NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikah Dengan Pria Amnesia

Awal Mula

"Ibu ... Ibu jangan tinggalkan Debora.”

Suara tangis yang memilukan seakan menggema, menyayat hati orang yang melihatnya. Seorang gadis kecil memeluk tanah yang masih merah dengan wewangian bunga di atas gundukan tanah tercium pekat. Gadis itu meraung, air matanya seolah tidak kering meskipun sejak pagi dia telah menangis.

"Debora sayang, sudah jangan sedih kan ada tante dan adikmu yang akan menemanimu." ucap seorang wanita cantik dengan suara lembut seraya mengusap punggung gadis kecil itu.

"Benar kata Tante. Ibumu sudah bahagia di sana jadi kamu harus ikhlas menerima kepergiannya." ucap Ayah Debora ikut bersuara, mengusap rambut hitam legam putrinya.

Sebagai satu-satunya orang tua Debora sekarang, dia ingin menghibur putrinya hingga kesedihan yang teramat dalam itu akan pudar seiring berjalannya waktu.

"Ayah, Debora sangat sayang dengan Ibu, tapi kenapa Ibu secepat ini meninggalkan Debora?" tanya Debora sambil masih terisak.

"Sstt ... Ayah mengerti akan kesedihanmu tapi jika kamu sedih nanti ibumu akan sedih, apakah kamu ingin melihat Ibu sedih?" tanya ayahnya.

"Tidak, Ayah," jawab Debora.

"Kalau begitu berhentilah menangis, kita sekarang pulang," ucap ayahnya.

"Tapi Debora masih kangen sama Ibu," jawab Debora.

"Besok kita ke sini lagi, sekarang sudah sore kita pulang," ucap wanita cantik tersebut sambil membantu Debora untuk berdiri.

Debora dengan pasrah mengikuti langkah wanita cantik tersebut tanpa bicara, hanya air mata tidak berhenti keluar, mereka meninggalkan area pemakaman menuju ke mansion milik orang tua Debora.

Debora berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya kemudian berbaring di ranjang sambil memeluk foto Ibu kandungnya yang baru saja meninggal karena penyakit jantung.

"Ibu ... kenapa meninggalkan Debora secepat ini," ucap Debora lirih sambil terisak.

Karena lelah Debora tidur sambil memeluk foto Ibu nya dengan mata masih sembab akibat dirinya menangis tanpa henti karena kehilangan Ibu kandungnya yang sangat dicintainya.

*

Satu Bulan Kemudian

Tidak terasa waktu berjalan dengan cepatnya dan sudah satu bulan Debora kehilangan ibunya hingga suatu ketika ayahnya mendatangi kamar Debora.

Tok! Tok!

"Masuk," jawab Debora sambil bangun dari ranjangnya lalu bersandar di kepala ranjang.

Ayahnya membuka pintu dan berjalan ke arah Debora yang sedang memeluk foto Ibunya dengan wajah sedih membuat ayahnya tidak tega melihatnya.

"Debora, ada yang ingin Ayah katakan padamu," ucap ayahnya.

"Apa itu, Ayah?" tanya Debora sambil memalingkan wajahnya ke arah ayahnya.

"Ayah berencana ingin menikah lagi agar ada seseorang yang menemanimu dan tidak sedih lagi, jadi apakah kamu setuju?" tanya Ayah kandungnya.

"Ayah menikah dengan siapa?" tanya Debora.

"Dengan sekretaris Ayah, apakah kamu setuju?" tanya Ayah kandungnya penuh harap.

"Terserah Ayah saja," jawab Debora.

"Terima kasih, mungkin dengan Ayah menikah kesedihanmu bisa berkurang terlebih kamu juga ada temannya yang sebentar lagi menjadi adik tiri mu," ucap ayahnya kemudian mengecup kening putri kandungnya.

Setelah selesai berbicara Ayah kandungnya pergi meninggalkan Debora sendirian di kamarnya, sepeninggal ayah kandungnya Debora kembali berbaring di ranjang sambil memeluk foto ibunya.

Waktu berjalan dengan cepatnya hingga tidak terasa ayahnya kini resmi menikah dengan sekretarisnya di mana sekretaris tersebut yang menemani Debora waktu Debora sedang sedih dan sekretaris tersebut menghibur dirinya.

Saat itu Debora berumur delapan tahun sedangkan adik tirinya berumur tujuh tahun awalnya Debora bisa melupakan kesedihannya karena ibu tirinya dan adik tirinya sangat baik padanya.

"Ayah, Ibu, Debora berangkat sekolah dulu," ucap Debora sambil mengecup punggung tangan ke dua orang tuanya.

"Hati-hati di jalan, Sayang," ucap ibu tirinya.

"Iya, Bu," jawab Debora.

Debora berjalan ke arah pintu utama dengan ditemani kepala pelayan karena ke dua orang tuanya masih mengobrol di ruang keluarga, Debora di antar oleh sopir menuju ke sekolahnya.

**

Di tempat yang berbeda, seorang remaja laki-laki berumur dua belas tahun berlari dengan langkah tergopoh-gopoh dengan wajah ketakutan. Napasnya menderu, keringat memenuhi wajah dan tubuhnya. Kakinya terasa amat sakit karena terhantam batuan beberapa saat yang lalu, namun ia paksakan untuk terus berlari sekuat tenaga.

Di belakang remaja itu, ada dua orang pria berbadan kekar yang terus mengejarnya. Tubuh mereka tinggi besar dengan mata tajam yang selalu menatap dingin. Remaja itu sesekali menoleh ke belakang, lantas memekik ketika melihat jarak di antara mereka mulai dekat.

Satu jam yang lalu, terjadi insiden besar. Remaja itu baru pulang dari suatu tempat bersama kedua bodyguard ayahnya ketika sebuah sedan tiba-tiba menghalangi jalan mereka. Salah satu bodyguard remaja itu keluar, ingin memeriksa apa yang terjadi.

Namun belum sempat ia melontarkan sepatah kata pun, dari dalam mobil muncul sebuah moncong pistol yang mengarah padanya. Sepersekian detik setelahnya terdengar letusan keras, peluru melesat menembus kepala pria itu, membuatnya seketika terkapar di tanah tanpa sempat memikirkan apa yang terjadi.

Melihat kejadian itu, bodyguard yang tersisa segera bertindak. Ia langsung menyalakan mesin mobil, berniat untuk kabur. Namun lagi-lagi sebuah peluru melesat melewati kaca depan mobil, tepat mengenai bahu bodyguard itu hingga membuatnya berteriak kesakitan.

Pada situasi genting itu, bodyguard menoleh ke kursi belakang mobil di mana si remaja yang merupakan majikannya berada. Dia menyuruh remaja itu kabur secepat mungkin dan dia akan menghadapi penjahat itu sendirian.

Awalnya si remaja tidak setuju, dia tidak ingin meninggalkan bodyguard-nya, namun karena terus didesak, akhirnya remaja itu menurut. Dia langsung berlari secepat yang ia bisa setelah keluar dari mobil.

Dengan sisa tenaga yang ada, bodyguard itu melawan dua orang penjahat yang telah menembaknya dan rekan kerjanya. Baku hantam yang tidak seimbang terjadi dan hanya butuh dua puluh detik hingga akhirnya dia tersungkur ke tanah, lantas sepersekian detik setelahnya kembali terdengar letusan pistol. Bodyguard itu tewas seketika saat kepalanya tertembus peluru.

Dua orang penjahat itu bergegas mengejar si remaja. Meksipun jarak mereka yang sudah jauh, namun berkat tubuh mereka yang tinggi besar, dengan cepat remaja itu bisa disusul. Ia meronta dan berteriak minta tolong ketika dia akhirnya tertangkap oleh para penjahat itu.

Ia membayangkan akan ditembak seperti bodyguard-nya sebelumnya. Namun sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak pada remaja itu, saat moncong pistol sudah tepat di depan keningnya dan pelatuk pistol telah ditarik, senjata itu tidak mengeluarkan sebuah peluru pun. Pistol itu kosong, seluruh pelurunya telah habis.

Salah seorang penjahat mengumpat, mereka kemudian memukuli si remaja hingga membuatnya pingsan. Tubuh si remaja yang sudah terluka parah dan sepertinya tidak akan bertahan hidup lagi, mereka buang ke sebuah rumah kosong dekat kuburan. Kedua penjahat itu tertawa terbahak-bahak sebelum akhirnya melangkah pergi dari rumah kosong tersebut.

**

Sepulang sekolah Debora sangat merindukan ibu kandungnya sehingga ia meminta sopir yang sekaligus merangkap sebagai bodyguard untuk menemaninya ke kuburan. Tanpa banyak bertanya sopir menuruti permintaan Debora.

Kini Debora berada di area kuburan hingga dirinya mendengar sayup-sayup suara anak remaja yang meminta tolong membuat Debora mengikuti arah suara tersebut, namun ditahan oleh sopir tersebut.

"Nona mau kemana?" tanya sopir itu.

"Debora mendengar orang meminta tolong, Paman," jawab Debora.

Sopir tersebut mempertajam pendengarannya dan ternyata benar terdengar sayup-sayup orang meminta tolong membuat sopir tersebut mengikuti langkah suara tersebut.

"Nona bersembunyi saja dan ini ponsel milik paman Nona pegang jadi kalau ada apa-apa kabarin Ayah," ucap sopir tersebut.

"Baik, Paman," jawab Debora pura-pura patuh.

Sopir itu berjalan menuju sebuah rumah kosong. Dan tanpa sepengetahuannya, Debora diam-diam mengikutinya. Ketika mencapai daun pintu rumah kosong, sopir mengawasi dan mengamati sekitar rumah.

Di rasa aman sopir tersebut segera masuk ke dalam rumah kosong tersebut. Suara rintihan kembali terdengar, kali ini lebih jelas, hingga membuat si sopir segera mendekat ke sumber suara.

Berjarak sepuluh meter dari pintu masuk, tepatnya di sebuah dapur yang tidak terawat, si sopir melebarkan mata ketika menemukan seorang remaja laki-laki dengan kondisi yang menyedihkan. Kaki dan tangannya terikat di tambah darah memenuhi seluruh wajah dan tubuhnya. Mata remaja itu terbuka sedikit, bibirnya bergetar seperti hendak mengatakan sesuatu.

“Astaga!” Debora berteriak, bergegas menghampiri remaja itu. Sopir Debora seketika menghela napas panjang, mengetahui bahwa Debora sama sekali tidak menuruti perkataannya.

Dengan hati-hati Debora melepaskan ikatan tali di tangan dan kaki remaja itu dengan dibantu sopirnya.

“Aduh, bagaimana ini, Paman? Kakak ini sepertinya perlu dibawa ke rumah sakit.” Debora berucap panik setelah membantu remaja itu bersandar di dinding.

“T-tidak perlu.” Remaja itu berucap amat lemah, bibirnya bergetar. Ia kemudian menoleh ke arah Debora. “A-apa kamu membawa ponsel? Aku ingin menelepon orang tuaku.”

Buru-buru Debora mengulurkan sebuah ponsel milik sopirnya. Tanpa membuang waktu remaja tersebut mengambil ponsel yang dipegang oleh Debora kemudian menghubungi ayahnya untuk datang.

Untunglah panggilan pertama langsung di angkat oleh ayahnya. Setelah selesai membicarakan masalah yang dialaminya kepada ayahnya, remaja tersebut mengembalikan ponselnya.

"Terima kasih," ucap remaja tersebut sambil melepaskan kalung yang digunakan.

"Simpanlah kalung ini baik-baik karena kalung ini milik ibuku," ucap remaja tersebut.

"Aku juga, Kak. Simpanlah kalung ini baik-baik karena kalung ini milik ibuku," ucap Debora sambil melepaskan kalung peninggalan ibunya.

Tidak berapa lama orang tua dan bodyguard remaja itu datang untuk menjemput. Sopir Debora diberikan uang oleh orang tua remaja itu tapi tidak bersedia. Setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali, mereka pergi dari tempat tersebut begitu pula dengan Debora bersama sopirnya.

***

Sepuluh Tahun Kemudian

Tidak terasa umur Debora menginjak delapan belas tahun, awalnya ibu tiri dan adik tirinya sangat baik padanya namun ketika Debora berumur sepuluh tahun ibu tirinya sering menyuruh Debora melakukan pekerjaan pelayan.

Debora sering mendapatkan perlakuan tidak adil oleh ayahnya yang cenderung membela adik tirinya, itu semua karena hasutan ibu tiri Debora.

Kebiasaan ibu tiri dan adik tirinya yang menghamburkan uang untuk berfoya-foya membuat keluarganya bangkrut dan tinggal di rumah sederhana.

Debora berkerja sebagai sekretaris sebagian uangnya digunakan untuk biaya hidup ke dua orang tuanya dan adik tirinya dan sebagian lagi untuk di tabung karena ayahnya mengalami stroke akibat bangkrut.

Pemilik perusahaan yang melihat Debora sangat pintar membuat pemilik perusahaan membiayai kuliah Debora hingga lulus kuliah selain itu Debora diberikan sopir pribadi untuk keperluan Debora membuat para karyawannya sangat iri dengan keberuntungan Debora.

Ketika Debora dalam perjalanan menuju ke tempat kuliah Debora melihat ada kerumunan orang membuat Debora meminta sopir kantor untuk menghentikan mobilnya kemudian Debora turun dari mobil dengan diikuti oleh sopir setianya.

Debora dan sopir tersebut menerobos masuk ke dalam kerumunan tersebut hingga mereka melihat seorang pemuda tampan dengan berlumuran darah tergeletak di pinggir jalan membuat Debora memberanikan diri mendekatinya untuk mengecek nadinya.

"Masih hidup. Paman tolong bantu angkat pria ini ke mobilku," pinta Debora ke para penonton.

"Tapi kami takut jadi tersangka," jawab salah satu pria tersebut yang enggan membantu.

"Betul," jawab mereka serempak sambil sibuk memfoto untuk disebarkan ke medsos.

"Nona, biar saya yang menggendongnya," ucap sopir tersebut sambil menggendong pemuda malang tersebut dengan di bantu oleh Debora.

Debora duduk di kursi belakang pengemudi mobil bersama pemuda tampan tersebut sedangkan sopir kantor mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah sakit.

Amnesia

Kini Debora dan sopir kantor duduk menunggu di ruang UGD setelah hampir satu jam menunggu akhirnya pintu dibuka membuat Debora turun dari kursi dan berjalan ke arah dokter tersebut.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Debora.

"Untung dibawa tepat waktu kalau tidak—" jawab dokter tersebut menggantungkan kalimatnya sambil mengembuskan napasnya dengan perlahan.

"Apakah Nona keluarganya?" tanya dokter tersebut.

"Maaf, Dok, aku bukan keluarganya," jawab Debora dengan jujur.

"Bisa minta menghubungi keluarganya?" tanya dokter tersebut.

"Maaf, Dok, aku tidak tahu karena aku menemukannya di pinggir jalan raya. Maaf apakah tuan itu membawa dompet? Kita bisa tahu identitasnya," jawab Debora.

"Maaf, di kantongnya tidak ada dompet. Jadi bagaimana? Karena harus ada tanda tangan surat persetujuan operasi karena lukanya lumayan parah," ucap dokter tersebut.

"Aku yang akan bertanggung jawab dan menandatangani surat pernyataan karena nyawanya lebih penting," ucap Debora.

"Baiklah, silahkan nona menulis surat pernyataan dengan di antar oleh perawat sekalian membayar deposit," ucap dokter tersebut yang memang tidak ada pilihan lain karena nyawa pasiennya lebih penting.

"Baik," jawab Debora singkat.

‘Untung aku punya tabungan kalau tidak darimana aku membayar uang rumah sakit,’ ucap Debora dalam hati.

Debora mengikuti perawat tersebut dan mulai menulis surat pernyataan dan membayar deposit setelah selesai Debora dan sopir kantor menunggu kembali di ruang tunggu operasi.

"Kalau Paman lelah, Paman pulang saja biar aku menunggu di sini," ucap Debora dengan nada lembut.

"Tidak, Nona," jawab sopir tersebut.

"Maaf, Nona, apakah Nona akan menunggunya sampai sadar?" tanya sopir tersebut ingin tahu.

"Benar, Paman. Kalau kita berbuat baik jangan sepotong terlebih kasihan pria itu tidak ada yang menunggunya," jawab Debora.

‘Nona, sangat baik pantas saja Tuan Besar menganggap nona Debora sebagai putrinya yang sudah lama tiada,’ ucap sopir tersebut dalam hati.

“Tuan Besar” yang dimaksud sopir kantor adalah pemilik perusahaan di mana Debora berkerja. Tuan Besar melihat Debora berbeda dengan pegawai lainnya karena itulah dia membiayai kuliah berikut sopir pribadi.

Tuan Besar hidup sendiri karena anak dan istrinya meninggal di tempat dalam kecelakaan ketika mereka melakukan liburan keluarga. Sejak kehadiran Debora yang berkerja di perusahaan miliknya dan wajahnya agak mirip dengan putri kandungnya membuat Tuan Besar sangat sayang dengan Debora dan menganggapnya sebagai anak kandungnya namun disalahartikan oleh para pegawainya.

Sopir tersebut hanya menganggukkan kepalanya setelah dua jam lebih menunggu pintu operasi di buka membuat Debora turun dari kursi dan berjalan kearah pintu tersebut di mana dokter tersebut juga keluar dari ruang operasi.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Debora dengan nada khawatir.

"Operasinya berjalan lancar dan sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang perawatan," ucap dokter tersebut.

"Ke ruang perawatan kelas dua, Dok," ucap Debora.

"Baik, Nona," jawab dokter tersebut.

***

Kini Debora duduk di ruang perawatan sedangkan sopir tersebut pergi ke kantin untuk membeli kopi hitam untuk dirinya dan susu coklat hangat untuk Debora.

"Semoga kamu cepat sadar dan bisa berkumpul bersama keluarga," ucap Debora sambil menggenggam tangan pemuda tampan tersebut.

Walau wajahnya masih lebam-lebam namun terlihat masih tampan dengan kepalanya dibalut perban. Tidak berapa lama jari jemari pemuda tampan tersebut mulai bergerak membuat Debora tersenyum dan tidak berapa lama pemuda tampan tersebut membuka matanya.

"Aku di mana?" tanya pemuda tampan tersebut.

"Di rumah sakit," jawab Debora.

"Kamu siapa?" tanya pemuda tampan tersebut.

"Aku Debora, aku melihat Tuan tergeletak di pinggir jalan karena itulah aku membawanya ke rumah sakit. Adakah saudara yang bisa dihubungi? Supaya bisa datang ke sini?" tanya Debora.

"Saudara?" tanya pemuda tampan tersebut sambil memegangi kepalanya.

"Iya saudara? Apakah Tuan tidak mempunyai saudara?" tanya Debora.

"Aku tidak tahu dan aku juga tidak tahu siapa namaku," jawab pemuda tampan tersebut sambil masih memegangi kepalanya dengan menggunakan kedua tangannya.

"Akh! Sakit!" teriak pemuda tampan tersebut.

Debora langsung turun dari kursinya dan menekan tombol darurat dan tidak berapa lama dokter dan perawat datang.

"Maaf, Nona, silakan menunggu di luar," ucap dokter tersebut.

"Baik, Dok," jawab Debora.

Debora berjalan ke arah pintu ruang perawatan dan keluar dari ruangan tersebut. Setengah jam kemudian dokter dan perawat tersebut keluar dari ruang perawatan.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Debora dengan wajah khawatir.

"Pasien mengalami amnesia dan tidak ingat siapa dirinya jadi saya minta usahakan jangan memintanya untuk mengingat sesuatu karena bisa membahayakan jiwanya," ucap dokter tersebut.

"Baik, Dok, aku akan ingat pesan dokter.”

"Satu lagi jika tiba-tiba pasien berusaha mengingat masa lalu dan membuatnya kesakitan, tolong hentikan untuk mengingatnya dan atur napas untuk menghilangkan rasa sakit yang menyiksa di kepalanya," ucap dokter tersebut.

"Baik, Dok, sekarang aku boleh melihatnya?" tanya Debora.

"Silakan," jawab dokter tersebut.

"Terima kasih, Dok," jawab Debora.

Dokter tersebut hanya menganggukkan kepalanya kemudian pergi meninggalkan Debora sedangkan Debora masuk ke dalam ruang perawatan.

Debora melihat pemuda tampan tersebut tidur dengan nyenyak dan tiba-tiba ponsel milik Debora berdering membuat Debora keluar dari ruangan tersebut agar tidak mengganggu istirahatnya.

Debora mengambil ponselnya yang di simpannya di dalam tasnya kemudian melihat siapa yang menghubungi dirinya.

"Steven?" ucap Debora.

Steven adalah kekasih Debora sekaligus calon suaminya di mana mereka sebentar lagi akan menikah.

("Hallo honey," panggil Debora sambil tersenyum bahagia karena kekasihnya menghubungi dirinya).

("Ada di mana?" tanya Steven dengan nada curiga).

("Di rumah sakit," jawab Debora).

("Sayangku sakit apa?" tanya Steven dari curiga berubah menjadi khawatir).

("Aku tidak apa-apa, aku menolong seseorang yang tergeletak di pinggir jalan dan membawanya ke rumah sakit," jawab Debora menjelaskan ke calon suaminya).

("Kenapa kamu menolongnya?Biarkan itu menjadi tugas polisi dan mobil ambulans," ucap Steven dengan nada kesal).

("Aku tidak tega melihat orang menderita karena itulah aku menolongnya," jawab Debora berusaha untuk bersabar menghadapi sifat Stevan yang tidak perduli dengan orang lain).

("Pria atau perempuan ?" tanya Steven tanpa memperdulikan jawaban Debora karena dirinya sudah tahu akan sifat calon istrinya).

("Pria," jawab Debora yang tidak ingin berbohong).

("Sekarang ke kantor dan tinggalkan pria tersebut," perintah Steve).

("Maaf aku tidak bisa karena pria tersebut mengalami amnesia," tolak Debora).

Tut! Tut!

Sambungan komunikasi langsung diputuskan oleh Steven membuat Debora mengembuskan napasnya dengan perlahan.

"Maaf aku tidak tega meninggalkan pria itu," ucap Debora sambil membalikkan badannya dan masuk ke dalam ruang perawatan yang kebetulan hanya pemuda tampan tersebut yang sedang di rawat.

Debora kembali duduk di kursi dekat ranjang sambil menatap pemuda tampan tersebut dan entah kenapa dirinya tidak tega meninggalkannya terlebih pemuda tampan tersebut tidak ingat siapa dirinya.

Tidak berapa lama pemuda tampan tersebut perlahan membuka matanya dan menatap wajah cantik Debora.

"Maaf ngerepotin kamu terus," ucap pemuda tampan tersebut merasa tidak enak hati.

"Santai saja, aku tidak merasa direpotkan," jawab Debora sambil tersenyum.

"Kakak mau apa?" Tanya Debora dengan nada lembut ketika melihat pemuda tampan tersebut sambil meringis menahan sakit karena ingin bangun dari ranjangnya.

"Aku mau minum," jawab pemuda tampan tersebut.

"Berbaringlah, biarkan aku yang ambil minumannya," jawab Debora sambil mengambil gelas yang berada di meja dekat ranjang.

Pemuda tampan tersebut meminum dengan menggunakan sedotan hingga habis tanpa sisa kemudian Debora meletakkan gelas tersebut di meja.

"Bolehkah aku memanggil “kakak”?" tanya Debora.

"Boleh," jawab pemuda tampan tersebut dengan singkat.

"Karena Kakak tidak ingat namanya bagaimana kalau aku memanggil Kak Deren?" tanya Debora.

"Deren, bagus juga," jawab Deren sambil tersenyum menatap wajah cantik Debora.

Debora membalas senyuman Deren hingga Deren melihat cincin di jari manis Debora membuat wajah Deren berubah. Entah kenapa dirinya kecewa dan hatinya terluka ketika mengetahui Debora sudah mempunyai kekasih padahal dirinya bukan siapa-siapa.

"Itu cincin tunangan?" tanya Deren sambil menunjuk jari manis Debora.

"Benar, satu minggu lagi kami akan menikah," jawab Debora.

Deren hanya diam namun kedua tangannya mencengkram dengan erat dan wajahnya terlihat jelas antara sedih, kecewa, dan cemburu menjadi satu membuat Deren menghembuskan napasnya dengan perlahan untuk menghilangkan rasa sesak di hatinya.

‘Kenapa aku cemburu? Debora ‘kan bukan siapa-siapa aku,’ ucap Deren dalam hati.

"Kamu tidak menemani kekasihmu? Nanti cemburu kalau merawat ku," ucap Deren walau dalam hatinya ingin Debora bersamanya.

"Kekasihku kerja dan aku sudah bilang padanya. Oh iya, apakah mau makan?" tanya Debora mengalihkan pembicaraan.

"Iya, kebetulan aku sangat lapar," ucap Deren.

"Oke, aku suapi ya," ucap Debora sambil mengambil mangkok yang berisi bubur.

"Tidak, biar aku makan sendiri," jawab Deren.

"Kak Deren masih sakit jadi biar aku menyuapi Kak Deren," ucap Debora.

Deren hanya diam namun dalam hatinya sangat bahagia karena diperhatikan oleh Debora. Debora mulai menyuapi sesuap demi suap hingga tidak terasa bubur tersebut habis tanpa sisa kemudian Debora meletakkan mangkuk yang kosong tersebut ke meja.

Debora menuangkan air di gelas yang kosong dengan menggunakan teko kemudian memberikannya ke Deren.

"Nanti sore aku pulang. Kak Deren tidak apa-apa kan di sini sendirian? Besok pagi aku akan ke sini lagi sebelum berangkat ke kantor," ucap Debora.

"Tidak apa-apa, santai saja dan mengenai datang ke sini jika merasa repot atau kekasihmu marah, lebih baik tidak usah," jawab Deren walau dalam hatinya bertentangan.

"Aku tidak merasa repot dan kekasihku tidak mungkin marah," jawab Debora berbohong.

Entah kenapa Debora sungguh tidak tega jika membiarkan pria itu sendirian di rumah sakit tanpa ada sanak saudara yang menungguinya.

"Terima kasih," jawab Deren.

"Terima kasih untuk apa?" tanya Debora.

"Untuk semua yang kamu lakukan untukku," jawab Deren.

"Sesama manusia itu harus saling tolong menolong," ucap Debora.

‘Kamu memang gadis yang berbeda karena tidak semua gadis mempunyai pikiran yang sama sepertimu,’ ucap Deren dalam hati.

"Oh iya, setelah sembuh apa rencana Kakak?" tanya Debora.

"Aku tidak tahu," jawab Deren.

"Bisa mengendarai mobil?" tanya Debora.

"Aku tidak tahu," jawab Deren.

"Bagaimana kalau Kak Deren diajari cara mengendarai mobil dan nanti bisa berkerja menjadi sopir di perusahaan milik bos ku, karena kebetulan sopir kantor sebentar lagi mau pensiun?" tanya Debora memberikan usul.

"Aku merasa ngerepotin kamu terus," ucap Deren tidak enak hati.

"Santai saja," jawab Debora sambil tersenyum.

"Bagaimana caranya aku berterima kasih padamu?" tanya Deren.

"Apa yang aku lakukan pada Kak Deren berbuatlah juga pada orang yang membutuhkannya," jawab Debora.

‘Kamu memang gadis yang berbeda, sayang sudah ada yang memilikinya,’ ucap Deren dalam hati.

Waktu berlalu dengan cepatnya dan tidak terasa hari sudah sore membuat Debora bersiap untuk pulang ke rumah orang tuanya.

"Tidak terasa sudah sore, aku pulang dulu," pamit Debora.

"Hati-hati di jalan," ucap Deren.

"Terima kasih, kakak juga jaga kesehatan," jawab Debora.

Debora tersenyum kemudian keluar dari ruang perawatan dengan diikuti oleh sopir kantor yang sejak tadi menunggu di luar.

**

"Ayah, tadi Debora menolong orang dan membawanya ke rumah sakit tapi sayang orang itu mengalami amnesia. Apakah Ayah boleh mengijinkan orang itu untuk tinggal di rumah ini sementara waktu?" tanya Debora penuh harap yang sudah selesai makan malam dan kini berada di ruang keluarga.

"Laki-laki atau perempuan?" tanya Ayahnya.

"Laki-laki, Ayah. Kasihan dia tidak ingat siapa keluarganya," ucap Debora.

"Ibu tidak setuju," jawab ibu tirinya.

"Kenapa Ibu tidak setuju?" tanya Debora.

"Bagaimana kalau pria itu ternyata penjahat? Pokoknya Ibu tidak setuju terlebih rumah kita sangat sempit dan tidak ada kamar," ucap Ibu tirinya dengan tegas.

"Karena ibumu tidak setuju berarti Ayah tidak setuju," ucap Ayahnya.

"Aku setuju dengan Debora," jawab Valen, adik tirinya.

"Kenapa kamu setuju?" tanya ibunya sambil menatap tajam ke arah Valen.

"Bu, kita sebagai orang saling tolong menolong jadi sudah sepantasnya kita menolong pria itu untuk tinggal sementara di rumah kita," jawab Valen sambil memberikan kode ke arah ibunya.

"Putriku memang baik hati. Karena ucapan mu, Ibu merasa bersalah jadi Ibu setuju dengan permintaan Valen, putriku yang baik hati dan tidak sombong," puji ibunya.

"Terima kasih, Bu," jawab Valen sambil tersenyum menyeringai.

"Ayah, lebih baik kita menolong pria itu," ucap istrinya.

"Terserah kalian saja," jawab ayahnya yang malas berdebat dengan hal yang tidak penting.

"Terima kasih Ayah, Ibu, dan Valen," jawab Debora sambil tersenyum kemudian turun dari kursi meninggalkan ruang keluarga menuju ke kamarnya.

***

Enam hari kemudian.

Tidak terasa hari berlalu dengan cepatnya dan kini Deren tinggal sementara di rumah milik keluarga Debora sebagai sopir.

Gudang yang penuh barang di jual oleh ibu tirinya karena gudang itu digunakan untuk tempat tinggal sementara Deren, sedangkan hasil penjualan barang bekas digunakan untuk berfoya-foya oleh ibu tirinya dan adik tirinya.

Debora sudah mengatakan ke pemilik perusahaan di mana dirinya berkerja dan pemiliknya langsung setuju. Sopir yang ingin pensiun mengajarkan Deren mengendarai mobil dan tidak membutuhkan waktu lama Deren bisa mengendarai mobil, terlebih Deren memang sebenarnya bisa mengendarai mobil tapi karena kehilangan ingatan membuatnya lupa akan semua yang pernah dilakukannya.

Deren kini bekerja sebagai sopir perusahaan di mana Debora berkerja menggantikan sopir yang pensiun. Pemilik perusahaan sangat puas dengan pekerjaan Deren dan mengajarkan Deren tentang bisnis.

Deren yang sangat pintar langsung menguasai pekerjaannya dan diangkat jadi karyawannya.

**

Acara pesta pernikahan tinggal satu hari lagi tapi suasana di rumah sudah mulai sibuk dan mulai memasang pernak pernik untuk acara pesta pernikahan Debora dengan Steven.

Tapi tanpa sepengetahuan Debora, Valen meracuni pikiran Steven dan sayangnya Steven percaya, terlebih di tambah adanya bukti palsu. Hingga suatu ketika Debora sedang duduk di sisi ranjang tiba-tiba ponselnya berdering membuat Debora mengambil ponselnya untuk mengetahui siapa yang menghubungi dirinya.

"Kak Steven tumben menghubungi aku?" ucap Debora sambil menggeser tombol warna hijau kemudian menempelkan ponselnya ke telinganya.

("Sayang, kita melakukan di ranjang tempat aku akan menikah dengan kakakmu," ucap Steven dengan napas memburu dan suara berat).

("Baiklah, Sayang," ucap Valen dengan suara menggoda).

Ada Apa Debora?

Debora menutup mulutnya seakan tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya membuat Debora memutuskan sambungan komunikasi secara sepihak kemudian Debora menghubungi Deren. Sambungan pertama langsung di angkat oleh Deren.

("Ada apa Debora?" tanya Deren karena tidak biasanya Debora menghubungi dirinya terlebih besok Debora akan menikah dan dirinya berencana tidak akan datang karena Deren belum sanggup melihat keromantisan wanita yang dicintainya dalam diam).

("Hiks... Hiks ... Hiks ..." Isak Debora).

("Debora, kamu kenapa menangis? Apa yang terjadi? Siapa orang yang berani menyakitimu?" tanya Deren beruntun sambil menahan amarahnya dan berjalan meninggalkan ruang kerjanya).

("Hiks... Hiks ... Kakak pulang antar Debora ke hotel," pinta Debora sambil masih terisak).

("Maksudnya?" tanya Deren dengan wajah bingung).

("Kak Steven selingkuh dan aku ingin ke sana untuk melihatnya," jawab Debora menjelaskan).

("Apa?? Baik aku akan ke rumahmu," jawab Deren sambil melangkahkan kakinya dengan cepat).

Tut Tut Tut

Debora memutuskan sambungan komunikasi secara sepihak kemudian menjatuhkan tubuhnya dan berlutut di lantai. Hatinya sangat hancur karena besok adalah hari pernikahannya dengan calon suaminya tetapi calon suaminya selingkuh dengan adik tirinya.

Debora menangis dan menangis hingga lima belas menit kemudian pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang.

Ceklek

Debora berusaha bangun dan berjalan dengan langkah gontai ke arah pintu kamarnya kemudian membukanya dan tampak Deren berdiri di depan pintu dengan wajah penuh kuatir.

Grep

"Kak Deren hiks ... hiks ... hiks ..." ucap Debora sambil terisak dan memeluk Deren untuk menghilangkan rasa sesak di hatinya.

Deg

Deg

Jantung Deren berdetak kencang ketika Debora memeluk dirinya untuk pertama kalinya membuat Deren memejamkan matanya untuk menetralkan jantungnya yang berdetak kencang akibat pelukan Debora. Gadis yang sangat dicintainya namun dirinya tidak berani mengatakannya.

Deren hanya bisa mengusap punggung Debora hingga tiba - tiba terdengar suara bentakan yang sangat familiar di telinga mereka berdua.

"Debora, Deren!!! Apa yang kalian lakukan hah!!!" bentak Ayahnya Debora.

Debora dan Deren langsung melepaskan pelukannya kemudian Deren menjadikan tubuhnya sebagai tamengnya di kala melihat tubuh Debora gemetar karena sangat takut dengan ayah kandungnya yang sedang marah besar.

"Dasar anak tidak tahu diri, kamu itu besok menikah dengan pria kaya yang bisa menghidupi kami tapi kenapa kamu selingkuh dengan pria miskin seperti dia, Hah!!!" bentak Ayahnya Debora sambil menunjuk - nunjuk jari telunjuknya ke arah wajah Deren.

"Kamu juga, sudah untung di rawat sama kami dan numpang di rumah kami sampai pekerjaan dicarikan sama kami tapi kamu malah selingkuh dengan putriku," sambung Ayahnya Debora.

"Ayah, Debora memeluk Deren karena kak Steven selingkuh dengan Valen di kamar pengantin kami," ucap Debora yang tidak tega Deren di bentak oleh Ayahnya.

"Apa??Itu tidak mungkin!!! Valen adalah gadis yang baik tidak mungkin putriku melakukan perbuatan serendah itu, dasar wanita mu ra han beraninya memfitnah putriku!!" bentak ibu tirinya yang tiba - tiba datang dan bersiap menampar Debora.

Grep

"CUKUP!!!" teriak Deren yang sejak tadi diam sambil menahan tangan ibu tirinya Debora.

"Lebih baik kita ke sana untuk membuktikan apa benar yang dikatakan Debora atau tidak," sambung Deren sambil melepaskan tangan Ibu tirinya Debora.

"Baik, kita ke sana," jawab ibu tirinya.

Merekapun pergi dengan ikut menumpang mobil Deren milik perusahaan di mana Deren dan Debora berkerja di perusahaan yang sama.

Deren mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi agar mereka segera sampai hingga lima belas menit kemudian mereka sudah sampai di hotel tempat di mana mereka nantinya akan mengadakan resepsi pernikahan yang lumayan mewah.

Debora dan Steven berencana menikah di rumah orang tua Debora namun resepsi pernikahan mereka di hotel mengingat keluarga besar Steven adalah keluarga yang lumayan terpandang dan rasanya malu jika mengadakan pesta pernikahan di rumah kecil.

Mereka berempat berjalan dengan langkah cepat menuju ke arah kamar hotel nomer 808 dimana besok malam akan digunakan untuk kamar pengantin Debora dan Steven.

Brak

Deren membuka paksa kamar 808 dan matanya langsung membulat sempurna begitu pula dengan Debora dan ke dua orang tuanya. Bagaimana tidak, mereka melihat Valen dan Steven sedang melakukan hubungan suami istri dengan tubuh polos tanpa sehelai benangpun.

Steven sangat terkejut dengan kedatangan mereka membuat mereka menghentikan kegiatannya sedangkan Valen yang sudah tahu akan kedatangan ke dua orang tuanya pura - pura terkejut dan langsung menutupi tubuh polosnya dengan menggunakan selimut.

Dalam hati, Valen sangat bahagia karena bisa menggagalkan rencana kakak tirinya untuk menikah dengan Steven pria yang dicintainya karena Steven banyak uang.

Steven dengan cepat mengambil celana boxer nya dan langsung memakainya sedangkan Deren yang sangat kesal karena Steven melukai perasaan gadis yang sangat dicintainya membuat Deren berjalan ke arah Steven.

Bugh

"Ini hukuman untuk laki - laki breng**k sepertimu," ucap Deren sambil memukul Steven membuat Steven terhuyung ke belakang karena belum ada persiapan.

Bugh

"Ini akibat melukai perasaan Debora," ucap Deren sambil memukul kembali wajah Steven.

Cihhhhh

"Bagaimana denganmu?" tanya Steven sambil menatap tajam ke arah Debora dan Deren.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!