita yang kemudian mengambil tas selempang kecil miliknya.
Tak ingin membuang banyak waktu untuk menikmati kecantikan rupanya, Nikita pun bersiap keluar dari kamar tidur ini. Nikita mengira tak akan langsung bertemu dengan ayahnya, tapi ternyata baru membuka pintu kamar, ia sudah dikejutkan akan kehadiran dari sosok sang ayah.
"Mau kemana kamu berpakaian seperti itu?" Tanya sang ayah menelisik ingin tahu.
"Hanya ingin jalan-jalan bersama Febi. Tadi, diajakin dia pergi makan malam di restoran ayahnya yang baru buka," jawab Nikita tak ragu untuk memberikan sebuah alasan paling masuk akal.
"Acara makan malam? Kamu yakin?" Bukan tanpa sebab, hanya saja pakaian yang sedang di kenakan oleh putrinya itu kelihatan terlalu terbuka.
"Iya, yakin."
"Tapi, kenapa kamu harus memakai pakaian yang begitu terbuka seperti itu? Apa kamu tidak bisa menggunakan baju yang sedikit tertutup?" Sang ayah terus mempermasalahkan tentang gaun biru tua yang saat ini sedang melekat di tubuh langsing milik Nikita.
"Ini gaun baru, ayah. Baru beberapa hari yang lalu aku beli. Jadi, sangat sayang kalau gak langsung dipakai," ujar Nikita terus saja membuat alasan.
"Oh, jadi hanya karena gaun baru kamu sudah sangat ingin untuk memakainya?"
Pertanyaan yang langsung mendapatkan anggukkan kepala penuh semangat dari gadis itu. "Ayah tahu kan kebiasaan aku seperti apa? Kalau ada gaun atau baju baru, harus langsung dipakai. Gak boleh terlalu lama disimpan dalam lemari."
Karena waktu sudah terlalu memburunya dan tak bisa lagi untuk berlama-lama mengobrol, Nikita pun bergegas mencium punggung tangan sang ayah — sebagai caranya berpamitan dengan benar, lalu mulai melangkah kan kaki terburu-buru menuruni anak tangga. Meski belum mendapatkan izin apapun, Nikita tetap bisa pergi. Sungguh hanya perlu mencari alasan yang tepat, sudah bisa membuatnya menghadiri sebuah pesta yang sebenarnya sangat dilarang oleh sang ayah.
.
.
.
Kedua orang tua Nikita memang sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjaga putrinya itu, tapi mau bagaimana pun jiwa bebas yang ada di dalam diri Nikita sangat membuat mereka sedikit kewalahan dalam hal mengatur tingkah laku putri semata wayangnya itu.
Berulang kali sudah diperingatkan untuk tidak nekat membawa mobil sendiri, tapi namanya juga Nikita yang bisa dengan mudah mengubah sebuah larangan sebagai sebuah perintah. Ayahnya tahu kalau Nikita sudah begitu pandai dalam hal mengendarai mobil, hanya karena belum memiliki surat izin mengemudi, beliau menjadi sedikit khawatir.
Enggan mempedulikan semua larangan yang ada, Nikita dengan santai mengambil kunci mobilnya — hadiah yang diberikan oleh sang ayah ketika usianya memasuki 17 tahun, lalu berjalan dengan anggun keluar dari rumah ini menuju ke arah garasi. Sesampainya di sana, Nikita langsung saja membuka pintu dari mobil sporty berwarna merah dan menempatkan dirinya duduk di kursi pengemudi. Meskipun Nikita terkenal sebagai seseorang yang suka melanggar perintah, saat mengemudi ia tetap tak lupa untuk memakai sabuk pengaman.
Tidak lama setelahnya, mobil sporty merah yang dikemudikan langsung oleh Nikita sudah terlihat melaju dengan cepat melintasi jalanan kota malam ini yang bisa dibilang cukup ramai lancar. Hal lainnya yang disukai oleh Nikita selain pergi ke pesta adalah mengemudikan mobil. Nikita hanya merasa dirinya terlihat keren, ketika memegang kemudi dengan menggunakan satu tangan.
......................
Hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk dihabiskan di perjalanan, akhirnya mobil sporty merah itu sudah terlihat berhenti tepat di tempat parkir dari sebuah bar langganan — tempat dimana Nikita dan juga Febi, sering mencari kesenangan duniawi.
Seusai memarkirkan mobilnya dengan benar, Nikita yang memang tidak berniat membuang lebih banyak waktu pun mulai melangkah turun dari mobil, kemudian berjalan dengan semangat menuju ke arah pintu masuk bar yang sekarang ini terlihat tengah dijaga oleh beberapa bodyguard bertubuh kekar.
Karena memang sudah sering datang ke tempat ini, Nikita bisa dengan sangat mudah melewati bodyguard penjaga pintu depan itu. Kelihatan kalau Nikita juga telah berteman dengan dengan para bodyguard itu.
"Hai, Marco..."
"Hai, Robert..."
Sapa Nikita kepada dua bodyguard yang diiringi dengan sebuah senyuman lebar.
Tanpa perlu menunjukan kartu identitas, seperti yang selalu dilakukan oleh orang lain, Nikita bisa dengan mudahnya langsung diizinkan masuk oleh dua bodyguard itu. Pelanggan tetap memang memiliki akses VIP dan karena itu semuanya terkesan jadi sangat mudah.
Setelah Nikita berada di dalam bar itu, tubuhnya langsung mulai bergerak mengikuti alunan musik yang kini terdengar begitu jelas memasuki telinga. Masih sambil menari kecil, Nikita mulai menghampiri Febi yang kini terlihat sedang duduk di kursi tinggi, dekat dengan bartender. Apa setelah datang, Nikita langsung disambut dengan minuman beralkohol?
"Hai," sapa Nikita akrab kepada temannya itu.
"Kenapa lama banget sih? Janjiannya jam delapan, kenapa harus telat satu jam sih?" Decak kesal Febi karena sudah dibuat menunggu cukup lama.
"Ya maaf! Lo tahu sendiri kan kalau gue dandan pasti lama," kata Nikita sambil menempati salah satu kursi panjang yang ada di sekitar meja bar itu.
"Lo itu udah cantik, kenapa masih perlu dandan?" ujar Febi terheran.
"Namanya juga wanita."
Melihat temannya yang kini sudah meneguk minuman beralkohol, mampu menyulut Nikita supaya ikut memesan juga. Seperti biasa, minuman kesukaan Nikita adalah wiski. Dari banyaknya minuman yang ada, setiap datang ke bar, Nikita selalu saja memesan wiski. Padahal minuman itu mengandung sekitar 36% hingga 50% kadar alkohol.
"Lo yakin mau langsung pesan wiski?" Tanya Febi yang sepertinya tak ingin melihat sang teman mabuk terlebih dahulu.
"Gue cuma minum satu sloki dan gak lebih dari itu," ucap Nikita yang mungkin bisa diingkari.
"Seriusan! Gue beneran gak mau lihat lo mabuk. Masa baru datang, belum juga senang-senang sudah mabuk duluan," ungkap Febi dan langsung mendapatkan sebuah tawa kecil dari gadis itu.
Karena yang dipesan oleh Nikita hanya wiski, bartender itu tak perlu terlalu kesulitan untuk menyiapkannya. Tak butuh banyak waktu, gelas sloki sudah diberikan oleh bartender kepada Nikita. Gadis itu kelihatan begitu siap menerima wiski yang akan dituangkan pada gelas sloki miliknya.
"Sekarang satu gelas dulu, nanti tambah lagi," ucap Nikita dan langsung dituruti oleh bartender itu.
"Lo kenapa suka banget sama wiski? Padahal disini masih banyak minuman keras lainnya yang bisa lo pilih," kata Febi tak mengerti dengan selera minuman dari sang teman.
"Gue udah terlalu jatuh cinta banget sama wiski. Sejak pertama minum, gue beneran suka sama rasanya."
Pada saat Nikita mau meneguk wiski yang sudah ada di gelas sloki miliknya, secara tiba-tiba seorang pria tak dikenal datang dan langsung menghentikan Nikita. Entah darimana asal pria itu, tapi yang jelas karena dia Nikita harus mengikhlaskan wiski yang telah tumpah.
"Maksud lo apaan sih?" Decak Nikita benar-benar merasa kesal.
"Sekarang saya tahu alasan kenapa Tuan Ryan merasa begitu khawatir," ucapan tidak nyambung yang dibuat oleh pria itu berhasil membuat Nikita bingung dan bertanya-tanya.
"Lo kenal sama papi?" Nikita masih bisa menanggapi karena memang belum terpengaruh oleh alkohol.
"Pulang sekarang, yuk! Kasihan Tuan Ryan yang selalu cemas soal kamu," kata pria tak dikenal itu, mengajak Nikita untuk pulang.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!