NovelToon NovelToon

CINTA BEDA KASTA

01. Jadilah Ibu Untuk Anakku.

“Rea.”

Andrea yang sedang menyiram bunga mawar di taman belakang rumah majikannya tersentak. Selama tiga bulan bekerja di rumah keluarga Dinata, ia belum pernah sekalipun mendengar sang nona yang di rawatnya berbicara.

Dengan cepat, gadis berusia dua puluh dua tahun itu mematikan saluran air, kemudian menghampiri sang nona yang tengah duduk di atas kursi roda.

“Non?”

Manik mata Andrea memanas, ia yang selama ini berbicara dan menjawab sendiri, kini bisa mendengar suara sang nona.

Audrey Bertha Dinata, seorang gadis berusia dua puluh lima tahun, mengalami depresi setelah ia di lecehkan oleh pria tak di kenal, saat menghadiri pesta ulang tahun salah satu temannya. Tak sampai disitu, putri kedua keluarga Dinata itu, kini tengah mengandung dan sebentar lagi akan melahirkan.

“Rea.”

Kata itu kembali terucap. Namun, pandangan wanita hamil itu tetap kosong seperti biasa.

’ya Tuhan. Terima kasih, akhirnya nona mau berbicara.’

Syukur Andrea di dalam hati.

Gadis itu pun bersimpuh di hadapan kursi roda sang nona.

“Non.”

Ia genggam lembut tangan ringkih wanita yang telah ia anggap seperti kakak perempuan.

“Rea, maukah kamu menjadi mama untuk bayiku?”

Pertanyaan yang terlontar dari bibir sang nona, membuat kedua alis Andrea bertaut.

“Mak-maksud nona apa?”

Audrey yang sejak tadi menatap jauh, kini mengalihkan pandangannya. Ia tatap wajah polos Andrea.

“Jadilah ibu untuk anakku.” Ucapnya sekali lagi.

Kepala Andrea menggeleng.

“Nona, non yang akan menjadi ibu untuk adik bayi. Dan aku akan menjadi bibinya.”

Tangan Audrey terulur menyentuh pipi Andrea. Ia mengusap lembut kulit tanpa riasan itu.

“Jadilah ibu untuk anakku. Karena aku tak bisa merawatnya.”

Kepala Andrea menggeleng lebih kencang. Ia ikut mengenggam tangan Audrey yang ada di pipinya.

“Nona jangan berkata seperti itu. Kita akan merawat adik bayi bersama-sama. Bukannya aku sudah sering mengatakan. Kita akan bermain dan mengasuhnya bersama.“

Audrey tersenyum mendengar ucapan gadis itu.

“Kamu yang akan merawatnya. Mengasuh dan mengajak bermain.”

Tanpa di minta, air mata mengalir begitu saja, dan membasahi pipi Andrea.

’Ya Tuhan, apa yang sedang nona Audrey rasakan? Aku mohon, biarkan dia tinggal lebih lama dengan kami. Dan merawat bayinya kelak.’

Andrea tidak tau, apa yang tengah wanita hamil itu rasakan. Ia tidak pernah mengeluh sakit, namun beberapa kali gadis itu mendengar sang nona meringis.

“Kamu mau kan, Rea?”

Andrea akhirnya mengangguk untuk menyenangkan hati Audrey.

“Apa yang sedang terjadi disini?”

Suara wanita paruh baya tiba-tiba menginterupsi mereka berdua. Dengan cepat Andrea mengusap pipinya.

“Nyonya, nona Audrey baru saja berbicara padaku.” Adunya pada sang majikan.

“Benarkah?”

Wanita paruh baya itu ikut berjongkok di depan sang putri.

“Apa yang kamu ucapkan, nak? Bisakah mama mendengarnya?”

Ada kegetiran yang terdengar dari ucapan nyonya Dinata. Bagaimana tidak, sudah hampir 9 bulan sang putri menjadi tuna wicara. Ia bahkan mendatangkan seorang ahli kejiwaan, namun tak ada perubahan yang terlihat dari putrinya.

“Mama.”

“Iya, sayang. Ini mama.” Suara nyonya Dinata bergetar. Ia seperti baru mendengarkan buah hatinya berbicara untuk pertama kali.

“Mama.”

Audrey tersenyum menatap wanita yang telah melahirkannya itu.

“Aku sayang mama.”

“Mama juga sangat menyayangimu, nak.”

Wanita paruh baya itu kemudian mendekap erat tubuh sang putri.

“Kenapa baru berbicara sekarang, sayang? Mama sangat merindukan celotehanmu.”

Ya, sebelum kejadian memilukan yang menimpanya, Audrey merupakan gadis yang ceria. Ia sangat cerewet dengan orang-orang yang di sayangi.

Namun, kejadian naas itu merebut segalanya. Audrey tak hanya kehilangan kehormatannya sebagai seorang wanita, namun ia juga kehilangan semangat hidup. Membuat gadis itu berubah menjadi bisu.

“Mama, apa mama akan menyayangi anakku?”

Tanya yang terlontar dari bibir sang putri membuat nyonya Dinata tersentak.

“apa maksudmu, nak?”

Wanita paruh baya itu melepaskan dekapannya. Ia pandangi dengan lekat wajah pucat sang putri.

“Apa mama akan menyayangi anakku?” Ulangnya lagi.

“Tentu saja. Dia cucu mama. Sudah pasti mama akan menyayanginya.”

Senyum tipis terbit di bibir Audrey.

“Berjanjilah, ma. Tolong sayangi anakku.”

“Mama janji, sayang.”

Nyonya Dinata kembali memeluk putrinya.

Andrea yang sejak tadi diam mendengarkan percakapan ibu dan anak itu merasa sedikit heran. Ia merasa jika Audrey tidak seperti orang depresi saat berbicara.

“Tolong jaga anakku.”

Alis nyonya Dinata berkerut mendengar ucapan sang putri.

“Iya mama akan menemani kamu menjaganya.”

“Tidak, ma. Bukan aku. Tetapi Rea. Dia yang akan menjaga anakku.”

Tangan ringkih Audrey menunjuk ke arah Andrea.

“Rea.”

Wanita hamil itu meminta Andrea mendekat. Dan gadis itu menurut.

“Berjanjilah di depan mama. Kamu akan menjaga anakku. Dan menjadi mama untuknya.”

Kepala Andrea menggeleng lemah, air matanya kembali turun. Sungguh ia tak sanggup melihat keadaan sang nona. Wanita itu sama sekali tidak menangis, namun setiap kalimat yang terlontar dari bibirnya mengandung kesedihan.

“Rea.. Aku mohon. Jaga anakku, jadilah mamanya.” Audrey menggenggam dengan erat tangan Andrea.

“Rea.”

Kali ini nyonya Dinata yang memanggil namanya. Wanita paruh baya itu mengedipkan mata, memberi tanda kepada Andrea agar menyanggupi ucapan sang putri.

Andrea mengerti, ia pun menganggukkan kepalanya. Untuk saat ini, jawab ’iya’ yang paling bisa membuat hati Audrey tenang.

“Iya, nona. Aku berjanji akan menjaga adik bayi, dan akan menjadi mamanya.”

Mendengar jawaban Andrea, secara serta merta Audrey memeluk gadis itu.

Tangisnya pun kemudian pecah. Didalam dekapan Andrea.

“Terima kasih, Rea.”

“Jangan menangis, nona.” Andrea mengusap lembut punggung sang nona.

Namun, bukannya berhenti, tangis wanita itu semakin kencang. Ia menagis karena merasa lega, kelak jika ia pergi, sang buah hati tidak akan sendirian. Ada Andrea yang akan menjaga anaknya.

“Ada apa ini?” Suara bariton tiba-tiba terdengar dari ambang pintu belakang rumah.

“Ma, ada apa ini?”

Tanya seorang pria berusia tiga puluh tahun kepada nyonya Dinata. Pemuda itu adalah putra pertamanya, yang bernama Arthur Byakta Dinata.

Arthur baru saja pulang dari kantor, ia tak mendapati ibu dan adiknya di dalam rumah. Asisten rumah tangga mengatakan jika mereka berada di taman belakang.

Pria jangkung itu tersentak mendengar suara tangisan. Dan yang membuatnya semakin terkejut, yang menangis tak lain adalah adiknya sendiri.

“Audrey sudah mau bicara lagi, Arth.” Ucap sang mama sembari bangkit dari berjongkoknya.

“Benarkah?” Arthur menatap sang adik yang masih terisak di dekapan Andrea.

“Audrey.” seru Arthur yang kini ikut melipat lutut di samping Andrea.

“Kakak.” Audrey melepaskan pelukannya pada Andrea, tatapannya beralih pada pria tampan di hadapannya.

“Kakak.”

Tangan gematarnya mencoba meraba wajah sang kakak. Arthur sedikit mendekat, agar sang adik bisa menjangkau wajahnya.

“Kakak.. tolong jaga anakku.”

Kaliamat yang sama kembali terlontar dari bibir Audrey. Ia hanya ingin memastikan, semua orang di rumah itu akan menyayangi anaknya, jika suatu hari ia pergi.

“Tentu, aku akan menjaganya.“

Audrey tersenyum mendengar jawaban sang kakak. Hanya pria itu yang menjawabnya dengan cepat.

“Jaga dia seperti kakak menjaga ku selama ini.”

“Iya. Aku akan menjaganya seperti aku menjagamu.” Arthur mengenggam tangan sang adik, kemudian mengecupnya.

Rasa bersalah sering kali muncul di benak pria itu, saat melihat keadaan sang adik. Ia merasa gagal menjalankan amanah mendiang sang papa, yang memintanya untuk menjaga mama dan juga adiknya.

“Maafkan aku, Audrey.” Ucapnya sembari mendekap sang adik.

Wanita hamil itu membalas dekapan sang kakak. Ia pun mengusap punggung lebar pria itu sesaat sebelum akhirnya tak sadarkan diri.

“AUDREY.”

.

.

Bersambung.

02. Harus Di Operasi.

Nyonya Dinata menangis dalam dekapan Andrea. Mereka kini tengah berada di salah satu rumah sakit, tempat dimana Audrey biasa melakukan pemeriksaan.

Sudah hampir satu jam Audrey berada di dalam ruang IGD, namun pintu ruangan itu belum juga terbuka.

“Ya, Tuhan. Tolong lindungi putriku.”

Tak henti nyonya Dinata memanjatkan doa, berharap sang pemilik hidup berbaik hati memberikan keajaibannya.

“Apa yang sebenarnya terjadi, ma?”

Arthur yang sedari tadi berdiri memandangi pintu ruang IGD, kini mendekat ke arah sang mama yang sedang duduk di atas kursi besi bersama Andrea.

Sang mama bukannya menjawab, namun semakin terisak.

“Rea.”

Pria itu menatap gadis yang sedang memeluk sang mama.

“Katakan apa yang terjadi.”

Andrea menelan ludahnya kasar. Tatapan Arthur begitu menikam, seakan mengulitinya hidup-hidup.

“Tu-tuan, itu tadi aku sedang menyiram bunga, tiba-tiba nona berbicara dan memanggil namaku.”

Andrea kemudian menceritakan apa saja yang di katakan Audrey kepadanya.

“Kamu yakin?” Arthur tak lantas percaya dengan ucapan gadis yang telah merawat sang adik selama tiga bulan terakhir ini.

Sebelum Andrea kembali bersuara, nyonya Dinata terlebih dulu menjawab pertanyaan sang putra.

“Yang di katakan Rea benar adanya, Arth. Audrey bahkan meminta Andrea berjanji di hadapan mama.”

“Apa Audrey bisa bicara sepanjang itu?” Arthur masih belum percaya.

“Mama juga terkejut, Arth, tetapi itulah kenyataannya. Mama seperti merasa jika diamnya adikmu selama ini, bukan karena sakit, tetapi dia menyimpan kesedihannya sendirian.”

Tangis nyonya Dinata kembali pecah. Ia membayangkan bagaimana selama ini sang putri menahan sakit hatinya. Tanpa mau orang lain tau.

“Arth, mama yakin adikmu, selama ini adikmu menyimpan ketakutannya sendiri. Dia takut jika tidak ada yang akan menerima anaknya setelah lahir nanti.”

Andrea kembali mendekap tubuh sang nyonya dari samping. Ia melihat begitu besar kasih sayang seorang ibu pada diri majikannya itu. Kasih sayang yang sudah lama ia rindukan, ibu dan ayahnya meninggal dalam kecelakaan tiga tahun lalu.

Arthur menarik dan membuang nafasnya kasar. Ia pun ikut mengambil tempat di samping sang mama.

“Maafkan aku, ma. Andai aku tidak lalai dalam menjaga Audrey, semua ini tidak akan terjadi.”

Sungguh Arthur sangat membenci dirinya sendiri. Ia merasa tidak becus menjaga sang adik.

Nyonya Dinata beralih mendekap sang putra.

“Kita berdoa saja, Arth. Semoga Tuhan bermurah hati memberikan keajaibannya pada Audrey.”

“Andai aku bisa menggantikan posisi Audrey, ma. Ingin rasanya aku berada di dalam sana.”

Cairan bening ikut menetes dari manik mata pria tampan itu. Ia bukan pria lemah, namun semenjak adiknya membisu, tanpa disadari Arthur berubah menjadi pria lemah. Ia sering menangis jika mengingat nasib sang adik.

Lama ketiganya larut dalam kesedihan, tiba-tiba pintu ruang IGD terbuka. Seorang suster meminta salah satu keluarga pasien untuk masuk, dan berbicara dengan dokter.

Arthur pun bergegas, ia tidak ingin terjadi sesuatu dengan sang adik.

“Kami harus segera melakukan tindakan operasi, pak. Agar bayi dalam kandungan nona Audrey dapat diselamatkan.” Ucap dokter kandungan yang selama ini menangani Audrey.

“Tolong lakukan yang terbaik, dok. Aku ingin, mereka berdua selamat.” Ucap Arthur sembari menatap sang adik yang terbujur lemah tak berdaya di atas bangkar.

“Kami akan mengusahakan yang terbaik, pak. Dan untuk hasil akhir, kita semua hanya bisa berdoa. Hanya Tuhan yang menentukan semuanya.”

Arthur menganggukkan kepalanya. Pandangan pria itu tak lepas dari Audrey.

“Silahkan ikut dengan suster untuk menandatangani beberapa prosedur, pak.”

“Baiklah, dok. Aku titipkan adikku padamu.”

Arthur mengikuti suster keluar dari ruang IGD untuk menandatangani beberapa berkas, dan mengurus administrasi.

“Arth., bagaimana?”

Tanya sang mama saat melihat Arthur keluar ruangan.

“Aku harus mengurus administrasi dulu, ma. Nanti kita bicara.”

Pria itu melangkah pergi, tanpa menunggu jawaban sang mama. Di benaknya hanya satu, sang adik cepat mendapatkan penanganan.

Beberapa saat berlalu, Arthur pun kembali. Disusul dua orang perawat.

Tak lama kemudian, pintu ruang IGD kembali terbuka. Nampak dua orang perawat tadi, mendorong tempat tidur yang di tempati oleh Audrey.

“Arth, Audrey mau di bawa kemana?”

Nyonya Dinata panik.

“Audrey akan di operasi, ma.”

Wanita paruh baya itu tersentak. Ia menggeleng tak percaya. Tubuhnya sedikit limbung, untung saja Andrea dengan sigap menyanggahnya.

“Tapi, Arth.”

“Kita harus menyelamatkan bayinya, ma.”

Arthur pun mengajak sang mama dan Andrea mengikuti kemana suster membawa tubuh Audrey.

“Duduklah, ma.” Pria itu menuntun sang mama agar kembali duduk. Kini mereka telah berada di depan ruang operasi.

Arthur melirik arloji mahal yang melingkari pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam.

“Ma, sebaiknya mama dan Rea pergi makan malam dulu. Biar aku menunggu Audrey disini.”

Ucap Arthur dengan berjongkok di hadapan sang mama.

Namun, wanita paruh baya itu menolak. Ia tidak mau sedetik pun meninggalkan sang putri.

“Rea, tolong belikan sesuatu untuk mama.”

Arthur bangkit dan merogoh saku. Ia keluarkan dua lembar uang pecahan seratus ribu. Lalu menyerahkan pada Andrea.

“Belikan juga untukku dan untukmu.”

Andrea mengangguk. Ia kemudian pergi ke kantin rumah sakit.

Hampir dua puluh menit, Andrea kembali dengan membawa dua kantong plastik.

“Tuan.” Ia menyerahkan satu kantong yang lebih besar kepada Arthur.

“Terima kasih.”

Pria itu melihat, ada roti dan juga air mineral di dalam kantong plastik.

Arthur membukakan air mineral itu untuk sang mama.

“Minumlah sedikit, ma.”

Nyonya Dinata mengangguk dan menerima pemberian sang putra.

Satu jam berlalu, sayup-sayup terdengar suara tangisan bayi dari dalam ruang operasi.

Nyonya Dinata dan Andrea saling pandang, mereka pun mengucap syukur bersama.

“Arth.”

Wanita paruh baya itu mengusap lengan sang putra. Pria tampan duduk bersandar, sembari memejamkan matanya.

“Iya, ma?”

“Anak Audrey sudah lahir.”

Arthur seketika menegakkan tubuhnya.

“Benarkah?”

Nyonya Dinata mengangguk. Mereka kemudian saling memeluk.

“Percaya padaku, ma. Audrey dan bayinya pasti akan baik-baik saja.”

Tak berselang lama, pintu ruang operasi terbuka. Seorang suster keluar dengan menggendong seorang bayi.

“Sus, mau di bawa kemana bayi itu?” Tanya Arthur mendekat.

“Adik bayinya harus di letakkan di dalam inkubator, pak.”

Tanpa menunggu jawaban Arthur, suster itu berlalu begitu saja. Bagaimana pun, keadaan bayi itu lebih penting.

“Mama dan Rea tunggu disini.”

Arthur mengikuti langkah suster itu. Ia sudah berjanji kepada sang adik akan menjaga anaknya. Arthur tak ingin kecolongan lagi. Ia tidak mau terjadi hal buruk dengan bayi itu. Tak ingin melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya. Sebisa mungkin, Arthur akan melakukan yang terbaik untuk keponakannya.

“Meski aku sangat membenci pria bejat yang telah melecehkan adikku, hingga membuatnya depresi, tetapi aku tidak akan membencimu, nak. Kamu tidak bersalah. Bukan ingin mu untuk hadir di dunia ini.”

.

.

Bersambung

03. Tolong Jaga Anakku.

Andrea berdiri memandangi bayi mungil yang sedang berada di dalam inkubator, dari balik jendela kaca ruang NICU. Tempat khusus untuk merawat bayi, yang membutuhkan pengawasan ketat dari tenaga medis.

Hatinya tercubit melihat beberapa alat terpasang di tubuh bayi mungil itu. Bayi yang belum waktunya lahir, harus di lahirkan lebih awal untuk menyelamatkan nyawanya.

“Kasihan sekali kamu, nak.”

Tanpa di sadari, air matanya menetes. Ia tak sanggup membayangkan jika bayi kecil itu akan tumbuh tanpa kasih sayang orang tua. Andrea sudah merasakan bagaimana hidup tanpa orang tua di sampingnya, meski ia di tinggalkan saat usianya telah terbilang cukup dewasa, 19 tahun.

“Tuhan, tolong berikan keajaiban mu. Biarkan nona Audrey merawat putrinya.”

Gadis itu bermonolog, teringat kondisi Audrey yang belum sadarkan diri setelah melahirkan petang tadi.

“Rea.”

Terdengar suara maskulin menyerukan namanya, membuat gadis itu menoleh ke arah sumber suara.

“Tuan?”

Arthur kini berdiri di samping gadis itu. Ia pun ikut menatap ke arah inkubator.

“Pulanglah istirahat bersama mama. Biar aku disini menunggu Audrey.”

Pria itu berbicara tanpa mengalihkan pandangannya.

“Tidak, aku mau disini menemani nona. Untuk apa aku berada di rumah? Jika nona tidak ada.”

“Apa kamu begitu menyayangi adikku?”

Semenjak kejadian pelecehan yang di alami sang adik, Arthur sudah tidak percaya lagi dengan orang yang mengaku sebagai teman Audrey. Bagaimana tidak, perbuatan tercela itu terjadi atas campur tangan sang pemilik acara. Yang tak lain adalah teman Audrey sendiri.

Andrea menatap sejenak lawan bicaranya. Lalu kembali memandangi bayi mungil di dalam sana.

“Ya, aku sangat menyayangi nona. Meski dia tak pernah berbicara padaku sebelumnya. Tetapi aku tau, nona orang yang sangat baik.”

“Ya, dia memang orang yang sangat baik. Karena itu, mudah sekali di manfaatkan oleh orang-orang sekitarnya.”

Andrea kembali menoleh ke arah Arthur. Selama tiga bulan ini, mereka belum pernah berbicara sebanyak ini. Hanya beberapa patah kata, dan itu hanya mengenai kabar keseharian Audrey.

🍃🍃🍃🍃🍃

Malam kini telah berpamitan, pagi pun telah datang menyapa. Dua insan manusia yang menunggu Audrey terbangun, masih setia terlelap di kursi tunggu rumah sakit, dengan kepala saling menumpu satu sama lain.

Semalam, setelah mengantar nyonya Dinata pulang untuk beristirahat, Arthur kembali ke rumah sakit.

Saling bergantian menjaga Audrey dan bayinya, di tengah malam Arthur meminta Andrea untuk duduk bersamanya di depan ruang ICU.

Dan tanpa di minta, rasa kantuk itu datang. Entah siapa yan memulai lebih dulu, kini mereka tidur saling bersandar.

“Engh.” Arthur menggeliat lebih dulu. Baru akan meregangkan otot-otot yang terasa kaku, namun ia urungkan saat ia merasa ada beban berat yang menempel pada bahunya.

Pria itu menghela nafas pelan. Ia berpikir bagaimana cara membangunkan Andrea.

“Rea?” Ucapnya pelan.

Namun, gadis itu tak bergeming.

Kembali menghela nafas, Arthur kemudian sedikit menguncang bahunya.

Dan berhasil, Andrea tersentak. Matanya pun mengerejap beberapa kali.

“Tu-tuan, maafkan aku.” Ucapnya saat menyadari kepalanya berada di atas bahu Arthur.

“Hmm.”

‘Astaga, Rea. Apa yang telah kamu lakukan? Bisa-bisanya tidur di bahu tuan Arthur.’

Gadis itu merutuki kebodohannya sendiri.

“Apa kepalamu sakit?” Tanya Arthur saat melihat Andrea memukul-mukul kepalanya.

Gadis itu hanya menjawab dengan gelengan kepala.

Ia sungguh merasa jengah dengan pria dewasa di sampingnya ini. Selama ini, jangankan duduk tak berjarak seperti ini, berdiri pun mereka berjauhan.

“Maaf, dengan keluarga pasien nona Audrey?” Seorang suster datang mendekat.

“Ya, aku kakaknya, sus.”

Arthur bangkit, menghampiri suster itu.

“Pasien telah sadarkan diri, dan ingin bertemu bapak.”

Arthur mengangguk, dan tanpa pamit meninggalkan Andrea sendirian.

“Terima kasih, Tuhan. Semoga nona segera pulih.”

Dengan tulus, Andrea memanjatkan syukur kehadapan sang maha segalanya. Ia masih berharap, Tuhan memberi keajaibannya. Menyembuhkan, mengembalikan Audrey seperti sebelumnya.

Sementara itu, di dalam ruang ICU.

Arthur dengan susah payah menahan air matanya agar tak menetes. Ia tidak bisa melihat keadaan sang adik. Andai bisa, ingin sekali pria itu menggantikan posisi Audrey.

“K-kak.” Tangan Audrey sedikit bergerak, berusaha memanggil sang kakak.

“Iya, sayang.“ Arthur mendekat, lalu duduk di samping ranjang yang ditempati Audrey. Pria itu menggenggam tangan sang adik, mengecupnya berulang kali.

“Dimana anakku, kak?” Tanya Audrey dengan suara putus-putus.

“Dia ada di ruangan bayi. Kamu tau, dia sangat cantik. Persis seperti dirimu.”

“Apa kakak sudah memberi nama?“

Kepala Arthur menggeleng. Ia tak sempat memikirkan hal lain, selain keadaan Audrey.

“Tolong beri nama Princess.” Pinta Audrey.

Kepala Arthur mengangguk. Mengiyakan permintaan sang adik.

“Istirahat lah. Jangan banyak bicara dulu.”

“Dimana mama dan Rea?”

Arthur menghela nafas pelan.

“Mama pulang sebentar untuk mengganti baju. Andrea ada di depan. Hanya satu orang yang boleh masuk kesini.”

Arthur menjelaskan, sebelum sang adik meminta lebih.

“Apa Rea sudah melihat anakku?“

“Hmm. Dia bahkan berjaga semalaman di depan ruang bayi.” Ucap Arthur sembari terkekeh kecil.

Senyum tipis terbit di wajah pucat Audrey.

“Kak, tolong jaga anakku.”

“Iya. Bukannya aku sudah berjanji?”

Kepala Audrey mengangguk lemah.

“Jangan tinggalkan aku, kak. Aku tidak mau sendirian disini.” Suara wanita itu semakin terbata. Membuat hati Arthur semakin teriris.

“Sudah, tidurlah. Aku akan menemani mu disini. Jika kamu banyak bicara, yang ada nanti suster akan mengusirku.” Ucap Arthur dengan kekehan kecil. Sebisa mungkin ia menyembunyikan kesedihannya di hadapan sang adik.

Audrey kembali mengangguk. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia mengeratkan genggaman pada tangan sang kakak.

Arthur pun membalas, ikut menggenggam erat tangan adiknya.

Perlahan mata Audrey terpejam.

‘Oh Tuhan. Aku mohon, tolong beri kekuatan untuk adikku, agar dia bisa melewati semua ini. Aku akan melakukan apa pun untuknya. Asalkan dia bisa kembali sehat seperti dulu. Jika perlu menukar dengan nyawaku, maka lakukanlah, Tuhan. Asalkan adikku kembali sehat seperti dulu.’

🍃🍃🍃🍃🍃

“Rea, kamu sendiri? Dimana Arthur?”

Nyonya Dinata telah kembali ke rumah sakit. Ia membawa dua buah papper bag, yang berisi pakaian ganti untuk Arthur dan juga Andrea.

“Tuan ada di dalam, nyonya. Kata suster, nona sudah sadar, dan ingin bertemu dengan tuan Arthur.” Jelas Andrea pada majikannya.

“Audrey sudah sadar? Syukurlah.”

Wanita paruh baya itu menyerahkan tas yang berisi pakaian ganti untuk Andrea. Tadi, sebelum berangkat ke rumah sakit, Nyonya Dinata meminta bibi Andrea mengambilkan pakaian untuk gadis itu.

“Bersihkan dirimu terlebih dulu. Bukannya Arthur sudah menyewa ruang rawat VIP? Gunakan kamar mandi di ruangan itu.”

Ya, semalam Arthur menyewa sebuah kamar inap VIP, yang rencananya akan ia gunakan untuk tempat sang mama beristirahat selama menunggu Audrey siuman.

“Baiklah, nyonya. Aku permisi sebentar.”

Setelah ke pergian Andrea, nyonya Dinata memutuskan untuk melihat sang cucu. Seperti yang Arthur dan Andrea lakukan semalam, nyonya Dinata hanya bisa melihat bayi mungil itu dari balik jendela kaca.

Tanpa diminta, air mata wanita paruh baya itu menetes melihat bayi mungil itu.

“Maafkan kami, nak. Kamu tidak seharusnya menanggung dosa kedua orang tuamu.”

.

.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!