Kamazaki kamu berjanji akan kembali. BUSAN tepat ketika aku menginjak usia ke-13, atau saat aku kelas satu SMA. Kamazaki bilang, hidup jauh dariku, dia tidak mungkin bisa bertahan lama.
Kamazaki telah berjanji, dia pergi untuk kembali lagi. kembali untuk mengulang masa-masa indah kami di bawah hujan salju yang dingin. Aku simpan janjinya itu baik baik, ku tulis dalam buku diary coklat yang setiap hati menemaniku belajar.
Bunga dari kamazaki juga masih ku simpan dengan baik, ku belikan vas keramik, ku semprot wewangian setiap hari, kucium saat aku berangkat dan pulang sekolah sambil membayangkan kamazaki ada di hadapanku. Motor sporty yang di pakainya juga masih aku ingat benar, biru kombinasi putih warnanya.
kamazaki menjemputku di gerbang sekolah, karena sekolah kami berlainan. Kemudian, kami jalan jalan menyusuri sudut kota busan dengan penuh sukacita.
Aku tidak bohong, semua masih kusimpan dengan baik.
Namun, harus kukatakan bahwa aku tidak bisa menyimpan butiran salju yang jatuh menghujan pada siang hari di tahun itu. Salju yang jatuh selaksa serpih perak yang seperti sengaja di tabur di angkasa.
Di bawah guyuran salju itu, aku dan kamazaki mencecap manisnya masa berkasih. Aku memiliki rasa cinta untuknya, dan dia memiliki rasa cinta untukku.
Selaksa salju itulah saksi cinta kami berdua. Saksi tumbuhnya rasa agung yang tersembunyi di balik ceruk hati yang paling dalam dan rahasia.
Duh salju, sepertinya kami berdua telah hanyut dalam euforia cinta masa remaja. Tuhan, aku tidak ingin kehilangan masa itu. Aku ingin mengulang dan menemukannya lagi.
kamazaki, apakah kau yang disana tentang kita masih mengingatku?
Aku tidak bohong, semua tentang kita masih kusimpan dengan baik.
Termasuk ciuman nakal kamazaki dipipi kananku yang memanas setelah dia mengemukakan bahwa dia menyukaimu, kenangan itu masih kuingat dengan baik.
Duduk di taman suji, di bawah hujan salju yang dingin, janji kami terucap. Aku akan selalu mencintai kamazaki, dan kamazaki akan setia menjaga cintanya untukku. Dan, meskipun kamazaki harus terbang ke Tokyo guna mengikuti sekolah sepak bola internasional, dia akan senantiasa mengingatku, menjaga cinta kami berdua sebaik-baiknya.
Seperti Romeo dan Juliet, kami telah berjanji sehidup semati. Seperti kisah cinta pembesar Romawi, Antonio dan Ratu Cleopatra yang bersemi di pantai Alexandria, seperti itulah cinta kami bersemi di bawah guyuran salju bulan Desember.
......semua telah berlalu dan menjadi kenangan masa silam. ......
Tapi, kamazaki telah berja Hi, dia akan kembali ke taman ini tepat katika aku berulang tahun ke-14 pada bulan Desember.
Ternyata kamazaki tidak datang pada hari itu, aku sangat menyesalinya. Aku kecewa bukan main, dia mengingkari janji yang dibuatnya sendiri. Apakah dia tidak tahu dan tidak bisa merasakan, Kalau selama ini aku menyimpan beban rindu yang sangat menyiksa? Setiap malam tiba, rindu itu menyergapku dalam ruang penjara yang sangat tidak mengenakkan. Dada ini sesak dibuatnya, Gondok dalam tangis.
Tuhan, aku ingin menjerit sekeras-kerasnya di tanah lapang. Tuhan, kenapa kau anugerahkan rasa ini padaku sementara kau tidak memberikan penawarnya?
Tuhan, kenapa rindu ini begitu menyakitkan sementara banyak orang bilang rindu itu bumbu orang kasmaraan?
Desember telah berlalu. Desember yang kelabu.
Pada bulan yang kutunggu itu, kekasihku kamazaki tidak datang ke taman suji seperti yang di janjikannya padaku.
_________________________________
Bersambung~
Waktu bergulir, dan tiap malam aku menyebut nama kamazaki dalam derita rindu yang menghukum, menyergap, dan sungguh menyiksa.
"Ran, kau harus percaya kata-kataku. Kelak, setelah aku menjadi pemain sepak bola profesional, aku akan kembali ke Tokyo dan bermain di Liga Jepang. Saat itulah, kita akan kembali bersama. Kau jangan sedih, Ran. Aku tidak pergi ke mana-mana, aku-hanya ingin mewujudkan cita-citaku menjadi pemain sepak bola profesional. Percayalah padaku, Ran. Aku pasti kembali untukmu. Percayalah!"
kamazaki mengatakan hal itu sembari memegang pipiku dengan kedua telapak tangannya. Air mataku membanjir membasahi pipi, menjadi saksi betapa perpisahan itu sangat menyakitkan.
kamzaki mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku semakin sulit bernapas, dadaku seperti tersekat-sekat. Aku sungguh tidak ingin berpisah dengan kamazaki.
Tepat ketika kamazaki mengusap pipiku dengan ibu jari, kemudian ia mencecap ibu jarinya itu, kurasakan aliran darahku berdesir hebat, seperti air terjun. Aku tahu, aku percaya, dan aku sangat yakin kamazaki tulus mencintaiku. Aku sama sekali tidak ragu dengan kata cinta yang dibisikkan oleh kamazaki ke telingaku, aku percaya. selalu
Sekarang tanggal 14 Februari.
Aku sangat berharap kamzaki datang pada hari kasih sayang sedunia ini, hari valentine. Biarlah Desember kemarin menjadi bulan kelabu sepanjang hidupku, aku tidak akan mempersoalkannya lagi. Kuanggap
kamazaki setiap hari sibuk menjalani sesi latihan. Atau sibuk berkompetisi di liga level bawah Liga Inggris. Aku tidak ingin berprasangka buruk, mmenganggap kamazaki telah melupakanku misalnya. Aku ingin berpikir positif tentang dia, sebagaimana yang dia ajarkan kepadaku.
Sekarang tanggal 14 Februari. Di hari Valentine ini, kamazaki masih membiarkan aku menangis dalam kerinduan. Kenapa, Tuhan?
Dia pergi begitu saja, kamazaki menghilang sesuka hatinya. Semau-maunya. Dan sejak kepergiannya ke manchester, dia tidak pernah sekalipun memberi kabar padaku. Aku telah berusaha melacak keberadaan kamazaki ke mana-mana. Melalui sahabat, keluarga, para tetangga, sampai mmantan-mantan kamazaki sebelum dia menjadi pacarku. Aku bertanya kepada mereka tentang tempat tinggal kamazaki di manchester, aku bertanya tentang sekolah sepak bola yang dia ikuti, tentang sekolah formal kamazaki di sana, tentang kakak-kakak kamazaki, tentang adik-adiknya, juga tentang teman-teman kamzaki di sana. Namun semua percuma, tidak ada yang mengerti perasaan ini, termasuk juga kamazaki.
Aku yakin dirinya di sana tidak mengingatku lagi. Bagai air di daun talas, perasaanku pun terombang-ambing tak keruan. Sebentar aku merasa kamzaki bisa dipercaya, sebentar aku merasa kamazaki sengaja mengkhianatiku dengan perubahan sikapnya yang begitu drastis.
Kamazaki yang hingga kini tanpa sekata kabar pun, sempat membuatku frustrasi sampai aku membuat keputusan paling kontroversial dalam hidupku, yakni melupakan segala tentang kamazaki. Termasuk cinta dan janji-janjinya.
Yah, dibilang berat memanglah berat. Melupakan orang, Yang disayang dengan segala kenangan yang pernah terajut, tidaklah semudah melepehkan makanan dari dalam mulut. Melupakan seseorang seperti menelan makanan yang paling tidak disukai, asam pahitnya makanan sangat terasa di lidah.
Aku tidak bohong, meski sudah kucoba mmelupakan kamazaki berkali-kali, masih sulit rasanya melupakannya. Bayang-bayang kamazaki, janji di bawah hujan salju, serta sebuket bunga darinya, sekali lagi kubilang, telah mem buatku berpendirian seperti air di atas daun talas. Sebentar sebentar aku ingin melupakan kamazaki, sebentar kemudian aku ingin tetap kokoh untuk mempertahankan hubungan kami, apa pun yang terjadi.
Kadang aku sangat yakin, suatu saat kamazaki pasti akan kembali ke tokyo. Kurasakan cinta ini begitu kuat untuknya, bahkan semakin hari aku semakin mencintai kamazaki. Kuingat lagi semua tentang janji manis di masa-masa itu. Ketika kami bermain salju berdua, dan ia memberiku bunga. Ketika kami berangkat sekolah bersama. Ketika aku jatuh, kamazaki segera mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.
Kuingat-ingat saat kami mengunjungi Festival Salju Sapporo yang digelar setahun sekali di tokyo.
__________________________________
Bersambung~
Di Bawah Suhu tiga derajat kami bermain petak umpet di antara bangunan-bangunan es raksasa di Taman, kami berkejaran seperti layaknya orang dewasa yang berpacaran pada umumnya. Setelah kelelahan, kami duduk di balik bangunan es raksasa dan hidung kami saling bergesekan, orang-orang menamainya dengan eskimo kiss. Sementara itu, hujan salju terus berjatuhan seperti tidak ada habisnya. Kami berdua terbuai dalam euforia kasih masa kanak kanak..
Ah, konyol. Bukankah itu sekadar cinta anak es-de yang tidak perlu aku besar-besarkan? Tiga tahun sudah Keano menjadi kenangan masa lalu. Tiga ratus enam puluh lima hari dikalikan tiga. Ya, sudah selama itu juga aku menjaga kesetiaanku untuk Keano. Tanpa tahu apa yang terjadi dengannya, hingga kini aku masih setia menanti janjinya di bawah hujan salju.
Semua telah berlalu. Hanya menyisakan kenangan masa lalu.
Sekarang tanggal 14 Februari. Di hari Valentine ini, sebenarnya aku telah menyiapkan cokelat honmei untuk Keano, cokelat yang melambangkan cinta sejati. Seorang saudagar Belanda memberikan hadiah cokelat kepada Geisha di tahun 1797, saat itulah cokelat dan kasih sayang saling dikait-kaitkan. Atau dengan bahasa sehari-hari, selain dilambangkan dengan bunga, cinta juga dilambangkan dengan cokelat.
Dan pada bulan Februari begini, negeriku yang dikenal banyak orang sebagai negeri matahari terbit, memproduksi cokelat besar-besaran demi memenuhi permintaan konsumen. Akulah salah satu konsumen itu. Sedikit berbeda dengan negara-negara lain. Di negeriku, cokelat diberikan oleh wanita kepada pria, bukan sebaliknya, cokelat diberikan oleh pria kepada wanita.
"Nona, dompetmu jatuh," tegur seorang pria berwajah cool. la menunduk sebentar untuk mengambil dompet di dekat telapak kakiku, pria itu kemudian tersenyum seraya mengulurkan dompet Teddy Bear kepadaku.
Kontan, aku terpukau dan terlesap dari alam lamunan. Fokusku beralih.
Tegap badannya, putih kulitnya, hitam mengkilap rambutnya, t-shirt putih dibalut sweter abu-abu pakaiannya, bening tatap matanya, lembut dan santun suaranya. Ah, Keano? Kaukah ini, Keanoi?
"Terima kasih," ucapku lirih diakhiri mulut terpelongo. Bukan! Ternyata pria yang muncul di depanku ini bukanlah Keano, pria yang sangat kutunggu-tunggu
Aku menatap hampa ke arah sebatang cokelat yang akan kuhadiahkan kepada Keano. Sayangnya pria yang akan kuhadiahi cokelat Valentine itu tidak datang juga.
"Namaku Hajime," katanya seraya mengulurkan tangan.
"Ran," jawabku datar. Bibirku masih terpelongo. Hajime tersenyum tipis.
"Kim Ran!! ," sambungku, menyebutkan nama panjang
ku.
"Nama yang cantik. Secantik orangnya. Seperti bunga sakura di musim semi. Aku yakin kau menyukai bunga sakura di musim semi, bukan?" sahut Hajime
dengan rayuan klasik namun cukup membuatku tersipu. Bukankah di belahan bumi mana pun sama? Wanita lebih senang digombali, termasuk
aku.
Demi menjaga gengsi, aku tak menanggapi bualan dari Hajime itu. Aku diam dan memilin milin ujung pita yang melilit sebatang cokelat di tanganku.
"Boleh duduk?" pinta Hajime sambil menunjuk space kosong di sebelahku.
Setidaknya, bangku panjang yang berada persis di bawah pohon bunga sakura ini cukup untuk duduk empat sampai lima orang. Dulu, aku dan Keano biasa bermain salju di sini. Setiap aku ulang tahun, Keano membawaku ke tempat ini, kami makan kue mochi bikinan Keano. Kadang, ia juga membawakan ku sekotak sandwich, dan kami memakannya di tempat ini berdua saja.
"Boleh duduk?" Hajime mengulang kalimatnya.
"Oh, silakan..., silakan..., silakan!" kataku, menyunggingkan senyum gugup. Lagi, Hajime tersenyum tipis. Barangkali ia menganggapku gadis paling aneh, karena di hari Valentine ini bukannya aku berduaan sama pacar malah menyendiri di bawah pohon sakura.
_________________________________
Bersambung~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!