NovelToon NovelToon

Yes, It'S U

Bab 1

Braaakkkk ...,

Suara ponsel yang terjatuh tidak membuatnya tersadar dari keterkejutannya mendengar kabar yang baru saja disampaikan salah seorang sahabatnya.

Pria itu tetap berdiri tegak, matanya menatap kosong ke depan seakan ada yang menarik di sana. Cukup lama dia tertegun sampai tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan ambruk terduduk di lantai. Air matanya mulai mengalir keluar dalam diam.

Ingatan tentang seorang gadis yang tersenyum membayang di depan matanya. Seorang gadis yang selama belasan tahun menghuni hati dan pikirannya.

Pria tadi mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Dia beberapa kali menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Mencoba menelaah kembali apa yang baru saja dia dengar dari sahabatnya.

"Benarkah kabar yang aku dengar tadi?" tanyanya dalam hati.

"Sebaiknya aku telepon yang lain untuk memastikannya," ucapnya bermonolog.

Pria itu mengusap air mata yang sudah mulai mengering di pipinya, mengedarkan pandangan mencari ponsel yang terjatuh karena keterkejutannya.

Dia menggulir layar ponsel mencari nama sahabatnya yang lain.

"Assalamu'alaikum, Qih ... tadi aku ditelepon Yudhi, dia bilang kalo Ergha ...," ucapnya, tidak dapat lagi dia melanjutkan ucapannya.

"Iya," ucap sahabatnya di seberang telepon.

Pria tadi mematikan teleponnya, berusaha bangkit berjalan ke arah kursi dan duduk di sana menatap keluar jendela besar, menenangkan pikirannya.

Dia adalah Nalendra Sulaiman. Seorang pengusaha muda ternama di negaranya. Berwajah tampan dan berperawakan bagai atlet.

Matanya beralih pada sebuah laci di meja kerjanya. Dia membuka laci tersebut dan mengambil foto seorang gadis berseragam SMA yang sedang tersenyum.

Seorang gadis dengan wajah yang tidak terlalu cantik, tetapi mempunyai senyum yang tulus dan meneduhkan orang yang memandangnya. Lama mata Nalendra menatap foto gadis itu.

"Apa kau baik-baik saja, tidak ... kau pasti sedang menangis. Apa yang harus aku lakukan?" Nalendra Kembali bermonolog.

Kini dia sedikit menengadah sambil menutup mata, seakan berusaha menahan air mata agar tidak jatuh kembali ke pipinya.

Seburat bayangan gadis di foto tadi sedang tersenyum dan bercanda tawa dengan teman-teman perempuannya yang tengah di samping lapangan sekolah belasan tahun yang lalu. Matanya yang coklat berkilau sedikit melirik ke arah laki-laki yang berjalan di depannya bersama teman-temannya pula.

Lelaki muda itu melihat gadis bermata coklat itu tersenyum padanya. Ada debaran yang sulit dia artikan, tetapi rasa senang langsung menghinggapi kalbunya. "Siapa dia? kenapa dia melihatku?" gumamnya dalam hati.

Lelaki muda itu adalah Nalendra, baru seminggu dia pindah ke Sekolah Negeri 1 yang dekat dengan rumahnya. Sebelumnya dia bersekolah sekaligus pesantren di kampung halaman ayahnya di Garut. karena suatu hal, saat menginjak kelas dua dia pindah ke sekolah negeri di dekat rumahnya di daerah Bandung.

Gadis bermata cokelat yang meliriknya terus melekat dalam ingatan. Ingin sekali dia menanyakan pada temannya tentang gadis bermata cokelat itu, tetapi dia takut jika teman-teman barunya akan langsung mencapnya Playboy. Bagaimana tidak, belum genap dia seminggu pindah sudah menanyakan seorang gadis, pasti temannya akan langsung menertawakannya.

Hari berganti, Minggu pun telah berganti bulan. Sudah hampir tiga bulan dia pindah sekolah. Setiap hari dia selalu melihat gadis bermata cokelat itu, tetapi namanya pun dia tidak tahu. Gadis itu satu angkatan dengannya hanya berbeda kelas.

"Hei, kamu mau ikut ga?" tanya Rezky teman sebangkunya. "Ngelamun Mulu!"

"Kemana?" tanyanya dengan

wajah datar.

"Astaghfirullah, kirain dari tadi dengerin. Kita mau nengok Liana!" seru Imam, sedikit kesal karena merasa tidak omongannya didengarkan Nalendra.

"Iya, maaf ...," sesal Nalendra. Dia baru teringat Liana yang katanya masuk Rumah sakit Karena peradangan usus buntu beberapa hari yang lalu.

"Ok, nanti sore jam empat kita kumpul di dekat kota baru, kita ngambil jam besuk sore aja yang jam 5. Aku nebeng sama kamu aja ya 'Ndra," ucap Rezky tersenyum dengan senyuman rayuannya. Rumahnya dan Nalendra lumayan dekat pikirnya.

"Baiklah, siapa aja yang ikut?" tanya Nalendra.

"Kita-kita aja, berlima sama si Willy," jawab Habib Putra, dia teman sebangku Liana.

"Willy?" tanya Nalendra, mengernyitkan alisnya.

"Willy, anak IPA 1. Dia teman Liana dari SD," jelas Rezky.

"Oh." Nalendra mengangguk, matanya kembali menatap ke arah kelas gadis bermata cokelat. Hari ini dia belum melihat gadis itu. Waktu istirahat sudah hampir selesai, tetapi gadis bermata cokelat belum terlihat keluar dari kelasnya.

"Apa dia tidak sekolah?" tanyanya dalam hati. Raut khawatir mulai terlihat di wajah tampannya, Nalendra menghembuskan nafas panjang.

"Kenapa? udah, ga usah sedih gitu. Nanti juga ketemu," ledek temannya.

"Apaan sih!" sergah Nalendra disambut tawa teman-temannya.

***

Sesuai janji mereka berkumpul di depan kawasan kota baru. Mereka berempat, Nalendra, Rezky, Imam dan Willy bersiap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Liana dirawat.

Butuh hampir satu jam perjalanan dari Sekolah ke Rumah Sakit tempat Liana dirawat. Salah satu Rumah Sakit besar milik Pemerintah di daerah Bandung.

"Kamar berapa?" tanya Willy sambil membuka helmnya dan menghampiri Habib Putra yang telah menunggu mereka di parkiran Rumah Sakit.

Habib melihat ponselnya, "Gedung D lantai 2," ucapnya. "ayo cepet."

Langit terlihat cerah sore itu. Mereka berlima berjalan ke arah gedung tempat Liana dirawat. Melewati resepsionis, lorong gedung dan memasuki lift yang akan membawa mereka ke lantai dua.

"Malas naik tangga," ucap salah seorang diantara mereka.

Mereka berjalan ke arah kamar yang ditunjukan oleh perawat yang sedang berjaga.

"Kamar VIP emang beda," bisik Imam tersenyum simpul pada teman-temannya.

Setelah mengetuk pintu, mereka langsung masuk ke kamar tempat Liana dirawat. Terlihat Liana sedang duduk bersandar pada bantal yang tertumpuk di tempat tidurnya, di sofa seorang wanita paruh baya tersenyum menyambut kedatangan mereka.

"Ah ... itu pasti mamanya," gumam Rezky menghampiri wanita paruh baya tadi dan menyalaminya, begitu pun dengan teman-temannya yang lain.

"Ayo duduk ... duduk sini," ajak wanita paruh baya tadi menunjukan sofa tempat dia duduk sebelumnya.

"Makasi, Tante," ucap Habib Putra tersenyum.

Nalendra tersenyum melihat interaksi Habib Putra dengan wanita paruh baya itu. Ya, dia sudah tahu Liana dengan Habib Putra memang mempunyai kedekatan yang cukup unik. Mereka bersahabat sejak kelas 1 SMA walaupun berbeda kelas. Namun, mereka tidak sampai berpacaran hanya bersahabat.

"Eh, ada Rania," celetuk Habib Putra ketika melihat sosok wanita berkerudung sedang duduk di kursi samping tempat tidur Liana.

Gadis itu menoleh pada Habib Putra dan memberikan senyuman yang sangat manis. "Hai, Bib," sapanya.

Nalendra seketika berbalik mendengar suara yang sedari pagi dia rindukan lalu melihat gadis yang baru saja menyapa temannya dan terpaku. Jantungnya mulai berdetak kencang lebih dari biasanya.

"Gadis itu ...," gumamnya dalam hati.

"Ko ga cerita Rania mau ke sini?" tanya Habib Putra.

"Ngapain juga cerita!" celetuk Liana.

"Ya kalo dia cerita kan bisa bareng sama aku ke sininya," jelas Habib Putra.

"Bareng gimana, jauh kali Bib," jawab Rania sambil tersenyum.

"Ga usah dianggap, dasar onta!" ledek Liana membuat Riana terkekeh.

"Oh iya pasti belum kenal kan. Ini Nalendra murid baru yang aku ceritain waktu itu," terang Liana pada Rania karena dia tau sedari tadi temannya ini mencuri lirikan pada teman barunya.

"Hai." Rania mengulurkan tangannya menyapa Nalendra.

"Hai juga, Nalendra," jawabnya memperkenalkan diri.

"Rania," balas Rania.

"Udah jangan kelamaan salamannya," bisik Rezky cekikikan melihat wajah Nalendra yang entah mengapa terlihat memerah tersipu.

"Gimana kabarnya?" tanya Nalendra pada Liana.

"Ko bisa sih kamu kena usus buntu?" tanya Willy.

Liana menceritakan awal kejadian dia sakit perut hingga masuk UGD lalu dinyatakan usus buntu dan harus dioperasi.

Semua menyimak Liana yang bersemangat bercerita, kecuali Nalendra yang sesekali melirik Rania yang duduk di kursi samping brangkar.

"Rania ... jadi gadis bermata cokelat itu bernama Rania. Nama yang bagus," gumam Nalendra dalam hati. Dia merasa sangat senang akhirnya bisa mengetahui nama gadis bermata cokelat itu.

ceklek ...

Semua yang di sana menoleh ke arah pintu. Seorang laki-laki berbadan tinggi masuk keruangan Liana. "Eh, banyak tamu,"

"Katanya tadi sebentar, tapi ko lama banget!" gerutu Liana.

Laki-laki tadi hanya tersenyum, lalu duduk di dekat mama Liana.

"Udah mau magrib, aku pulang ya," ucap Rania pada Liana dan di balas anggukan.

"Nanti aja bareng," pinta Habib Putra.

"Bareng bareng, rumahmu itu berlawanan arah, ga akan bisa bareng!" sergah Liana membuat Rania tertawa kecil.

"Vid, bukannya mau ngambilin baju mamih, tuh sekalian anterin Rania pulang," titah Liana pada saudaranya. "ini dah malem, biar dia anterin, sekalian jalan."

"Oke," jawab Rania tersenyum.

"Baiklah," jawab David singkat. David adalah saudara sepupu Liana. Usia mereka hanya berbeda dua tahun, lebih tua David.

"Ayo," ajak David pada Rania. "wa' uih hela," lanjutnya berpamitan pada mama Liana.

"Nya ... ati-ati, Kade dijalanna," jawab mama Liana. "Nuhun Rania," lanjutnya memeluk Rania.

"Kenapa dia ga nolak?" gumam Nalendra dengan wajah cemberut melihat Rania keluar dari kamar diikuti David.

Bab 2

"Kenapa dia ga nolak?" gumam Nalendra dengan wajah cemberut melihat Rania keluar dari kamar diikuti David.

"Na, Amih ke kantin dulu ya, lapar," kata Bu Ratna, mamanya Liana. "sakalian shalat," lanjutnya.

Liana hanya mengangguk pelan. Sekarang tinggallah Liana dengan teman-temannya.

"Na, sodaramu tadi ko ga nolak pas disuruh sekalian nganterin Rania, Rania juga ga nolak," tanya Imam penasaran.

"Ya ga akan mungkin nolaklah. 'Kan ada Amih, tar dimarahi kalo ga nurut," kelakar Liana sambih tertawa.

"Kayanya sodaramu suka Rania," celetuk Imam.

"Emang ..., tapi ditolak," jawabnya tertawa.

Mereka mengobrol panjang lebar tentang semua yang bisa mereka obrolkan mulai dari pelajaran, guru, makanan kantin sekolah hingga gosip yang sedang beredar di sekolah pun mereka obrolkan.

Waktu memang tidak terasa jika sudah asik mengobrol dengan teman. Mereka menghabiskan waktu kunjungan sampai pukul 7 malam.

"Pulang yuk," ajak Willy sambil melihat jam yang melingkar di tangannya. "dah malem nih."

Malam itu Nalendra pulang dengan membawa banyak pertanyaan di benaknya, semuanya tentang Rania. Namun, dia juga merasa bahagia karena mendapati jika Rania beberapa kali mencuri lirikan padanya.

"Apa dia menaruh hati padaku?" itulah salah satu pertanyaan yang dia pikirkan, tetapi membuatnya tersenyum bahagia.

tok, tok, tok ...

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan panjangnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan dan memperbaiki posisi duduknya untuk menyembunyikan apa yang baru saja dia lakukan.

"Maaf, Pak. Ibu anda menghubungi saya, beliau bertanya kenapa Anda tidak bisa dihubungi," ungkap Aziz, asisten pribadinya.

"Oh," jawab Nalendra sangat singkat.

"Kalau begitu saya permisi, Pak," pamit Aziz.

"Ehm, tunggu ... tolong atur kembali sisa jadwalku hari ini dan besok. Aku ada urusan urgent," titahnya.

"Baik, Pak," jawab Aziz lalu meninggalkan Nalendra sendirian.

Aziz menghela nafas begitu menutup pintu ruangan atasannya. "Nambah kerjaan lagi!" gerutunya.

Nalendra langsung meninggalkan perusahaannya. Dia tidak mau membuang waktunya, Ingin segera mengetahui kabar wanita pujaannya kini.

"Semoga ga macet," harapnya begitu masuk ke dalam mobil dan melajukannya.

Jalanan Jakarta memang tidak bisa diajak berkompromi, beberapa kali dia terjebak jalanan yang padat merayap sebelum memasuki tol dalam kota. Sudah memasuki tol pun terkadang harus menahan emosi menghadapi kemacetan.

Setelah keluar salah satu tol di Bandung dia pun menghubungi temannya.

"Di mana? aku baru keluar tol," tanyanya langsung tanpa basa-basi.

"Kita dah di rumahnya, langsung sini aja," Kata temannya di seberang telepon.

Nalendra langsung mematikan sambungan teleponnya. "Semoga ga macet," gumamnya.

Setengah jam kemudian dia telah sampai di depan sebuah rumah yang telah dipasangi tenda. Dia mengedarkan pandangan mencari seseorang yang dia kenal.

"Itu mereka," ucapnya dalam hati.

"Assalamu'alaikum, hai Bro," salamnya pada teman-temannya yang sedang duduk berkumpul.

"Aku masuk dulu," lanjutnya setelah bersalaman dengan teman-temannya.

Dia berjalan masuk ke rumah bertenda tadi, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Begitu memasuki rumah terlihat banyak orang yang sedang melayat, di hadapannya nampak Jenazah yang telah terbungkus kain kafan dan tertutup kain samping batik berwarna cokelat sampai ke leher, sedang bagian kepala masih belum terbungkus dan ditutup oleh kain transparan berwarna putih.

Matanya kini tertuju pada wanita di samping jenazah yang sedang mengobrol dengan beberapa orang pelayat. Dia segera menghampirinya, Hatinya sungguh sakit melihat wanita tadi berusaha tersenyum pada semua orang yang menghampirinya, tetapi matanya berusaha menahan air mata yang siap menerjang pertahannya.

"Assalamu'alaikum," sapa Nalendra pada wanita tadi setelah memastikan para pelayat yang semula mengobrol dengan wanita itu pergi.

"Wa'alaikumsalam," balas wanita tadi dengan tersenyum yang dipaksakan.

"Terimakasih sudah datang," lanjutnya lagi sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada sebagai pengganti bersalaman.

Nalendra hanya mengangguk lalu duduk tidak jauh dari wanita tadi dan mulai membaca surat Yassin di ponselnya. Ingin rasanya dia memeluk wanita itu,menanykan bagaimana perasaannya walaupun dia tahu pasti hatinya sedang sakit karena ditinggal orang terkasihnya.

Nalendra dan teman-temannya ikut pergi ke pemakaman setelah menyalati jenazah di mesjid. Mereka masih merasa tidak menyangka jika temannya sudah pulang terlebih dahulu dipanggil Sang Maha Pencipta.

Setelah para pelayat mulai pulang, kini mereka tengah duduk bersama di dalam rumah yang berduka bersama istri dari sahabat mereka yang tidak lain adalah Rania si gadis bermata cokelat didampingi orangtuanya, mertuanya juga beberapa keluarga dan rekan kerja Ergha.

Rania mulai menceritakan dari saat dia ditelepon pihak berwajib yang memberitahunya jika suaminya mengalami kecelakaan.

"Saat itu aku sedang menemani Dareen tidur. Beberapa kali ponselku berdering, aku tidak mengangkatnya karena no nya tidak aku kenal dan sudah pukul 8. Aku hanya takut itu orang iseng yang menelepon secara acak," ucapnya memulai bercerita.

"Kemudian ada telepon dari ponselnya Ergha, aku ga pernah membayangkan jika yang menelepon itu bukanlah dia tapi Pak polisi ngasih tau jika Ergha kecelakaan dan sedang menuju RS di Bekasi." air matanya mengalir di pipinya yang memerah, sesekali terlihat bahunya sedikit berguncang menahan air mata agar tidak terlalu banyak yang keluar.

"Saat mendengarnya entah kenapa tiba-tiba jadi sunyi sampai Dareen menepuk-nepuk tanganku memanggilku. Baru aku sadar dan mencoba menelepon balik Ergha. Setelah aku mendengar ulang, aku menghubungi adenya Ergha dan memintanya menjemputmu. A-aku tidak mungkin bisa ke sana sendirian," terangnya.

Cukup lama Rania terdiam tidak melanjutkan ceritanya kembali. Semua yang berada di sana pun tidak ada yang bersuara, mereka mencoba memberi waktu bagi Rania mengatur kembali pikirannya yang kalut.

Tidak sedetik pun Nalendra mengalihkan pandangannya. Dia memandang wajah wanita bermata cokelat itu, beberapa kali dilihatnya dia menyeka air mata yang keluar dari matanya yang terlihat membengkak karena menangis.

Nalendra menarik nafas pelan mencoba mengatur nafasnya kembali, menahan air mata yang hendak jatuh dan keinginan untuk memeluknya.

"Ketika kami tiba di sana di UGD, Mereka sudah menutup tubuhnya. Di-a Di-a sudah ga ada." Rania kembali tersedu.

"Iya, begitu kami tiba Ergha sudah tidak ada. Dia masih ada ketika mereka membawanya ke Rumah Sakit dan sempat mendapat pertolongan. Namun, rupanya Allah lebih merindukannya hingga memanggilnya sebelum kami tiba," sambung pak Darmawan ayah Ergha sambil memegang tangan istri tercintanya berusaha menguatkan diri terutama istrinya karena kehilangan anak laki-laki satu-satunya.

"Kami pun berembuk dengan Rania menentukan di mana Ergha akan di makamkan. Rania meminta agar Ergha di makamkan di makan keluarganya, tentu saja kami harus berembuk juga dengan keluarga Rania di sini. Alhamdulillah, Ayah Rania dan Om nya tiba dua jam kemudian dan kami pun sepakat memakamkannya di sini," lanjutnya.

"Kami sangat terkejut begitu membaca pesan dari Ergha di grup kantor. Saya pikir Ergha sedang bercanda, tapi kemudian ada yang menghubungi kami dari ponsel Ergha memberitahu semuanya," kata Bu Adni, salah satu atasan Ergha di kantor.

"Itu adik saya, saya menyuruhnya memberi kabar duka ke kantor juga ke teman-temannya," jawab Rania.

"Kemarin tuh kami cerita-cerita, dia bercerita jika anaknya minta sepeda baru padahal sepeda yg ada di rumah aja masih bagus dan katanya belum berani mencopot roda bantunya," ungkap Bu Adni. "jujur saja, saya masih belum sepenuhnya percaya dia telah tiada."

Rania tersenyum, dia ingat jika Ergha berencana membelikan sepeda baru untun Dareen di hari libur nanti. Rania menghela nafas, sesak sekali rasanya.

"Bunda ...." Semua orang berbalik ke arah asal suara anak kecil tersebut.

"Dareen ...," jawab Rania memanggil anaknya, segera dia menyeka Bekas air mata dan tersenyum. Dia tidak mau Dareen melihatnya dalam keadaan yang menyedihkan.

Rania sedikit merentangkan tangannya ketika Dareen menghampirinya, mereka berpelukan. Pelukan hangat dari seorang anak kecil yang mampu menguatkan Rania melewati ujian kehidupan.

Dareen adalah anak satu-satunya Rania dan Ergha. Dia baru berusia empat tahun. Wajahnya mirip sekali dengan Ergha.

"Dareen sayang Bunda," ucapnya. Rania tak sanggup menahan tangisnya dan menciumi wajah Dareen.

Semua yang ada di sana berusaha menahan tangis haru melihat pemandangan di depan mata mereka. Terharu melihat seorang anak yang harus kehilangan ayahnya diusia balita dan sekarang sedang menghibur Sang Bunda.

Dareen menunjukan mainan keretanya pada Rania.

"Dikasih om," ucapnya.

"Oh, dibeliin om Zyan. Udah bilang makasi?" tanya Rania melihat kereta kecil di genggaman anak semata wayangnya.

Dareen menggelengkan kepalanya lalu berdiri dan berjalan menghampiri lalu duduk di pangkuan seorang pria umur 30an.

Nalendra terkejut ketika Dareen tiba-tiba duduk di pangkuannya. Jantungnya berdetak tak karuan apalagi setelah menyadari Rania menatapnya.

"Ah, i- tu ...,"

Bab 3

Nalendra terkejut ketika Dareen tiba-tiba duduk di pangkuannya. Jantungnya berdetak tak karuan apalagi setelah menyadari Rania menatapnya.

"Ah, i- tu ...,"

"Haturnuhun," ucap Rania tersenyum.

Nalendra bersyukur kulitnya sawo matang, setidaknya itu mungkin bisa menutupi wajahnya yang memerah karena Rania tersenyum padanya. Dia mengusap kepala Dareen lembut, menyembunyikan rasa gugupnya.

"Sudah sore, kami pamit ya Rania," kata Bu Adni berpamitan. Beliau memeluk Rania untuk menguatkannya.

"Terimakasih, Bu." Bu Adni mengangguk.

Rania dan orangtuanya juga mertuanya mengantarkan rekan-rekan Ergha sampai parkiran. Nalendra dan teman-temannya masih mengobrol di luar rumah orangtua Rania ditemani Dareen yang sepertinya nyaman sekali duduk di pangkuannya sampai waktu magrib tiba, mereka berjamaah di mesjid terdekat dan pamit pulang.

Ini adalah malam pertama Rania tanpa Ergha di sampingnya. Dia tidak mampu membendung tangisnya ketika melihat Dareen tertidur pulas di sampingnya. Cara tidur Dareen begitu mirip dengan Ergha, Rania membelai wajah anak semata wayangnya dengan lembut.

"Jadilah anak yang shaleh, yang kuat agar Bunda juga bisa kuat melewati semuanya tanpa ayahmu. Insya Allah kita bisa melewati semuanya, Allah sungguh Maha Baik, Maha Perencana yang baik. Allah punya rencana yang sangat indah buat kita berdua, Dareen. Bunda sayang Dareen." Rania mencium kening Dareen lembut tanpa membangunkannya.

Hari yang panjang dan sangat menguras emosi tidak membuat Rania terlelap, bahkan dia tidak bisa tidur. Nafasnya sungguh berat. Jam sudah menunjukan pukul dua dini hari, tetapi Rania tetap belum bisa memejamkan matanya. Pikirannya sangat kalut, air mata terus merembes ke pipinya.

Akhirnya, dia memutuskan untuk bangun mengambil air wudhu dan shalat malam. Dia ingin mengadu pada Rabb-Nya, berharap Rabb-Nya akan menguatkan dan menenangkan hatinya yang kalut.

Waktu sungguh berjalan amat lambat, itulah yang Rania rasakan sekarang. Menunggu waktu subuh sambil membaca Alquran.

"Buunnaaaa." Dareen sepertinya melompat dari tempat tidur dan langsung memeluk dari belakang Rania yang sedang duduk di sajadahnya .

"Sudah bangun?" tanyanya membelai pipi Dareen dari samping.

"Bunda, ayah ko ga pulang?" tanyanya membuat Rania agak gelagapan. Namun, dia berusaha tenang.

"Ayah sudah pulang, Sayang. Allah telah memanggil ayah karena merindukannya." Entah Dareen mengerti atau tidak apa yang baru saja Rania katakan.

"Jadi kapan ayah kapan akan pulangnya?" tanyanya lagi.

"Apa Dareen rindu ayah?" Rania balik bertanya pada putra kesayangannya.

"Iya, Aku ga sabar deh ketemu ayah," jawabnya polos.

"Ga sabar? kenapa emangnya, Sayang?" tanya Rania lembut.

"Ayah kan janji sama aku mau beliin sepeda buatku. Bunda, besok 'kan hari Sabtu, ayah libur 'kan?" tanyanya lagi.

Rania menarik nafas pelan. Rasanya sakit sekali mendengar penuturan anaknya, seperi tertusuk sesuatu yang tajam.

"Iya, nanti biar bunda atau Om Zyan aja yang beli ya," jawab Rania.

"Kenapa? apa ayah ga mau beliin aku sepeda. Bukankah ayah janji, Bunda. kalo janji kan harus ditepati, iya kan Bunda," jelasnya.

"Bukan, bukan ayah ga sayang lagi. Ayah sangat sayang sama Dareen juga bunda. Kemarin ayah sudah bilang ke bunda dan nitipin uangnya ke bunda. Jadi nanti biar bunda aja yang beli diantar Om Zyan, Ok Sayang."

"Apa ayah kerja luar ya Bunda. Ko ga bisa aku." terdengar seburat kekecewaan dalam suaranya.

"Tidak, Sayang," jawab Rania. "Eh, ko malah ngobrol. Ayo cepat masuk kamar mandi ambil wudhu, nanti shalat ke mesjid sama Abah sama Om," ucap Rania yang bingung harus menjelaskan seperti apa ke Dareen.

Sejak bayi Dareen selalu bangun sebelum subuh, itu terus berlanjut hingga sekarang. Makanya Ergha dan Rania sepakat untuk mengajarinya ikut ke mesjid shalat subuh itu pun tidak dengan paksaan. Mereka bersyukur Dareen mau belajar ikut ayahnya ke mesjid dan sangat antusias begitu mendengar adzan.

**

"Teh, Ibu sama Bapak mau pulang dulu ke Bekasi. Mau ngurus surat-surat kematian A Ergha, nanti bapak mungkin minta bantuan pak Hartono buat ke Polsek na mah. Bapak minta surat kuasa teteh. 'Kan harusnya teteh yang ngurus semua, tapi 'kan teteh harus di sini dulu," kata Pak Darmawan.

"Iya, Rania mungkin di sini sampai 7 harinya," balasnya.

"Nanti juga besok kan 3 harian dan 7 hariannya Bapak sama Ibu juga ke sini lagi sama Febri," ujarnya. dibalas anggukan oleh Rania.

Hari itu, banyak tamu yang masih berdatang untuk mengucapkan duka pada Rania.

Hari ke-3 pun tamu masih berdatangan. Keluarga Ergha yang tinggal di Bandung datang ke rumah orangtua Rania, ikut membantu persiapan tahlilan 3 harian. Orang tua Ergha akan datang di sore hari karena masih harus menyelesaikan beberapa hal.

"Bunda, ini hari apa?" tanya Dareen menghampiri Rania dan duduk di pangkuannya.

"Hari Sabtu, Sayang." Rania memeluk mencubit gemas pipinya.

"Ayah ko belum pulang juga. Apa ayah lupa mau beliin aku sepeda hari ini, 'kan ga boleh bohong ya bunda," ujarnya sedikit cemberut.

Rania memejamkan matanya, "Bagaimana caraku menjelaskannya?"

"Ayah ga lupa, Sayang. Ayah ... sudah meninggal," ucapnya pelan. "ayah sudah tidak bisa menemani kita di sini, kalau Dareen sayang ayah dan rindu sama ayah, Dareen bisa berdoa sama Allah, agar Allah memberikan kebahagiaan di sana dan Dareen juga harus bersikap baik, rajin ibadahnya agar nanti kita bisa berkumpul kembali sama ayah di akhirat di surga-Nya Allah," terang Rania, berharap Dareen mengerti dengan penjelasannya.

"Ayah apa tadi?"

"Ayah sudah meninggal, Sayang. kalau Dareen sayang dan rindu sama ayah, Dareen harus rajin ibadahnya dan berdoa sama Allah agar kita nanti bisa bersama-sama lagi di akhirat di surga Allah," terang Rania membelai rambut anak semata wayangnya dengan lembut.

"Jadi, aku beli sepedanya sama siapa dong?" tanyanya.

"Sama om Zyan aja ya, tapi belinya nanti sore. Om Zyan lagi ke kampus dulu," jawab Rania.

"Kampus?"

"Kampus itu seperti sekolah. Dareen kan belajar di sekolah, nah ... Om Zyan belajarnya di kampus namanya," jelas Rania tersenyum.

"Aku dari kemaren ga sekolah."

"Nanti Dareen ikut ke sekolah ibu aja ya. Nanti bunda bilang ke ibu." Dareen mengangguk pelan, Ibu adalah panggilan Dareen untuk neneknya.

"Assalamu'alaikum."

Rania menengok ke arah pintu mendengar suara perempuan memberi salam.

"Wa'alaikumsalam, hai," ucap Rania tersenyum begitu melihat temannya datang.

"Maaf, aku baru bisa datang. Kemarin aku pelatihan beberapa hari di Lembang, jadi ga bisa pulang," ujarnya mendekati Rania lalu duduk di sampingnya dan memeluknya.

"Ga apa-apa," jawab Rania membalas pelukannya.

"Bunda, aku kejepit," ujar Dareen.

"Oh, iya maaf, Sayang." Rania lupa Dareen masih di pangkuannya. Dareen melirik tajam ke arah gadis yang memeluk bundanya.

"Maaf," ucap gadis itu sambil tertawa kecil. Dia mencubit pipi Dareen dengan gemas.

"Ih, ga boleh cubit-cubit!" serunya. Gadis itu semakin tertawa.

"Udah," ucap Rania memegang tangan Dareen yang menangkis tangan gadis tadi ketika hendak mencubitnya lagi.

"Ini Tante Liana, dia temannya bunda." Rania mengenalkan Liana pada Dareen.

Ya, gadis itu adalah Liana. Dia bekerja di kementrian kesehatan di kabupaten. Dia juga belum menikah.

Dareen melompat dari pangkuan Rania dan pergi keluar rumah. Rania tersenyum melihat anaknya cemberut. Dareen memang kurang suka di cubit-cubit pipinya, apalagi oleh orang yang tidak dia kenal.

"Aku di telepon Amih jam 4 subuh, ngasih tau. Amih nyuruh pulang, tapi kan ga bisa," ujarnya memegang tangan Rania.

"Iya, ga apa-apa," jawab Rania.

"Gimana kabarmu?" tanyanya lagi.

"Beginilah, aku lagi ga baik-baik aja, tapi berusaha baik-baik aja buat Dareen," jawabnya, matanya sudah berkaca-kaca.

Liana mengelus punggung Rania. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Rania, ditinggal orang terkasih selamanya.

"Dareen udah sekolah?" tanyanya.

"Sudah, dia baru masuk TK- A."

"Terus, rencana ke depannya gimana?" Liana memang selalu to the point.

"Entahlah, jujur aja aku belum memikirkannya. Semuanya terlalu mendadak, nyampe waktu aku di telepon polisi ngasih tau kejadiannya aja, aku tuh ng-blank. Rasanya ... nyampe sekarang aja, aku- aku masih berasa ini ga nyata," jelas Riana mulai meneteskan air matanya.

"Maafkan aku ... maafkan aku, aku ga pandai menghibur," ucap Liana menarik Riana ke dalam pelukannya dan menepuk-nepuk punggungnya.

"Buuunnndddaaaaa ...," panggil Dareen berlari ke arah Riana.

Riana lalu melepaskan pelukannya dari Liana dan mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

"Bundaa, aku mau beli sepeda sama Om." Dareen menunjuk ke arah pintu.

Rania melihat di pintu, sudah berdiri seorang laki-laki berbadan tinggi, lumayan tampan, berkulit sawo matang sedang tersenyum ke arah mereka.

"Assalamu'alaikum," sapanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!