NovelToon NovelToon

Dikhianati Suami Dan Mertua

episode 1dan 2

Dikhianati Suami dan Mertua

Part 1

"Nggak perlu diambil hasil tes itu. Suamimu ini terbukti baik-baik aja. Kamu yang mandul, Nak," ucap Ibu mertua lembut sambil memegang bahuku.

Wanita yang telah melahirkan suamiku itu mendengar ajakanku pada Bang Irwan pergi ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes.

"Dari mana bisa tau aku yang mandul, Bu? Hasilnya aja belum kita lihat," sanggahku.

Perempuan yang masih terlihat cantik meski tak lagi muda itu menarik napas sejenak. Lalu tangan yang mulai keriput itu membelai pahaku. "Irwan akan menjadi seorang Ayah."

Aku semakin tak mengerti. Ibu sudah memvonis aku madul tapi bilang Bang Irwan akan menjadi seorang ayah. Maksudnya apa? Adakah kejutan untukku? Apakah aku hamil tanpa kuketahui? Tidak mungkin!

"Maksudnya apa, Bu?" Aku menautkan kedua alis.

Ibu mertua bergeming sesaat. Membuatku semakin tidak sabar mendengar kalimat selanjutnya. Tampak berusaha mengatur napas agar dapat berbicara dengan tenang. Ah, semakin membuatku tegang.

"Sebenarnya Irwan sudah menikah lagi, dan sekarang istrinya sedang hamil."

Kedua bola mataku membulat sempurna. Antara percaya dan tidak. Aku menatap dalam netra Ibu. Raut wajahku seakan mewakili bibir untuk berkata 'Benarkah itu,' Ibu mengangguk.

Lemas seketika seluruh raga. Pengakuan Ibu mertua telah menggoncang jiwa. Serasa ada yang menghimpit di dada. Yang tak ingin kudengar akhirnya menggema di telinga.

"Maaf, Nak. Sudah lama Irwan ingin memiliki anak. Dan Ibu sudah rindu menimang cucu. Makanya diam-diam Irwan menikah lagi."

Lima tahun. Baru lima tahun usia pernikahan kami, tak bisakah bertahan sedikit lagi? Di luar sana, bahkan sampai sepuluh tahun. Tapi, masih sabar menanti. Tanpa menghianati istri.

"Ibu setuju?" Ia lagi-lagi menganggukan kepala.

Kurang baik apa aku? Hingga sanggup Ibu mertuaku berbuat begini. Segala kebutuhannya aku penuhi. Ingin ikut arisan akut turuti, meski aku yang bayar arisannya. Setiap bulan minta dibelikan baju baru, aku turuti. "Ibu malu sama teman-teman arisan dan ibu-ibu pengajian kalau bajunya itu-itu aja," alasannya saat itu. Ya, aku memakluminya.

Karena hati dan sikapnya yang lembut, aku pun tulus dan memang berniat membahagiakannya seperti aku membahagiakan orangtuaku sendiri. Apa lagi, kehidupan mereka dahulu sangat pas-pasan. Ya ... itung-itung aku mengangkat drajatnya di mata teman-temannya. Bahkan sering kudengar Ibu mertua mendapat pujian karena nasibnya yang mujur.

"Sekarang enak, ya, sampean. Anak udah mapan, dapat mantu baik pula. Royal sama mertua dan ipar-iparnya." Begitulah yang sering kudengar.

"Iya. Bahkan dia pandai mengatur keuangan. Semua gaji anakku dia yang pegang. Tapi dia bisa membaginya untuk ini-itu. Belum lagi kalau aku minta beli ini dan itu. Tapi mantuku itu masih bisa nyimpan." Ibu mertua semakin menyanjungku, membuat telinga ini kembang.

Aku memang punya prinsip, keluarga suamiku ya keluargaku. Dan suamiku harus mengnggap keluargaku sebagai keluarganya. Alhamdulillah itu terlaksana. Bang Irwan juga tidak pelit dengan adik-adikku. Kebetulan, kedua orangtuaku sudah tidak ada sebelum aku menikah.

Ya ... gaji Bang Irwan cukup besar bila dibandingkan kehidupan mereka sebelumnya, juga dikalangan menegah kebawah. Dan itu bisa saja cukup. Tapi, itu jika tidak royal. Ibu mertua tidak tahu aku selalu menambahi dengan uang pribadi. Di mata Ibu, aku hanyalah ibu rumah tangga yang pemgangguran. Tidak tahu jika aku punya penghasilan meski hanya di rumah. Justru itu permintaan Bang Irwan agar merahasiakan dari Ibu.

"Ibuku nggak mau Abang menikah dengan perempuan yang ekonominya lebih tinggi. Takut nggak menghargai suami. Jadi, tolong rahasiakan, ya, Dek," pintanya saat itu. Saat hendak mengenalkanku pada Ibunya.

Oh. Baru kusadari, apa karena itu Ibu mertua juga sanggup menghianatiku? Mengira aku tidak akan bisa memberontak karena hanya menopang hidup pada suami? Lalu dengan Bang Irwan? Dia sangat tahu tentang pengeluaranku untuk Ibu dan adik-adiknya. Aku memanjakan mereka semua pakai uangku. Kenapa dia masih sanggup menghianatiku? Jika benar aku mandul, tidakkah ada timbal baliknya untuk menghargai ketulusanku?

Wajar bagi bang Irwan, dia seorang lelaki. Ada saja alasan untuk beristri lagi, apa lagi dalam kondisi kami. Tapi ibu? Dia juga seorang wanita. Tidak pekahkah dia bagai mana sakitnya? Tidak bisakah menasihati putranya? Malah mendukungnya.

Dibalik sikap Ibu mertua yang tenang, ternyata bisa membuat tenggelam. Ya, pribahasa itu kini aku rasakan. Sakit! Bagai ditusuk belati berkali-kali.

Aku menoleh pada Bang Irwan yang duduk agak berjauhan. Ia menundukkan kepala. Pengecut! Kenapa pengakuan ini tidak keluar dari bibirnya? Ia mengandalkan Ibu untuk mengungkap kebenarannya.

Poselku berbunyi. Bunyi khas dari aplikasi berwarana hijau. Segera kurogoh kantong dan membukanya.

[Hasil tesnya aku titipin sama Niara, ya. Hari ini aku nggak di rumah sakit.]

Dimas, Dokter yang memeriksa kesehatan kami sekaligus teman sekolahku saat SMA. Begitu juga Niara, kami bertiga sekelas. Tapi, sekarang Dimas menjadi Dokter dan Niara Perawat. Kebetulan sekali mereka bekerja di rumah sakit yang sama.

Membaca pesan dari Dimas, aku jadi berfikir dua kali. Apakah perlu aku mengambil hasil tes itu? Sementara sudah jelas Bang Irwan akan menjadi seorang ayah dari wanita lain.

Dikhianati Suami dan Mertua

Part 2

Aku mengabaikan pesan yang bagiku tak penting lagi. Lalu memasukkannya kembali ke dalam kantong.

"Nak Dewi ...." Suara lembut itu menarik pandanganku untuk menoleh ke arahnya.

"Besok Irwan akan menjemput Salwa untuk tinggal di sini. Dia nggak punya siapa-siapa. Takut ada apa-apa dengan kehamilannya. Nggak apa-apa, kan?"

Jadi namanya Salwa? Apa maksudnya nggak apa-apa? Percuma juga, kan, kalau aku bilang tidak boleh? Toh, tiba-tiba saja besok sudah mau menjemput. Itu artinya sudah jauh-jauh hari mereka rencanakan. Dengan izin atau tanpa izin dariku, wanita simpanan mereka akan tetap dibawa ke sini. Itu hanya sandiwara agar terkesan menghargai keberadaanku. Tiba-tiba aku tidak mengenal sifat Ibu.

"Bawa aja, Bu. Nggak perlu basa-basi. Terlanjur basah, ya sudah mandi aja sekalian!" celetukku sambil menatap tajam Bang Irwan. Ternyata dia kecolongan sedang menatapku. Dengan cepat kembali menundukkan kepala. 'Terlambat!' celetukku dalam hati.

Dengan lantang aku berjalan meninggalkan mereka berdua. Memasuki kamar lalu mengunci pintu. Di balik pintu kamar aku bersandar, lalu merosot dengan kaki kubekuk. Kudekap mulut dengan kedua tangan, lalu kutumpahkan air mata yang tadi sempat kutahan. Aku terisak.

Apapun alasan kalian, itu tidak benar. Kalian menyakitiku. Mengapa tidak berterus terang jika ingin menikah lagi. Meski tetap sakit, tetapi tidak mengkhianati. Kalau seperti ini, aku merasa selama ini dibodohi.

Kuseka air mata dengan kasar, lalu berdiri tegak.

'Kamu bukan wanita murahan, maka kamu nggak boleh lemah. Hadapi dengan anggun.' Aku berbicara sendiri di depan cermin. Selamat datang wanita baru di rumhku. Akan kusambut kehadiranmu.

\*\*\*

"Eh ... mantu Ibu sudah sampai." Ibu mertua menyambut dengan ramah tamah. Menghadiahi kecupan pipi kiri dan kanan. Pemandangan yang menyakitkan mata. Aliran darahku tiba-tiba mengalir deras hingga kepala. Melihat keakraban mereka, sangat kentara kehadiran wanita tidak tahu malu itu sangat dirindukan. Hatiku terasa sakit. Hingga mataku ngerembes. Aku memutar badan sebentar untuk menyeka sudut mata. 'Jangan lemah!' bisik hati kecilku.

"Hai Salwa ... ayuk masuk. Nggak usah malu-malu." Ah, lebay nggak sih? Aku menarik tangan perempuan tidak punya harga diri itu masuk ke dalam rumah. Sedang Bang Irwan membuntuti kami dari belakang sambil membawa koper selingkuhannya. Hm ... masihkah ini dikatakan selingkuhan?

"Barang-barangnya bawa ke kamar aja, Bang. Udah aku bersihkan, kok," ujarku sambil memoyongkan bibir. Menunjuk kamar kosong, tepat di sebelah kamar kami. Kamar yang akan membuat malamku tidak tenang.

"Jangan sungkan-sungkan denganku. Aku Dewi. Dewi Indra Yani. Aku nggak gigit, kok," candaku dibuat-buat. Padahal rasanya ingin sungguhan menggigit. Berharap saat ini aku adalah siluman srigala. Agar puas mencabik-cabiknya dengan buas.

Wanita itu tersenyum malu. Mimik wajahnya tampak canggung.

"Benar, kan, Ibu bilang. Dewi ini baik orangnya. Ramah lagi. Kalian pasti cepat akrab," ucap Ibu mertua sambil menuntunnya duduk di sofa.

Jadi mereka sudah menceritakan tentang diriku? Ini tidak adil. Wanita itu sudah tahu tentang diriku, sedang aku sama sekali tidak tahu tentangnya. Atau jangan-jangan mereka sudah mengataiku karena aku mandul?

"Ini, diminum, biar segar. Pasti capek, kan." Kuletakkan mampan berisi empat gelas air jeruk hangat di atas meja.

"Kalian mirip, loh ...," goda Ibu. Kami semua tertawa. Tawa yang kubuat-buat. Ah, tidak lucu. Sama sekali tidak lucu!

"Setelah ini kalau mau makan silakan, ya. Maaf aku nggak bisa ikut makan siang bersama. Udah ada janji sama teman. Dia ulang tahun dan mau traktir makan di kafe." Aku berbohong. Mendadak ide itu datang. Rasanya tidak tahan berlama-lama melihatnya. Sebaiknya aku pergi sekedar menenangkan diri. Tapi, ke mana?

"Jangan lama-lama, Dek," ujar Bang Irwan.

Hm, basa-basi. Aku mendengkus kesal.

Aku pergi menggunakan jasa ojek online. Tidak baik mengendarai dengan perasaan seperti ini. Menjaga keselamatanku. Menghindari terjadi yang tidak-tidak.

"Hei ... Dewi!" Suara teriakan memanggil namaku terdengar dari seberang jalan saat aku baru saja turun dari ojek. Oh, Niara. Aku menunggunya berlari kecil menghampiriku.

"Kebetulan ketemu di sini. Aku tadi mau ke rumahmu nganter ini," ucap wanita berseragam putih itu setelah sampai menghampiriku.

Ia menyodorkan sebuah amplop berwarna kuning. Ini pasti hasil tes dari Dimas yang dititipkan pada Niara.

"Masuk, yuk." Aku mengajaknya masuk ke dalam kafe sambil menerima amplop itu. Niara menyengir. Dia paham akan ditraktir, dan memang paling suka yang gratisan.

Gawaiku kemasukan notifikasi dari aplikasi berwana hijau. Niara sibuk memilih menu. Aku segera membuka pesan itu.

\[Sudah diambil, kan? Bagai mana hasilnya?\]

Dari Dimas. Mengapa dia yang bertanya? Meski tak tertarik untuk membukanya, namun rasa penasaran menggoyahkan hatiku.

"Aku ke toilet dulu, ya," ucap Niara. Aku mengangguk. Segera kubuka isi amplop kuning di bawah meja.

Mataku terbelalak. Kedua bijinya nyaris melompat. Kubaca berulang-ulang untuk meyakinkan diri sendiri. Aku tersenyum lebar. Sungguh bahagia kurasa. Bang Irwan harus tahu.

Aku kirim pesan kepada Niara yang masih di toilet.

\[Aku pulang, ya. Ada urusan mendadak. Tenang, udah kubayar, kok.\]

Tanpa menunggu balasan. Aku langsung bringsut dari tempat duduk lalu segera pulang. Tak sabar rasanya segera sampai di rumah.

Saat tiba di depan rumah, aku mengucap salam dan mengetuk pintu beberapa kali. Tidak ada jawaban, kutekan gagang pintu kearah bawah. 'Nggak dikunci.' Aku segera masuk. Namun, apa yang kudapat? Pemandangan yang menyakitkan. Bagai ada yang menghujam jantungku. Mereka teledor, hingga aku menyaksikan adegan mesra itu dari selah pintu kamar yang tidak tertutup rapat.

'Baiklah kalau begitu. Kalian semua harus tau!' Aku merutuk geram.

part 3

Dikhianati Suami dan Mertua

Part 3

Seketika aku memejamkan mata seiring dengan menahan sesaknya di dada. Aku kembali keluar, lalu bersandar di dinding sebelah pintu. Tubuhku bergetar. Perasaanku hancur!

Aku mengatur napas. Menariknya dalam-dalam lalu menghembusnya secara perlahan. Aku akan kembali masuk dengan berpura-pura tidak tahu. Akan kubuat mereka terkejut. Pasti mereka akan kelabakan.

"Sepi. Pada ke mana, ya?" Sengaja meninggikan suara.

Aku berjalan menuju kamar. Ekor mataku sempat menangkap mereka menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka.

"Lain kali jangan teledor, ya. Ntar kalau ada yang intip gimana ...," kataku setelah sampai di depan pintu kamar. Lalu aku cekikikan. Tidak lama terdengar suara pintu ditutup perlahan.

Saat bibirku cekikikan, saat itu pula air mata ini menetes. Aku menjatuhkan diri dengan berlutut. Kedua tanganku jatuh menjuntai ke bawah. Kepalaku menengadah ke atas. Air mata berjatuhan sangat deras. 'Sakit sekali ya Allah!' keluhku.

Menangis bukan karena lemah. Biarlah kuhabiskan air mata ini hingga tak tersisa, agar tak ada lagi air mata berikutnya. Aku terus menangis hingga terasa lelah. Hingga raga tak berdaya, dan tak ingat sudah berapa lama.

"Bang ... Bang ...."

Aku membuka mata mendengar suara memanggil seseorang. Kudapati Bang Irwan sudah di hadapanku. Kami tidur miring dan saling berhadapan. Matanya tampak basah. Ia meletakkan jari telunjuk di bibirnya saat aku hendak bersuara.

"Kenapa tadi tidur di bawah?" tanyanya pelan.

Aku? Tidur di bawah? Yang aku ingat hanya menangis. Ternyata sampai ketiduran. Lalu, Bang Irwan membopongku ke tempat tidur. Aku kepergok, dong, sedang menangis.

"Maafin Abang, ya." Suaranya terdengar parau. Tangannya membelai kepalaku. Mata yang belum kering itu kembali basah. Lalu menetes satu persatu. Disusul dengan air mataku.

Aku tak ingin disentuhnya. Namun, disisi lain aku menyukainya. Sentuhan itu bagai pereda nyeri di hati.

"Untuk apa?" tanyaku pelan. Hal yang tak perlu dipertanyakan.

Satu kecupan mendarat di keningku. Terasa ada sesuatu yang hangat membasahi kening. Setelah beberapa detik, ia menarik wajahnya dan kembali menatapku. Wajah yang berjarak hanya beberapa centi dari wajahku kian menghilang, pandangan terhalang oleh air mata yang kian menggenang. Lalu tumpah saat tangannya mengusap pipi. Bulir-bulir bening itu semakin manja, menumpahkan isinya, agar juga disentuh olehnya. Entah mengapa aku sangat menikmatinya.

Gawai Bang Irwan berbunyi. 'My lovely' aku sempat membaca nama yang tertera di layar ponselnya. Hatiku kembali teriris.

"Angkatlah," kataku pelan. Ia menggeleng. Lalu aku tarik gawai itu dari tangannya dan menekan tobol berwarna hijau.

"Halo ...."

"Heh. Di mana Bang Irwan?"

Bena-benar tidak punya sopan santun.

"Ada di sampingku. Dia lagi tidur lelap. Kayaknya lelah." Aku melirik Bang Irwan. Wajahnya hanya pasrah.

"Apa maksudmu? Buka pintunya!"

"Ssst ... jangan berisik. Kamu menumpang di sini. Jadi harus sopan. Pakai etika."

"Ini rumah suamiku! Akan kudobrak pintu ini!"

Telepon terputus. Samar-samar kudengar suara Ibu mertua mengucap salam. Mungkin wanita itu pun menjaga sikap. Dasar wanita tak beretika. Di mana mereka mendapatkan wanita seperti itu?

Setelah wanita itu memutuskan telepon, aku segera ke kamar mandi yang ada di dalam kamar ini. Segera menyegarkan diri, membasuh seluruh tubuh hingga rambut.

Saat aku keluar dari kamar mandi, kulihat Bang Irwan terlelap di peraduan. Biarlah, mungkin dia lelah habis bertempur dengan wanita barunya. Sekekita dada kembali sesak. Tatkala memori menyeret ingatanku pada adegan yang tak sengaja teetangkap mata. Aku manarik napas kasar. Untuk pertama kalinya aku membenci suamiku. Melihat sekujur tubuhnya terlentang di atas ranjang aku meras Jijik. Tubuh itu telah menyentuh tubuh wanita lain.

Hasil tes itu, biarlah kusimpan dulu. Hingga waktunya tiba.

Aku keluar kamar dengan rambut kugerai. Biasanya aku akan sungkan memperlihatkan rambut basahku. Tapi, kali ini aku sengaja.

Benar saja, matanya tajam melihat rambutku basah, dia pasti mengira kami habis melakukannya. Tatapannya seperti hendak menerkamku.

" Mana Bang Irwan?" tanyanya sinis.

"Dia lagi bobok. Capek katanya," jawabku santai sambil memainkan rambut. Dadanya tampak kembang kempis. Kenapa? Sakit? Tak sebanding dengan yang kurasa, Salwa!

"Mau masak apa, Bu?" Kulihat Ibu mertua mengeluarkan belanjaan dapur. Rupanya tadi Ibu keluar untuk belanja.

"Sebaiknya kamu nggak boleh begitu. Kasihan dia sedang hamil." Ibu mertua peka dengan sikapku. Baru beberapa jam wanita itu di rumah ini, Ibu mertua sudah menunjukkan sikap tidak netralnya. Entah itu bentuk pedulinya kepada kami berdua, atau khusus pada menantu yang selama ini disimpannya.

"Memangnya aku kenapa, Bu?" Pura-pura tidak paham dengan perkataan Ibu. Tanganku asik membantu menyusun belanjaan. Memilah mana yang akan disimpan di kulkas, bumbu yang akan disimpan dalam toples, dan bahan yang akan dimasak hari ini.

"Kamu pasti ngerti maksudnya. Dia itu hamil, nggak boleh sters. Dampaknya akan buruk pada kesehatan bayinya."

Oh, jadi aku boleh stres, begitu? Makin kelihatan Ibu membela wanita itu dengan alasan hamil. Lihat saja nanati. Ibu akan terkejut begitu tahu siapa wanita itu.

Moodku membantu Ibu hilang. Ingin pergi meninggalkan Ibu di dapur. Namun, rasanya kurang etis. Seperti kekanak-kanakan.

Sebuah notofikasi menyelamatkanku. Kurogoh saku celana dan membukanya.

"Sebentar, Bu. Rani minta ditelpon." Aku berbohong.

"Pasti minta uang ...," celetuk Ibu.

'Aataghfirullah ....' Aku terkejut batin mendengarnya. Selama ini aku mengirimi adik-dikku pakai uangku sendiri, bukan uang suami. Kami punya warisan dari almarhum kedua orangtua dua belas hektar kebun sawit. Dengan kepandaianku mengelolah keuangan, aku mampu menambah tiga hektar lagi. Gaji Bang Irwan jauh dibawah hasil kebun sawitku. Inilah akibatnya jika mertua tidak mengetahui penghasilanku. Jadi mengira aku menghabiskan uang suami.

Aku pura-pura tidak mendengarnya. Segera keluar untuk melihat pesan dari Dimas yang belum sempat kubaca.

[Besok temui aku di rumah sakit.]

[Ada apa?]

[Datang saja, biarku jelaskan]

[Iyalah. Kalau dari wa, kan, nggak dapat biaya konsultasinya.]

Dimas membalas denga emotion tertawa. Ternyata dia peka bahwa aku bercanda. Hatiku pun ikut tertawa, disambut dengan bibirku ikut tersenyum.

Senyumku memdadak pudar, hati kembali gusar. Mengapa Dimas menyuruhku untuk kembali ke rumah sakit? Apa yang akan dia sampaikan? Adakah Bang Irwan mengidap penyakit serius yang menyebabkan ....?

part 4

Dikhianati Suami dan Mertua

Part 4

"Hei, lama nunggunya?" Dimas membuyarkan lamunanku. Dokter single itu memang memintaku menunggunya di taman ini. Supaya ngobrolnya lebih rileks dan tidak dikenakan biaya konsultasi. Begitulah guraunya, meniru candaku kemarin melalui aplikasi hijau.

"Lumayan." Aku mengnggukkan kepala.

"Boleh aku duduk di sini?"

"Jadi mau duduk di mana?" Di sini hanya ada satu kursi panjang. Kalau tidak duduk di kursi yang kini kududuki, di mana lagi. Di atas rumput?

"Aku sungkan dengan suamimu. Eh, mana dia? Nggak ikut?" Matanya jelalatan kesegala arah untuk menemukan suamiku.

"Lho ... kirain harus sendiri. Nggak bilang, sih."

"Aku kira kamu paham. Yang berobat, kan, kalian berdua. Apa lagi yang punya masalah itu ... suamimu." Pria tampan dan klimis itu duduk di sampingku. Namun, menjaga jarak. Bukan karena corona, tapi jarak karena aku wanita sudah ada yang punya. Ah, aku tampak bodoh di hadapannya. Yang dia ucapkan itu benar, tapi itu tak penting lagi.

"Harusnya suamimu ikut. Aku punya solusi untuk kalian agar bisa punya ...."

"Nggak perlu!" pungkasku.

"Kenapa?"

Aku terdiam. Malu rasanya mengatakan yang sebenarnya. Suami selingkuh, itu adalah aib bagiku.

"Ada masalah dengan hubungan kalian?" tanyanya lembut tatkala air mata tak dapat kubendung.

"Dia menikah lagi?"

Aku semakin terisak. Begitu mudah Dimas membacanya.

"Istrinya yang sekarang hamil?"

Aku menolehnya. Seakan lupa sedang menangis. Rasanya terhenti begitu saja. Kenapa tebakannya selalu pas? Selain dokter, apa dia juga paranormal?

"Kasus seperti ini sering terjadi. Laki-laki memang egois. Mereka selalu beranggapan bahwa yang mandul adalah wanita. Tapi aku tidak menyangka ini terjadi padamu. Sebab, melihat kalian berdua datang menemuiku, kalian tampak begitu harmonis. Saling melengkapi."

Aku memalingkan wajah. Aku juga tidak menyangka ini terjadi padaku. Ibu mertua yang begitu lembut dan penyayang, juga suami yang begitu baik, ternyata menusukku dari belakang. Mereka mengkhianatiku, tanpa mempedulikan ketulusanku.

"Kamu sudah memberi tahunnya bahwa dia ...."

Aku menggelengkan kepala, hingga Dimas tak melanjutkan kalimatnya.

"Kenapa? Dia harus tau. Dan jangan biarkan wanita itu merebut kebahagiaanmu dengan menutupi dosanya." Dimas tampak kesal.

Aku tidak diam. Hanya menunggu waktu yang tepat. Biarlah sekarang mereka menari sebelum terpeleset dan jatuh di air kubangan yang keruh.

Aku rasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Memilih pamit untuk pulang.

"Aku antar, ya." Dimas menawarkan jasa. Aku menautkan kedua alis.

"Bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin menjagamu. Tidak baik sendirian dalam keadaan hati semrawut. Mudah terhipnotis, lho ...." Dimas paham aku tak menyukai tawarannya. Mengingat statusku bukan lagi gadis.

"Aku baik-baik saja," ucapku sambil berdiri. Dimas pun ikut berdiri.

"Terima kasih, Dok." Kali ini aku bersikap antara dokter dan pasien. Lalu pergi meninggalkannya. Setelah beberapa langkah, aku menoleh kebelakang. Entah mengapa ia masih mematung dan menatapku. Apakah dia mengasihaniku? Aku tidak suka dikasihani. Tak kuhiraukan lagi dirinya. Aku meneruskan langkah. Ya, langkahku masih panjang.

***

"Dewi ... mulai bulan ini, gaji Irwan dibagi dua, ya. Sebagian kasih sama Salwa." Ibu mertua membuka pembicaraan disela sarapan kami.

"Kenapa?" Aku mengernyitkan dahi. Melirik Bang Irwan. Sepertinya dia pura-pura tidak mendengar. Menyendok nasi ke mulut dengan lahap. Serta menghentakkan sendok ke piring berbahan keramik hingga terdengar denting yang nyaring. Aku menaruh curiga, ini konspirasi.

"Kan, Salwa juga istri Irwan."

"Tapi tidak sah secara hukum, Bu. Jadi dia tidak punya hak menerima gaji suami." Bang Irwan tersedak mendengar ucapanku.

"Kita sedang nggak membicarakan secara hukum. Tapi secara kekeluargaan." Salwa ikut bersuara.

'Kekeluargaan?'

"Apa kau menganggapku keluarga? Giliran uang aja bilang keluarga." Hah, nafsu makanku mendadak hilang.

"Dewi ... kita semua ini keluarga," tutur Ibu mertua lembut. Iya, kita semua. Tapi, itu dulu sebelum kalian mengkhianatiku.

"Selain gaji, Bang Irwan, kan, ada uang masuk. Itu aja yang dikasih. Itu juga jangan sampai aku tau," kataku lagi menambahkan.

"Oh, jadi kamu mau berkuasa di rumah ini? Mau menguasai Bang Irwan? Aku juga istrinya!" Tiba-tiba Salwa berdiri dan memukul meja dengan kedua tangan. Cukup keras, hinggan keluar air dari dalam gelas. Aku pun terkejut dengan suaranya yang meninggi.

"Sebenarnya yang mau berkuasa siapa? Aku yang pertama di rumah ini. Dan ingat, kamu tidak sah secara hukum. Jadi tidak punya hak! Harusnya tau diri!" Tak senang dengan tuduhannya. Suaraku pun tak kalah tingginya.

Bang Irwan merangkul bahuku dan Ibu merangkul bahu wanita itu. Mereka berusaha menenagkan.

"Bawa Salwa masuk." Ibu menyuruh Bang Irwan membawa wanita tidak tahu diri itu ke dalam kamar. Dasar cengeng. Dia yang memulai, dia yang menangis.

Bang Irwan menurut, lalu menuntun istri sirinya berjalan menuju kamar.

"Aku nggak betah kalau diginiin terus ...." Terdengar rengekannya setelah ia meninggalkan aku dan Ibu.

'Diginiin terus?' batinku terheran. Dasar cari perhatian.

Kini tinggal aku dan Ibu yang berada di meja makan. Suasana berubah mencekam. Ah, sudah tidak kurasakan lagi kenyamanan duduk berdekatan dengan Ibu mertua.

"Bersikaplah sedikit mengalah. Dia sedang hamil. Hormonnya tidak stabil," ucap Ibu dengan wajah tidak senang. Namun, masih dengan suara tenang. Lagi, kehamilan itu menjadi alasan untuk membelanya. Lalu, jika sedang tidak hamil, apakah sikapnya tidak seperti itu? Aku memang belum pernah hamil, tapi sudah sering melihat orang hamil. Tidak ada yang seperti dia. Dasar lebay.

"Dek ...." Terdengar suara Bang Irwan memanggil dari belakang. Aku memutar kepala untuk dapat melihatnya.

"Abang mau bicara."

"Bicara?" Setelah mengantar istri sirinya ke kamar, tiba-tiba Bang Irwan mengajakku berbicara. Tampaknya serius. Apa dia akan memarahiku demi membela istri sirinya?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!