NovelToon NovelToon

My Favorite You

Pak Guru Kimia

"Tuhaaaan, selamatkan hambamu dari makhlukmu yang tak berhati itu-hiks." Citra mengantukkan kepalanya diatas meja mengundang ringisan kedua temannya, Sari dan Lisna. Tiga siswa kelas 12 IPA satu itu sedang berada dalam kelas mengadakan rapat darurat karena salah satu teman mereka, Citra Jenaya mendapatkan SP satu dari Pak Guru Kimia di jam pelajaran kedua itu. Kesalahannya satu, tidak menyahut saat absensi berlangsung. Bukan Citra sengaja tapi kebetulan sekali namanya di sebut bertepatan dengan tim olahraga futsal yang sedang mengadakan latihan lewat di depan kelas mereka sembari menyanyikan yel-yel akhirnya Citra tidak mendengar saat namanya di sebut.

"Saya salah apa lagi sih? kalian berdua tau? " Tanyanya dengan wajah frustasi kepada dua temannya itu. Kalau soal absensi, bukankah terlalu berlebihan? Citra menduga ada hal lain yang mengusik mood Pak guru kimia itu hanya saja Citra belum tau apa itu.

"Rok kamu pendekkan." Ujar Sari.

"Baju kamu kekecilan. " Tambah Lisna.

Citra memutar bola matanya kesal, "Bukan cuma saya." ujarnya greget, "Dari seluruh siswi di sekolah ini, kenapa saya yang di recoki coba?! Perwaliannya juga bukan." Kekesalannya sudah sampai ke ubun-ubun hanya tidak pernah ia realisasikan untuk mengamuk di depan wajah Pak Arif. Pak guru yang satu itu, bukan hanya menyebalkan tapi muka tembok juga. Ekspresinya datar, senyum terus udah yang paling ganteng saja di bumi ini. cih. Gantengan juga Timoti kucing persia milik Abu.

"Pak Arif naksir kamu kali? "

"Dih, amit-amit ya Allah. Duh, jauh kan jauh kaan. " Citra bergidik ngeri. Di taksir pak Arif? Duh, mendingan di taksir sapi, jelas ada faedahnya bisa di perah susunya. Kalau Pak Arif, udah galak, suka ngatur, mukanya rata kaya tiplek. No way! Citra jelas berdoa siang malam supaya hal buruk itu tidak terjadi dalam hidupnya.

"Kenapa? pak Arif ganteng, PNS, belum lagi tuh warisan kedua orangtuanya. Anak tunggal doooong." Sari memaparkan semua kelebihan guru mereka itu tapi di mata Citra tetap saja Pak Arif adalah mimpi buruk masa putih abu-abunya.

"Jangan saya. Buat Lisna saja. Saya cukup jadi muridnya." Tolak Citra tegas. Demi apapun jangan sampai omongan Sari benar adanya. Citra tidak bisa membayangkan hidupnya berada di bawah penjajahan Lord Arif Rahman. Hih. Semua orang di sekolah ini juga tahu kalau Lisna adalah favoritnya Pak Arif. Anak baik-baik tanpa cela. Sementara dirinya, seperti sudah ada batas suci antar dirinya dengan Pak Arif. Mereka tidak bisa berada dalam satu kalimat yang sama bertema kedamaian. Citra Jenaya dan Arif Rahman seperti Minyak dan Air, kalau bertemu meletup-letup bikin orang se-bumi panik.

"Pak Arif baik tau." Bela Lisna.

"Bela aja terooos. Bikin Geng sekalian sama Pak Arif. Cocok Kalian." ujar Citra sewot. Lisna ini memang tipe-tipe sahabat bakal calon penghianat. Bukannya berada di barisan pembelanya, Lisna akan selalu menjadi juru bicara kebaikan Pak Arif walaupun bagi Citra selain Pak Arif asik mengajar, tidak ada kelebihan lain yang dimiliki orang itu.

"Pak Arif memang baik. cuma kalau sama kamu kebaikannya itu buram oleh  rok pendek kamu, Cit. " Timpal Sari lalu tertawa tanpa dosa bersama Lisna. Memang sahabat-sahabat laknat. Ada jasa tukar tambah sahabat nggak sih? kalau ada Citra mau nih menyerahkan dua orang ini.

Sudah bukan rahasia kalau guru muda itu terkenal sebagai pemuda mesjid yang di rindukan surga. bagaimana Citra bisa tau? oh tentu saja karena selain mereka guru dan murid, mereka juga tetangga rumah-hiks. Jadi nasib buruk citra tidak hanya berlaku di sekolah tetapi juga di rumah. Pak Arif tak melepaskannya sekalipun untuk menjalani hidup yang damai sentosa. jadi bukan mustahil jika masalah bertubi-tubi yang mengikatnya dengan Pak Arif ini berhubungan dengan fashionnya yang biasa bapak satu itu sebut sebagai 'Pakaian ahli neraka.'

Ya Allah, pindahkan saja saya ke planet mars. Citra mengiba. Sebagai hamba yang teraniaya, semoga saja doanya bisa segera terwujud. Aamiin.

***

"Citra Jenaya, Abu, temui saya di kantor."

Citra yang baru akan mencomot simak depannya mendongak. Apa lagi sekarang? Ia melirik Abu sepeninggal Pak Arif.

"Ada apa lagi? " Tanya Abu dengan wajah tak santai. Sepiring somai di depannya keburu basi kalau terus meladeni mood Pak Arif yang seperti kotoran sapi di gilas sepeda, terhambur sepanjang jalan.

"Gak tau." Citra mengedikkan bahu sama bingungnya. Ia baru saja menjalani hukumannya membersihkan Lab Kimia hanya karena absen yang terlewat dan sekarang Tuan Muda Arif Rahman itu datang lagi dengan masalah baru.

"Ah elaaaah. Nggak bisa apa tuh bapak ngebiarin kita hidup tenang sedetik aja?! " Abu mencomot satu tusuk somai dan mengunyahnya dengan rakus saking kekesalannya yang sudah menggulung-gulung.

"Tau. Pindah sekolah aja apa ya?! " wacana ini sudah Citra pertimbangkan sejak lama semenjak Pak Arif datang dalam hidupnya sebagai guru baru yang berwujud peri berhati es. Sepertinya tujuan penciptaan Pak Arif selain untuk beribadah kepada Tuhan juga ditujukan untuk mewarnai hidup Citra dengan warna gelap hitam sepekat malam.

"Susah ntar dapodik nya, udah kelas dua belas." ujar Abu kembali mencomot tusuk kedua somai.

"Ck, iya sih." Citra berujar tak bersemangat. Semangatnya memang selalu jatuh ke titik terendah setiap kali berurusan dengan guru kimia bernama Arif Rahman. Ia menghabiskan somai satu tusuk lalu beranjak dari tempat itu, "Ayo, keburu Pak Arif makin kacau moodnya." Ajaknya berjalan duluan di susul oleh Abu yang melangkah dengan malas-malasan.

Tok tok tok.

"Assalamu'alaikum." Sapa Citra dan Abu di depan pintu ruangan guru. Ada beberapa guru yang sedang bekerja di kubikel masing-masing.

Pak Arif yang berkepentingan dengan mereka langsung mempersilahkan keduanya masuk. "Waalaikumsalam. Duduk." Ujarnya dengan muka ubin mesjidnya.

Kalau dilihat seperti ini akhi-akhi tik tok pun kalah jauh gantengnya tapi tunggu sampai beliau bertitah--

"Ada apa bapak memanggil kami? " Tanya Citra to the point. Ia tahu kalau terjebak beberapa menit bersama Pak Arif hanya akan mempercepat tombol pemicu perang dunia ke tiga di tekan.

"Mana buku tugas kalian? Saya cek disini tidak ada nama Citra Jenaya maupun Abu Daud." Tukas Pak Arif menatap bergantian kedua siswanya itu.

"Maaf, Pak. Saya lupa bawa. Bapak juga sudah memeriksanya kemarin." Jawab Citra tenang.

"Sama, Pak." Tambah Abu. Keduanya saling menyenggol kaki di balik meja mengirim kode rahasia yang hanya di ketahui oleh mereka berdua.

"Tapi bukan menjadi alasan untuk tidak membawanya, kan? Saya sudah ingatkan kemarin bahwa sebelum UTS berlangsung, semua tugas akan saya periksa." Katanya dengan nada biasa namun terselip peringatan disana.

"Kami tidak dengar informasi itu, Pak." Ujar Abu yang diangguki oleh Citra.

Pak Arif mengerutkan kening, "Kenapa bisa tidak dengar? Saya langsung menyampaikannya di kelas pas pelajaran terakhir."

Citra melirik Abu. Pada jam terakhir itu mereka tidak berada di kelas. Guru mata pelajaran PKn sedang berhalangan masuk jadi Abu menggunakan waktu itu menyeretnya pergi ke kelas sebelah untuk melakukan aksi pendekatan pada Vania, salah satu siswa yang juga menjadikan Pak Arif sebagai tipe idealnya.

"Kami tidak di kelas, Pak." Jawab Citra pelan.

"Kemana kalian? " tanya Pak Arif tak sesantai biasanya.

"Ke kelas sebelah, Pak. Citra minta di kenalin sama kapten futsal."

"LAH, KOK SAYA SIH! " Citra memukul lengan Abu kesal. Bisa-bisanya si Abu Lahab ini memfitnahnya. Penghuni abadi neraka emang ini anak.

"Kamu pacaran? " Pak Arif menatap Citra tak santai.

Citra yang mendapat tatapan monster itu menggeleng, "Enggak, Pak. Saya mana kenal pacar-pacaran. Saya Tim stay single until akad, Pak." Terangnya membela diri, "Dia nih, Pak." Citra mendorong Abu kesal. Keduanya terlibat adu mulut yang langsung di lerai Pak Arif.

"Setelah jam belajar selesai, kalian berdua bersihkan toilet mushola. "

"Tapi, Pak---" Citra dan Abu ingin protes tapi sekali lagi, Titah Lord Arif Rahman adalah keputusan mutlak.

"Silahkan melapor jika sudah selesai." Potong Pak Arif tak terbantahkan.

***

Hukuman Tiada Akhir

"Abu, jelasin deh apa motif Pak Arif ngelakuin ini?" Citra menatap nanar bayangannya di kaca transparan dinding mesjid. Ada benda asing yang melilit pinggangnya persis ikatan tali neraka yang akan menyeretnya dalam kebingungan dan ketololan.

Abu diam sebentar, memperhatikan sahabat in crimenya itu dengan kening mengerut lalu berkata "Jelas untuk melindungi dirinya dari godaan syaiton yang terkutuklah." Muka tengilnya langsung membuat Citra reflek melempar kain untuk membersihkan kaca tepat di wajahnya.

"Kurang ajar ya tu mulut. Dikira saya setan apa." Sungut nya lalu dengan langkah di hentakkan pergi dari samping manusia kampret itu yang masih terbahak. Memang sahabat-sahabat sekarang itu kalau bukan laknat yang sahabat makan sahabat. Tidak ada yang beres. Lagian kenapa juga Pak Arif harus memberikan jaketnya padanya sih?!

Citra menggerutu, ia ingin melepas jaket coklat yang mengikat pinggangnya itu tapi ancaman Pak Arif membuatnya mengurungkan niat.

Lepas jaketnya dan saya pastikan nilai kimia kamu semester ini dibawah KKM.

"Nyebelin tuh bapak! " Citra melempar alat pel dengan kesal mengingat ancaman bapak guru satu itu. Di dalam kepalanya sudah berhalusinasi melihat dirinya melepas jaket itu dan menggunakannya untuk membersihkan Kloset. Senyum iblis puas tersungging di wajahnya. Meskipun hanya sebatas halu ia sangat puas membayangkannya.

***

"Sudah selesai? "

Citra dan Abu yang tengah duduk lenjeh-lenjeh lesehan di teras mushola langsung menegakkan punggung.

"Sudah, Pak." Jawab Abu. sementara Citra, ia lebih memilih sawan seminggu daripada menyahuti Pak Arif. Kekesalannya masih belum reda.

"Citra? "

"Bapak cek sendiri saja kalau tidak percaya." Jawabnya ketus yang langsung dapat senggolan di lengannya dari Abu. Jelas saja Abu tidak ingin ada tambahan hukuman karena ketidaksopanan citra.

Citra mendelik pada Abu tapi kemudian meralat ucapannya, "Sudah bersih, Pak guru." Ujarnya tak ikhlas. Guru apaan nih yang begini, guru itu digugu dan ditiru bukan kayak begini, PENJAJAH.

Pak Arif memanjangkan lehernya melihat kearah toilet mushola.

"Kamu boleh pulang kecuali Citra."

"LOH, PAK--"

"Terima kasih, Pak." Abu berdiri cepat tak membuang waktu bergegas menyalami Pak Arif. Cowok satu itu masih sempat-sempatnya memelet kearah Citra yang masih tidak percaya dengan titah sang Paduka Arif-Setan-Rahman-Nyebelin.

"Paaaaak" Citra merengek. Ia tidak terima dengan ketidakadilan yang dilakukan Pak Arif padanya. Kasur dan bantal empuk di rumah sudah memanggil-manggilnya sejak tadi dan Bapak guru satu ini masih mau menahannya-Hiks.

"Masuk sana!"

"Masuk mana lagi sih, Paaaaak? " Citra sudah tidak peduli dengan adab dan tata krama. BODO AMAT, PAK ARIF JAHAT!

"Mushola." Pak Arif melepas sepatunya masuk melewati Citra yang duduk bersimpuh dengan wajah teraniaya.

"Saya sudah sholat, Bapaaaaak." Ia merengek seperti anak kecil. Yang ia inginkan sekarang hanya pulang dan tiduran diatas kasur sambil membaca chat tidak berfaedah dari grup-grup tidak berfaedah di hpnya.

Pak Arif tidak menggubris. Pak Guru kimia yang mengenakan setelan khaki pas di badannya itu membuka lebar pintu mushola, "Istighfar seratus kali dan tulis permohonan maaf sebanyak lima puluh kali."

"Ya Allah, Bapaaaaaak." Citra menggelepar di lantai mengabaikan roknya yang terangkat.

"Pakai! "

Citra gelagapan saat tiba-tiba gelap karena mukenah yang di lempar pak Arif menutupi penglihatannya.

"Bujang Lapuk! " Dumelnya tanpa suara.  Ia melempar jaket coklat milik Pak Arif dengan kesal. Tidak peduli imagenya, Citra masuk dalam mushola dengan cara ngesot.

Sayang sekali aksi ngesot itu ternyata tidak hanya di saksikan Pak Arif yang menatapnya dengan kening terangkat satu sebab di dalam mushola ada seseorang yang harusnya Citra jaga imagenya sebaik mungkin di depan orang itu.

"M--mister Fian? Kok Mister--" Citra buru-buru berdiri menyadari posisinya saat ini yang persis suster ngesot dalam film horor rating rendah yang menomor sekian kan kualitas dan menomorsatukan pemain-pemain bekasan Aleksis.

"Ngapain ngesot-ngesot?" Tawa geli Pak Alfian si guru bahasa Inggris yang di gadang-gadang bakal calon imam masa depannya bak oase di tengah gurun, adeeeeeem bangat.

"Hehehe ngadem, Sir." Jawab Citra melupakan sejenak keberadaan malaikat maut berwajah Pak Arif yang sedang menyapu area sholat pria.

"Ngadem di depan kipas angin, bukan ngesot di ubin mesjid." ujar Pak Alfian tersenyum geli.

Citra cengengesan, tidak apa-apalah di hukum sampai sore kalau bonus bertemu calon masa depan begini.

"Bapak kok belum pulang? " Tanya Citra basa basi kepo.

"Sholat dzuhur. Kamu sudah sholat? "

Citra mengangguk, "Sudah, Sir. Tapi kalau Mister yang ngimami, saya sholat lagi nggak apa-apa, Sir." Ujarnya asal. Sekalian hitung-hitung sebagai latihan sebelum beneran ngimamin, sir. Lanjutnya dalam hati.

"Ngelucu saja kamu ini. Sudah, saya mau sholat dulu." Pak Alfian melepaskan tasnya dan menyimpannya dekat dinding. "Kamu kenapa belum pulang? "

Pertanyaan Pak Alfian menyentak kesadaran Citra, "Astaghfirullah." Citra menepuk keningnya, mencari sosok yang sudah membuatnya mendapat keberuntungan bertemu secara eksklusif dengan Pak Alfian walaupun melalui jalur hukuman. Tak jauh darinya Pak Arif duduk selonjoran menyandar di tiang mushola. Wajahnya kelihatan lelah tapi tetap saja tidak mengurangi aura-aura iblisnya di mata Citra.

"Pak." Citra mendekat, duduk bersimpuh tentu saja sudah mengenakan mukenah.

"Sudah selesai centilnya? "

Dih. Citra mengerut sebal.

"Istighfar seratus kali dan permintaan  maaf lima puluh kali aja kan, Pak? " Citra memastikan hukumannya mengabaikan pertanyaan tak jelas gurunya itu. Khawatir saja kalau Pak Arif lupa hukumannya dan malah menambahkannya lagi.

Pak Arif meluruskan punggungnya, menatap lurus siswi yang setiap hari ada saja kelakuannya yang bikin gemas.

"Dua ratus kali istighfar, seratus kali permintaan maaf."

Nah---

"TAPI PAK TADI---" Citra lupa menurunkan volume suaranya. Memang kalau sama Pak Arif mulutnya suka otomatis Capslock.

"Lakukan atau saya tambah menj---"

"Cukup, Pak. Cukup! " Citra menahan tangannya di udara meminta Pak Arif berhenti bicara. Citra memperbaiki posisi duduknya di hadapan Pak Arif. Ia memulai mengucapkan istighfar sebanyak yang di perintahkan oleh Pak Arif.

Hampir setengah jam Citra melaksanakan hukumannya. Selama itu juga Pak Arif setia menungguinya sembari melakukan berbagai aktifitas dalam mushola.

"Saya sudah boleh pulang kan Pak? " Citra bertanya sembari melepaskan mukenah yang dikenakannya.

"Iya." Jawab Pak Arif tanpa mau menatapnya. Citra mencibir, tangannya terkepal di udara seperti siap memukul kepala guru menyebalkan itu. Puas melancarkan serangan halu nya, Ia melepas jaket yang melilit di pinggangnya. "Jaket Bapak." Ujarnya mengulurkan jaket itu pada Pak Arif namun guru muda yang kata teman-temannya calon imam yang dirindukan itu malah mengabaikannya.

"Kembalikan sampai kamu mengganti rok dengan yang lebih panjang."

Lah. Citra melongok. Pak Arif pergi meninggalkannya seorang diri yang masih terbengong dalam mushola.

"Gila kali tu orang."

Akhirnya Citra mengikat kembali jaket milik gurunya itu di pinggangnya lalu menyusul keluar mushola, berharap di tempat parkir masih ada Pak Alfian. Siapa tau saja guru super keren itu menunggunya dan mengajaknya pulang bersama. Siapa tau saja kaaaan?!

Citra dengan terburu memakai sepatunya. Dengan kecepatan maksimal berlari masuk kelas untuk mengambil tasnya. Tak lupa mengucapkan permisi saat melewati Pak Arif tanpa memelankan kecepatannya. Bodolah, Nanti besok lagi di urus moodnya Pak Arif yang kayak Tai sapi itu.

***

Di hukum Lagi

Citra memandangi jadwal pelajaran yang di tempelnya di mading kamarnya. KIMIA. Duh, kalau bisa menyublim, Citra rasa-rasanya ingin menyublim saja biar besok ia hanya perlu menjadi gas tak perlu menghadapi Pak Arif yang pasti sudah menyiapkan lagi list bakal calon kesalahannya.

Tok tok tok.

"Mbak Jen, di panggil Papi."

Citra memutus pandangannya dari roster belajar itu yang pada bagian kimia sengaja di gambar tengkorak biar dia selalu mempersiapkan diri pada hari itu. Ia keluar kamar menyusul adik laki-lakinya yang tadi mengetuk pintu.

"Papi dimana? "

Alul Ekadanta, adik lelaki Citra menunjuk arah ruang jahit tempat Papinya biasa menyalurkan hobinya.

"Game terooos. PR udah dikerjain? " Tanyanya pada sang Adik yang kembali asik memainkan gamenya. Tumben-tumbenan mau di suruh, sudah pasti ada sogokannya atau semacam suapan yang sudah di janjikan oleh Papi.

"Sudah dong, dibantuin Pak Arif." Jawabnya sombong. Citra mendengus, meninggalkan adik songongnya itu.

Satu lagi, selain sahabat penghianat seperti Lisna, Sahabat Kampret seperti Abu, ada lagi satu jenis hubungan toxic yang di jalani oleh citra yaitu hubungan Kakak Adik yang lebih mirip seperti hubungan Malaysia dan Indonesia, kalau tidak saling ejek ya saling berebut apapun. Paling parah adiknya ini yang bisa di kategorikan musuh dalam selimut karena meskipun dia terikat darah yang sangat kental dengan Citra tapi kalau sudah urusannya dengan Pak Arif, maka Adik laknat nya itu akan berdiri di garda terdepan untuk membantu guru sekaligus tetangganya itu untuk melawannya. Alasannya karena Pak Arif telah mengeluarkan dia dari alam kegelapan kearah yang terang benderang, dari yang taunya cuma alif ba ta sekarang sudah bisa pamer mengaji al-quran di depan orangtua mereka. Bahkan sampai berani mengoreksi bacaan Citra. Luar Biasa.

"Assalamu'alaikum, Papi." Citra mendatangi Papinya yang tengah melakukan finishing pada rok abu-abunya yang baru.

"Waalaikumsalam, coba ukur roknya, Nduk." Papi menyerahkan rok yang sudah selama tiga hari di kerjaannya setiap pulang dari kantor.

Citra mengambil rok tersebut lalu mengukurnya sesuai permintaan Papinya.

"Loh, rok panjang, Pi?"

Papi mengangguk sembari memutar badan anaknya memastikan tidak kepanjangan atau mengetat. "Kata Pak Arif sekalian yang panjang saja supaya nggak ribet ganti-ganti kalau mau ngaji di sekolah."

Citra memutar bola mata, menghembuskan nafas panjang. Pak Arif lagiiiii--hadeh.

"Ribet, Pi. Nanti Jena belibet jalannya." Protesnya, tak suka dengan ide Pak Arif yang sudah mengontaminasi Papinya untuk bersekutu dengannya.

"Makanya belajar jalan yang anggun, Nduk. Jangan kayak orang mau tawuran. " Ujar sang Papi puas melihat hasil karyanya, "Jangan lupa bilang sama Pak Arif."

"Bilang apaan? " Tanya Citra waspada.

"Bilang makasih. Kainnya bagus."

"Maksud, Papi? " Urat leher Citra mulai mengencang. Tolong ya, ini nggak bangat kalau kecurigaannya benar.

"Kain rok ini dari Pak Arif. Kain yang Papi beli tidak cukup karena niatnya mau bikin sepanjang lutut." Jelas Papi membuat bola mata Citra membelalak sempurna.

Nahkan--

"Ya ampuuun Papiiiiih" Citra terduduk di kursi kosong dengan lemas, jadi hitungannya Pak Arif dong yang belikan dia rok, dih nggak redhoooo. "Lagian Papi ngapain sih dengerin Pak Arif? Kan Jena bilang yang selutut aja Papiiii." Ah elaaaah. Citra sudah tidak tahu lagi level kekesalannya sekarang sudah sampai dimana karena keinginannya adalah memukul kepala Pak Arif pakai mesin jahit Papinya. Orang ituuuu, Astaghfirullah.

***

"Tuhkan ribet!" Citra menggerutu kesal. langkahnya menjadi sulit karena rok panjang yang dia kenakan. Salahkan Pak Arif yang sudah menyumbang ide sesat ini pada Papinya. Citra mengangkat roknya tinggi-tinggi tidak peduli tatapan orang-orang yang melihat dengan tatapan mengernyit.

"Woe! Gus!" Serunya pada Agus salah satu teman kelasnya yang tergabung dalam club Anti Pak Arif.

"Loh, kamu, Cit? Pangling aku, Mbak." Agus takjub melihat penampilan baru Citra tanpa rok pendeknya. "Insyaf?" Pertanyaan mengejek itu membuat Citra manyun beberapa senti.

"Nyebelin. Nggak usah komen!" Ujar Citra mensejajari langkah Agus yang memelan.

"Menjemput hidayah dimana, Bu? Hebat."

"Diem!" Citra memukul punggung Agus kesal yang tak berhenti menggodanya. Tawa cowok yang sedang gencar-gencarnya mepet Lisna itu tak juga reda. Terlihat sangat puas melihat penderitaannya.

"Serius. Kamu kenapa ganti style begini? Jangan bilang kalau kamu sudah mulai menyerah menghadapi kultum Pak Arif." Tanya Agus selidik sembari menahan tawa menunggu anggukan Citra.

"Salah satunya."

Agus sontak terbahak memukul-mukul punggung Citra, "Luar Biasa. Udah lama saya tungguin siapa yang nyerah duluan ternyata engkau wahai sahabatku."

Citra bersungut menepis tangan Agus yang nangkring di bahunya, "Lengan lo berat." Sentaknya.

Agus manggut-manggut, "Kagum saya sama kamu, Cit. Nurut bangat sama Pak Arif. Cocok lah jadi istri beliau."

"HIDIH AMIT-AMIT YA ALLAH. JANGAN SAMPE, JANGAN SAMPEEEE." Citra mengetuk-ngetuk tas punggung Agus sembari berucap mantra-mantra pencegahan, amit amit amit amit.

Kedua siswa siswi itu terus bercanda sepanjang jalan tidak menyadari malapetaka apa yang tengah menanti mereka di kelas dalam wujud Pelajaran Kimia.

"Assalamu'alaikum." Sapa Citra dan Agus. Keduanya berdiri di depan pintu kelas membiarkan Pak Arif meletakkan tasnya terlebih dahulu diatas meja.

"Kalian terlambat? "

Citra dan Agus saling melirik. Seharusnya tidak terhitung terlambat kalau cuma beda lima langkah di belakang Pak Arif dong ya?! TAPI INI PAK ARIF. GURU PALING NYEBELIN SEJAGAD RAYA!

"Kami ha---"

"Squat jump duapuluh kali." Pak Arif memotong ucapan Agus. Kedua siswa itu kehabisan kata-kata.

Dasar Pak Guru titisan Dajjal!!!

Citra menenggak minumannya tak santai. Kakinya serasa mau copot dari engselnya. Hukuman Pak Arif benar-benar sudah di luar batas toleransinya.

"Nggak bisa. Saya nggak bisa terima nih yang kayak begini. Tu orang ya, Astaghfirullah pengen banget--Hih!" Citra melempar botol air mineral kosong tepat dalam tong dengan kesal. Disampingnya Agus tak kalah mengenaskan nya. Bedanya dengan Citra, cowok satu itu bahkan tak mampu untuk bernafas normal sementara Citra, ia bisa mengomel dengan sangat fasih setelah squat jump dua puluh kali.

"Coba tenang dulu. Saya tambah sesak lihat kamu ngomel mulu." Tahan Agus. Ia menjatuhkan dirinya di kursi kantin yang sedang kosong karena sedang waktu belajar. Seharusnya mereka juga langsung masuk kelas setelah menjalani hukuman tapi Citra tidak mau. Ia menyeret bucin nya Lisna itu ke kantin. terserah Pak Arif marah-marah sambil koprol juga ia tidak peduli.

"Itu orang ada masalah hidup apa sih? Kayaknya ada dendam tersendiri sama saya. Coba kamu bantu ingat-ingat deh, Gus. Kira-kira saya pernah melakukan kesalahan fatal apa sama itu bapak? "

Agus menggeleng, "Nggak tau. Tiap sama kamu kayaknya kena kutukan Pak Arif terus."

Citra menetap sebal temannya itu tapi setelah di pikir-pikir ya memang ada benarnya juga. Kemarin Si Abu dan sekarang Agus. Keduanya dapat sial gara-gara dirinya.

"Saya sholat tobat dulu mungkin ya. Sepertinya Pak Arif di tutupi belek sampe keseluruh muka deh makanya tidak melihat setitik kebaikan yang saya lakukan. Perasaan saya salah mulu di depan beliau."

Agus mengedikkan bahu, "Kamu enak di kerjain kali. Semacam hiburan beliau di tengah kehidupannya yang kesepian."

"Badut kalii saya." Sewot Citra.

"Bisa aja. Kamu kan bulet-bulet pend--AWW! "

"Lanjut ngomong, saya gampar pake bangku." Ancam Citra yang baru mendaratkan geplakan di kepala Agus. Teman-teman apaan sih mereka ini.

Citra membuang dirinya diatas bangku lalu menjatuhkan kepalanya memukul-mukul dinding.

"Tunggu pembalasan saya, Pak Arif-Setan-Rahman-Nyebelin."

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!