"Apa? Iya, ya. Bunga akan segera pulang," ucap Bunga dengan wajah tegang.
Ia mendapat telepon dari sang ibu di kampung. Ayahnya sedang sakit dan saat ini mengalami kritis di rumah sakit. Bunga tinggal jauh dari kedua orang tuanya karena ia memiliki usaha kecil-kecilan di kota.
"Ani! Ani!"
"Ya, Kak!" Gadis berusia delapan belas tahun itu berlari keluar dari ruangan produksi. "Ada apa, Kak?"
"Saya harus pulang sekarang. Tolong kamu awasi proses produksi selama saya pulang," ucap Bunga sambil meraih tas dan kunci mobil di atas meja kerjanya.
"Pulang kampung? Kenapa tiba-tiba, Kak?" tanya gadis itu.
"Ayah sakit dan katanya sedang kritis," jawab wanita itu. Ia membuka pintu mobil putih, lalu duduk di belakang kemudi.
"Oh. Semoga ayahnya baik-baik saja, ya, Kak. Hati-hati di jalan!" seru gadis berwajah bulat dengan poni lurus menutupi keningnya yang lebar.
Bunga melaju di jalanan padat dengan gelisah. Ia sudah lama mendengar ayahnya sakit, tapi belum sempat pulang sampai hari ini. Jika bukan karena desakan sang ibu, ia mungkin tidak akan pulang meski ingin sekali.
Ia bukan ingin menjadi anak yang tidak berbakti, tapi ia malas berdebat dengan ayahnya yang terus menerus mendesaknya untuk menikah. Bunga sibuk bekerja sejak lulus SMK, hingga tidak ada waktu baginya untuk menjalin hubungan. Pernah sekali menjalin hubungan dengan tetangga kampung, tapi akhirnya ditinggal menikah dengan orang lain.
Sejak itu, Bunga tidak ingin lagi berpacaran. Baginya, bekerja dan mensejahterakan kedua orang tuanya adalah hal yang terpenting. Ia bekerja di sebuah toko yang menjual aneka frozen food sejak lulus SMK.
Sedikit demi sedikit sisa upah bulanan itu ditabung olehnya. Dalam waktu lima tahun ia berhasil mengumpulkan modal untuk membuka usaha kecil-kecilan. Ia sempat mengalami kendala karena kekurangan modal dan akhirnya memberanikan diri meminjam uang ke sebuah bank swasta. Bunga membuka usaha pengolahan aneka makanan frozen food.
Ia berhasil menjadi owner 'Bunga Frozen' dengan beberapa karyawan yang rata-rata anak putus sekolah. Bunga ingin mereka mendapatkan pekerjaan meskipun tidak lulus sekolah. Di kota besar seperti Jakarta, jangankan yang putus sekolah, lulusan sarjana saja banyak yang menjadi pengangguran.
Ponsel Bunga bergetar di atas dashboard. Ia menepi untuk menerima panggilan itu. Ibunya kembali bertanya apakah wanita itu akan pulang atau tidak. Bunga menjawab panggilan telepon sejenak.
"Bunga akan pulang, Bu. Bunga masih di jalan."
[Kamu langsung ke rumah saja. Ayahmu akan dipulangkan hari ini.]
"Loh? Kenapa dibawa pulang? Katanya kritis?"
[Dokter bilang, percuma saja dirawat di sana lama-lama juga tidak akan ada perubahan. Mereka malah meminta agar kita bersiap-siap menghadapi kenyataan.]
"Mereka mana boleh seperti itu. Rumah sakit mana, Bu? Biar Bunga melaporkan mereka ke dinas kesehatan. Itu bukan perilaku seorang dokter saat menangani pasien. Apalagi pasien kritis disuruh pulang, itu sungguh keterlaluan."
Bunga sangat geram mendengar ayahnya dipulangkan. Padahal, mereka mampu membayar. Alasan yang tidak masuk akal itu membuat Bunga berpikir untuk melaporkan perilaku petugas rumah sakit itu. Namun, sang ibu melarang.
Nada bicara sang ibu terdengar gugup, seolah ada sesuatu yang disembunyikan. Bunga tidak menganggap hal itu aneh, karena ibunya hanya orang kampung yang takut berurusan dengan pemerintah. Namun, meski Bunga mendesak ibunya untuk memberitahu nama rumah sakit, sang ibu tetap saja menolak.
"Ya sudah. Nanti Bunga bawa ayah ke rumah sakit yang lain ketika Bunga sampai di sana. Jika tidak terjebak macet, Bunga akan tiba dalam dua jam."
[Ya sudah. Jangan ngebut-ngebut, Nak. Hati-hati di jalan.]
"Ya, Bu."
Sambungan terputus. Bunga kembali memacu mobilnya di jalan raya. Ibunya meminta untuk berhati-hati dan tidak mengebut di jalanan. Namun, seorang anak yang sedang khawatir mendengar orang tuanya sakit, mana mungkin bisa tenang.
Ciitt! Bruk!
"Ah!" teriak Bunga.
Mobil Bunga menabrak sebuah mobil lain di depannya. Beruntung keadaan jalanan sedang ramai lancar, sehingga benturan tidak terlalu keras karena mobil tidak melaju dengan cepat. Sayangnya, karena panik, Bunga salah menginjak rem dan justru menginjak gas.
Kedua mobil itu pun menepi. Pemilik mobil hitam yang ada di depan itu keluar dan menghampiri Bunga. Gadis itu mengalami memar di bagian kening akibat membentur gagang kemudi.
Tok! Tok! Tok!
"Keluar!" teriak pengemudi yang mobilnya ditabrak oleh Bunga.
Bunga tampak gemetar ketakutan. Jika laki-laki itu menganiayanya, ia tidak akan bisa melawan. Dari dalam mobil saja, Bunga bisa melihat otot perut yang tersembunyi dibalik kaos hitam ketat.
"Keluar, woi! Kalau tidak keluar, gua laporin ke polisi!" Laki-laki itu mengancam sambil merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan ponsel dan bersiap menekan nomor telepon kantor polisi.
Sret!
Bunga menurunkan kaca mobilnya. Laki-laki itu terpana melihat wajah wanita dewasa yang manis dan sedang gemetar ketakutan. Rambut sebahu itu menutupi sebagian wajahnya.
"Tolong, jangan laporkan ke polisi. Saya akan mengganti rugi," ucap Bunga dengan suara bergetar.
"Em … itu …. Ck! Keluar saja dulu!" Laki-laki itu memasukkan ponselnya kembali.
Bunga keluar dari mobil. Belum sempat mulutnya berbicara untuk meminta maaf, sebuah tamparan melayang. Tangan itu menampar keras pipi natural milik Bunga. Ia tidak sempat berdandan karena ibunya menelepon tiba-tiba.
Plak!
"Aw!"
"Itu baru benar. Seharusnya kamu tidak hanya ditampar, tapi juga dilaporkan ke polisi. Kamu beruntung, karena pacarku ini orangnya tidak tegaan," ujar gadis berperawakan tinggi, kurus, dengan rambut terurai panjang sebatas pinggang.
"Kamu ngapain keluar, sih?" tanya Artha, laki-laki yang sejak tadi terpesona melihat wajah manis Bunga.
"Habisnya, kamu lama banget. Aku kesel juga lihatnya. Tuh! Bemper belakang mobil kamu jadi penyok dan dia cuma minta maaf."
"Tapi, kan, semua bisa dibicarakan baik-baik."
"Maaf, aku mengurungkan niatku untuk mengganti rugi," ujar Bunga sambil memegangi pipinya yang masih terasa berdenyut. Gambar lima jemari tangan itu membekas sempurna di pipi Bunga yang alami tanpa bedak.
"Apa?! Kamu lihat, Sayang? Dia malah tidak mau mengganti rugi," ucap Elena Fransisca.
"Saya meminta maaf baik-baik dan secara tulus ingin mengganti rugi. Tapi, tamparan kekasih Anda telah mengubah niat saya. Kalau memang ingin melapor ke pihak kepolisian, silakan! Saya akan menuntut balik atas tindakan penyerangan yang dilakukan olehnya," ucap Bunga sambil melirik Elena dengan senyum sinis.
Elena segera mundur dan bersembunyi di belakang Artha. Sifat arogan yang tadi ditunjukkan di depan Bunga itu seketika menciut. Ia gemetaran mendengar Bunga akan melaporkannya atas tamparan itu.
Gadis itu sangat menjaga nama baiknya di depan publik. Jika ia masuk berita saat dilaporkan ke polisi, ia takut para pengikut sosial medianya akan menurun. Sementara itu, Artha sedang mencoba menelepon polisi.
"Jangan!" Elena merebut ponsel Artha. "Jangan lapor polisi," ucapnya kembali.
"Kenapa?" Artha tidak habis pikir. Kekasihnya bersikeras ingin melaporkan Bunga beberapa saat yang lalu, tapi tiba-tiba saja berubah pikiran. Elena menarik kekasihnya pergi dari hadapan Bunga.
"Tch! Tampang sangar, diancam sedikit sudah kabur," ucap Bunga sambil mendecih kesal. Ia kembali melanjutkan perjalanan. Bemper mobil bagian depan sedikit penyok, tapi mesin mobil tidak bermasalah. "Ke bengkelnya nanti saja. Pulang saja dulu."
*BERSAMBUNG*
Wanita tadi sangat cantik dan manis padahal tidak memakai make-up sama sekali. Di zaman sekarang, jarang melihat wanita keluar rumah tanpa make-up.
Artha melamun membayangkan wajah Bunga. Jika urusan kecelakaan diperpanjang, ia memiliki banyak kesempatan untuk bertemu lagi dengan wanita itu. Namun, mereka sama-sama menganggap kecelakaan itu tidak pernah terjadi, sehingga Artha tidak bisa bertemu dengannya lagi.
"Sayang! Kamu kenapa, sih? Aku dicuekin dari tadi, loh. Kamu sudah lupa kalau aku ini pacarmu? Aku bukan patung," ucap Elena yang merajuk.
"Hah? Kamu mau shopping lagi?" Artha tidak mendengarkan ucapan kekasihnya.
Mulut Elena menganga lebar. Pertanyaan kemana, dijawab kemana. Merasa sedang diabaikan, Elena pun beranjak pergi dari cafe.
"Eh, Elena! Tunggu!" Artha segera membayar tagihan dan berlari mengejar gadis itu.
Gadis dengan rambut coklat bergelombang itu menghentikan sebuah taksi. Ia pulang tanpa menunggu Artha. Selama ini, mereka selalu saling memandang satu sama lain saat mereka pergi berkencan. Namun, hari ini Elena tidak hanya diabaikan, tapi laki-laki itu seperti sedang memikirkan gadis lain.
"Yah … dia ngambek. Bodo, ah," gerutu Artha. Ia menghela napas berat. "Bisa-bisanya, aku memikirkan wanita lain di depan Elena. Jelas saja dia marah."
Artha memilih pulang ke tempat sepupunya. Ia terlalu malas pulang ke rumahnya, karena pasti dia diceramahi lagi oleh ayahnya. Hendry Suryatama, sang ayah sangat berharap laki-laki itu bisa menggantikannya di perusahaan. Namun, Artha justru berhenti kuliah di semester kedua.
Tidak hanya tidak lulus kuliah, Artha juga lebih suka menghambur-hamburkan uang bersama teman-temannya. Apalagi jika sang kekasih, Elena Fransisca, meminta sesuatu, Artha akan memberikan semua uang sakunya tanpa tersisa. Definisi anak tidak berguna, selalu kata-kata itu yang keluar dari mulut sang ayah.
Tok! Tok! Tok!
Seorang gadis membuka pintu dengan malas. Jika ada suara bel pintu di atas jam makan malam, ia sudah bisa menebak siapa tamu yang datang berkunjung. Ia memiringkan kepalanya dan menatap dengan wajah merengut.
"Kenapa lagi? Bertengkar lagi dengan paman?"
"Bukan dengan ayahku, tapi Elena," jawab Artha sambil merangsek masuk melewati gadis itu.
Wajah Tania seketika berbinar. Ia menutup pintu dengan tergesa-gesa, lalu mengejar kakak sepupunya. Mendengar Artha dan Elena bertengkar, gadis itu justru terlihat bahagia.
"Seriusan? Kok, bisa?"
"Kamu bahagia sekali mendengar aku bertengkar. Tidak kasihan, gitu?"
"Tidak. Aku tidak menyukai gadis itu. Untuk apa harus merasa kasihan? Aku dan paman Hendry tidak menyukainya. Jadi, tidak ada belas kasihan untuknya," jawab Tania tanpa ragu.
"Kau ini~"
"Sudahlah. Aku ngantuk. Kalau mau makan, ada makanan di kulkas. Hangatkan saja. Jangan berisik atau akan kuusir!"
"Ya. Kejam amat," gerutu Artha sambil melemparkan jaketnya ke sofa.
Ia sangat suka tinggal di rumah Tania. Di samping rumah, Tania membuka toko kue. Gadis itu sudah kehilangan ayah dan ibunya. Tania sudah belajar hidup mandiri sejak masih sekolah menengah. Ia memilih membuka usaha toko kue dibanding melanjutkan kuliah.
"Tan! Aku mau melamar kerja di tokomu, dong. Biar bisa tinggal di sini," ujar Artha.
"Tidak ada lowongan!" Tania menjawab dari dalam kamar.
"Pelit!"
"Berisik! Aku harus bangun pagi-pagi karena besok ada pesanan. Kalau masih mengajakku bicara, aku akan sungguh-sungguh mengusirmu!"
Ancaman itu berhasil membuat Artha terdiam seketika. Jika ia diusir malam ini, hanya rumah ayahnya yang bisa dituju. Ia akan mendengarkan ocehan panjang lebar dari ayahnya jika pulang dini hari.
Ngomong-ngomong, tadi aku tidak makan apapun di cafe. Hah ... gara-gara kepikiran wanita yang menabrak mobilku, rasa laparku hilang. Sekarang, perutku jadi keroncongan.
Laki-laki itu bangkit dari sofa. Ia melangkahkan kaki ke dapur. Sesuai arahan Tania, ia membuka lemari pendingin. Artha terlalu malas untuk menghangatkan makanan itu dan memilih memakannya dalam keadaan dingin.
Ceklek!
Tania keluar dari kamar dan berlari ke dapur. Ia sangat mengenal sifat laki-laki itu. Benar saja dugaannya, Artha memakan makanan itu dalam keadaan dingin.
"Pemalas! Sini!" Tania mengambil makanan yang masih utuh dan menghangatkannya di atas kompor beberapa menit.
"Aku tahu ... kamu pasti tidak tega melihatku makan makanan dingin. Sama kaya sikap kamu yang dingin, nanti bisa bikin aku sakit perut," ujar Artha, menggoda gadis itu.
"Aku tidak peduli, tuh. Mau kamu sakit atau apa pun, aku tidak peduli. Masalahnya, kalau kamu mati di sini terus aku dituduh meracunimu," jawabnya dengan ketus.
"Hahaha ...."
Hati gadis itu tidak sejahat kata-kata yang dilontarkannya. Memang mulutnya pedas, tapi hatinya super baik. Artha sudah terbiasa mendengar kebohongan-kebohongan Tania yang mengatakan tidak peduli padanya padahal gadis itu jelas-jelas sangat peduli.
"Nih! Piringnya cuci sendiri," kata Tania. Ia mengambil segelas air mineral lalu meminumnya sampai habis dalam sekali tenggak.
"Terima kasih," ucap Artha.
Terkadang, ia merasa gadis itu seperti seorang ibu yang memperhatikan anaknya. Ya, Tania terlihat lebih dewasa dibanding Artha. Usia mereka hanya terpaut satu tahun, tapi cara mereka menyikapi sesuatu jelas berbeda sekali.
"Tidak tidur? Aku bisa makan sendiri tanpa ditemani, kok," kata Artha.
"Bagaimana aku bisa tidur saat kau datang kemari dengan perut kelaparan? Benar-benar, deh," gerutu Tania.
"Hehe …."
Artha hanya memamerkan senyum kuda. Ia lebih tua satu tahun dari Tania, tapi diperlakukan seperti anak kecil oleh gadis itu. Namun, ia tidak tersinggung sama sekali. Justru sebaliknya, Artha semakin menyayangi Tania.
***
Bunga berbaring di kamarnya dengan gelisah. Teringat kembali dengan percakapannya dengan sang ayah beberapa saat yang lalu. Amirudin, sang ayah meminta Bunga untuk menerima perjodohan.
(Usiamu sudah berapa, Nak? Ayah sudah sakit parah. Keinginan ayah cuma satu, ingin melihatmu menikah sebelum ayah mati.)
"Hah …." Bunga menghela napas berat.
Dua bulan lagi, ia akan genap berusia tiga puluh satu tahun. Wajar saja jika kedua orang tuanya sangat mengkhawatirkan kehidupan percintaannya. Sejak ditinggal menikah oleh kekasihnya, Bunga tidak terlihat tertarik pada laki-laki.
"Apa salahnya tidak menikah. Di luar negeri sana, banyak yang memutuskan untuk menjadi lajang selama sisa hidupnya. Aku masih belum ingin menikah," gumamnya sambil menatap kaca jendela kamar yang sengaja tidak ditutupi tirai.
Bulan malam ini sangat indah, tapi hati gadis yang sedang menatap bulan itu justru sedang muram. Sekalipun Bunga bisa menolak perjodohan kali ini, bisa dipastikan akan ada perjodohan lainnya. Bunga sudah lelah menolak keinginan kedua orang tuanya.
"Atau … aku terima saja perjodohan ini. Bertunangan saja dulu, jadi ayah dan ibu tidak akan mendesakku untuk mencari pendamping lagi. Nanti, aku akan memikirkan cara agar laki-laki itu jenuh padaku dan menikah dengan gadis lain."
Bunga pun memutuskan untuk menerima perjodohan dengan anak sahabat ayahnya. Tanpa tahu rupa dan nama, ia akan menerima perjodohan itu. Berbagai rencana untuk membuat laki-laki itu bosan pun mulai disusun di dalam benaknya.
*BERSAMBUNG*
Suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi suara khas di pagi hari. Sepiring nasi goreng sederhana telah memenuhi perut Bunga yang tidak pernah makan banyak. Itu sebabnya, tubuhnya tidak bisa gemuk seperti teman-temannya.
Namun, tubuhnya tidak bisa dikatakan kurus juga karena bentuk tubuhnya sangat menarik di mata laki-laki. Bokong besar dengan buah pepaya yang sangat pas dalam genggaman tangan besar laki-laki seperti Artha. Semua kelebihan itu membuat Bunga memiliki pesonanya sendiri.
"Kenapa tidak dihabiskan?" tanya sang ayah.
"Ayah seperti tidak tahu saja. Bunga mana pernah menghabiskan makanannya." Sang ibu membantu Bunga menjawab.
"Dan, kamu selalu mengisi penuh piring Bunga. Sudah tahu anaknya kalau makan sedikit," balas laki-laki itu. Sesekali, ia terbatuk saat bicara.
Dari wajahnya, Bunga tahu sang ayah tidak berpura-pura sakit. Wajah pucat dengan kulit bibir sedikit mengelupas berwarna putih, semua itu sudah menjelaskan seperti apa kondisinya. Bunga sudah melihat hasil pemeriksaan medis milik ayahnya.
"Ngomong-ngomong … apa kamu sudah memikirkan apa yang ayah tanyakan kemarin?"
"Hem ... Bunga sudah memikirkannya. Bunga belum siap untuk menikah, Yah," jawab Bunga dengan lembut.
"Sampai kapan, ayah harus menunggu kamu siap untuk menikah? Ayah sudah sakit-sakitan. Apa kamu tidak kasihan sama ayah?"
"Bunga belum siap untuk menikah, tapi Bunga akan menerima perjodohan ini. Tolong, berikan Bunga waktu untuk mengenal calon suami Bunga terlebih dulu."
Ayah dan ibunya saling melempar pandangan. Mereka tidak mengerti maksud ucapan putri mereka. Sampai akhirnya Bunga menjelaskan secara rinci tentang keinginannya.
"Ayah dan Ibu, bisa, kan, menunggu selama setahun? Bunga ingin bertunangan dulu dengan calon suami yang dipilih oleh, Ayah. Selama setahun, Bunga akan berusaha menumbuhkan perasaan padanya.
"Bunga ingin mengenalnya lebih dekat sebelum menikah. Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan, Yah. Bunga ingin seperti Ayah dan Ibu, rumah tangga sampai menua bersama."
Amir dan Hartini mengangguk setuju. Mereka mengerti, Bunga pernah mengalami kekecewaan. Wajar, jika gadis itu menjadi lebih berhati-hati terhadap laki-laki. Apalagi, dia belum pernah melihat calon pilihan Amirudin.
"Baiklah. Ayah mengerti. Untuk menghindari kemungkinan kamu melarikan diri, ayah akan langsung mengadakan pertunangan. Apa kamu setuju? Ayah akan setuju, kalau kamu setuju dengan syarat yang ayah ajukan."
"Oke. Bunga setuju. Ayah persiapkan saja pesta pertunangannya. Bunga akan kembali ke kota dulu untuk mempersiapkan diri juga."
"Kenapa kembali?"
"Bu, Bunga punya karyawan yang harus Bunga urus. Satu hari saja. Biarkan Bunga mengatur seseorang untuk menggantikan tugas Bunga terlebih dulu."
Amirudin memberikan izin. Bunga pergi setelah sarapan. Ia menempuh perjalanan tiga jam menuju kota. Tiba di rumah, Ani berlari menyambutnya dengan senyum sumringah.
Gadis itu sudah seperti adik bagi Bunga yang seorang anak tunggal. Rasanya sangat menyenangkan memiliki seorang adik angkat yang bisa bermanja-manja padanya. Namun, ia tidak bisa tersenyum sekarang.
"Kak Bunga … marah, ya?"
"Kenapa kakak harus marah? Kita bicara di kamar kakak, ya," ujar Bunga sambil menutup pintu mobil.
Bunga menceritakan semuanya kepada Ani. Ia juga berpesan agar Ani menggantikan tugasnya selama ia berada di kampung. Ani merengek ingin melihat kakak angkatnya bertunangan, tapi Bunga tidak bisa memercayai orang lain untuk mengawasi produksi frozen food miliknya.
"Kalau begitu, Kakak harus merekamnya. Aku, kan, ingin melihat pertunangan, Kak Bunga," ujar gadis itu.
"Oke. Besok kakak akan kembali ke kampung. Kalau ada masalah di sini, jangan ragu untuk menelepon," ucap Bunga.
"Siap, Bu Boss. Hehe …."
Bunga tertawa kecil melihat tingkah manja Ani. Gadis itu baru saja kehilangan ibunya. Karena takut tinggal sendirian, ia pun tinggal bersama Bunga. Ani sebatang kara, karena ayah dan neneknya sudah lebih dulu pergi sebelum sang ibu.
Gadis itu mengemasi bajunya ke dalam koper. Ia akan tinggal selama dua minggu di sana, jadi ia membawa lebih banyak baju ganti. Di rumah orang tuanya, ia tidak memiliki baju yang bisa dipakai.
Semua bajunya rata-rata bekas remaja. Sementara, sekarang ia sudah dewasa. Bagi orang-orang kampung, dia sudah tua.
Teman-teman Bunga semuanya sudah menikah dan memiliki beberapa anak, sedangkan Bunga masih saja lajang. Kekecewaannya terhadap cinta dan laki-laki begitu dalam, sehingga ia tidak pernah memikirkan tentang mencari pasangan. Baginya, sendiri lebih baik.
Bunga membeli baju kebaya modern untuk dipakai saat pertunangan nanti. Ia tidak suka menyewa baju dari salon, karena ia tidak tahu sudah berapa banyak orang yang memakai baju itu. Bukannya sombong, tapi Bunga memiliki kulit yang sedikit sensitif.
Ia berjalan-jalan di mall sambil menenteng tas belanjanya. Kebaya dan beberapa aksesoris sudah didapat. Ia ingin mencari parfum kesukaannya, karena parfum di rumah sudah hampir habis.
Bruk!
"Kamu buta, ya?" hardik seorang wanita yang bertabrakan dengan Bunga.
"Maaf, Mbak. Saya tidak salah. Mbak-nya yang jalan sambil nunduk. Saya sudah coba menghindar," protes Bunga.
"Halah! Ngeles, aja. Ganti rugi sini!" Wanita itu menadahkan tangan kepada Bunga.
"Maaf?" Bunga menganga saat diminta membayar ganti rugi. Dia tidak bersalah dan wanita itu tidak terluka. Atas dasar apa Bunga harus mengganti rugi?
"Sudah buta, tuli juga. Aku bilang, kau harus ganti rugi," ulang wanita itu.
"Dasar wanita gila," ujar Bunga sambil melangkah pergi. Namun, wanita itu menahan pergelangan tangan Bunga.
"Mau kemana kamu? Bayar dulu!"
"Aku tidak mau!"
"Kamu!" Wanita itu naik pitam. Ia mengangkat tangan dan melayangkan tamparan keras.
Plak!
Bunga menutup mata rapat-rapat. Anehnya, meski sudah terdengar tamparan keras, tapi ia tidak merasakan sakit sama sekali. Ia membuka mata perlahan-lahan.
Di depannya, berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi dan atletis. Punggung yang terbalut kaos hitam ketat itu tampak kokoh dengan pinggang yang mengecil. Dari postur tubuhnya, seperti seorang binaragawan.
"Siapa kamu? Kenapa ikut campur urusanku dengan dia?" Wanita itu menarik tangan yang mencengkram tangan Bunga.
"Anda bisa membicarakan masalah baik-baik, Nona manis. Jangan melakukan tindakan kasar di depan umum," ucap laki-laki itu.
Laki-laki itu yang menahan tamparan yang hampir mengenai pipi Bunga. Namun, ia tidak menahannya menggunakan tangan, melainkan menggunakan pipinya. Pantas saja, Bunga mendengar suara tamparan.
Kenapa laki-laki ini membantuku? Tch .... Pasti' mau mencari perhatian. Maaf, aku bukan wanita bodoh.
Saat laki-laki itu sedang berdebat, Bunga diam-diam menyelinap pergi. Ia masuk ke dalam lift. Sebelum pintu lift tertutup sempurna, laki-laki itu menoleh. Bunga yang sedang menunduk, tidak melihat wajah laki-laki itu.
Tidak berperasaan sekali. Aku sudah mendapatkan tamparan demi melindunginya, tapi dia pergi begitu saja.
Laki-laki itu menggerutu dalam hati. Saat ia menoleh ke depan, wanita yang menamparnya juga sudah pergi. Ia tertawa kecil.
"Apa semua wanita seperti mereka? Benar-benar tidak berperasaan," gerutu Artha.
Ia sedang menemani Tania berbelanja dan tidak sengaja melihat Bunga sedang berselisih dengan seseorang. Niat hati ingin menjadi pahlawan, tapi gadis yang ditolongnya justru pergi begitu saja. Artha berlari hendak mengejar gadis itu, tapi sebuah tangan mencengkram kerah baju bagian belakang.
*Bersambung*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!