Seorang pria bernama Farzan Abrisam, pria blesteran Indonesia-Turki berumur tiga puluh dua tahun, tampak duduk di klub malam hanya untuk meringankan sedikit beban berat yang ditanggungnya. Ya, baru beberapa saat yang lalu bertengkar dengan istri yang dinikahinya sejak tujuh tahun yang lalu. Pertengkaran itu selalu terjadi hanya karena sang istri yang selalu curiga dan cemburu, bahkan menuduhnya dengan hal yang tak pernah dilakukan.
Pria itu memejamkan mata, kemudian tampak mengingat pertangkarannya dengan sang istri beberapa waktu lalu.
Farzan sudah terlihat berpakaian rapi, tampak ingin keluar rumah karena tahu Grisel—sang istri, sebentar lagi pulang. Farzan hanya ingin menghindari pertengkaran yang terus terjadi setiap bertemu dengan sang istri, sebab itulah memilih pergi saat Grisel pulang.
“Mau ke mana kamu?” tanya Grisel dengan sedikit nada ketus ketika melihat suaminya berpakaian rapi.
Grisel baru saja bertemu dengan mantan kekasih Farzan saat kuliah ketika akan membahas pekerjaan, hal itu membuatnya sangat kesal dan marah, belum lagi kini Farzan malah berpakaian rapi seolah ingin pergi bersenang-senang.
“Apa itu penting buatmu?” Farzan membalas tak kalah ketus.
Grisel yang sedang terbakar amarah karena pertemuannya dengan wanita yang selalu dituduh sebagai selingkuhan suaminya, kini semakin marah karena sikap Farzan.
“Aku ini istrimu, bagaimana bisa kamu berkata tidak penting, hah?” Grisel menarik lengan Farzan yang seolah sedang mengabaikan dirinya.
Farzan benar-benar tidak tahan dengan sikap Grizel, lantas menepis kasar tangan wanita yang sudah dinikahinya lebih dari tujuh tahun itu.
“Istri macam apa kamu? Mementingkan karier dan tidak pernah mau mendengar ucapan suami! Bahkan kamu menolak memberiku anak, dengan alasan takut tubuhmu rusak! Apa harta yang aku berikan kurang, sampai kamu bersikap seenakmu? Aku malu dengan keluargaku, mereka berpikir aku mandul, bukan kamu!” Farzan yang geram, bicara sambil menunjuk wajah Grisel.
Grisel yang memiliki sifat pemarah dan keras kepala, langsung menepis tangan Farzan yang menunjuk, sebelum akhirnya meledakkan amarah.
“Apa? Kamu mau bilang jika salah memilih pasangan! Wajar dong kalau aku memikirkan bentuk tubuhku karena aku ini seorang model! Bukankah sebelum menikah kamu sudah menerima semua yang aku ajukan, kenapa sekarang kembali mengungkitnya? Atau jangan-jangan kamu sebenarnya menyesal memilihku dan masih memikirkan si Joya itu!” Tanpa sadar Grisel menyebut nama Joya—mantan kekasih Farzan saat kuliah karena terlampau emosi.
Grisel adalah seorang model, selama ini menolak hamil hanya karena mementingkan karier, tapi anehnya setiap pertengkaran yang terjadi, Grisel selalu menyangkut-pautkan mantan kekasih Farzan ke dalam masalah mereka, sedangkan pria itu sendiri sudah tak pernah berkomunikasi dengan mantannya.
Farzan terperangah mendengar ucapan Grisel, tujuh tahun pernikahan mereka berjalan, tak sekali keduanya bertengkar dan berbaikan, tapi baru kali ini Grisel mengungkit nama Joya setelah sekian tahun berlalu.
“Siapa yang masih memikirkan? Atau sebenarnya kamu memang berharap aku masih memikirkannya, hah?” Farzan berkacak pinggang, hingga memalingkan wajah dengan senyum getir, bahkan membuang napas dengan kasar melalui mulut.
“Jika kamu memang berpikiran dan menuduhku seperti itu, akan aku jawab apa yang ada di pikiranku! Ya, aku menyesal memilihmu saat itu, aku menyesal meninggalkan Joya yang sangat baik. Jika bisa memutar waktu, aku akan memilih percaya dan memilih bersama Joya!”
Farzan pun sudah lelah menghadapi sikap Grisel, saat bertemu dengan keluarga besarnya, wanita itu selalu berpura lemah dan merasa tak berdaya, serta menyalahkan Farzan jika tidak bisa membuatnya hamil. Kini pria itu sudah terlampau geram, karena Grisel mengungkit masa lalu, serta masih bersikap keras tak tak menuruti ucapannya.
Grisel terkejut dengan mulut menganga mendengar ucapan Farzan, kini level amarahnya sudah mencapai puncak tertinggi dan siap meledak.
Pria itu keluar dari kamar meninggalkan Grisel, bahkan mengabaikan wanita itu yang berteriak seperti kesurupan hantu. Farzan tetap melangkah meski mendengar suara pecah karena mungkin Grisel membanting apa pun yang ada di kamar.
Pria itu membuka mata setelah mengingat kejadian tadi, menghela napas kasar seolah masalah yang sedang dihadapinya begitu berat. Terkadang Farzan juga merasa menyesal karena pernah menyakiti hati seorang gadis yang sangat baik. Namun, penyesalan itu tak ada gunanya sekarang, bahkan kata maaf saja tak sanggup Farzan keluarkan untuk sekedar bisa melegakan hatinya.
Farzan duduk di bar, menenggak minuman yang dipesannya, menatap gelas kaca yang berisi cairan berwarna cokelat muda, ditatapnya cairan yang selalu bisa sedikit membuatnya sedikit merasa lega.
“Sampai kapan dia baru akan sadar?” Farzan tersenyum sendiri, kesabarannya selama ini tetap tak bisa membuat istrinya sadar.
Farzan mengeluarkan lembaran uang, lantas meletakkan di meja untuk membayar minuman yang dipesan. Ia tak pernah minum berlebih, karena sadar jika hal itu tak baik untuk tubuhnya.
Saat akan keluar dari klub, Farzan tak sengaja bersenggolan dengan seorang wanita, mengakibatkan ponsel wanita itu jatuh.
“Maaf,” ucap Farzan, hendak mengambil ponsel wanita itu tapi kalah cepat.
“Tidak masalah.” Wanita itu tak menoleh Farzan, tapi langsung masuk klub dan mengabaikan Farzan di tengah pintu masuk.
Sejenak Farzan terdiam menatap punggung wanita yang berpakaian formal dengan rambut sepanjang bahu. Indera penciumannya merasakan bau yang begitu manis.
“Aroma tubuhnya begitu manis sekali.” Kedua sudut bibir Farzan tertarik ke atas, entah kenapa merasa suka dengan bau parfum wanita yang entah wajahnya seperti apa.
Seorang wanita tampak turun dari mobil, berjalan ke arah klub tempat mobilnya terparkir. Wanita menggunakan rok span dan kemeja yang dipadukan blazer itu berjalan sambil fokus ke ponsel yang di tangan.
“Malam Bu Sandra,” sapa satpam klub yang sedang melintas dan melihat wanita itu.
Wanita berumur hampir empat puluh tahunan itu bernama Sandra Kamalia, lantas berhenti melangkah dan memandang satpam yang menyapa.
“Malam, Pak.” Wanita itu membalas dengan ramah.
“Mau ketemu Pak Malik?” tanya satpam yang seolah tahu kebiasaan wanita itu datang ke sana.
“Iya, tadi sudah buat janji dengan beliau,” jawab Sandra.
Satpam itu mengangguk, lantas pamit ke posnya. Sandra sendiri kembali melanjutkan langkah sambil memandang ponsel karena sedang berbalas pesan, bahkan masuk klub tanpa memperhatikan jalan. Hingga tiba-tiba lengannya tersenggol pengunjung klub, membuat ponsel yang dipegang jatuh ke lantai.
Sandra mendengar suara pria meminta maaf, tapi mengabaikan dan memilih mengambil ponselnya terlebih dahulu.
“Tidak masalah.” Sandra kembali melangkah masuk karena dirinya sedang terburu-buru, mengabaikan pria yang menabrak dan tadi berniat mengambilkan benda pipih miliknya.
Sandra menghentikan langkah, kemudian menoleh pria yang meminta maaf, merasa tak sopan karena langsung pergi. Namun, saat menoleh pria yang menabraknya sudah keluar dari klub. Sandra pun mengedikkan kedua pundak, kemudian segera masuk lift.
**
Setelah pertengkaran dengan Farzan hingga membuat pria itu pergi. Grisel duduk di kamar dengan gelas berisi minuman keras di tangan. Wanita itu akan menghilangkan rasa kesal dengan cara minum sampai puas. Grisel sudah menenggak beberapa gelas minuman keras, bahkan kini wajahnya terlihat begitu merah.
“Kenapa? Kenapa dia harus bersikap seperti itu? Memangnya apa salahku? Apa salah jika aku tak mau hamil? Apa anak adalah segalanya baginya?” Grisel meracau hingga kemudian kembali menenggak isi di gelas yang dipegang.
Selama ini Grisel dan Farzan memiliki tujuan hidup yang berbeda. Farzan ingin memiliki keluarga kecil dengan langkah kecil yang akan menemani kebahagiaan mereka, tapi sayangnya Grisel malah memilih karier, hingga membuatnya mengabaikan sang suami serta memilih tak melahirkan karena takut akan mengganggu profesinya.
“Anak selalu dijadikan alasan, padahal aku tahu kalau dia pasti masih memikirkan wanita sialan itu! Kenapa wanita itu kembali? Kenapa dia tidak hidup dan mati saja di Paris!” Grisel menyalahkan kepulangan mantan kekasih Farzan ke Indonesia.
Grisel semakin menggila saat mabuk, bahkan kini gelas yang dipegang dibanting ke lantai hingga pecah berserakan.
“Sialan!” Grisel seperti orang gila, mengacak-acak rambut bahkan menghentakkan kaki berulang kali ke lantai.
Grisel bangun dari duduk, berjalan gontai menuju ranjang. Kakinya menabrak ranjang, membuatnya terjatuh ke kasur begitu saja.
“Kenapa? Kenapa kamu berubah? Kenapa kamu tidak bisa mencintai dan menerimaku apa adanya seperti dulu? Kenapa Farzan, kenapa?”
Grisel terus meracau, kelopak matanya mulai terpejam perlahan. Efek alkohol mulai menguasai diri, tubuhnya terasa lemas, meski emosi dalam dada rasanya masih kurang untuk diluapkan. Grisel tak pernah menyadari kesalahan, baginya ego adalah penting dan dia ingin semua tunduk kepadanya tak terkecuali.
**
Farzan kembali ke apartemen, enggan pulang karena tahu betul jika hanya akan ada pertengkaran yang terjadi saat bertemu istrinya. Pria itu melepas jaket dan meletakkan di sandaran sofa, sebelum kemudian melempar tubuh ke ranjang karena lelah yang merajai pikiran.
Pria itu memandang langit-langit kamar, tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan agar istrinya bisa mengerti. Rumah tangga mereka bukan hanya sebuah kebersamaan, tapi juga saling mengerti satu sama lain. Selama ini mereka hanya bersama tanpa bisa membangun arti rumah tangga itu sendiri, kesabaran Farzan sendiri tak mampu membuka mata hati Grisel jika masih ada yang lebih penting sekadar dari sebuah karier.
“Sampai kapan kita akan seperti ini? Jangan sampai membuatku mengambil keputusan yang sulit, Gris.”
Farzan sedikit mabuk, kemudian memilih memejamkan mata untuk mengistirahatkan raga. Beberapa tahun hidupnya tak tenang karena pertengkaran, sepertinya rumah tangganya dengan Grisel memang tak senormal hubungan pasangan lain.
Sandra—wanita yang bersenggolan dengan Farzan di klub malam, seorang janda anak satu berumur sepuluh tahun. Putrinya bernama Chila dan memiliki kelainan pendengaran. Namun, berkat terapi serta dibantu alat pendengaran, putrinya itu mampu berkomunikasi dengan orang lain meski sedikit bicara.
“Chila, kalau tidak cepat bersiap nanti kamu terlambat,” kata Sandra saat melihat putrinya belum juga selesai mempersiapkan tas sekolah.
Sandra mendekat, kemudian membantu Chila memasukkan buku ke tas.
“Kenapa wajahmu tertekuk seperti itu? Apa ada masalah?” tanya Sandra saat melihat putrinya tak bersemangat.
Chila menggelengkan kepala, menunduk sambil fokus ke buku-bukunya.
“Hei, kenapa? Kamu tidak mau cerita ke Mama?” tanya Sandra lagi sambil memegang kedua lengan Chila.
Chila adalah satu-satunya harta berharga yang dimiliki. Suaminya meninggal saat dirinya baru saja melahirkan karena sebuah kecelakaan, sebab itu Sandra sangat menyayangi dan memastikan putrinya tak pernah kekurangan kasih sayang.
“Papa Gilang tidak pernah menemui Chila,” lirih gadis kecil itu.
Sandra terkejut mendengar ucapan Chila, kemudian tersenyum sambil mengusap lembut pipi putrinya itu.
“Papa Gilang sibuk, jadi dia belum bisa menemui Chila,” kata Sandra dengan senyum hangat di wajah.
“Mama juga sibuk,” lirih gadis kecil itu lagi.
Sandra terkejut mendengar ucapan Chila, memang benar beberapa hari ini dirinya sibuk hingga sering pulang malam.
“Maafin Mama, bukan maksud Mama tidak memperhatikan Chila karena sibuk bekerja. Nanti kalau Mama sudah selesai dengan semua pekerjaan, Mama akan turuti semua keinginan Chila. Bagaimana?” Sandra mencoba membujuk agar sang putri tidak bersedih.
Selama ini Chila memang tak pernah tahu seperti apa sosok ayah, tapi kehadiran pria bernama Gilang yang selalu menjaganya dan sang mama, membuat gadis kecil itu merasa memiliki sosok ayah. Namun, karena kesibukan Gilang, membuat Chila kembali kehilangan sosok ayah.
“Janji,” lirih Chila sambil memandang Sandra.
“Janji sayang, apa yang tidak buat kamu, hm?” Sandra mengusap pucuk kepala dengan lembut.
Chila mengangguk-angguk senang, kemudian segera memasukkan buku ke tas.
Sandra memandang sang putri, tidak menikah lagi selama bertahun-tahun lamanya dianggap sebagai sebuah keputusan yang tepat untuk Sandra. Dia hanya tak ingin jika Chila memiliki ayah tiri, atau memiliki ayah yang buruk jika dirinya salah memilih. Namun, satu hal yang tak diketahui Sandra, Chila sebenarnya mendamba sosok ayah dalam hidupnya.
**
Sore itu, Farzan baru saja selesai bekerja. Berjalan keluar dari lift menuju mobil yang terparkir di basemen. Hingga ponsel Farzan berdering, lantas merogoh saku jas dan mengeluarkan ponselnya.
"Ck ...." Farzan mencebik melihat nama yang terpampang di sana.
Grisel menghubunginya, membuat Farzan malas menjawab karena tahu akan berakhir seperti apa saat dirinya meladeni percakapan Grisel.
Namun, Farzan juga tidak bisa mengabaikan, karena Grisel tak ada hentinya menghubungi meski dirinya tak menjawab.
"Ada apa?" tanya Farzan setelah menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
"Kamu di mana, hah? Apa kamu benar-benar akan mendiamkan 'ku?" Suara Grisel meledak-ledak dari seberang panggilan. Dia kesal karena Farzan tidak pulang ke rumah berhari-hari.
Farzan sampai menjauhkan ponsel dari telinga, suara wanita itu begitu menyakitkan di indera pendengarannya.
"Katakan apa maumu? Aku malas berdebat denganmu!" Farzan sudah tidak bisa bersabar dengan wanita itu.
"Besok ada acara makan malam bersama keluargamu! Apa kamu akan datang sendiri tanpaku? Apa kata mereka, hah?" Suara Grisel masih saja terdengar memekakkan telinga.
Farzan terdiam sejenak, kemudian mendengkus kasar karena lelah.
"Aku akan pulang, tapi berhenti mengajakku berdebat!" Farzan mengakhiri panggilan dengan cepat.
**
Farzan benar-benar kembali ke rumah. Dia sebenarnya sangat malas, tapi setelah ingat jika akan ada pertemuan keluarga besarnya yang memang biasa diadakan sebulan sekali, membuat Farzan terpaksa pulang ke rumah yang ditinggalinya bersama Grisel. Dia tak ingin keluarganya tahu jika antara dirinya dan Grisel sering bertengkar, karena orangtua Farzan menaruh harapan besar padanya, apalagi Farzan adalah putra satu-satunya di keluarga itu.
"Anda pulang, Tuan. Apa mau saya siapkan makan malam?" tanya pembantu rumah begitu melihat Farzan datang, menyambut ramah pada pria yang baginya sangat baik itu.
Farzan mengulas senyum, hal yang membuatnya sedikit mau pulang adalah masih ada sambutan hangat dari wanita paruh baya yang setia mengurus rumahnya.
"Aku sudah makan malam," jawab Farzan. "Tapi, bisakah aku minta siapkan kamar tamu untuk beristirahat?" tanya Farzan kemudian.
"Oh tentu, akan saya siapkan." Wanita paruh baya itu bergegas pergi ke kamar yang diinginkan Farzan. Wanita itu tidak bertanya, karena paham betul dengan kondisi hubungan antara Farzan dan Grisel.
Farzan tersenyum kecil karena pembantu rumahnya itu selalu bekerja dengan baik, lantas menatap ke lantai atas, menghela napas berat dengan raut wajah terlihat begitu malas.
Pria itu benar-benar enggan bertemu Grisel, bukannya tak ingin karena sudah tak mencintai atau menginginkan, hanya saja malas kalau diajak bertengkar oleh wanita itu. Namun, Farzan sendiri masih mencoba bertahan, pernikahan yang dipilihnya maka dia pula yang harus menghadapi segala konsekuensi yang ada.
Farzan menaiki anak tangga, dalam hati berdoa agar Grisel tak membahas masalah dirinya berubah atau yang lainnya, yang bisa memicu pertengkaran keduanya. Dia hanya ingin tinggal dengan tenang, setidaknya tak bertengkar setiap hari.
"Aku pikir kamu tidak mau pulang!" Suara Grisel begitu lantang saat Farzan baru saja menginjakkan kaki di kamar.
Farzan melirik Grisel yang sedang duduk di meja rias membersihkan wajah, lantas memilih tak membalas ucapan Grisel dan langsung masuk ke ruang ganti untuk mengambil pakaian tidur.
Grisel membanting kapas yang sedang dipegang ke meja, lantas memutar badan dengan cepat karena Farzan mengabaikannya. Kesal karena Farzan tak semanis dulu, kemudian berdiri dan menyusul Farzan ke ruang ganti.
"Apa kamu mengabaikan 'ku lagi?" Grisel kembali terbakar amarah, wanita itu memang memiliki temperamen buruk.
"Aku tidak mengabaikan, hanya tak ingin berdebat," ucap Farzan dengan suara pelan. Ia membuka pintu lemari pakaian dan mengambil setelan piyama.
"Kamu mendiamkan 'ku Farzan Abrisam! Bukankah itu bukti jika kamu mengabaikan!" teriak Grisel kesal.
Farzan menghela napas berat, lantas menoleh dan memandang Grisel yang sudah tampak diliputi amarah.
"Aku diam karena tak ingin berdebat, apa tidak bisa tenang meski hanya beberapa menit?" tanya Farzan menatap Grisel sedikit lembut, agar amarah wanita itu mereda.
Grisel terdiam melihat tatapan Farzan, tatapan yang lama tak ditujukan padanya.
Farzan memilih keluar dari kamar itu setelah Grisel tak lagi berteriak atau marah. Meninggalkan istrinya yang masih termangu di ruang ganti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!