Hari ini, tepat empat tahun usia pernikahanku dengan kang Aswin, lelaki bersahaja dan penuh kharisma yang selalu menjadi idaman banyak wanita.
Matanya yang teduh dan senyumnya yang mempesona, ditambah dengan hidungnya yang bengir, semakin menyempurnakan wajah tampannya.
Sikap dan tuturnya yang lembut, selalu membuatku rindu dan tak lepas untuk terus mencintainya, doa doa selalu mengalir untuk menemani setiap langkahnya.
Meskipun usia kita sudah tak lagi muda, namun cinta dan kehangatan tak pernah hilang dari hati kita masing masing.
Pernikahanku dengan kang Aswin sudah dikarunia seorang putra, dan kini usianya sudah menginjak tiga tahun.
Yusuf Firmansyah, anak yang cerdas dan selalu aktif, di usianya yang masih balita, Yusuf sudah bisa mengenal huruf huruf Hijaiyah, dan hafal angka angka satu sampai seratus.
Sifatnya menurun dari ayahnya, cenderung pendiam dan lebih suka dengan buku buku.
Jiwa anak anaknya yang selalu ingin tahu dan suka mencoba hal hal baru dari apa yang dia lihat.
Meskipun aku adalah istri kedua, namun kang Aswin selalu memperlakukanku dengan baik.
Karena memang dari dulu, kang Aswin selalu menghormati dan menghargai wanita.
Waktu itu saat kami masih sama sama kuliah dan satu kampus, kami memiliki hubungan yang sangat dekat.
Ia selalu memperhatikan dari hal hal sekecil apapun tentangku.
Tidak ada kata cinta, apa lagi rayuan, karena kang Aswin yang aku kenal adalah lelaki pendiam dan terkesan cuek dengan wanita.
Hanya denganku, kang Aswin bisa bersikap perhatian dan sangat perduli.
Meskipun begitu, aku tidak berani berharap lebih.
Aku takut, jika rasa ini tidak tersambut.
Hingga suatu saat, tiba tiba kang Aswin menghampiriku yang saat itu sedang membaca di perpustakaan kampus.
Dengan suara berbisik, kang Aswin mengajakku keluar, ada yang ingin di bicarakan ucapnya.
Aku pun mengikuti langkahnya keluar, dan kang Aswin membawaku ke cafe tak jauh dari kampus.
Saat kami sudah sama sama duduk dan saling berhadapan, kang Aswin memulai percakapan.
Masih teringat jelas hari dan tanggalnya waktu itu, hari paling bersejarah dalam hidupku.
Enam belas Desember pukul sepuluh siang, kang Aswin mengutarakan perasaan sukanya padaku.
Saat itu, rasanya sungguh tak percaya.
Laki laki yang selama ini, yang selalu hadir namanya dalam setiap doa doaku, mengutarakan isi hatinya, dan aku merasa jika Tuhan telah mengabulkan doaku.
Dengan wajah merah merona aku mengiyakan niatnya untuk menjalani hubungan yang lebih serius denganku.
Kami tersenyum dan saling menatap penuh cinta.
Sejak saat itu, hari hariku selalu terasa indah.
Meskipun gaya pacaran kita tidak seperti anak muda pada umumnya.
Yang suka menghabiskan waktu untuk nongkrong bareng menghabiskan waktu berdua, atau nonton film di bioskop bahkan hanya sekedar jalan jalan ke mall atau taman untuk melepas rindu.
Kami tidak melakukan itu semua.
Kita hanya ketemu saat di kampus, bicara seperlunya, dan saling tatap itu sudah membuat hati ini berdebar luar biasa.
Kami hanya saling berkirim pesan atau sekedar bertanya tentang pelajaran dan membicarakan hal hal kecil akan masa depan.
Meskipun demikian, kita selalu akur dan hampir tidak ada pertengkaran di dalam hubungan yang kita jalani.
Hingga saatnya waktu kelulusan itu tiba.
Aku yang harus kembali pulang ke kampung halaman dan berniat meneruskan kuliah S2 ku di tempat dimana ayahku dilahirkan.
Sedangkan kang Aswin mulai harus meneruskan usaha keluarganya.
Disitulah akhirnya hubungan kami harus berakhir.
Aku yang sibuk dengan kuliahku, dan kang Aswin juga mulai sibuk dengan pekerjaannya, karena keinginannya adalah ingin mengembangkan usaha yang sudah di bangun papa nya supaya lebih maju lagi.
Aku tau dan sangat mengenalnya, ia lelaki pekerja keras dan cerdas, dan dengan ilmu juga keuletannya, ia pasti mampu melakukan itu.
Semakin hari kita semakin mis komunikasi, karena kesibukan masing masing.
Hingga suatu hari, kang Aswin menemui ku di Surabaya.
Ia mengutarakan niatnya untuk melamar ku.
Kedatangannya yang tiba tiba, membuatku bingung apa yang harus aku lakukan, karena aku masih belum cukup siap jika harus menikah saat itu.
Aku memintanya untuk menunggu kuliahku beres dulu, hanya tinggal satu tahun lagi.
Namun, ada gurat kecewa yang tergambar jelas di wajah teduhnya.
Senyumnya yang tadi mengembang, saat itu juga berganti dengan kemurungan.
Lama ia menatapku dalam diam, sampai akhirnya ia memutuskan untuk kembali pulang.
Masih teringat ucapan terakhir kali sebelum ia beranjak pergi.
"Aku memintamu menjadi istriku itu adalah kesungguhan dan caraku menunjukkan rasaku bukanlah hanya sekedar ucapan, jika hari ini kita tidak bisa bersama, mungkin takdir akan mempertemukan kita suatu saat nanti dengan cara dan keadaan yang berbeda, percayalah namamu selalu ada dalam setiap doa doaku, jaga dirimu baik baik, mungkin setelah ini, aku sudah tidak lagi bisa menghubungimu, Assalamualaikum..." Pamitnya sendu.
Ia pun berlalu melangkah pergi, tanpa sempat aku bertanya, apa maksud dari ucapannya tadi.
Dan ternyata, itulah terakhir kisah ku dengannya, karena setelah kejadian itu, seminggu setelahnya aku dapati kabar dari Alfin sahabat kami waktu dulu kuliah, yang kebetulan bertetangga dengan kang Aswin.
Alfin memberikan foto undangan pernikahan yang tertulis kan nama Aswin Firmansyah & Sandra Aruna Dewi.
Buliran buliran bening pun berjatuhan membasahi pipi seiring lara yang tiada terperi.
Hanya ada luka, kecewa, sakit yang begitu menyesakkan dada ini.
'Apakah semudah ini kamu menggantikan namaku dengan wanita ini, hanya karena aku belum siap dengan lamaranmu?'.
Ia tak sepenuhnya bersalah, bagaimanapun kang Aswin sudah mengutarakan niatnya untuk meminang ku, namun kenapa hati masih sesakit ini.
Sejak saat itu, tidak ada komunikasi apapun diantara kami, aku hapus semua akun sosial mediaku, dan mengganti nomer telepon dengan nomer yang baru.
Aku ingin benar benar beranjak dan lepas dari bayang bayang nya, meskipun hati ini masih selalu menyimpan rasa cinta untuknya.
Waktu pun bergulir, hari berganti, bulan pun berlalu dan tahun ke tahun berjalan.
Lima tahun sudah dari sejak ia menikah, aku masih tetap setia dengan kesendirianku.
Aku selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan dan kegiatan sosialku.
Dengan begitu, aku bisa melupakan rasa yang kadang membawaku untuk memikirkannya.
Tak jarang orang tuaku, terutama bapak, yang terus memintaku untuk segera menikah, bahkan entah sudah berapa kali beliau mengenalkan ku dengan anak dari rekan rekannya, namun tidak ada satupun yang mampu menggoyahkan hati ini.
Hingga akhirnya bapak maupun ibuku pasrah, mereka menyerahkan semuanya padaku.
Dan aku merasa lega dengan semua ini, setidaknya aku tidak pusing mencari alasan untuk menolak perjodohan dengan pria yang tidak aku inginkan.
Hingga suatu hari ada urusan kantor yang mengharuskan aku untuk pergi ke Jogja.
Dan di sanalah aku kembali bertemu dengan laki laki yang masih menempati ruang terdalam hati ini.
Aku terpaku, menatap sosok laki laki yang sedang berdiri tak jauh dari tempatku berada. menghentikan langkah ini, menajamkan penglihatan, benarkah dengan apa yang kulihat ini. tubuh ini seolah kehabisan tenaga hingga kedua kakiku tak sanggup lagi menopang keseimbangan tubuhku.
Tanpa sadar semua berkas yang ada ditangan terjatuh berceceran di lantai, dan itu mengundang semua mata menatap panik ke arahku, tak terkecuali laki laki yang sempat mengoyak hati ini hingga hancur berkeping keping.
Tertangkap jelas gurat keterkejutan di raut wajahnya, ketika mata kami saling bertemu dengan tatapan saling mengunci.
"Bu Muthia baik baik saja kan?"
Aku tersadar dari keterpakuan akan fakta yang ada di hadapanku, setelah ada suara Dewi asistenku mendekat dan mulai mengambil kertas yang sudah berserakan di lantai.
"Saya gak papa, maaf yaa sudah bikin kamu repot." Jawabku gugup dengan pandangan yang masih tertuju pada sosok itu.
Dewi tersenyum sambil merapikan semua berkas yang sudah dia punguti dan menatanya ulang.
"Gak papa Bu, ini sudah tugas saya.
Kalau ibu lagi tidak enak badan, lebih baik istirahat dulu sebentar, biar saya pesankan teh hangat buat ibu. Ibu silahkan duduk dulu di sebelah sana." Dewi menunjuk sebuah bangku kosong yang berada tak jauh dari tempatku berdiri.
Akupun mengangguk mengiyakan arahan Dewi. 'sebaiknya aku merilekkan dulu pikiran ini, kenapa aku masih selemah ini, padahal itu adalah masa lalu yang sudah berakhir.'
Dengan langkah gontai aku memilih duduk di salah satu bangku kosong sambil menunggu Dewi memesankan minuman hangat, mungkin setelah aku istirahat sebentar, aku akan kembali mampu mendamaikan hati ini.
Kuhembuskan nafas ini berlahan sambil menutup kedua mata, untuk sedikit melegakan rasa yang menghimpit dada, luka lama itu seolah kembali tersayat, dan perihnya begitu menyiksa.
Saat kembali membuka kedua mataku, sudah ada seseorang yang berdiri tepat di hadapanku dengan tatapan tajamnya.
Kami saling menatap dalam diam beberapa saat.
Hingga kami saling membuang muka ke sembarang arah setelah menyadari ada seseorang yang meletakkan secangkir teh panas di atas meja tempatku istirahat saat ini.
"Silahkan diminum dulu Bu, semoga setelah minum yang hangat hangat,Bu Muthia lebih baikan."
"Trimakasih Wie."
"Kalau begitu saya masuk duluan ya Bu, sambil menyiapkan materi yang nanti dibutuhkan."
Ku anggukkan kepala dan tersenyum ramah pada gadis manis usia dua puluh tahunan itu.
"Boleh aku duduk disini? Aku ingin bicara sebentar saja, jika itu kamu ijinkan." Suara bariton yang sudah lama tak terdengar di telinga ini tiba tiba membuyarkan pikiran dari bayangan masa lalu.
"Silahkan kang." Jawabku datar tanpa ekspresi, meskipun jujur hati ini sudah tak karuan, perasaan yang sekian tahun terkubur, kini kembali terbuka lagi.
Laki laki itu, masih saja sama seperti dulu, tetap menarik dengan kharisma bersahajanya, senyuman itu, tatapan teduh matanya, aah rindu ini semakin membuat sesak di hati.
"Apa kabarnya?"
Ia mengawali percakapan.
"Alhamdulillah seperti yang kang Aswin lihat sekarang, baik dan sehat." akupun tersenyum menyembunyikan rasa yang sudah tidak karu karuan.
"Kang Aswin sendiri, apa kabar?"
Ganti melontarkan pertanyaan basa basi, untuk menutupi kegugupan yang kini menyerang ku.
"Alhamdulillah, baik.
Sudah jadi bapak dua anak ini."
Matanya sambil menatapku hangat, masih sama dengan tatapannya yang dulu.
Menanggapi dengan senyuman dan menundukkan wajahku dari tatapannya.
"Thia, maafin aku kalau dulu saat menikah tidak memberi kabar." Lanjutnya, tampak mendung bergelayut dikedua bola mata elangnya.
Hening.....
Saling membisu dengan pikiran masing masing.
"Sudahlah kang, semua sudah berlalu, mungkin jodoh nya kang Aswin bukan aku." Memaksakan tersenyum meski hati terasa sakit.
"Sebelum aku memutuskan menikah dengan pilihan orang tua, aku sudah berusaha mengutarakan niatku untuk melamar kamu waktu itu, mungkin kesannya aku terburu buru hingga membuatmu tidak yakin dengan niat itu."
"Semua sudah berlalu dan sekarang kita punya jalan masing masing, melihat kang Aswin bahagia, aku juga bahagia." Jawabku lirih sambil menundukkan kepala dan menahan sekuat hati agar buliran buliran bening itu tidak terjatuh, meskipun hati berusaha iklas menerima, tak terpungkiri jika luka itu masih sangat terasa sakitnya.
"Iyaaa, semua sudah berlalu dan kita sudah punya kehidupan masing masing."
Kang Aswin pun menimpali sembari memalingkan wajah ke samping, ada gurat kecewa disana.
" Apa Pa kabarmu Thia, suamimu tidak ikut?." Lanjut kang Aswin dan seketika dada ini mulai terasa sesak dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
Pertanyaannya membuat hati ini makin terasa perih.
'Taukah kamu kang, kalau hati ini belum mampu berpaling dari mencintaimu, meskipun aku tau, jika semua sudah tidak mungkin untuk kita kembali bersama.'
Memberanikan diri melihat wajah dan menatapnya lekat, mencari rasa itu apakah masih tersirat dari sorot matanya yang sayu, sorot yang selalu aku rindukan.
"Aku masih sendiri kang, belum menikah, apalagi punya anak." Jawabku datar.
Hening.......
Membisu dalam bayangan lintasan Masa lalu, dimana keyakinan untuk menjalani kehidupan bersama, menghabiskan masa tua tetap dengan cinta dan kesetiaan, namun akhirnya semua itu kandas hanya karena sebuah perjodohan.
Kami membisu dengan pikiran masing masing.
"Muthia, maafin aku.
Maaf.....!" Sambung kang Aswin sendu dan air matanya sudah jatuh tanpa bisa lagi ditahan.
Pandangannya tertuju pada kedua tanganku yang saling bertautan di atas meja.
"Tidak ada yang perlu dimaafin, karena kang Aswin tidak bersalah dalam hal ini, bukankah aku sendiri yang tidak mengiyakan lamaran kang Aswin waktu itu.?"
Mata kami saling bertemu dengan tatapan mengunci.
Suara telepon dari ponselku membuyarkan kebisuan diantara kami.
Nama Dewi tertera di layar datar milikku.
"Iya Wie, gimana?"
"Sebentar lagi pertemuan dimulai Bu, Bu Muthia sudah ditunggu."
"Baiklah, saya akan segera kesana."
Mematikan sambungan telepon dari Dewi dan berpamitan dengan kang Aswin.
"Kang saya permisi dulu ya, insyaallah Alloh jika ditakdirkan untuk bertemu lagi, semoga dengan keadaan yang lebih baik."
"Muthia, boleh aku minta nomer ponselmu." Pinta kang Aswin.
"Aku mengernyit menatapnya ragu.
"kamu jangan salah paham, aku hanya ingin mengundangmu untuk jadi pembicara di acara peresmian yayasan yang sebentar lagi akan dibuka." Seolah mengerti keraguan ini, hingga tanpa di minta, kang Aswin menjelaskan secara detail.
"Boleh..."
Memberikan satu kartu namaku dari dalam tas, dan menyodorkannya ke arah kang Aswin.
"Ini kang, kang Aswin bisa hubungi saya ke nomer yang ada disitu."
"Kalau begitu saya pamit dulu ya, Assalamualaikum..."
"Waalaikumsallm jawabnya lirih."
#Masa lalu, yang sudah membuatku hampir gila karena sebab penyesalan. Cinta yang tak mau pergi hingga saat ini, rasa yang tak mampu pergi dari relung hati terdalam. Dengan susah payah aku bangkit dan berusaha untuk melupakan. Tapi kini, cinta itu datang lagi, dengan sosok yang sama tapi dengan keadaan yang berbeda. Tuhan, ujian yang seperti apa lagi yang akan aku jalani setelah ini.
Setelah seharian berkutat dengan pekerjaan,ini saatnya mengistirahatkan diri, merebahkan tubuh diatas kasur, namun pikiran ini kembali terngiang dengan perjumpaan yang tak disengaja dengan kang Aswin.
Bayangan masa lalu, kembali berputar di ingatan.
Rasa itu masih tetap sama, senyum dan tatapannya masih menggetarkan jiwa ini, namun harus aku sadari, jika kini ia sudah jadi milik wanita lain, bahkan sudah memiliki dua orang anak, sedangkan aku? aku masih terkungkung dengan perasaan yang sama, perasaan yang selalu tak pernah bisa aku buang dalam hatiku, sampai kapan hati ini sanggup bertahan dalam kebodohan ini.
Memejamkan mata meski hati dan pikiran terus berkelana.
Bunyi ponsel tanda ada pesan masuk membuatku terjaga dari segala angan dan kenangan. Segera ku ambil ponsel diatas nakas samping tempat tidur.
Tertulis nama kang Aswin disana, mengernyitkan dahi, ternyata aku masih menyimpan kontaknya dan itu artinya kang Aswin masih menggunakan nomer yang sama dan belum mengganti dengan nomer yang baru, sedangkan diriku entah sudah berapa kali ganti nomer ponsel.
Ku baca pesannya yang dikirim melalui aplikasi berwarna hijau itu.
[Asalamualaikum, lagi dimana sekarang?]
Belum sempat aku balas kang Aswin sudah mengirim pesan lagi.
[Di Jogja berapa hari?
Besok jika tidak keberatan dan ada waktu bisa kita ketemu? ada yang ingin aku sampaikan.]
[Lagi di hotel kang, istirahat, Insya Alloh tiga hari disini.
Insya Alloh diusahakan, mau ketemu dimana?]
Dan pesanku langsung centang biru yang artinya langsung terbaca olehnya, tak berselang lama ada tulisan mengetik di atas layar, kang Aswin langsung mengetik balasan.
[Gimana kalau ketemu di cafe dekat hotel kamu menginap? nanti Sherlock saja tempatnya.]
[Baik. ]
Jawabku singkat.
[Jam lima sore gimana, bisa?]
[Insyaallah bisa.]
[Jawabnya singkat dan padat begitu, apa aku mengganggumu?]
[Tidak, aku hanya akan beristirahat.]
[Baiklah, selamat rehat yaa, semoga tidurnya nyenyak.
Asalamualaikum.]
[Iya kang, terimakasih.
Waalaikumsallm...]
Obrolan lewat chat pun berakhir, bukannya tidak ingin menanggapi atau berlama lama ngobrol dengannya, lebih tepatnya aku hanya ingin menyelamatkan hatiku dari rasa yang tidak seharusnya, aku harus bisa menjaga diri dan hatiku sendiri.
Sebentar lagi kami akan bertemu, kuat kan hati ini ya Tuhan, entah apa yang akan kang Aswin bicarakan, kenapa sedari tadi perasaanku tidak enak.
☘️☘️
Dari kejauhan nampak kang Aswin berjalan menuju ke arahku, celana jeans hitam dipadukan dengan kaos lengan panjang warna putih ada garis biru di lengannya, tampan itulah yang ada di otak ini saat melihatnya, namun aku buru buru membuang tatapan ini ke sembarang arah, aku tak mau terlihat terpesona dengan milik orang lain.
"Sudah lama menunggunya?" Pertanyaan pertama saat ia sudah ada di hadapanku.
"Nggak kok, ini juga barusan sampai." kilahku ramah.
Dan kami memesan kopi latte, minuman yang selalu menjadi favorit kami, dan beberapa makanan ringan untuk jadi cemilan.
Matanya memandangku lekat, jujur itu membuatku salah tingkah.
"Kenapa kang Aswin menatapku seperti itu?"
Memberanikan diri bicara, karena aku sudah merasa tidak nyaman dengan pandangannya.
Huuuufft....
Ditariknya nafas panjang dan dihembuskan berlahan.
"Kamu masih seperti dulu yaa, tidak berubah bahkan makin keliatan cantik." Ucapnya tegas.
Dulu aku sangat senang dengan pujian itu, tapi saat ini pujian itu seakan hambar, mungkin karena dia sudah jadi suami wanita lain.
Aku hanya diam saja menanggapinya acuh.
"Apa yang ingin kang Aswin bicarakan?"
Hanya kalimat itu yang bisa terlontar setelah berusaha menahan semua gejolak hati ini.
"Thia, kenapa kamu masih betah sendiri sampai sekarang?"
Deg, pertanyaan konyol bagiku.
"Mungkin jodohku masih sembunyi." jawabku acuh.
Lagi dan lagi tatapan itu, tatapan lembut dan penuh wibawa, membuatku semakin tak mampu beranjak dari mencintainya, aaah rasa yang bodoh, jelas jelas dia sudah jadi milik wanita lain, sadar Muthia.
"Jika aku memintamu untuk jadi istriku, apakah kamu bersedia?"
Deg, entah apa yang aku rasakan saat ini, haruskah aku senang karena laki laki yang aku jaga cintanya kini kembali memberikan surga yang ku rindukan, tapi bagaimana dengan wanita yang saat ini menjadi istrinya? aku tidak boleh egois hanya karena demi bahagiaku, ada hati wanita lain yang terluka, tidak! aku tidak boleh egois, batinku gamang.
"Bukankah kang Aswin sudah punya istri dan ada anak anak kang Aswin yang harus dijaga hatinya?
Jangan bercanda kang, karena itu hanya akan membuat sakit hati." Balasku acuh.
"Aku tidak bercanda, bahkan aku sudah memikirkan ini semalaman, bukankah masih ada perasaan itu diantara kita meskipun keadaan yang berbeda." Jawabnya tegas dengan tatapan yang masih sama, penuh rindu di sana.
"Lalu bagaimana dengan keluarga kang Aswin? aku tidak ingin disebut dan di cap sebagai perusak rumah tangga orang lain, meskipun aku akui jika perasaan itu masihlah tetap ada."
"Istriku baik, ia wanita yang lembut dan taat. Dia paham dan mendukung poligami, kami sudah pernah membicarakan ini seringkali.
Kalau yang datang memintamu untuk menjadi istriku itu Sandra istri pertamaku, apakah kamu bersedia?"
Aku hanya diam membisu, mencerna apa yang sudah kang Aswin bicarakan, menatap lekat manik mata indahnya, mencari kesungguhan disana, dan sialnya aku menemukan itu.
"Tolong kasih aku waktu untuk berfikir, karena ini bukanlah sesuatu yang mudah, bagaimanapun akan ada hati wanita yang jadi taruhannya, aku tidak mau menyakiti, karena aku juga tidak ingin tersakiti, aku harap kang Aswin memahami ini."
"Baiklah, pikirkan ini dengan baik, dan aku yakinkan jika semua akan baik baik saja nantinya, percayalah !!
Sudah malam, lebih baik aku antar kamu kembali ke hotel, istirahat dan jangan banyak kerja, jaga dirimu baik baik yaa."
Ada rasa sejuk dan nyaman akan tuturnya, aah kenapa hubungan ini harus serumit itu.
"Baiklah." Jawabku singkat.
Kami berjalan beriringan menuju tempat parkir dan kang Aswin menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, tidak ada percakapan lagi dalam perjalanan, karena memang lokasi hotel dan cafe sangatlah dekat, hanya berjarak lima ratus meteran.
"Sudah sampai, trimakasih sudah mengantar."
"Iyaa, masuk dan istirahat jangan lupa kunci pintunya."
Aku hanya tersenyum menanggapi perhatiannya itu.
Kang Aswin pun melajukan mobilnya kembali menuju tempat ia menginap.
Rentetan demi rentetan bayangan masa lalu dimana kami dipertemukan setelah sekian lama hilang kontak, Cintaku begitu besar terhadap laki laki yang kini menjadi suamiku, nyatanya, meskipun sudah bertahun tahun kami tidak saling berkabar, aku masih berdiri di tempat, tak mampu membuka hatiku pada laki laki lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!