NovelToon NovelToon

Kisah Putri Langsat

1. Penyiksaan

"Sakit paman, sakiit...." Rintihan seorang gadis berusia 20 Tahun saat dipukuli pamannya.

"Anak tidak tahu diuntung, dasar bodoh, jam segini baru pulang. Dari mana saja kamu ? Mana uangnya." Bentak bibi Astrid saat memarahi Liliana.

"Maafkan Liliana bi, hari ini Liliana tidak dapat uangnya. Aku sangat lapar bi, seharian ngemis dipinggir jalan dan belum makan."

Bibi Astrid semakin marah dan melototkan matanya. "Apa kamu bilang ! Masa ia, mau makan pake gratisan. Kamu fikir, rumahku penginapan apa, seenak perutmu pulang dan pergi. Sudah sukur dikasih tempat tinggal, dipelihara, eh... malah enak enakan keluyuran, mana tidak bawah uang lagi."

Hinaan demi hinaan setiap hari Liliana dapatkan, kerap melakukan penyiksaan fisik. Kata kata pedas dari bibinya sudah menjadi makanannya setiap hari.

"Hari ini kamu mencuci. Habis itu memasak sana, perutku lapar."

Sambil menghela nafas panjang Liliana menjawab. "Tapi bi, hari ini aku ingin antar persyaratan kuliahku."

"Tidak ada tapi tapian. Cepat, kamu kerjakan dan masak sana. Hari ini kamu tidak boleh keluar rumah. Ribet amat sih, pake acara kuliah segala memangnya kamu punya duit ? Untuk biaya makan saja kita harus ngutang." Gerutu bibi Astrid.

Sepanjang hari Liliana hanya bekerja mengerjakan semua tugasnya mulai dari mencuci, memasak, menyetrika pakaian, setelah itu membersihkan rumah.

Kruuuuk...Kruuuuk....

Perut Liliana berbunyi, tanda lapar. Seharian bekerja membuatnya merasa lapar, karena sudah selesai, ia memberanikan diri mengambil satu buah piring untuk nasi dan ikan goreng saos yang dibuatnya.

"Liliana... Siapa yang menyuruhmu untuk makan, hari ini tidak ada makanan untukmu. Kau tidak boleh makan makanannya sebelum aku dan suamiku makan." Teriak bi Astrid dengan geram dan menumpahkan nasi dikepalanya.

"Hahaha... Rasain tuh, ganjaran buat kamu. Punggut nasinya satu persatu dan makan saja. Awas ya, kalau kamu berani ambil nasi lagi."

Selesai membersihkan makanan yang ditumpahkan bibinya, Liliana masuk kekamarnya, ia bersedih meratapi nasib hidupnya.

"Pa, aku capek ngurusian anak bodoh itu. Utangku makin banyak dan sudah menumpuk diwarung. Tiap hari ada ada saja yang datang menagih utang, karena papa selalu saja bermain judi, menghabiskan banyak uang." Ucap Astrid dengan kesal.

"Ma, ma... Kamu jangan begitu, papa punya ide, bagaimana kalau kita tumbalkan saja Liliana. Menikahkannya dengan penguasa gaib. Kita minta bantuan Dukun Maacik, agar kita bisa cepat kaya raya."

"Tapi pa, Dukun Maacik sangat menakutkan, wajahnya sangat seram. Aku sangat takut."

"Ya, mama kok gitu, dengan kekuatan gaibnya Maacik bisa membantu kita mendapatkan uang yang banyak ma. Dulu juga Almarhum papa dan mamanya Liliana di bantu Maacik saat menikah. Mama ingat kan kejadian itu ?"

"Selagi menguntungkan aku sih setuju saja papa. Bagaimana kalau malam ini saja kita paksa dia menikah, papa cepat kabari dukun kampung itu."

"Setuju aku sangat setuju"

Plaaak...

Satu tamparan keras dari pamannya tepat mengenai pipi Liliana.

"Ampuuun paman, ampun...

Hiks... Hiks... Hiks...." Ketika Liliana masuk kedalam rumah, paman Alton memaki, menampar dan menedang seenaknya.

"Dari mana saja kamu, kepalaku pusing melihatmu tidak bawah uang Liliana, masih untung kami menampung dan menghidupimu."

"Ma... Ma... Maafkan Liliana paman. "

"Kami akan memaafkanmu jika kau mau membantu kami. Malam ini, kau harus menikah dengan seorang lelaki pilihan kami Liliana. Kau tidak boleh menolaknya karena hidupmu dirumah ini telah membawa banyak beban untuk kami."

Mendengar kata pernikahan yang di ucapkan paman Alton, gadis malang itu tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa apa. Ia hanya gemetaran merintih menahan rasa sakit yang kini melanda dirinya, sembari menahan ketakutannya.

"Aku tidak ingin mendengar penolakan. Sekarang pergi ke kamarmu dan bersiaplah."

Takdir mempermainkan hidupnya, dimana seorang gadis sepertinya bisa memilih pasangan hidupnya. Tetapi tidak dengannya, dengan terpaksa harus menyetujui permintaan Paman dan bibinya.

Liliana hanya bisa duduk pasrah di depan sebuah cermin kecil yang sudah retak. Bulir bening kembali menghiasi wajah cantiknya. Kalung giok kuning yang dipakainya kini di peganginya.

"Ibu... Aku tidak perna melihat sosok seorang ibu. Hari ini aku akan menikah. Semoga kau tenang dan bahagia disana bersama Ayah." Kata paman dan bibinya kalung giok kuning itu adalah peninggalan berharga satu satunya milik ibunya.

Liliana kebingungan akan memakai gaun yang mana. Pakaiannya, tidak ada yang istimewa. Semuanya sudah usang, hanya bekas dan ada yang sudah sobek.

"Ini gaun nya Liliana, kamu pakai gaun kuning ini. Biar bibi yang membantumu merias wajah, bibi sudah membawa riasan wajah." Tenang dan lembut tak ada kata kata kasar dari ucapan bibinya. Liliana terharu, karena ini kali pertama ia mendengar bibi berbicara pelan dengannya.

Setelah selesai paman dan bibi juga kompak mengenakan pakaian serba hitam. Sekilas Liliana merasa ragu, namun ditepisnya. Kebahagian paman dan bibi itu lebih penting.

Drap ! Drap ! Drap !

Bunyi Langkah kaki memecah keheningan malam, saat kutatapi wajah paman dan bibi yang begitu bahagia, menyambut kedatangan orang orang pembawa kereta yang berpakaian serba hitam.

Kuda membawa kereta datang menjemput. Di sana sudah terlihat ada Dukun Maacik yang akan melaksanakan ritual upacara pernikahan.

Liliana masuk ke kereta kuda emas. Sedang paman dan bibi berada di kuda yang lain mengikuti jalannya kereta. Kembali ia mengenang nasibnya yang malang.

"Entah akan seperti apa, kehidupan seperti apakah ini ?

Siapa sesungguhnya lelaki pilihan paman dan bibinya ?

Dimana semua warga ?

Kenapa tidak ada orang yang aku kenali ?"

Tanya dan tanya hinggap menyelimuti hatinya. Sejenak ia merasa ada yang aneh. Ini bukan seperti pesta di Kotanya, layaknya mempelai pria datang ke calon mempelai wanitanya. Ini seperti pembawa keranda mayat berpakaian hitam di tengah malam buta.

Sunyi dan dingin malam membuat sekujur tubuh Liliana kedinginan. Perasaan takut mulai menghinggapi. Hanya derap langkah kaki kuda berjalan beriringan terdengar memecah keheningan malam.

Saat melewati bebatuan, jalanan yang licin dan becek, pohon pohon rindang, suara jangkrik dan burung hantu, terdengar bersahut sahutan sangat memilukan hati siapa saja yang mendengar.

Suasana semakin mencekam, di depan rombongan mulai terdengar suara Dukun Maacik yang mulutnya komat kamit seperti sedang membacakan sebuah doa mantra sihirnya.

Saat Liliana coba mengintip, wajah wajah seram samar terlihat dalam bayangan malam. Tiba tiba saja kereta terhenti di depan sebuah pegunungan tinggi.

Alunan suara dari mulut Dukun wanita mulai meninggi, mereka memasuki sebuah goa. Lilin lilin kecil yang di pajang setiap sudut mulai menerangi gelapnya goa.

Tibalah mereka disebuah tempat beralaskan dipan. Seperti tempat pemujaan. Patung patung manusia berjejer disana.

"Tempat apa ini, hanya sebuah goa." Tanya Liliana dalam hatinya.

Bersambung...

2. Pria Berjubah

Dari kejauhan disisi lain goa terdengar suara seram seekor burung. Seperti seekor Elang, ingin menerkam mangsa di depannya.

Kuku panjang yang hitam mengarah kesemua orang, taringnya yang besar, mencuat di antara moncongnya memperlihatkan betapa ganas dan seramnya Elang monster itu.

"Apa...! hanya seekor burung monster." Fikir Liliana.

"Tidaaak, aku tidak mau."

Liliana mulai murka, saat melihat Dukun Maacik menyembah Elang monster itu. Taburan bunga dimana mana, Maacik mulai menata wejangan untuk ritualnya.

"Apa yang kalian lakukan padaku paman, bibi ?

Ini bukan pesta, ini sebuah ritual bodoh."

"Kalian sangat jahat padaku paman, bibi. kalian sudah menipuku, aku tak sudi menikah dengan seekor burung monster itu." Sambil mengeluarkan air mata Liliana berteriak dengan keras.

Tidak bersuara, paman dan bibi hanya menatap geram ponakan mereka itu.

Dukun Maacik coba mendekat. "Diamlah ndok kalau masih ingin kau hidup, kalau tidak mau seumur hidupmu kau akan bernasib sial.

Bukannya berhenti, semakin menjadi. Gadis itu mengobrak abrik seluruh wejangan, tak ada yang tersisa, lalu ia berlari kearah sebuah patung batu dan mencabut pedangnya.

"Kamulah yang diam nenek tua, aku tak takut padamu."

Saat Liliana melemparkan pedangnya tepat mengenai sayap burung gagak.

Pak pak pak...

Burung monster itu bersimbah darah sambil mengepakkan sayapnya. Dukun wanita semakin ketakutan, roh jahat akan mengutuk perbuatan mereka, dengan terpaksa Maacik memutuskan ingin menangkap dan mengikatnya.

Tiba tiba, sebuah giok kuning di leher Liliana memancarkan silau kuningnya, hingga menerangi seisi goa, membuat siapapun yang menatapnya hanya diam di tempat karena tidak bisa menangkap dan melihatnya karena silau batu giok kuning itu.

Dari kejauhan di dalam goa, bunyi gong besar mulai terdengar. Goa seakan gempa, semua lilin telah mati tidak ada penerangan. Sebuah kabut asap putih masuk ke dalam goa. Lilin kembali menyala. Liliana tersentak saat pemuda tampan berjubah kuning berdiri di depannya tetapi aurah kegelapan sangat jelas diwajahnya.

"Siapa yang sudah berani mengacaukan ritualku."

Melihat kedatangan malaikat tampan didepannya, Liliana diam saja. Tak ada yang spesial. Dukun Maacik bersujud di depannya, orang orang berpakaian hitam itu ikut bersujud, termasuk paman dan bibinya. Lain halnya dengan Liliana.

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya Liliana berlari sekencang kencangnya. Namun nihil, ia tetap kembali sedia kala di tempat semula ia berdiri.

Ha... Ha... Ha...

Suara tawa kembali terdengar mengisi goa.

"Hei Nona, kau gadis yang tangguh. Aku mengagumimu. "

Maacik... kau yang membangunkan alam tidurku ?"

Ketakutan sambil gemetaran dukun tua itu terus saja besujud tak ingin memperlihatkan wajahnya. Dengan langkah kaki berat, Maacik pun berdiri dan berjalan ke lelaki berjubah didepannya. Ia lalu membisikkan sesuatu ditelinga lelaki itu, dan kembali bersujud.

"Aku berterimah kasih kalian membawa wanita ini, aku sangat tertarik.

Apa kalian yang datang membawakan calon pengantin untukku ?"

Terbata bata paman Alton berucap. " Iya, Ka. Ka. Kami Tuan."

"Kemarilah kalian !" Lelaki tampan berjubah kuning itu melempar sekantong dan sekarung uang dihadapan paman dan bibi.

Di satu sisi Liliana melihat kebahagian paman dan bibinya ketika mendapat apa yang mereka inginkan. Hati gadis itu hancur, rasa putus asa mulai dirasakan, tangan dan kakinya mulai bergetar, air mata jatuh bercucuran.

Menjadi anak yatim piatu, baginya memang sangat berat, andai saja orang tuanya masih hidup, mungkin ini tidak akan terjadi. Hanya sebuah kalung giok berwarna kuning satu satu peninggalan ibu yang dimilikinya. Selama hidup dia sudah dibesarkan dengan penuh penderitaan dan penyiksaan.

Seketika Liliana jatuh tersimpuh, dan berlutut di depan Pria tampan berjubah kuning itu. Entah kehidupan seperti apa yang akan dijalaninya setelah pernikahannya nanti.

"Sebelum matahari terbit nanti, kalian semua pulanglah, atau kalian tidak akan pernah kembali lagi." Mendengar ucapan pria tampan berjubah, semuanya bergegas pergi. Maacik dan para pengikutnya juga pergi dari goa. Hanya tersisa Liliana dan pemuda itu disana.

"Tunggu...

Kalian tidak boleh datang lagi, yang kuberikan itu tidak akan perna habis tujuh turunan dan ingat, jangan perna menceritakan kejadian ini pada siapapun. Jika suatu saat kalian melanggar maka seluruh harta kekayaanmu akan habis dengan sendirinya, kalian akan kembali miskin. Biarlah rahasia ini menjadi bagian dari cerita di goa ini."

Saat Alton, Astrid, Maacik keluar dari goa dan para pengikutnya, tanah yang mereka pijak bergetar hebat, semuanya berlari menyelamatkan diri. Goa itu lenyap seketika dihadapan mata mereka.

Bersambung....

3. Pernikahan Gaib

Didalam goa, Liliana masih berdiam diri tak ada ucapan yang keluar dari mulutnya, wajahnya terlihat sangat aneh, seakan penuh tanya dibenaknya. Karena merasa canggung, tak ada pembicaraan, kini lelaki itu mulai memperkenalkan dirinya kepada wanita bergaun kuning.

“Hei nona, apa aku boleh kenalan ? Sebut saja namaku Erland.”

“Aku Liliana.”

“Oh… Nama yang indah seperti orangnya” Sebuah senyum mengukir diwajah Erland.

Kalung giok Liliana kembali bersinar, Pria gaib itu menoleh dan sontak langsung saja memegang giok kuning itu.

“Aneh, ada kekuatan gaib yang melindungi wanita ini, siapa sebenarnya anak manusia ini.’’ Erland semakin penasaran dan berfikir sebentar.

“Hei, hentikan. Apa yang kau lakukan ?’’

Dengan wajah ketakutan Liliana membentak.

Ha…ha…ha… Tawa kembali menggelegar.

”Aku hanya mengagumi kalung giokmu. Bukankah kau adalah milikku dan selamanya kau jadi milikku, karena aku telah menukarmu dengan harta bendaku.”

Mendengar ucapan Erland kini Liliana hanya bisa bersedih. Dengan terbata bata ia berucap.

”Ka…kalung giok ini, satu satunya peninggalan ibuku.”

Tak menyadari waktu, Liliana berada di alam lain. Goa bergetar hebat tiba tiba saja Elang yang tadi sempat dilukainya berdiri dimulut goa. Ketakutan, sambil mencengkram hebat gaun yang dipakainya keringat dingin mulai mejelajahi tubuh indahnya.

“Kau jangan takut, aku masih disini. Itu hewan peliharaanku, namanya Bix dan ikuti apa yang dia katakan jika kau ingin selamat disini.”

“ya ya ya… waktu masuk aku masih hafal jalannya.”

Tanpa menghiraukan ucapan Erland, Ia melangkah ke jalan masuk yang dilaluinya.

Kreeek...

Liliana terpeleset dan hampir jatuh, saat dilihatnya kebawah begitu banyak bangkai manusia disana. Merinding ketakutan, matanya terbeliak. Netranya serasa ingin keluar saat itu juga. Kakinya gemetaran tak mampu lagi mengeluarkan suara, deru nafas dirinya yang saat ini di dengarnya.

“Hei… Nona, ternyata kamu sangat nakal, sudah kubilang ikuti Bix agar selamat.”

“Hiks…hiks…hiks…Sekali lagi tolong aku Erland.” Liliana menyadari ini bukan dunia manusia, sangat berbeda dengan yang dilaluinya tadi saat berjalan masuk.

Bix terbang didalam goa, Erland naik kepunggunggnya dan berusaha menolong Liliana.

“Ini duniaku, kau harus dengarkan apa kataku.” Kali ini Liliana mengangguk patuh.

Ia coba bertanya. “Kenapa ada banyak bangkai manusia disana ?”

“Mereka memang manusia. Manusia yang keras kepala, tidak mau mendengarkan ucapanku hingga semuanya jatuh dimakan Kelabang tanah. Untung saja kau hanya terpeleset sehingga aku masih bisa menolongmu.

Mereka adalah orang yang sama sepertimu, dijual orang tuanya demi mendapatkan apa yang mereka inginkan, karena keserakahan dan tuntutan hidup membuat mereka menukar salah satu anak mereka. Tapi hari ini Maacik memberikan wanita untuk mempelai wanitaku.”

“Apa samuanya sudah mati ?”

“Sudah mati dan tidak ada manusia yang selamat, itulah sebabnya aku berbaik hati menolongmu.

Disisi lain paman Alton dan Bibi Astrid baru saja melunasi utang utang mereka, sedang dukun Maacik tidak perna lagi datang ke goa karena dirinya juga perna berbisik untuk berjanji pada Erland kalau pengantin wanita itu akan menjadi pemujaannya yang terakhir asal ia mau memberikan Maacik kekayaan tiada terhingga.

Sungguh manusia serakah hanya memikirkan kepentingan pribadi mereka tak perna mengingat seorang anak gadis yang telah mereka tumbalkan.

“Pa, aku ingin merenovasi rumahku agar orang orang desa tidak perna menghinaku lagi.”

Alton tak menjawab pertanyaan isterinya kala bertanya. Astrid memegang pundak suaminya.

“Pa, kamu kenapa ?”

“Eeeh iya ma, aku hanya memikirkan Liliana ma, kamu ingat kejadian dua puluh tahun lalu saat Renata adikmu menikah dengan manusia aneh itu kan”

“Iya pa mama ingat, mungkin nasib gadis bodoh itu akan seperti mamanya. Sudah ah… kita lupakan tentang Liliana, aku tidak ingin berurusan dengannya lagi, hidup kita juga saat ini sudah berkecukupan. Jangan perna bahas tentang ini lagi.” Astrid berlalu meninggalkan suaminya.

Di tempat lain, semakin jauh perjalanan mereka melintasi kabut kabut tebal, Bix seekor burung Elang berhenti, Liliana terkejut bukan main, saat mulut goa tiba tiba berubah menjadi pintu emas yang begitu megah menjulang tinggi tak ada dasar atap. Bix membuka pintu lalu membawaku dan Erland masuk.

Aneh, benar benar aneh, kini gadis itu berdiri di depan tempat tidur berkelambu kuning. Lampu lampu kamar menerangi ruangan.

“Kau telah sampai di Istanaku, istrahatlah kau pasti sangat lelah dan nikmati malam panjangmu. Sebentar, seseorang akan datang kesini lagi.”

Menurut saja, Liliana naik di ranjang dan membanting tubuhnya diatas kasur yang berhiaskan kelambu serba kuning.

“Aneh, apa perjalanan kesini memakan waktu sampai dua hari ? Saat tiba disini sudah kembali malam.”

Matanya mulai berat, sayup sayup Ia mendengar seperti suara lolongan serigala, tetapi tak mampu lagi mengangkat matanya dan akhirnya tertidur.

Krieeet

Seseorang berwajah datar membuka pintu, datang membangunkan tidurnya, tak ada senyuman diwajahnya. “Bangunlah nona, tuan Erland sedang menunggumu.”

“Apa ? Menungguku, dimana ?”

“Bersiaplah nona, aku akan mengantarmu.” Tak ada keraguan, mengingat ucapan Erland sebelum tidur ia berfikir ini adalah orang yang dimaksud pria itu.

Liliana melangkah gontai mengikuti pria datar itu, saat sampai diruangan lebih besar Ia kembali terpana melihat seorang lelaki sedang duduk di atas kursi kebesaran yang berlapis emas dan permata. Bau bunga mawar semerbak bertebaran dimana mana.

“Di pertengahan malam ini kita akan menikah Liliana melanjutkan ritual kita, kemarilah dan duduk disampingku.”

Seakan pasrah dengan jalan hidupnya, Liliana patuh mengikuti ucapan Erland. Saat ini dirinya sedang duduk berdampingan melangsungkan pernikahan gaib.

Deg…deg…deg

Dadanya berdegup agak kencang mengikuti deru nafas yang sebentar lagi akan menjadi istri seorang lelaki dari dunia lain.

Samar kembali terdengar suara lolongan binatang buas dari kejauhan seakan ikut menyaksikan ritual pernikahan.

Lilin kecil mulai memenuhi seisi ruangan, mengeluarkan aroma terapi begitu wangi, seorang pria datar tadi mulai membacakan mantra dan sumpah pernikahan untuk mereka.

Erland mendekati Liliana, tangannya bergetar hebat ketika memberanikan diri memegang gadis cantik bermata kecoklatan itu.

Sekilas Liliana menatap tajam wajah tampan didepannya itu, pernikahan gaib pun terjadi. Erland membacakan sumpah pernikahannya di ikuti Liliana.

Bulir bening kembali menghiasi wajah cantik Liliana, perlahan Erland mendekatinya.

“Aku bukanlah orang jahat, sekarang kita telah sah menjadi suami istri. Kau jangan takut padaku, aku berjanji padamu tidak akan memaksamu melakukan apapun layaknya suami dan isteri.”

“Te terima kasih Erland.” Liliana merasa legah mendengar ucapan lelaki yang kini sah menjadi suaminya, meski tak disaksikan orang banyak, tetapi ia telah mengikrarkan sumpah pernikahan.

Ya beberapa waktu kedepan Erland harus bersabar tak ingin menyakitinya, karena ia sadar telah memaksa gadis dari dunia manusia ini untuk menikah denganya.

Tak baik jika memaksa hubungan yang dipaksakan. Apa lagi jika melakukan hal lebih, wanita ini tidak akan bisa bertahan di dunianya untuk itu ia harus menunggu waktu yang tepat.

“Apa kau mau ikut denganku ?”

Canggung, penuh keraguan ia menjawab. “Ke kemana ?”

“Nanti akan kuberitahu.”

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!