Di sebuah ruangan yang sunyi. Dua pria saling berdiri membelakangi. Satunya terlihat sedang berpikir. Sedangkan satunya lagi terlihat sedang *******-***** sisi jasnya.
"Ayah—"
"Tidak bisa, Zion! Kakakmu harus menikah lebih dulu!" Hatinya berkali-kali sudah remuk menunggu restu dari ayahnya. Dia sudah berumur 28 tahun, umur yang matang untuknya menikah.
"Tapi kak Jason juga bisa menikah lebih dulu, kenapa aku—"
"Jangan membantah, Zion! Ayah nanti yang akan berbicara dengan keluarga Bella agar diberi jenjang waktu lagi." Kecewa sudah harapan Zion. Mereka sudah berpacaran selama 5 tahun dan karna sudah sama-sama siap mereka akhirnya memutuskan untuk langsung menikah tanpa pertunangan.
BRAAKKKK!!!!!
Zion yang kesal menutup pintu dengan membantingnya keras. Rasa kesalnya ia bawa sampai kamar kakaknya. Di depan pintunya ia menggedornya dengan amarah yang berapi-api.
Para pelayan yang melihat tak berani untuk mendekat. Mereka diam-diam melihat dari jarak yang jauh. Entah pertengkaran apalagi yang akan terjadi kepada kedua saudara itu. Memang sedari kecil mereka tak pernah akur.
"Dasar pengganggu!" Saat Henry membuka pintu, ia mendapati adiknya yang menyebalkan sedang berdiri di depan pintunya.
Zion jatuh tersungkur karna terkejut dengan dorongan Henry yang tiba-tiba. Ia lalu bangkit dan mencengkram erat kaosnya. Matanya melotot seraya napasnya yang memburu.
"Lepas!" Henry memberontak.
"Kau yang pengganggu! Kau selalu merusak semuanya! Kau—" Zion tak melanjutkan perkataannya, saat mendengar langkah kaki yang berasal dari sebuah heels. Bunyinya nyaring, sudah pasti itu adalah ibunya.
"Henry, Zion! Ada apa ini? Apa kalian tak bisa sehari saja tidak bertengkar? Kalian ini ...." Jane menjewer kuping keduanya sampai merah. Henry hanya diam saja sedangkan Zion mengaduh kesakitan sambil memohon ampun.
"Ada apa sih! Kenapa kalian selalu bertengkar? Membuat Ibu pusing terus," keluhnya dan memukul keduanya bergantian.
Kini sang ibu menatap kedua putranya yang telah beranjak dewasa. Mereka tumbuh menjadi putra-putra yang tampan.
"Tidak ada yang mau menjawab?" Sedari tadi Jane menunggu salah satu dari mereka untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi barusan. Tapi keduanya seakan bungkam bersama.
"Henry?"
"Aku tidak tahu, Bu. Dia tiba-tiba datang," jawabnya.
"Zion?" Kini ia menatap Zion yang mendecakkan lidahnya. Dalam hatinya kesal karna pasti dia yang akan dimarahi.
"Iya Zion yang salah!" Bukannya menjelaskan, ia malah mengakui dirinya bersalah dan berlalu pergi. Jane jadi bingung sendiri.
"Henry, kau benar tidak tahu?" tanyanya sekali lagi tapi Henry hanya menghendikan bahunya.
Akhirnya Jane menyusul langkah Zion yang ingin keluar dari rumah. Tepat di sana mereka juga bertemu dengan Jason.
"Zion, kau mau kemana?" Jason yang merupakan anak kedua dari Chris mencekal tangan adiknya yang ingin pergi.
"Zion!" Jane datang.
"Jason, kau masuklah ke dalam." Tak tahu apa yang telah terjadi, Jason akhirnya mengalah untuk masuk ke dalam.
"Zion, Ibu belum selesai berbicara. Kenapa kau malah pergi. Kau menyakiti hati Ibu," ujar Jane dengan mata berkaca-kaca.
Tak ingin membuat ibunya bersedih, Zion memeluknya. Ibunya adalah jantung hatinya. Tak pernah terbesit di pikirannya untuk menyakiti hatinya.
"Maafin Zion, Bu. Bukan niat hati untuk menyakiti Ibu. Hanya saja Zion sedang kesal." Jane membawa Zion untuk duduk bersamanya. Menjelaskan tentang permasalahan yang terjadi padanya. Sebagai seorang Ibu, dia akan mendengarkan segala keluh kesah putranya.
"Coba ceritakan pada Ibu." Jane menggenggam tangannya, menyalurkan rasa sayangnya yang besar.
"Ayah melarang ku untuk menikah dengan Bella untuk saat ini. Kata Ayah aku harus menunggu kak Henry menikah lebih dulu. Aku harus menunggu sampai kapan? Kak Henry saja sampai sekarang belum punya kekasih. Aku gak enak, Bu. Keluarga dari Bella ingin segera aku menikahinya. Karna kita juga sudah bersama-sama selama 5 tahun."
Jane kini mengerti, ia mengelus punggungnya berusaha menenangkan. "Nanti Ibu bantu ngomong sama ayah. Kamu tenang saja. Untuk masalah kak Henry, Ibu juga akan berbicara dengannya. Umurnya sudah masuk kepala tiga, Ibu juga merasa khawatir dengan masa depannya."
***
Menyambut pagi seharusnya dengan hati yang gembira. Tapi pagi ini berbeda, suasana dalam rumah kediaman Abraham tak seperti biasanya. Apalagi Shopia yang sedari semalam memasang wajah murungnya. Putri satu-satunya dari semalam tidak pulang. Satu persatu rumah temannya sudah mereka datangi, tapi mereka tidak tahu menahu soal Brianna. Gadis berumur 20 tahun itu entah pergi kemana.
"Yah, bagaimana ini. Putri kita ada di mana?" Sesaat keheningan mereka berdua terpecahkan tatkala Shopia membuka pembicaraan.
Abraham menundukkan kepalanya pasrah. Sudah sangat lelah menghadapi sikap putrinya yang semena-mena. Ia tak pernah menghargai kehidupan.
"Tuan, Nyonya. Nona Brianna sudah pulang." Seorang pelayan datang dan memberitahu. Sebuah taxi terlihat berhenti di depan rumahnya. Brianna turun dengan pakaian yang berbeda saat semalam pergi.
"Anna! Darimana saja kamu?" Abraham sangat marah. Tangannya sudah mengepal erat seakan menahan emosinya yang kian membuncah.
Wajah Brianna pucat. Jelas sekali ia ketakutan melihat ayahnya yang seperti ini. Jarang-jarang ia melihat sosok ayahnya berubah menjadi singa hutan.
"A-ayah—"
"Masuk!" potongnya cepat. Abraham tak ingin mendengar jawaban putrinya. Entah mengapa ia tak mau berlama-lama menatap putrinya yang sungguh kali ini sikapnya sudah kelewatan. Pergi malam hari dan baru pulang pagi hari.
Brianna menangis sambil berjalan. Pandangan pelayan yang menatapnya merasa iba.
"Nona, Anda kemana saja? Tuan dan Nyonya khawatir, begitupun saya." Bibi Noni mengikuti langkah kaki nona mudanya. Ia begitu menyayangi Brianna.
Bayangan menjijikkan yang terjadi semalam, membuat Brianna tak berhenti menangis. Ditambah melihat Abraham yang sangat marah padanya.
"Anna ingin istirahat, Bi." Saat Anna ingin masuk ke dalam kamar, Bi Noni mengikutinya. Tapi Brianna langsung melarangnya. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri.
Rasa penyesalan selalu datang akhir. Dia begitu menyesali keputusannya semalam untuk pergi ke club sendirian. Dan hal-hal yang tak diinginkan pun terjadi.
"Kurang ajar!" Ia melempar boneka kesayangannya. Melampiaskan kekesalannya sekarang. Bayangan wajah tampan dari pria dewasa yang menemani dirinya di kamar malam tadi tak bisa ia hilangkan dalam ingatannya. Wajahnya terngiang-ngiang terus di kepalanya.
Bahkan tubuh atletis dari pria dewasa itu seakan sudah mengotori matanya yang suci. Ia menjambak-jambak rambutnya sendiri. Memukuli tubuhnya dengan brutal.
"Aku sudah tidak suci! Oh Tuhan .... Bagaimana ini?" Ia menangis histeris. Di dalam kamar ia menangisi takdir hidupnya sendiri.
"Anna? Kamu kenapa, sayang?" Suara tangis Brianna ternyata terdengar sampai ke luar. Shopia pun khawatir mendengar suara tangisan putrinya. "Anna! Tolong buka!" Shopia tak berhenti menggedor pintunya. Berharap Brianna mau membukanya.
"Anna tidak apa-apa, Bu. Anna mau istirahat." Mendengar jawaban putrinya, Shopia tak bisa berbuat banyak. Ia akhirnya meninggalkan kamar Anna dengan perasaan yang gundah.
"Jangan memanjakan putrimu!" Abraham datang dan menarik istrinya untuk cepat meninggalkan kamar putrinya.
.
.
.
Dari pagi Anna tak keluar kamar. Pelayan pun hanya bisa memberikan makanan di depan pintu kamar. Anna yang lapar pasti akan mengambilnya sendiri.
"Anna! Buka!" Suara Abraham membuat Anna yang sedang bersantai di atas ranjang langsung tergelonjak bangun. Ia langsung turun dan perlahan membuka pintu kamarnya.
Ia menatap sendu wajah putrinya. Terlihat kedua matanya yang sembab.
"Cepat ganti baju! Ayah akan mengajak kamu makan malam di rumah teman Ayah. Jangan lama-lama!" Anna menatap heran sang Ayah. Tak biasanya ayahnya mengajaknya makan malam di rumah temannya.
Tak berapa lama, Shopia datang. Ia tersenyum seraya membelai lembut rambut putrinya.
"Malam ini kau harus dandan yang cantik, sayang," kata Shopia. Ibunya membantu merias wajahnya juga memilihkan dress yang cantik.
"Untuk apa, Bu? Kita mau makan malam dimana?" tanyanya dengan rasa penasaran.
Shopia masih tersenyum, lalu ia menatap putrinya dalam-dalam.
"Ibu mau tanya dulu ke kamu. Tadi malam kamu kemana sayang?" Pertanyaan yang sangat ia hindari. Tapi kali ini ia tak punya pilihan selain menjawabnya.
"Anna menginap di rumah teman, Bu," jawabnya tanpa mau melihat ke arah ibunya.
"Jangan berbohong, Anna. Teman kamu yang mana? Semalam Ibu dan ayah sudah mendatangi satu persatu teman kamu. Lysa, Maura, Marissa semuanya ada di rumah. Lalu kamu kemana?"
Deg.
Ia dengan cepat memutar otaknya. Memang benar hanya mereka bertiga yang menjadi temannya saat ini. Tak ada teman lain yang membuatnya nyaman.
"Hmm, ada lagi, Bu. Anna menginap di rumah—"
"Maaf Nyonya, Nona Brianna, tuan sudah menunggu di dalam mobil sedari tadi." Kedatangan Bibi Noni membuat Anna bisa bernapas lega. Bi Noni seakan menjadi penyelamatnya.
"Ayo Anna cepat!" Shopia menggandeng putrinya.
Di dalam perjalanan hanya ada keheningan yang tercipta. Anna yang masih penasaran akan dibawa kemana, tak berani bertanya. Apalagi Abraham yang sepertinya masih memendam kekesalannya pada dirinya.
"Anna, bersikaplah yang sopan dan baik nanti di rumah teman Ayah. Jangan mempermalukan Ayah," katanya memeringati.
Anna hanya bisa mengangguk. Perhatiannya tertuju pada rumah mewah yang menjadi tujuan arah mobilnya saat ini. Mobil mereka mulai memasuki halaman yang luas yang terdapat beberapa tumbuhan yang terawat.
Rumahnya lebih besar dari rumah mereka miliki. Pintu terbuka lebar seakan menyambut kedatangan mereka. Para pelayan memberikan salam dan hormat. Anna berjalan mengikuti langkah kaki orang tuanya sambil matanya berpendar melihat seisi rumah yang baru ia datangi itu.
"Abraham! Apa kabar?" Chris tersenyum lebar, ia memeluk sahabat lamanya. Sudah lama mereka tidak berjumpa karna kesibukan masing-masing.
"Baik. Kabarku baik, Chris. Perkenalkan ini istriku namanya Shopia dan ini putriku satu-satunya namanya Brianna."
Anna menjabat tangan pria yang diperkirakan usianya tak berbeda jauh dengan ayahnya. Lalu dari belakang muncul sosok pria yang membuat matanya terbuka lebar.
"Pria itu?"
Brianna mengucek matanya dan melihatnya sekali lagi barangkali ia salah liat.
"Gadis itu?"
Henry terkejut mendapati wanita yang melakukan tindakan kekerasan padanya malam itu ada di rumahnya.
"Perkenalkan juga ini putra pertamaku. Namanya Henry." Chris memperkenalkan putra pertamanya. Wajahnya tak kalah tampan dengannya.
"Putramu sungguh tampan," puji Abraham.
Seketika Brianna langsung memperlihatkan ekspresi tak suka. Ia bahkan menatap tajam sosok pria yang sudah membuatnya menyesali kejadian malam itu.
Di meja makan, mereka duduk di kursinya masing-masing. Di sana juga sudah ada Jane dan Zion.
"Oh ya, ini istriku Jane. Dan ini putra ketiga ku namanya Zion."
Perlu diakui wajah putra-putra dari Chris memang mewarisi ketampanannya.
"Putra keduamu dimana, Chris?"
"Jason. Dia sedang pergi bersama istrinya dan juga putrinya," jawabnya.
"Oh putra keduamu sudah menikah. Aku sampai tidak tahu karna kau tidak mengundangku."
Chris tersenyum canggung, ia memang tak mengundang Abraham. Karna mereka sempat lost kontak waktu itu.
Setelah menghabiskan makan malam, mereka berkumpul di ruang tengah. Tapi tanpa Zion, karna ia merasa malas dengan acara seperti ini.
Brianna masih bertanya-tanya, sebenarnya apa tujuan mereka datang kemari. Jika tidak ada sesuatu yang penting, tidak mungkin ada acara makan malam yang sangat direncanakan ini.
Kedua manusia itu masih melempar tatapan penuh kebencian. Ingin rasanya memakinya di depan umum, tapi Brianna tak cukup nyali.
"Anna, kau pasti bingung kenapa Ayah mengajakmu makan malam bersama Paman Chris. Ada hal penting yang ingin Ayah sampaikan padamu. Bahwa Ayah dan Paman Chris sudah setuju akan menikahkan anak kita. Menikahkan kamu dengan Henry."
DEG.
Brianna langsung menatap Henry yang tampak tenang. Tak ada raut terkejut dari wajahnya. Seakan ia sudah tau semua ini.
"Ayah!" Suaranya agak meninggi lalu Shopia langsung menggenggam erat jari jemarinya. Lalu emosinya perlahan turun.
"Henry ajak Anna keluar sebentar. Kalian bisa mengobrol sebentar sambil memperkenalkan diri," suruh Chris pada putranya.
Mata Brianna langsung berkaca-kaca. Ia tidak habis pikir dengan rencana ayahnya yang menurutnya tidak adil. Bagaimana mungkin menikah dengan seorang pria yang tidak ia kenal dan tidak ia cintai? Bagaimana kehidupan rumah tangganya setelah ini?
"Hey wanita tidak tau terima kasih!" teriak Henry membuat Brianna lekas menoleh.
Matanya sudah dipenuhi air mata. Begitu menyedihkan. Henry jadi membungkam mulutnya tak mengeluarkan kata-katanya lagi.
"Kenapa dia menangis?"
"Sebenarnya kau ini siapa sih! Sudah menghancurkan kehidupanku! Lalu sekarang ingin masuk ke kehidupanku yang sudah hancur ini! Kau ini siapa? Kau membuatku jijik!" Brianna menangis sambil mulutnya berbicara. Bahkan bibirnya bergetar menahan sesak di dadanya.
"Hey dasar wanita! Kau ini bicara apa?" Ia menoyor kepala Anna hingga wanita itu hampir terjatuh ke belakang. "Apa yang kau pikirkan tentang malam itu?"
Flasback on.
Malam itu, seperti biasa Henry menghabiskan malamnya di club. Ia hanya duduk sambil memesan minuman non alkohol. Ia bukan peminum, ia hanya ingin melampiaskan kesepiannya dengan suasana yang ramai.
Dari kejauhan ia melihat seorang wanita muda tengah dikelilingi oleh beberapa pria. Wanita muda itu terlihat tidak nyaman, tapi pengaruh alkohol membuatnya hampir kehilangan kesadaran. Saat melihat seorang pria diantara mereka akan membawa wanita itu pergi, Henry langsung bertindak. Jiwa kelakiannya terpancing, saat wanita muda hampir dilecehkan.
"Lepaskan wanitaku!" teriaknya dan langsung mendorong tubuh pria kurang ajar itu. Henry langsung menggendongnya masuk ke dalam mobil dan membawanya ke sebuah hotel terdekat.
Saat di dalam kamar hotel, Anna terbangun dan mendapati Henry sedang membuka pakaiannya. Anna langsung berteriak histeris tapi kemudian ia kehilangan kesadaran. Hingga pagi menjelang ia baru tersadar. Saat ia membuka mata yang ia lihat pertama kali adalah pakaiannya yang sudah berganti baru. Ia ingat semalam bajunya basah terkena minuman alkohol yang tumpah.
"Pria itu telah—" Anna langsung berlari keluar dari kamar itu tapi belum sampai di depan lift, ia bertemu dengan Henry yang baru saja membeli makanan. Pandangan mereka bertemu sesaat, lalu Anna langsung menginjak kakinya dan memukulinya secara brutal. Lalu ia mendorongnya hingga terjatuh di lantai.
"Hey dasar wanita kurang ajar!" teriaknya.
Flasback off.
"Dengar ya gadis kecil! Aku ini pria tahu sopan santun. Tidak mungkin aku menyentuh gadis kecil sepertimu. Seharusnya kau berterima kasih kepadaku. Karna jika aku tak menolong mu dari pria hidung belang malam itu, mungkin saja kau sudah dibuang ke jalanan!" ujarnya menakut-nakuti.
Anna bergidik ngeri. "Lalu siapa yang mengganti pakaianku? Pasti kau!" tuduhnya seraya menunjuk.
"Karyawan wanita dari hotel. Kau ini selalu saja berburuk sangka!" Lagi-lagi Henry menoyor kepalanya.
Brianna merasa malu, ternyata ia sudah salah paham dengan Henry. Pria dewasa yang tingginya melebihi tinggi ayahnya itu menatapnya dengan dingin. Ia menghapus air matanya cepat.
Tepat di depan Henry, ia bertolak pinggang. "Kau sungguh tak melakukan apa pun malam itu?" tanyanya memastikan.
"Kau ingin aku melakukan apa? Jika perlu, aku bisa melakukannya sekarang!" Henry berjalan mendekat. Mengikis jarak antara mereka. Anna merasakan dadanya yang berdegup kencang. Tak pernah ia merasakan seperti ini sebelumnya. Bersama seorang pria dengan jarak yang sangat dekat. Berbeda saat di club, karna itu ada pengaruh alkohol.
"Anda mau apa?" teriak Anna membuat Henry menutup telinganya merasa sakit.
Pria itu menggelengkan kepalanya. "Dengar ya gadis kecil .... Kau ini bukan tipeku. Jadi jangan mengira aku akan melakukan hal yang diluar dugaan terhadapmu."
Anna menyunggingkan senyumannya. "Sudahlah lupakan. Aku ingin bertanya denganmu, kenapa kau tampak tak terkejut saat orang tua kita berbicara kita akan segera menikah? Apa kau setuju akan hal itu?"
Henry menghendikan bahunya. Merasa acuh dengan rencana orang tuanya itu. "Adikku mau menikah. Tapi karena aku belum menikah, dia tidak boleh menikah lebih dulu. Aku menyetujui pernikahan ini hanya untuk membuat adikku tidak kecewa karna pernikahannya harus batal."
Henry dan Zion memang sering bertengkar. Tapi jauh dari lubuk hati yang paling dalam, Henry sangat menyayangi Zion. Dia mengingat betapa Zion sangat marah padanya waktu itu karena ayah melarangnya untuk menikah lebih dulu. Setidaknya apa yang dia lakukan sekarang akan membuatnya bahagia.
"Hanya karena itu? Kau mengorbankan pernikahan ini hanya untuk keinginan adikmu? Hey! Di sini ada seorang gadis yang sangat keberatan dengan pernikahan ini! Apa kau tidak tahu?" serunya sambil melotot.
"Kau keberatan?" Henry tertawa kecil. "Itu kesalahanmu! Kenapa kau selama ini hanya membuat susah kedua orang tuamu. Jadi—"
"Anna ...." panggilan lembut dari seorang wanita. Anna menoleh dan mendapati ibunya yang berdiri di belakangnya. "Sudah malam, ayo kita pulang. Henry, lain waktu lagi ya kalian mengobrolnya. Jika kau mau, kau bisa main ke rumah."
Henry mengangguk dan tersenyum. "Dengar ya, akan ku pastikan pernikahan ini tidak akan pernah ada!" ucapnya tepat di telinga Henry.
Pria itu hanya menanggapi dengan senyuman mengejek.
Di dalam mobil Brianna beberapa kali melayangkan protes pada ayahnya.
"Tidak ada kata membantah! Kau ini sudah membuat Ayah marah sekali! Turuti permintaan Ayah kali ini jika kau tak mau Ayah buang di jalanan!"
Anna menangis sesaat mobilnya sampai di rumah. Ia turun dan berlari menuju kamar.
"Kenapa berkata seperti itu tadi? Harusnya kau bisa membujuknya jangan mengancamnya!" Shopia merasa tidak terima dengan perkataan yang dilontarkan suaminya tadi.
"Sudahlah. Dia itu kalau dibilangin lembut dan kasar sama saja! Tidak ada berubahnya!"
Anna menangis di dalam kamar. Ia benar-benar kacau malam ini. Rasanya ia ingin pergi saja dari rumah.
.
.
.
.
Abraham dan Shopia sudah duduk di meja makan. Mereka sedang menunggu putrinya untuk sarapan bersama.
"Tuan, Nyonya. Sepertinya nona Anna belum bangun. Sedari tadi saya mencoba membangunkannya tapi tidak ada jawaban."
Abraham saling pandang dengan istrinya, jika Anna belum bangun rasanya tidak mungkin. Ia bergegas naik ke atas disusul oleh istrinya.
"Anna! Buka Anna!" Pintunya dikunci, dengan terpaksa Abraham membukanya dengan cara didobrak. Karna sedari tadi tidak ada jawaban dari dalam.
Betapa terkejutnya Abraham mendapati kamar putrinya yang berantakan. Selimut berada di lantai, bantal-bantal berserakan, sprei terlihat kusut juga pintu lemari yang terbuka. Juga meja rias yang berantakan.
Pandangan mereka tertuju pada lemari yang isinya sebagian kosong, juga sebuah koper yang tidak ada di tempat.
"Anna kabur?" Abraham memegangi dadanya. Napasnya terasa berat.
"Sayang, kau kenapa?" Shopia panik melihat suaminya tiba-tiba merasakan sakit, ia lantas berteriak memanggil seluruh pelayan.
.
.
.
.
Di tempat lain, di dalam kamar dengan cat serba pink itu kedua gadis cantik masih bergumul dengan selimut tebalnya yang juga berwarna pink.
Salah satu dari mereka terlihat mengerjab. Tangannya ia bentangkan hingga tak sengaja memukul orang di sebelahnya.
"Hey!" Gadis disebelahnya terbangun karna tubuhnya berasa dipukul.
"Eh, maaf. Maaf Anna." Marissa cengengesan, ia lupa jika mereka tidur bersama.
Anna berdecak sebal, lalu ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 9 pagi. Terlalu siang baginya, karna ia tidak biasanya bangun jam segini. Mungkin karna semalam ia susah tidur.
"Kau tidak masuk kuliah?" tanya Anna.
Temannya itu menggeleng, lalu memilih berbaring lagi melanjutkan mimpi indahnya.
"Kenapa tidur lagi, Marissa! Ayo bangun." Anna menarik tangannya, mencoba membangunkan temannya. Ia sudah merasa lapar, tidak mungkin dia berjalan sendirian ke dapur mencari makan tanpa ada tuan rumah yang menemani. "Marissa! Aku lapar!" rengeknya.
"Tinggal ke dapur saja, Anna," jawabnya.
Percuma saja membangunkan temannya yang suka tidur itu. Anna km lantas duduk melamun. Pandangannya kosong ke arah depan. Sesaat pikiran tentang menikah dengan pria asing itu kembali muncul diingatan nya.
Drrtttt .... Drrtttt ....
Terdengar ponsel bergetar. Ia menangkap sebuah ponsel di atas nakas. Ternyata ponsel Marissa yang berbunyi. Anna iseng mengecek siapa yang menelpon Marissa pagi ini.
Matanya membulat tatkala melihat nama kontak yang tertera di layar ponsel temannya itu.
"Bibi Shopia."
Itu nama ibunya Anna. "Ibu menelpon Marissa pasti ingin menanyakan keberadaan aku." Anna tak menghiraukan panggilan dari ibunya itu, ia memilih membersihkan tubuhnya saja di kamar mandi.
Disaat Anna sedang bermain bersama busa sabun di dalam bath up, suara gedoran pintu kamar mandinya terdengar sangat berisik. Juga bersamaan namanya yang dipanggil. Itu suara Marissa, ia memanggil Anna untuk cepat keluar.
"Anna! Ayah kamu masuk rumah sakit."
DEG.
Seketika jantungnya mencelos hebat mendengar kabar buruk itu. Ia segera memakai baju dan mengambil tas lalu berlari keluar kamar. Marissa menyuruh sopirnya untuk mengantarkan Anna ke rumah sakit. Sedangkan dirinya nanti akan menyusul setelah mandi.
Di dalam mobil Anna menangis, lagi-lagi gadis itu menangis. Akhir-akhir ini ia memang suka sekali menangis.
Mobil melaju pesat dan sampai juga di depan rumah sakit. Tak lupa ia mengatakan terima kasih pada sopir Marissa dan berlari masuk ke dalam. Di depan resepsionis ia bertanya dimana ruang rawat ayahnya berada.
"Anna ...." Shopia terlihat berdiri di depan sebuah ruangan. Matanya sembab juga wajahnya yang kusut. Ia memeluk putrinya dan kembali menangis.
"Di mana ayah, Bu?"
Shopie masih terisak. "Masih ditangani oleh dokter. Tadi jantung ayahmu kambuh lagi."
Anna merasa bersalah, ini pasti karna dirinya yang telah kabur dari rumah.
"Maafkan Anna, Yah."
Anna menuntun ibunya untuk duduk bersama sembari menunggu hasil dari pemeriksaan dokter.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!