NovelToon NovelToon

Budak Tuan Alejandro

Menjadi budak

Seorang gadis berambut panjang tengah berdiri dengan kedua kaki yang bergetar. Kepalanya hanya bisa tertunduk, jemarinya saling bertautan, meremmas dengan cemas. Gadis itu bernama Isabella.

Beberapa menit yang lalu, sebelum ia masuk ke ruangan ini, Isabella di persiapkan oleh pelayan. Sekujur tubuhnya mendapat perawatan, pakaian yang ia kenakan saat ini pun terlihat indah menempel di tubuhnya. Ditambah wewangian sensuall yang bisa meningkatkan gairahh lawan jenis.

Ia takut dengan apa yang saat ini ada di depannya. Isabella ingin melarikan diri, tapi sungguh ia takut dengan ancaman Catalina, yang ingin melenyapkan ibunya jika ia tidak patuh dengan Catalina.

"Apa kau masih tetap ingin berdiri?" suara itu semakin membuat Isabella cemas. Bukannya melangkah maju, Isabella tetap berdiri di tempatnya.

"Ck!" terdengar decakan kesal dari pria itu. "Aku sudah membayar mahal sisa hidup mu! apa kau tidak mau melayani ku? dan berdiri seperti itu sampai mati!" sedikit ada rasa penyesalan telah membeli seorang budak dengan harga yang mahal. Harusnya wanita yang ada di hadapannya saat ini bisa bekerja dengan setimpal.

"Merepotkan!" serunya murka.

Duarrr!

Satu tembakan ia luncurkan di atas langit-langit. "Kalau kau tidak berguna, lebih baik kau mati saja!" kedua matanya memerah, ingin sekali menghabisi wanita yang ada didepannya ini.

Isabella terduduk lemas, tangisannya mulai berderai. Ia takut setengah mati. Sungguh malang nasibnya di pertemukan pria yang sangat kejam.

"Kau ingin mati??" sekali lagi suara pria itu menggelegar, kalo ini ia mengacungkan pistol ke kepala Isabella.

Isabella menggeleng cepat. "Tidak, tolong jangan bunuh aku." suaranya gagap karena takut. Perlahan ia mulai berdiri, memberanikan diri melangkah menuju pria si pembeli tubuhnya.

"Lebih dekat!" Mata tajam elang itu mengamati wajah penuh kesedihan Isabella. Ia menjepit dagu budak barunya dengan jemari. "Lumayan, kau cukup menarik untuk menghibur ku." katanya.

Alejandro Spencer, pria bangsawan yang telah membeli Isabella dari rumah bordil. Ia sudah sering membeli seorang budak untuk di pekerjakan di kediamannya. "Kau masih murni?" tanyanya.

Isabella mengangguk. Ia tahu apa yang di ucapkan Alejandro. Catalina memasang harga mahal karena kesempurnaan Isabella sebagai seorang gadis.

Seringaian terlihat jelas di wajah pria tampan itu. Ia perlu memberikan apresiasi pada bawahannya yang berhasil menemukan barang bagus.

Srekk.. srekkk..

Alejandro merobek gaun yang Isabella kenakan. Ia menarik gadis itu ke atas ranjang. "Puaskan aku!"

Degup jantung Isabella menari dengan kencang. Ia merinding dengan sentuhan pria itu. Berulang kali ia menutupi area pribadinya saat Alejandro menatapnya buas.

"Ingin mati? atau puaskan aku? Hem?" serunya. Ia tidak suka penolakan, budaknya itu harus menuruti apapun keinginannya.

Dengan hati dan tangisan pilu, Isabella membiarkan Alejandro memiliki tubuhnya. Pria itu tak kenal rasa kasihan. Setiap kali Isabella menjerit dan meminta ampun, makan Alejandro semakin buas menggerakkan tubuhnya.

Nasibnya begitu tragis, sedari dulu Isabella selalu mendapatkan penindasan dari Catalina, dan saat ini ia pun mendapatkan perlakuan yang sama, bahkan lebih buruk.

"Ibu maafkan aku." jeritnya dalam hati. Kepergiannya dari rumah keluarga Thompson beralasan karena ingin bekerja di tempat yang lebih menjamin. Catalina ikut berperan saat Isabella meminta ijin keluar dari rumah itu. Hingga kedua orang tua Catalina dan ibu Isabella mengijinkan.

Seolah tak pernah puas, Alejandro terus menerus menikmati tubuh murni seorang budak. Ia tidak perduli dengan wanita yang ada di bawahnya, yang nyaris tak sadarkan diri. Alejandro terus berpacu mengejar sebuah kenikmatan.

Alejandro menghentikan kegiatannya saat tubuh Isabella benar-benar terkapar, tak berdaya.

Setelah puas, Alejandro bergegas meninggalkan kamar itu. Ia berpesan pada pelayannya yang berjaga di depan pintu. "Urus dia! sepertinya sedang sekarat!" titahnya.

"Baik tuan." pelayan bernama Emma berlari cepat masuk ke dalam kamar. Ia segera membantu Isabella, memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Isabella.

Wanita paruh baya itu menatap iba pada Isabella yang tergolek di atas ranjang, penampilannya saat ini bisa menjelaskan jika Tuan Alejandro telah melakukan kekerasan dan pemaksaan. "Sungguh malang nasib mu."

"Markus!" Alejandro memanggil tangan kanannya. Ia melempar segepok uang pada Markus, "Kerja bagus!"

"Terimakasih tuan." Markus menundukkan kepala sebagai rasa hormat. Beruntungnya, ia cepat menemukan gadis ber-kriteria yang tuannya inginkan.

Menemukan gadis suci nan cantik sangat susah saat ini. Jika cantik sudah pasti telah banyak di sentuh oleh pria. Masih suci, tetapi wajah dan tubuhnya pasti tidaklah menarik.

Dan Isabella menjadi pilihan tepat untuk sang tuan yang memang sudah lama menginginkan gadis murni.

***

Di tempat lain, Catalina sedang berpesta menikmati uang hasil menjual Isabella.

"Catalina, kau sungguh pintar mendapatkan uang sebanyak itu." Monica ikut senang merayakan kebahagiaan Catalina.

"Seharusnya aku menjual Isabella sedari dulu. Ternyata aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini." ia tertawa atas kemenangannya. Catalina tidak peduli dengan nasib Isabella yang mungkin saja berakhir tragis.

"Aku yakin, Isabella saat ini tengah melayani pria tua Bangka." di jual ke rumah bordil tentu saja akan mendapatkan pria acak. Kebanyakan pria hidung belang yang singgah di sana adalah pria paruh baya dengan perut yang membuncit.

"Aku tidak peduli! Isabella mati pun aku tidak peduli, dia hanya seorang anak pelayan!" Catalina tidak mempunyai hati sedikit pun, ia melupakan kebaikan Isabella padanya. Sedari mereka kecil, Catalina dan Isabella tumbuh bersama. Kebencian Catalina mulai timbul tatkala Wiliam lebih tertarik pada Isabella yang hanya anak pelayan, bukan dirinya!

"Wow.. kau sungguh jahat Catalina.." Monica baru menyadari jika Catalina memiliki sifat yang tak terduga. Ia tahu jika Catalina membenci Isabella, tapi tidak menyangka kebencian itu sangat dalam. Terlihat seperti dendam.

"Jangan membicarakan Isabella lagi, lebih baik kita bersenang-senang saja." Catalina sangat muak mendengar nama Isabella. Ia ingin nama itu tersingkir dari sekitarnya.

***

...Hai teman-teman, ketemu lagi di karya baru ku. Semoga kalian suka ya..🤗🤗...

Kesepakatan menjual Isabella

~ Sebelumnya.. ~

"Isabel!" suara Catalina menggema di sebuah rumah besar, ia memanggil pelayan pribadinya. "Astaga! apa kau sudah tuli! Isabel! dimana kau!" Catalina terus berteriak memanggil Isabella, langkahnya tertuju pada halaman belakang rumah itu.

Dari kejauhan, Isabella telah berlari tergopoh-gopoh menghampiri putri majikannya.

"Heh! darimana saja! pita suara ku nyaris putus memanggil mu!" sembur Catalina ketika Isabella telah berdiri di hadapannya.

"Maaf nona.." Isabella tertunduk meminta maaf. "Aku sedang membantu ibu ku di kebun belakang." Isabella menjelaskan kenapa ia tidak cepat menghadap ketika di panggil. Ia sedang membantu ibunya di kebun. Halaman belakang sangat jauh dari kediaman utama keluarga Thompson. Itu saja ada pelayan lainnya yang berbaik hati memberitahu bahwa nona Catalina sedang mencari Isabella.

"Alasan! bicara saja kalau kau itu malas!" Catalina sangat membenci Isabella, semenjak pria pujaannya, Wiliam tertarik dengan Isabella.

Dulu, Catalina dan Isabella adalah dua teman yang saling berbagi. Catalina selalu berbaik hati, menganggap Isabella seperti saudaranya sendiri.

Isabella tidak tahu jika Catalina menaruh rasa pada William, hingga ia menerima permintaan pertemanan dari pria bernama William. Nyatanya hal itu membuat Catalina memupuk kebencian pada Isabella.

"Apa nona membutuhkan sesuatu?" Isabella menanyakan hal apa yang Catalina inginkan hingga memanggilnya di pagi ini. Biasanya Catalina memerlukan Isabella saat siang hari. Karena gadis itu memang selalu bangun ketika matahari telah terbit, nyaris di pertengahan.

"Bersiaplah, kau harus ikut dengan ku. Aku akan menghadiri pesta temen ku." katanya, "Oh ya pakai pakaian pelayan saja jangan bersikap pongah dengan kecantikan mu!" ucapnya. Catalina merasa tersaingi oleh Isabella. Kecantikan Isabella akan lebih terpancar jika menggunakan gaun indah dan riasan tipis diwajahnya. Meski hanya memakai pakaian pelayan pun, kalau di amati dengan lekat, Isabella jelas terlihat cantik.

"Baik nona." Isabella mengangguk mengerti. Ia pun tidak mungkin selancang itu. Berpenampilan menarik di pesta taman anak majikannya. Lagipula, Pakaian bagus pun ia tidak punya.

***

Perjalanan menuju kota memakan waktu sekitar dua jam lebih.

Catalina segera bergabung dengan teman-temannya yang sudah datang lebih dulu.

"Kau selalu terlambat Catalina!" seru tamannya bernama Monica, si pemilik acara.

"Rumah ku jauh dari kota, kau harus memakluminya." Catalina berpelukan dengan Monica dan teman-temannya yang lain. "Aku belum terlalu terlambat kan untuk bergabung?"

"Tenang saja Catalina, aku sudah menyediakan kursi kosong untuk mu. Silahkan duduk." ucap wanita yang bernama Jeane.

"Terimakasih.." Catalina duduk di kursi yang sudah disediakan untuknya. "Kita mulai permainannya.."

Para gadis bangsawan itu terlihat anggun, lemah, lembut dari luar. Nyatanya mereka memiliki kebiasaan buruk jika sedang mengadakan pesta. Contohnya saat ini, mereka tengah bermain judi di temani dengan minuman beralkohol.

Isabella berdiri di samping Catalina. Ia seperti tidak dianggap keberadaannya. Isabella hanya seorang pelayan yang tak pantas ikut serta duduk dengan para putri bangsawan.

"Catalina! kau sudah kalah." teriak Jeane. Ia bersorak menang.

"Kau masih terlalu payah, Catalina! sampai kapan kau akan terus menerus mendapat kekalahan." Monica mengejek Catalina yang sampai saat ini belum pernah memenangkan perjudian tersebut. Catalina datang membawa uang banyak dan pulang dengan tangan kosong.

"Jangan meremehkan ku, Monica! pasti aku akan menang!" seru Catalina percaya dengan percaya diri.

Jeane tertawa. "Bagiamana kau bisa menang? uang mu saja sudah habis!"

Catalina terkesiap, ia pun baru menyadari jika uang persediaan telah habis. Karena tidak mau di remehkan oleh teman-temannya, Catalina nekad meminjam uang pada bandar yang selalu menyediakan pinjaman.

Rasa gengsi dan ingin terlihat hebat di depan Jeane, Monica dan lainnya, Catalina berakhir dengan kekalahan. Hutangnya menumpuk, Catalina mulai resah, darimana ia mendapatkan uang sebanyak itu?

"Bagaimana ini? tidak mungkin aku meminta pada ayah dan ibu, mereka pasti akan bertanya apa yang sudah aku lakukan." Catalina mengigit kukunya, ia begitu cemas memikirkan hutangnya. "Kau ceroboh, Catalina!" ia merutuki kebodohannya sendiri. Lepas kontrol dalam bermain judi, tidak ada hasil, tapi malah hutang menumpuk.

"Kau sedang apa Catalina?" Jeane menghampiri Catalina di toilet.

"Tidak apa." Ia mencoba menutupi kekhawatirannya.

"Apa kau sedang memikirkan hutang-hutang mu?" tanyanya. "Bicara jujur saja, aku pasti membantu mu."

"Kau bisa membantu ku?" Catalina seperti mendapatkan secercah harapan. Jeane bisa membantunya mengeluarkan masalah yang tengah membelitnya.

Jeane mengangguk. "Aku bisa membantu."

"Terimakasih, Jeane." Catalina mengenggam tangan Jeane penuh haru. "Kau memang teman ku yang paling baik, mau meminjamkan uang pada ku." ia pikir Jeane akan memberikan uang pinjaman padanya untuk membayar hutangnya pada rentenir. Lebih baik ia berhutang pada temannya sendiri dari pada berhutang dengan rentenir yang sudah pasti tidak punya belas kasih.

"Aku tidak akan meminjamkan mu uang." ucap Jeane. Tentu saja hal itu membuat Catalina kecewa. "Kau mempunyai pelayan cukup cantik, jual saja dia." sarannya.

Catalina mengerutkan alisnya. "Isabella?"

Jeane mengangguk. "Ya, jual saja pelayan mu. Kau bisa membayar hutang dan sisa uangnya kau bisa bermain lagi bersama kami."

"Di jual bagaimana? aku tidak mengerti." Catalina tidak mengerti ucapan Jeane. Apa ada jual beli seorang manusia? Catalina baru mendengarnya.

"Astaga! kau itu bodoh sekali!"

"Hei! Jangan mengatai ku bodoh!" seru Catalina tidak terima.

Jeane menghela nafas sejenak. "Pelayan mu lumayan cantik, ia bisa di jual di rumah bordil."

Catalina terdiam sejenak. Ia tak tega menjual Isabella ke rumah bordil. "Tidak! Isabel gadis baik-baik, meski aku sangat membencinya." tolaknya.

"Kau masih memikirkan gadis itu? lalu bagaimana kau membayar hutang mu?" Jeane tertawa. "Terserah kau saja, aku hanya memberi saran. Kebetulan mucikari ada di tempat ini, jadi aku menyarankan pada mu." jelasnya.

"Tapi..." Catalina menjadi bimbang. Ia membutuhkan uang tapi tidak tega juga menjual Isabella.

"Bukannya Wiliam menyukai gadis itu?" ucap Jeane. "Kau akan mendapatkan keuntungan lebih, uang dan bisa menyingkirkan gadis itu dari Wiliam untuk selamanya." Jeane kembali menghasut pikir Catalina.

'Benar juga yang dikatakan Jeane, jika Isabel sudah ternoda, Wiliam pasti akan jijik padanya. Aku bisa mendapatkan Wiliam.' batinnya membenarkan ucapan Jeane.

"Bagaimana, Catalina?"

"Baik, aku setuju!"

Jeritan Isabella

Isabella menempati sebuah kamar kecil, begitu pengap. Jauh lebih baik kamar sebelumnya ketika tinggal di kediaman Thompson. Ia bersyukur karena detik ini masih bisa bernafas. Meski hari-hari berikutnya akan ia lalui dengan kesulitan.

Pagi tadi ia terbangun dengan tubuh yang terasa remuk redam. Entah berapa lama si tuan pemilik menikmati tubuhnya. Isabella tidak mengingatnya, yang begitu melekat hanya sebuah kesakitan dan siksaan.

Tidak diperbolehkan untuk mengistirahatkan tubuhnya walau hanya sejenak, Isabella sudah harus mulai bekerja di rumah besar itu. Rumah yang terlihat seperti kastil tua di luar, namun sangat indah di dalamnya. Tapi sayang, keindahan rumah itu hanya bisa ia lihat tadi malam. Pasalnya saat ini Isabella ditempatkan di bangunan yang berbeda, tempat para budak.

Mereka yang di sebut budak, serempak menggunakan seragam berwarna coklat kusam. Sedangkan seorang pelayan, berseragam hitam berkombinasi warna putih.

Terlihat jelas perbedaannya. Budak bekerja untuk seumur hidup tanpa mendapatkan upah, hanya di beri makan layak pun sudah cukup. Berbeda dengan seorang pelayan yang mendapatkan upah bulanan. Bukan itu saja, seorang budak di larang menginjakkan kaki di rumah utama. Mereka di pekerjakan di bagian kotor. Seperti berkebun, membersihkan kandang kuda, memandikan kuda dan membersihkan rumput di lahan yang luasnya tidaklah sedikit.

"Siapa nama mu?" kepala pelayan bertanya pada budak baru, Isabella.

"Isabella.." jawab Isabella.

"Kau baru di sini?" tanyanya, dan Isabella hanya mengangguk. "Sudah tahu tugas mu?"

Isabella menggeleng. Ia belum tahu apa saja yang harus di kerjakan.

"Hulsa!" teriak si kepala pelayan. Wanita bertubuh gempal berlari mendekat.

"Iya Nona Greta.."

"Hari ini kau membersihkan kandang kuda kan? ajak budak baru ini. Tunjukkan apa saja yang harus ia kerjakan."

"Baik nona.."

Isabella mengikuti Hulsa. Di sana terdapat banyak sekali budak yang sedang menjalankan aktivitasnya masing-masing.

Hamparan kebun anggur memenuhi pemandangan Isabella. Bukan cuma itu, peternakan domba, babbi, dan sejenis unggas ikut memadati tanah luas itu.

"Siapa nama mu? kenapa bisa berakhir menjadi budak, apa kau di jual oleh keluarga mu atau suami mu?" Hulsa mencoba mengakrabkan diri pada budak baru yang tengah berjalan mengikutinya.

Isabella mengerutkan keningnya, kenapa Hulsa bisa tahu kalau dirinya adalah korban yang di perjual belikan oleh kerabat dekat.

"Jangan menatap ku heran seperti itu. Di sini banyak yang bernasib serupa. Aku pun dulu di jual oleh ayah ku karena terlilit hutang." kata Hulsa. Sudah jadi rahasia umum, budak yang tinggal di kediaman keluarga Spencer rata-rata orang yang telah menjadi tumbal atas keserakahan orang terdekat. Demi uang, mereka rela memperjual belikan manusia. Ada juga yang berasal dari rumah bordil, di jual sang mucikari karena sudah tidak bisa menghasilkan uang, tidak laku oleh pelanggan.

Isabella tersenyum tipis. "Nama ku Isabella, kau bisa memanggil ku Isabel. Sepertinya kita sama." jawabnya.

"Oh begitu rupanya." ucap Hulsa. "Kau terlihat cantik, sayang sekali berakhir menjadi budak." Hulsa bisa melihat kecantikan di wajah Isabella. Kulitnya pun bersih dengan warna putih pucat. Rambutnya pun terlihat terawat. Hanya pakaiannya yang terlihat lusuh. Hulsa yakin jika Isabella memakai pakaian mahal, Isabella akan terlihat seperti gadis bangsawan.

"Nasib ku memang buruk, mungkin sudah garisan takdir." untuk apa mempunyai wajah cantik jika nasibnya begitu menyedihkan. Hidup dalam kemiskinan, penuh siksaan. Sekarang malah siksaan itu bertambah, menjadi budak pemuass hasrat pria pemilik rumah besar ini.

"Jangan pikirkan itu, kau disini kerja dengan baik, maka hidup mu akan aman. Kita tidak perlu memikirkan apapun. Hanya perlu bahagia menikmati sisa hidup." ujar Hulsa.

Isabella mengangguk. "Iya, kau benar." Isabella tidak ingin selamanya terkurung di tempat ini. Ia ingin bertemu ibunya. "Emm.. apa kita sama sekali tidak di perbolehkan keluar dari tempat ini?"

"Setau ku budak tidak di perbolehkan untuk keluar, hidupnya hanya di sekitar perkebunan dan peternakan. Masuk ke rumah utama saja di larang." jelasnya.

"Begitu ya.." kedua bahu Isabella luruh seketika. Begitu sulit keluar dari rumah ini, itu artinya ia tidak bisa menemui ibunya lagi. Isabella berharap Catalina memegang ucapnya, tidak akan mencelakai ibunya.

"Kita akhiri obrolan ini. Pengawas sedang berkeliling." bisik Hulsa. Wanita bertubuh gempal itu membungkam mulutnya saat dari kejauhan terlihat rombongan berkeliling kebun. "Oh.. astaga, apa itu tuan Alejandro?" meski suaranya terdengar lirih, namun tidak menghilangkan rasa suka citanya. Hulsa memekik kegirangan karena bisa melihat Tuan Alejandro yang begitu gagah dan tampan. Tidak biasanya tuan Alejandro berkeliling. Itu keberuntungan bagi para budak yang diam-diam mengagumi tuannya.

Isabella mengikuti arah pandang Hulsa. Ia mengingat sosok itu. Pria yang merenggut mahkotanya semalam. "Siapa dia?"

"Kau tidak tahu?" Hulsa masih memelankan suaranya. "Dia itu majikan kita. Tuan Alejandro. Tampan kan? bahkan semua wanita di sini mengagumi ketampanannya."

"Oh.." detik itu, Isabella baru mengetahui nama pria yang semalam membuatnya kelelahan.

***

Malam hari, pintu kamar Isabella terketuk. Isabelle yang hampir terlelap terbangun lagi.

"Emma!" rupanya Emma yang mendatanginya.

"Bersiaplah, tuan Ale menginginkan mu malam ini." ucapnya.

Isabella kembali murung, malam ini ia akan menjadi penghangat tuan Alejandro. Ingin menolak, tapi Isabella tahu diri. Budak sepertinya mana bisa menolak keinginan tuannya.

Emma menyelimuti sekujur tubuh Isabella dengan selimut. Tidak ada yang boleh tahu bahwa Isabella adalah wanitanya tuan Alejandro. Di depannya, Markus memandu Emma dan Isabella, berjalan mengendap-endap lewat jalur yang tak sembarang orang bisa lewati.

Sebelum tuan Alejandro mendatangi kamar, Isabella di persiapkan lebih dulu agar lebih segar dan menarik.

Jantung Isabella berdetak kencang, Markus dan Emma telah meninggalkan kamar itu. Sekarang hanya ia seorang diri, menanti kedatangan tuan Alejandro.

Pintu terbuka. Langkah kaki terdengar semakin mendekat. Tubuh Isabella menegang tatkala merasakan sang tuan sudah berdiri di belakangnya. Tanpa aba-aba, lengan kekar itu menarik tali piyama tidurnya, hingga lolos dan tergeletak di lantai.

Alejandro melangkah, mengitari tubuh polos Isabella, lalu berdiri tepat di hadapan Isabella yang kini tertunduk.

"Malam ini jangan kecewakan aku." ucapnya seraya menjepit dagu Isabella agar Alejandro bisa memandangi wajah cantik itu. Begitu juga dengan Isabella, kali ini ia bisa melihat wajah tuannya dengan jelas. Memang benar apa yang di katakan Hulsa, Alejandro sangatlah tampan. Tapi, kebencian Isabella terhadap pria itu takkan luluh hanya karena ketampanan. Isabella sangat membenci pria yang merenggut paksa kesuciannya!

Wajah Alejandro mendekat, menghirup aroma lembut Isabella, lalu berbisik. "Siapa nama mu?"

Dengan mulut bergetar, Isabella menjawab. "Isabella..."

"Isabella..." Alejandro meraup bibir Isabella dengan rakus. Tangannya memainkan bagian lainnya.

Awalnya permainan dilakukan dengan lembut, namun lama kelamaan permainan itu terasa begitu menyakitkan bagi Isabella. Alejandro tak segan menjambak, mencekik, lalu memanggilnya dengan sebutan jallang.

"Balas aku! Jallang!" teriak Alejandro sembari berpacu kasar. Isabella seperti patung yang tidak berkeinginan membalas sentuhannya.

"Jallang sialan!" geram Alejandro. Bukankah suatu kehormatan bagi seorang budak bisa naik ke atas ranjangnya?

Diamnya Isabella sangat menyinggung hati sang tuan. Di luar sana banyak wanita yang menginginkannya, lalu kenapa seorang budak berani mengabaikannya? Alejandro tidak terima itu!

"Baiklah, kau yang meminta ku berbuat kasar!" serunya.

Bukan sebuah desahann yang terdengar dari ruangan itu, melainkan jeritan Isabella yang merintih kesakitan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!