RACHEL berlari masuk melewati gerbang emas yang tinggi dan sangat megah. Masuk ke dalam rumah melalui pintu samping.
"Bi Minah, Rachel pulang," kata gadis tersebut bersemangat. Hal itu membuat Minah terkejut dan spontan menoleh.
"Pelan-pelan ngomongnya Hel. Di luar lagi banyak orang." Minah dengan cepat menegur keponakannya itu. Rachel pun menutup mulutnya sebentar lalu tersenyum sumringah.
"Memangnya ada tamu Bi?" tanya Rachel sembari membantu menuangkan teh ke dalam cangkir.
Minah langsung menggeleng. "Bukan Hel. Tapi itu suaminya Tante Agne yang baru pulang dari luar negeri," jelas Minah membuat mata Rachel seketika membelalak.
"Hah! Maksud Bibi, pria tampan yang ada dalam foto besar di ruang utama itu?" Rachel sangat antusias. Terlebih gadis tersebut memang belum pernah bertatap muka secara langsung.
Minah mengangguk pelan lalu mengangkat nampan yang berisi teh yang sudah Rachel tuang ke dalam beberapa cangkir. "Sekarang kamu pergi ganti baju dulu, terus kembali ke dapur bantu bibi." pinta Minah. Rachel menurut, dia segera berlari ke kamar yang terletak di bagian belakang. Sedangkan Minah lanjut mengantar teh ke ruang utama.
Rachel memperbaiki pakaian sederhana yang baru saja dikenakannya, lalu mengikat rambut hitam panjangnya menyerupai ekor kuda. Dia memang seorang gadis yatim piatu, namun beruntung ada Minah, adik kedua ibunya, yang ingin merawat Rachel dan Agne, adik pertama ibunya, yang memberi mereka berdua tempat tinggal serta membiayai sekolah Rachel sampai lulus. Meski begitu, Agne melakukan semua itu bukan dengan sukarela, Minah dan Rachel harus menjadi pembantu di rumahnya.
Rachel berjalan ke dapur kemudian segera mencuci piring kotor yang menumpuk.
"Siapa dia? Mengapa ada wanita muda menjadi pembantu di rumah ini?"
Tubuh Rachel terkesiap ketika mendengar suara bentakan keras dari arah belakang.
"HEI? Apa kau tidak punya telinga?"
Rachel menelan salivaki. Kemudian menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Keberanian dikumpulkan sebanyak-banyaknya untuk membalikkan tubuh menghadap pemilik suara itu.
"Sa-saya minta maaf, Om."
"Om? Tatap saya saat berbicara!"
Rachel menggigit kuku agar rasa gugupnya berkurang. Dia baru tahu kalau omnya tersebut terkesan kejam.
"Kenapa kau diam?"
"Ya Tuhan, tolong aku...."
Rachel berusaha untuk menyembunyikan rasa takut, namun wajah serta bahasa tubuhnya tak bisa berbohong. Dia memberanikan diri menatap mata pria tersebut. Namun tidak lama. Sebab sangat sulit dilakukan dalam kondisi seperti sekarang.
"Nama saya Rachel, Om. Saya anaknya Bu Yuli dan Pak Burhan. Bi Minah itu tante saya, istri Om juga. Di sini saya cuman membantu pekerjaan rumah kok Om."
Tak ada jawaban. Pria itu hanya memerhatikan Rachel dari atas ke bawah seperti menimbang-nimbang sesuatu.
"Ada apa? Kenapa Om menatapku seperti itu?"
Setelah beberapa menit hening, pria itu akhirnya bertanya, "Umur kamu berapa?"
"Hah? A-apa ... U-umur saya?" Rachel terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba pria itu.
"Iya, umur kamu berapa?"
"Mmmm ... Sembilan belas tahun, Om," jawab Rachel perlahan.
Pria itu mengangguk. "Berarti kamu sudah lulus SMA dan ingin lanjut kuliah kan?"
Rachel mengangguk, membenarkan pertanyaan omnya. "Kenapa Om bertanya seperti itu? Apa Om belum pernah tau kalau saya tinggal di sini? Maaf yah Om...."
"Tidak-tidak. Jangan meminta maaf. Saya tidak sedang memarahimu Nona Manis."
Rachel mundur saking terkejutnya. Nona Manis? Mengapa sebutan itu membuatnya seketika merinding? Sepertinya memang benar, Agne belum pernah menceritakan tentang Rachel dan Minah yang tinggal di rumah mereka.
Rachel hanya semakin menekuk wajahnya.
"Ya sudah, segera buatkan saya Cappucino dan antar ke kamar saya. Ingat, kamu yang mengantarnya!"
"Baik Om."
Setelah pria itu pergi, barulah Rachel bisa bernapas lega. Namun dia tahu belum berakhir, dengan cepat gelas diambil dan membuatkan pria tersebut Cappucino yang diresepkan oleh Minah.
Tidak lama, Rachel menyelesaikan Cappucino nya dan buru-buru membawanya ke luar dapur. Kepalanya celingukan, berusaha menerka kamar milik omnya yang belum diketahui.
Hingga sorot matanya sampai ke tangga melingkar yang super mewah. "Apa mungkin berada di lantai dua? Oh iya, kamar putih besar. Pasti yang itu." gumam Rachel, teringat dengan kamar putih besar yang berbeda dengan kamar yang lain.
Rachel pun menaiki tangga dan berjalan mendekati pintu kamar putih besar tersebut. Tanpa berpikir panjang, dia mengetuknya perlahan.
TOK! TOK! TOK!
"Om—"
Hanya sekali Rachel menyapa, suara langkah kaki mendekat ke balik pintu dan dibuka.
"Silahkan masuk!"
Rachel tidak memikirkan apapun selain ingin cepat-cepat memberikan Cappucino itu dan meninggalkan omnya. Jadi, dia langsung saja masuk.
"Letakkan Cappucino itu di atas nakas!"
Rachel pun menurut. "Sudah yah Om, saya pamit keluar," katanya lembut kemudian berniat keluar kamar tetapi langkahnya terhenti ketika pundaknya dipegang.
Rachel berbalik memandang omnya dengan wajah bingung.
Sementara pria tersebut berjalan mengunci pintu tanpa ada sepatah kata pun. Hal itu membuat Rachel terkejut.
"Om? Ke-kenapa—"
"Panggil saya Bara saja. Tidak usah pake om!"
Rachel menggeleng cepat. Perasaannya benar-benar tidak enak sekarang. "Om, saya mohon buka pintunya." katanya masih mencoba untuk tenang.
Bara tersenyum genit sembari mengelus wajah Rachel yang buru-buru ditepis.
"Orangtua saya terus saja mempertanyakan soal keturunan. Sampai-sampai mereka mengancam saya, akan mengambil semua warisan yang telah diberikan ini jika sampai satu bulan belum ada kabar baik." Bara mundur, berbalik menatap jendela besar sambil bersidekap. "Tapi apa kah kau tau, saya tidak akan bisa mendapatkan anak dari pernikahanku ini." Bara tertawa kecil.
Kemudian pria tersebut kembali lagi menghadap Rachel dan mendekatinya.
"Karena Tante Agne mu itu tidak bisa hamil ... alias mandul."
"A-apa?" Rachel melotot mendengar pernyataan itu sambil mundur selangkah dari jangkauan Bara.
Bara malah tertawa kecil melihat reaksi Rachel. "Saat melihatmu, saya langsung terpikirkan sebuah cara agar bisa memenuhi permintaan orangtua saya."
Rachel menelan salivaki nya. Nampaknya gadis itu akan masuk ke dalam masalah yang sangat besar.
Bara kembali tersenyum genit kemudian berkata, "saya ingin tau bagaimana reaksi mereka, saat saya mempunyai anak meski istri saya telah mandul."
DEG!
Rachel membelalak dan segera berlari membuka pintu. Namun saat sudah hampir sampai, Bara langsung mengambil kunci yang tergantung di pintu dan melemparnya ke atas lemari tinggi.
Rachel tetap berusaha memutar gagang pintu meski tahu pintu itu tidak akan bisa terbuka.
"Kuncinya!"
Saat Rachel berlari ingin mengambil kunci, tubuhnya langsung ditangkap Bara dari belakang.
"Om! Saya mohon lepaskan!" Rachel meronta-ronta sambil berteriak.
Bara tidak peduli dan menambah kuat tangannya memeluk tubuh gadis itu. Kemudian langsung menggendongnya.
"AAKKKHHH! OMMM!" Rachel memukul punggung Bara, mencoba untuk lepas dari pria itu. Namun Bara tidak merasakan apa-apa.
"AAAAKKKHHH!"
...BERSAMBUNG...
BARA tidak peduli. Dia melempar tubuh kecil gadis itu dengan mudah ke atas ranjang lalu segera menindihnya. Serta berusaha menahan perlawanan Rachel.
"Om ... saya mohon ... Om jangan!" sahut Rachel saat Bara berusaha mencium bibirnya.
Bara bangkit, kemudian melepas rim kulitnya. Lalu mengambil kedua tangan Rachel dan mengikat kedua pergelangan gadis itu.
"Maafkan om, Hel ... tapi kamu harus hamil."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"AAAAHHH!"
Rachel hanya bisa menahan rasa sakit, sambil mendes*ah, saat sesuatu itu menusuk masuk ke dalam. Terus dan terus dimasuki dengan kasar berulang kali. Sudah tak bisa terhitung berapa kali Bara mengeluarkan benihnya ke dalam rahim gadis kecil tersebut. Pokoknya Rachel benar-benar lelah sekarang hingga tak kuasa melakukan perlawanan. Dia pasrah dengan omnya yang tiada habisnya memainkan tubuhnya.
"Ini ... sangat nikmat—"
Kata itu terus terlontar saat Bara terus menghujami tubuh Rachel. Wajahnya yang penuh dengan gairah berada di balik leher jenjang gadis itu sembari mempererat pelukannya.
"Aarrggghhhh!"
Rachel memejamkan matanya ketika benih itu tumpah ke kembali ke dalam rahimnya. Tubuhnya ikut bergetar. Hal itu membuat Bara tahu, bahwa sebenarnya gadis itu sangat menikmati permainan mereka.
Butuh waktu beberapa menit untuk Bara melepas kepunyaannya, lalu segera berdiri menuju kamar mandi. Meninggalkan tubuh Rachel yang meringkuk lemas dengan air mata yang mengalir tenang di pelupuk mata.
Beberapa waktu kemudian, Bara keluar dari kamar mandi dan mendapati ranjang telah kosong. Ya, gadis itu telah pergi.
Bara tersenyum sumringah. Keponakan kecilnya itu memang hebat, bagaimana mungkin dia punya cukup kekuatan untuk keluar dari kamar setelah permainan panas tadi. Bahkan istrinya saja tidak bisa berjalan setelah bermain dengannya. Jangankan berjalan, berdiripun butuh waktu yang lama.
Namun itu tidak perlu dipikirkan, Bara lebih fokus dengan kemungkinan Rachel hamil. Apa yang akan keluarganya katakan jika itu memang terjadi? Apa mereka akan mengusir gadis itu dan berakhir Rachel menggugurkan kandungannya? Atau malah Rachel mengungkap kebenaran dan Bara diminta pertanggung jawaban?
Bara tertawa kecil. Tidak sabar melihat reaksi yang diberikan keluarga atas kehamilan Rachel. Dia siap bertanggung jawab. Namun wajah lelaki itu berubah seketika, sebuah rasa khawatir tentang kemungkinan Rachel tak hamil melintas di pikirannya.
Bara terduduk di pinggir ranjang sembari memeras kepalanya. Kalau benar-benar itu terjadi, dia akan terus melakukan hal itu sampai Rachel hamil.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Rachel tergopoh-gopoh berjalan masuk ke dalam kamar mandinya. Ia tak menghiraukan rasa sakit di sekujur tubuhnya, terlebih yang berada di ************.
Gadis itu langsung duduk di lantai. Kedua kaki sudah tak mampu menyangga tubuhnya.
"Hikksss...."
Rachel segera menutup mulutnya yang kecil begitu erat ketika suara isakan tangis terdengar keluar.
"Hiiikkksss ... Ibu ... A-ayah ... ma-maafkan Rachel...." lirihnya dengan air mata yang terus mengalir ke pipi.
Kenapa Om Bara melakukan hal itu kepadanya? Padahal dirinya baru saja lulus sekolah dan ingin melanjutkan pendidikan untuk meraih impiannya.
"Hikksss ... se-sekarang apa yang harus aku lakukan...." lirih Rachel lagi. Bertanya-tanya dengan penuh kebimbangan.
Pasalnya ia tidak mungkin menceritakan kejadian tadi kepada bibinya. Bisa saja Minah tidak percaya, kalaupun percaya pasti sang bibi akan murka dan menggila. Lantas tantenya, Agne akan mengusir mereka dan Minah juga bisa menghakiminya. Rachel tidak ingin hal itu terjadi, ia sudah banyak menyusahkan keluarga setelah kedua orangtuanya meninggal, terlebih hanya kedua tantenya itu yang sekarang menjadi sandarannya.
"Hikkksss...."
TOK! TOK!
"Rachel? Kamu di dalam?"
Tiba-tiba suara ketukan pintu membuat terkejut, diiringi dengan suara Minah yang lembut dari balik pintu. Rachel buru-buru mengusap air matanya yang masih mengalir.
"I-iya Bi," jawab Rachel senormal mungkin.
"Kamu sedang apa? Kalau sudah selesai tolong bantu bibi yah, bantu buat menu sarapan malam spesial untuk penyambutan kembalinya Om Bara dari luar negeri."
Rachel menyekap mulut dan hidung agar suara isak tangisnya teredam.
"Ba-baik ... Bi ... hikkkss..."
"Baiklah, jangan lama-lama yah Hel. Kalau sudah selesai langsung ke dapur."
Rachel tak membalas perkataan Minah karena mendengar suara langkah kaki yang menjauh.
Gadis itu kembali menyeka air matanya. Berusaha menghentikan isak tangis yang begitu dalam. Ia harus bisa. Jika tidak, Minah akan bertanya-tanya dan pada akhirnya akan tahu kejadian tadi. Rachel tidak ingin menambah beban bibinya itu.
Lalu dengan mengeluarkan seluruh kekuatan yang ada, Rachel bangkit dan membersihkan diri. Ia akan menganggap semua kejadian tadi hanyalah halusinasi, dan yang selanjutnya Rachel tidak akan lagi berurusan dengan omnya tersebut.
Selepas mandi dan mengganti pakaiannya dengan dress rumahan, Rachel pun berjalan menuju dapur. Walau merasa langkahnya masih gontai karena rasa sakit yang belum hilang, tapi ia berusaha untuk berjalan senormal mungkin. Jangan ada yang sampai curiga dengannya.
Sampainya di dapur, Rachel langsung mendekati bibinya.
"Apa yang bisa aku bantu, Bi?" tanya Rachel lembut.
Minah menoleh dan menunjuk ikan yang berada di baskom. "Tolong buang sisik ikan itu yah, Hel. Terus kamu potong jadi beberapa bagian yang besar."
Rachel langsung mengangguk dan segera berjalan mengambil ikan itu. Namun tiba-tiba....
"Hel?"
Rachel menoleh ke arah Minah dengan wajah panik.
"Itu ... kakimu kenapa? Sakit yah?"
DEG!
Rachel berusaha tenang dan bergerak menunjukkan kaki kirinya. "Ini ... jatuh Bi. Aku habis jatuh pas keluar dari kamar mandi."
Minah percaya saja, lalu melanjutkan kegiatannya memotong sayuran. "Pasti itu karena licin, kan? Tenang yah Hel, bibi akan segera membersihkannya," katanya.
"Iya Bi," balas Rachel sambil mulai membuang sisik ikan itu.
Tidak terasa dua jam berlalu dengan begitu cepat, Rachel kini sudah membantu Minah menyiapkan seluruh makanan ke tempatnya.
"Hel ... bisa tolong bibi?" tanya Minah setelah kembali dari luar berbincang dengan Agne tentang makanan yang sudah siap.
Rachel menoleh cepat. "Bisa. Tolong apa yah Bi?"
Minah kemudian mengambil botol wine serta gelas kaca, menyodorkan ke hadapan Rachel. "Ini. Tolong antar ke kamar Om Bara," kata Minah dengan senyum manis.
Rachel seketika melotot dan refleks mundur selangkah.
"Ta-tapi Bi—"
"Aduh Hel. Cepat, kamu harus tahu Om Bara itu tidak suka menunggu," potong Minah tidak ingin mendengar alasan apapun. Sementara Rachel melamunkan kejadian tadi, hingga sebuah ide muncul.
"Rachel tidak bisa Bi. Tadi kan sudah bilang, kakiku sakit karena jatuh di depan kamar mandi. Sangat sulit untukku menaiki tangga," ucap Rachel serius.
Minah menggeleng. "Bukan kamar yang di lantai atas maksud Bibi. Tapi yang berada di bawah tangga. Om Bara sedang bersantai di situ," kata Minah lalu sedikit memaksa kedua tangan Rachel untuk memegang botol wine dan gelas kaca tersebut. "Ayo Hel, cepat. Setelah itu kamu bantu bibi lagi di dapur."
Sudah tidak alasan lagi, Rachel memasrahkan dirinya untuk mengangguk. Kemudian berjalan ke luar dapur menuju kamar kecil yang berada di bawah tangga.
Langkahnya berhenti ketika sudah sampai di depan pintu.
TOK! TOK!
"Iya, silahkan masuk." suara serak dan besar itu segera menyahut di balik pintu.
Rachel menelan ludahnya. Menarik napas dalam-dalam lalu membuka pintu. Seketika tubuhnya merinding ketika melihat Bara sedang duduk di sofa hitam sambil membaca buku menghadapnya.
Gadis itu sangat takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi sekarang.
...BERSAMBUNG...
"INI barang yang Om minta," kata Rachel dengan cepat meletakkan botol wine dan gelas kaca itu ke meja kecil.
Bara mengalihkan pandangannya ke arah Rachel sambil tersenyum kecil.
"Sepertinya kamu tau cara menggoda pria dewasa seperti saya," ujar Bara membuat Rachel seketika bergidik.
"Maaf Om, saya permisi." Rachel berusaha untuk tetap sopan sebelum bergerak ingin keluar dari kamar itu. Namun, tangan besar tiba-tiba mencengkeram dan menariknya.'
"Aauuhh...." Betapa terkejutnya Rachel ketika mengetahui tubuhnya jatuh ke dalam pangkuan Bara. Baru saja ingin bangkit, kedua tangan memeluk erat pinggangnya.
"Ja-jangan Om...." kata Rachel ketakutan.
Bara hanya tersenyum. Kemudian dengan mudahnya mengecup pipi ponakannya itu.
Rachel terkejut dan langsung menghapus bekas kecupan omnya tersebut.
Bara semakin memperjelas senyum nakalnya. Saat pelukan melonggar, Rachel mengambil kesempatan itu untuk berdiri dan segera berlari keluar dari kamar.
"Wah, hebat juga gadis itu. Sudah mampu berlari rupanya." kata Bara dalam hati.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Rachel memandang bibinya yang sibuk menuangkan teh hijau ke dalam cangkir satu per satu. Pesta makan malam akan dilaksanakan sebentar lagi, namun semua makanan belum tertata rapi di atas meja. Gadis itu bisa melihat bahwa Minah tidak akan sanggup mengerjakannya sendirian.
"Hel, sekarang kamu bantu bibi yah, ambil semua cangkir-cangkir ini ke luar dan kamu tata rapi di atas meja."
Rachel mengangguk dan segera mengambil nampan yang terletak di lemari atas. Dengan nampan tersebut, ia bisa membawa banyak cangkir sekaligus.
Kemudian, Rachel mengangkat nampan besar itu ke luar dapur. Terlihat ruang tamu yang super megah itu sudah dihiasi banyak tirai dan bunga-bunga yang segar. Lampu kelap-kelip pun ikut meramaikan dekorasi.
"Wah," gumam Rachel sembari menata cangkir itu di atas meja yang begitu lebar dan panjang.
"Rachel?"
Rachel menoleh saat mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata tantenya yang bernama Agne.
"Tante Agne, ada apa?" tanya Rachel penuh sopan santun.
Agne maju dan memberikan sebuah kotak persegi kepada Rachel.
Rachel menerimanya, tapi dengan raut wajah bingung. "Ini apa Tante?"
Agne tersenyum manis. "Itu gaun pesta untukmu. Pake itu di pesta makan malam sebentar."
Rachel lantas menggeleng. "Tidak Tante. Maaf, bukannya tidak ingin, tapi saya ingin membantu Bi Minah di dapur, lagipula ini pesta besar jadi saya tidak merasa—"
"Kamu dan Minah itu adalah satu-satunya keluarga yang saya miliki selain keluarga suami saya. Pesta makan malam ini untuk merayakan kedatangan om kamu kembali di rumah, jadi sudah sepantasnya kamu ikut serta menikmati pesta ini. Tunggu apa lagi, pakai gaun itu dan rias wajahmu secantik mungkin. Masalah dapur itu belakangan."
Setelah menjelaskan semuanya, Agne berlalu pergi meninggalkan Rachel. Tidak heran, tantenya itu memang terkenal dengan keramahan serta sikap baiknya. Tapi sangat disayangkan, wanita yang berlesung pipi itu malah mandul.
Selesai dengan tugasnya menata cangkir, Rachel berjalan kembali menuju dapur. Bermaksud untuk mengambil sisa cangkir, ia tiba-tiba dikejutkan oleh banyaknya orang yang berseragam putih sedang sibuk mempersiapkan makanan dan minuman. Catering kah? Betul sekali.
Rachel tidak menemukan Minah di dalam kerumunan pelayan tersebut. Hingga memutuskan untuk kembali ke kamar.
Sesampainya di kamar, ia membuka pintu dan mendapati bibinya sedang berdiri di hadapan cermin.
"Bibi lagi apa?" tanya Rachel saat sudah berada di dalam kamar.
Minah menoleh dengan senyum lebar. "Lihatlah Hel, apa bibi cantik memakai gaun ini? Oh iya, kamu juga diberikan gaun kan dari Tante Agne mu?" tanya Minah membuat Rachel mengangguk. "Tantemu itu memang baik dan tidak sombong. Dia mempersilahkan kita untuk bergabung di pesta makan malam yang dipenuhi konglomerat. Bahkan dia memberikan kita gaun mahal ini. Seandainya Kak Ambar masih ada bersama kita, pasti dia sangat senang."
Minah meletakkan gaun tersebut di atas ranjang, kemudian bergerak mengambil minyak urut.
"Kemari Hel! Biar bibi obati kakimu itu," kata Minah.
Rachel mundur dan menggeleng. "Tidak usah Bi, sudah tidak sakit kok."
Minah memandang Rachel lekat-lekat. "Benar?"
Rachel mengangguk membuat Minah meletakkan kembali minyak urutnya. "Ya sudahlah, kamu istirahat saja. Bibi ingin membersihkan kamar mandi dulu." Setelah itu Minah berjalan masuk ke kamar mandi.
Rachel bernapas lega, lalu menjatuhkan dirinya di atas ranjang hingga tanpa sadar dirinya sudah terlelap.
"Rachel ... bangun Hel!" panggil Minah membuat Rachel tersadar dan membuka matanya perlahan.
"Kenapa Bi?" tanya Rachel masih dijajah dengan rasa kantuk.
Minah menggeleng sambil tersenyum. "Kamu sudah lupa yah ... cepat mandi Hel, pesta makan malamnya susah mau mulai."
Rachel bangun kemudian menggeleng. "Bi, aku boleh tidak istirahat saja? Badanku terasa tidak sehat," tanya Rachel berkata yang sebenarnya, walaupun terdapat alasan kedua.
Minah menatap khawatir wajah Rachel. "Kamu sakit Hel? Kita ke rumah sakit yah? Bibi akan meminta ijin sama Kak Agne, tunggu—"
Rachel menggeleng kembali. "Tidak usah ke rumah sakit Bi. Palingan aku cuman kecapean," potong Rachel membuat Minah mendekap tubuh ponakannya itu sembari mengelus kepala Rachel.
"Kalau begitu kamu istirahat saja. Bibi akan memberitahu Kak Agne sebentar."
Rachel mengangguk pelan, kemudian kembali berbaring. Sementara Minah buru-buru mengambil air hangat dan kotak obat yang ditaruh di atas nakas.
"Jangan lupa minum obatnya yah Hel. Bibi mau keluar dulu."
Rachel mengangguk lalu memejamkan matanya. Saat Minah sudah keluar, Rachel kembali membuka matanya.
"Maaf Bi, Tante Agne. Aku tidak bisa bertemu lagi dengan Om Bara. Dia benar-benar membuatku takut."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di tengah pesta, Bara tidak berhenti mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruang tamu itu. Mencari keberadaan ponakan kecil yang dari awal mencuri perhatiannya.
"Ada apa Mas?" tanya Agne yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik suaminya yang tidak biasa.
"Sayang, kamu yakin semua penghuni rumah hadir di pesta ini?" tanya Bara membuat Agne mengangguk.
"Makasih yah Mas. Aku pikir setelah kamu makin sukses dan memiliki banyak kekuasaan, kamu akan sombong dan melupakan keluargaku yang jauh dari tingkat derajatmu. Tapi ternyata kamu sangat peduli dengan keluargaku. Aku benar-benar salut sama kamu Mas."
Bara hanya tersenyum kecil mendengar perkataan sang istri yang terus memujinya. Dipikiran pria itu sekarang hanya satu, Rachel.
"Kesana yuk Mas! Kita harus menyambut para tamu yang hadir," ajak Agne, Bara menurut saja.
"Selamat datang, semoga menikmati pestanya," kata Agne begitu bahagia kepada kedua wanita konglomerat yang hadir.
Setelah Agne dan Bara meninggalkan kedua wanita itu, terdengar sebuah bisikan-bisikan yang dapat membakar kuping.
"Iya sih Jeng, istrinya cantik, suaminya ganteng, tapi sayang sudah bertahun-tahun menikah belum punya anak juga."
Mereka berdua tertawa. "Iya Jeng, sayang sekali."
Agne berdecak dalam hati, sementara Bara berusaha menahan emosi. Namun Bara lebih memikirkan soal Rachel yang sampai sekarang tidak terlihat sedikit pun. Apalagi pesta makan malamnya sudah ingin berada di puncak.
...BERSAMBUNG...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!