NovelToon NovelToon

CANDRASA [MENCARI PEDANG PUSAKA]

Bab 1 : Dibangunnya Akademi sihir

...PINTU ENERGI...

...(Sumber : Google Image)...

Setiap umat manusia pasti memiliki suatu energi di dalam tubuh mereka. Tapi, ada saja manusia yang tidak dapat membuka energi yang tersumbat di dalamnya. Itu semua, tergantung pada Alam semesta.

Disamping tubuh fisik, manusia juga mempunyai tubuh non fisik, yang berupa jalur energi yang bisa terhubung dengan energi semesta.

Energi inilah yang biasanya dimiliki para penyihir untuk mengendalikan dan meningkatkan ilmu sihir mereka.

Berawal, dari wabah misterius yang menghantui kerajaan Amarata akhirnya dibangunlah sebuah Akademi Sihir bernama Maharaja, yang ditujukan untuk membuka tiap energi anak yang baru lahir. sehingga, mereka tidak akan tertular bahkan terusik dengan adanya wabah itu.

......................

...AMARATA VS NAHDARA...

...AWAL MULA DI BANGUNNYA AKADEMI SIHIR...

Setelah peperangan melawan Nahdara, esoknya hujan deras melanda Amarata. Hujan deras yang mengguyur Amarata masih menyirami selama dua hari berturut-turut. Banyak yang menduga hujan ini di kirim oleh kerajaan sekutu Nahdara, yaitu Brahma.

Kerajaan yang dipenuhi oleh para shaman, orang-orang penganut ilmu hitam. Kerajaan Brahma juga di rumorkan hidup berdampingan dengan semua makhluk mitologi dan sihir yang terkenal hidup di Hutan Azure. Goblin, peri dan lain sebagainya. Namun, tidak ada yang tahu pasti selain orang-orang di kerajaan itu. Karena dahulu kala, pemimpin Azure dan Brahma sepakat untuk tidak membicarakan hal apapun yang ada di hutan itu.

30 prajurit dikerahkan untuk membawa 8 perahu kayu. Mereka pun langsung turun ke dataran rendah yang kini mulai di banjiri air bah selutut kaki. Para prajurit dituntut untuk mencari rakyat yang terjebak disana. Satu persatu mereka ditemukan, semuanya berkumpul di rumah aman milik kerajaan. "Terimakasih Yang Mulia," rakyat memberi hormat kepada Raja jira II.

Sang penguasa Amarata dan prajuritnya kembali ke kerajaan dengan kondisi basah kuyup. Para kasim yang melihatnya pun langsung membawa raja untuk mengganti pakaiannya.

Permaisuri yang sedang menunggu Raja, mondar-mandir tak karuan di kamarnya. Suaminya pun menemuinya dikamar dengan kondisi yang sudah rapih, Permaisuri Dara sangat senang melihat suaminya kembali dengan selamat.

"Bagaimana keadaan di sana?" Permaisuri menanyakan keadaan rakyat Amarata.

"Sudah membaik, kemungkinan besok pencarian korban yang tewas akan dilanjutkan, ada beberapa orang yang tidak bisa kami temukan." Raja menunduk sedih, dia merasa gagal karena harus melewatkan beberapa orang yang tidak bisa dia temukan. Permaisuri pun memeluk suaminya erat,

"Tidak apa-apa, Yang Mulia sudah melakukan yang terbaik." Permaisuri menatap Raja dengan dalam, Yang Mulia mengecup bibir istrinya lembut lalu melepaskannya secara perlahan.

"Dimana putra kita? Aku sangat merindukannya." Raja mencari Candrasa.

"Dia sedang tertidur," Raja dan Permaisuri menghampiri Candrasa yang sedang tertidur tenang.

"Putraku yang tampan, kelak kau akan menjadi seperti ayahmu, menjadi Raja yang bijaksana, bertanggung jawab dan dermawan." Permaisuri mengusap lembut pipi Candrasa, Yang Mulia melingkarkan tangannya dipinggang Istrinya sambil menatap putra tunggalnya yang sedang terlelap.

Malam harinya, Raja tertidur dengan gelisah, dia merasakan panas pada kulitnya, "Yang Mulia, ada apa?" Permaisuri mencoba membangunkan Raja, pria itu pun mengerjap dan terbangun seketika dengan napas yang tersenggal-senggal.

"Badanku terasa panas dan gatal," Raja hampir menggaruk kulitnya tapi Dara mencegah tangan itu.

"Aku akan memeriksanya , energi mu sedang tidak stabil, ada sesuatu di dalam tubuhmu, dorongan yang kau miliki sedang memerangi sesuatu." Permaisuri mengeluarkan energinya lalu meletakan telapak tangannya dipunggung Raja.

Dengan sorot mata kebingungan wanita itu menatap suaminya, dia tidak tahu apa yang ada di dalam tubuh pria itu. Tapi energinya membantu memerangi apa yang ada di dalamnya.

"Yang Mulia, maaf kan saya mengganggu, baginda harus melihat kondisi prajurit sekarang!" Kata Kasim di luar ruangan, mendengar suara Kasim, Raja langsung turun dari tempat tidurnya dan memeriksa prajurit.

"Ada apa Kepala Kasim?" Raja terlihat cemas, baginda langsung berjalan keluar melihat kondisi prajuritnya.

"Saya tidak tahu baginda, tapi semua prajurit yang ikut denganmu menyelamatkan rakyat merasakan gejala yang sama." Kata kasim itu gelagapan.

"Ada beberapa orang yang kulitnya sampai melepuh, mereka menggaruk tanpa henti seperti orang kesetanan. Beberapa dari mereka adalah prajurit yang tidak bisa menguasai ilmu sihir." Kasim menjelaskan dengan rinci. Raja Jira II berjalan masuk ke kamar para sena.

Setelah memanggil tabib-tabib terbaik kerajaan, akhirnya penyakit itu dianggap wabah oleh mereka. Tapi, sayang sekali penyebabnya belum diketahui. Yang mereka percayai adalah rumor mengenai Nahdara memakai ilmu hitam untuk mengirim wabah itu.

Wabah ini menyebabkan rasa, seperti terbakar oleh bara api langsung ke kulit. Inilah penyebab orang yang mengalaninya bertindak seperti orang kesetanan dan tidak terkendali. Tidak sedikit dari mereka berakhir bunuh diri dengan menggantungkan tubuh mereka ke pohon di hutan terlarang ataupun meminum racun dari tumbuhan di sana.

Karena wabah ini, Raja Jira II langsung membangun Akademi Sihir yang dinamakan Akademi Maharaja. Dengan bantuan Guru Wija, Setiap bayi yang baru lahir dan setiap anak berusia 6 akan dikirim kesana.

Anak-anak yang baru lahir, wajib dibawa ke Maharaja untuk dibukakan pintu energinya oleh guru Wija dan guru yang lain. Pintu energi adalah kunci agar mereka bisa menguasai ilmu sihir.

Saat anak-anak ber usia 6 tahun, mereka harus langsung di kirim ke Akademi sihir Maharaja untuk mengikuti pelatihan wajib ilmu sihir dasar dan teknik pedang.

Akademi ini terbuka untuk siapapun, bahkan dari berbagai kerajaan.

Akademi ini pun, dibangun sebagai bentuk hadiah untuk rakyat demi merayakan kelahiran Putra Mahkota yang mereka cintai.

~

Sehari setelah wabah itu terjadi, pintu energi Candrasa dibuka oleh ibu dan ayahnya di kerajaan. Dia menjadi bayi pertama yang akan menjadi murid di Akademi Sihir. Dilanjutkan oleh anak Panglima Perang, yang bernama Air Mahendra. Dia adalah bayi kedua yang akan menjadi murid, sekaligus penjaga untuk Candrasa di Akademi sihir.

Diikuti oleh bayi-bayi rakyat yang lain. Kini Akademi Sihir sudah memiliki 86 orang anak. Sejak wabah melanda, angka pertumbuhan penduduk semakin berkurang. Mereka takut anak yang dilahirkan tidak bisa menguasai ilmu sihir.

6 tahun berlalu.......

Akademi sihir Maharaja sudah berjalan sekitar 6 tahun, murid-murid yang sudah di buka pintu energinya saat bayi kini mulai berdatangan untuk menetap di akademi sihir selama masa pelatihan mereka.

Pelatihan akan terus dilakukan sampai mereka mencapai ilmu tingkatan paling tinggi, yaitu ilmu panca.

Hari pertama, pelatihan...

...TINGKATAN NAWA...

Setiap murid yang sudah berusia enam tahun akan langsung di ajari Ilmu teknik bernafas. Setiap orang yang telah di buka energinya akan mempelajari ilmu ini. Dan hari ini adalah hari pertama, pelatihan bagi mereka.

"Semuanya siap?" Guri Tera memberi aba-aba.

"Siap Guru," ujar para murid Maharaja dengan kompak, termasuk Candrasa.

"Duduk atau berdiri, asalkan kalian merasa tenang. fokuskan pikiran kalian pada sesuatu hal yang membuat kalian tenang!" seru Guru Tera.

Semua murid mematuhi perintahnya, mereka mulai merasakan ketenangan yang menjalar dari pikiran ke tubuh mereka. Tingkatan Nawa sangat penting untuk penguasan ilmu sihir.

"Sekarang letakkan satu tangan di atas pusar, rasakan bahwa hirupan udara tadi menerobos masuk kesana. Saat kalian fokus, energi yang ada di dalam tubuh akan berputar. Kalian dapat merasakannya jika melakukannya dengan benar!" ujarnya lagi.

Anak-anak pun melakukannya dengan baik, tapi banyak juga yang masih merasa kesulitan.

"Aku, aku merasakan energiku berputar." Candrasa menyeringai bahagia pada Guru Tera, guru itu langsung menghampirinya. "Tentu saja, kau pasti bisa melakukannya. Yang lain harap fokus seperti Pangeran Candrasa! Lakukan dengan baik!" pinta guru Tera.

"Baik Guru!" ucap semua orang serentak.

Selama bertahun-tahun pula tidak ada yang boleh keluar dari Amarata, wabah ini sudah mulai bisa ditangani sedikit demi sedikit tapi belum bisa dihentikan. Dengan sekali percobaan, Candrasa mampu menguasai teknik bernafas yang benar sehingga energinya berputar dengan baik, sedangkan yang lain masih butuh beberapa kali latihan lagi untuk mencapai tingkatan Nawa.

Candrasa memang memiliki keistimewaan ibu dan ayahnya.

...****************...

...****************...

Bab 2 : Tingkatan Dasa

Di Madriga, terdapat 4 tingkatan ilmu yang mereka ketahui. Ilmu ini akan bisa dipelajari setelah pintu energi dalam tubuh terbuka.

Tidak ada pintu Energi berarti tidak ada ilmu, 4 tingkatan itu adalah:

1. Tingkatan Nawa,

Tingkatan ini adalah suatu teknik penguasaan untuk bisa mengumpulkan energi air di dalam tubuh. Penyihir pemula harus menguasai tahapan pertama ini sebagai permulaan.

Di mana pada tahap ini, mereka bisa menguasai gerakan cepat. Setelah mencapai tingkatan ini setiap gerakkan yang dilakukan akan terasa ringan.

Tingkatan ini, harus dipelajari dengan cara teknik bernafas yang baik. Setiap para penyihir punya teknik nafas yang berbeda.

2. Tingkatan Dasa,

Selanjutnya ada Dasa yang merupakan teknik untuk mendapatkan kekuatan dari elemen yang telah terkumpul. Dalam tahapan ini, penyihir harus bisa mengalirkan energi keluar. Jika telah menguasai tahapan ini, maka seorang penyihir bisa menghunus pedang yang dikunci dengan ilmu sihir. (Pedang Kemukus).

Tahap ini, mereka mulai mengalirkan energi dari dalam tubuh ke telapak tangan. Biasa digunakan sebagai penyembuhan orang yang terluka maupun racun yang tidak ada obatnya.

Cara mempelajarinya, dengan mempusatkan titik energi ke telapak tangan. Sebelum mencapai ini para penyihir harus menguasai teknik pernafasan.

3. Tingkatan Sata,

Kemudian ada tingkat Sata yang merupakan teknik pengendalian. Energi bisa balik menyerangnya jika tidak bisa mengendalikannya.

Pada tingkatan ini, mereka dapat mengalirkan energi ke sebuah senjata, contohnya : Pedang, panah, apapun yang menjadi senjata mereka.

Ditingkatan ini juga, berarti mereka sudah mulai bertahap menjalarkan setiap energi keseluruh tubuh. Tapi energi tetap keluar pada telapak tangan. Tidak bisa keluar dari anggota tubuh lain.

4. Tingkatan Panca,

Tingkatan paling tinggi, untuk saat ini yang mereka pelajari dan ketahui. Pada tingkatan ini, Panca biasanya dikuasai oleh penyihir yang sudah melegenda. Penyihir dapat mengalirkan setiap energi ke seluruh anggota tubuh. Apabila memfokuskan ke seluruh titik anggota tubuh, maka energi ini akan keluar dari titik-titik yang difokuskan.

Tingkatan ini juga, berarti mereka sudah menguasai ilmu meringakan tubuh yang dapat membuat mereka berjalan di atas air.

Energi pada tingkatan Panca dapat difokuskan ke satu titik.

Contoh : Pusat titik fokus di telapak Kaki, sehingga mereka bisa menopang berat tubuh mereka untuk berdiri pada ranting pohon maupun permukaan air.

Setiap tingkatan ini, bisa mempelajari Elemen, yang terdiri dari empat. Yaitu, Elemen Air, api, angin dan tanah.

Elemen itu bisa dikuasai sesuai tingkatan yang mereka miliki.

Contoh : Seorang penyihir Panca apabila sudah bisa menguasai elemen api, maka dia bisa menjalarkan elemen itu ke seluruh tubuh. Karena pada tingkatan panca, penyihir sudah dapat memfokuskan energi ke seluruh tubuh mereka. Jadi, elemen api bisa keluar dari seluruh anggota tubuhnya. Tidak hanya pada telapak tangan saja.

Untuk menguasai elemen, mereka harus memiliki unsur alami yang ada pada tubuh mereka.

...AKADEMI SIHIR...

Bangunan kuno yang ada di Akademi sihir itu seolah menatap Candrasa dengan hening. Indahnya pemandangan di Akademi sering membuatnya lupa pulang kerumah.

Candrasa kini sudah berusia 10 tahun, Pelatihan hari ini untuk Candrasa dan temannya yang sudah menguasai Nawa adalah Ilmu Dasa.

Ilmu tingkat kedua ini sangat penting untuk kesempurnaan sihir mereka. Kali ini Guru Wija yang langsung membimbing mereka, hanya ada 30 orang dari murid yang berhasil lulus menguasai Nawa. Sisanya masih berjuang menguasai Nawa dengan benar.

Dalam tahapan ini, penyihir harus bisa mengalirkan energi keluar. Jika telah menguasai tahapan ini, maka seorang penyihir bisa menghunus pedang yang dikunci dengan ilmu sihir.

"Aku akan tunjukan," Guru Wija menadahkan tangannya sambil di pertontonkan pada murid Akademi.

Terlihat suatu cahaya biru yang di rasa adalah energi dari tubuh guru Wija menjalar dari lengannya sampai ke telapak tangan.

Dalam tahapan ini, penyihir harus bisa mengalirkan energi keluar. Jika telah menguasai tahapan ini, maka seorang penyihir bisa menghunus pedang yang dikunci dengan ilmu sihir.

"Setelah energi berputar dengan baik, kalian dapat merasakan energi itu bisa kalian alirkan ke titip telapak tangan ini." Guru Wija menoleh ke arah telapak tangannya yang mengeluarkan energi.

"Lalu, alirkan energi ini ke pedang kalian!" Guru Wija dengan talaten mengalirkan energi ke pedang yang dia miliki.

Dan pedang itupun menjadi berkilau karena energi yang tadi dia alirkan sudah menyatu dengan pedang sihir itu.

Candrasa dan temannya yang lain kini mulai mencoba.

Pemuda itu memfokuskan titik pusat energi ke telapak tangannya. Beberapa kali energi itu terlihat keluar tapi padam lagi. Dia tidak menyerah, dia terus mencobanya sampai berhasil.

Setelah percobaan ke lima, akhirnya Candrasa mampu mengalirkan energinya ke pedang itu, kini dia mengayunkan pedangnya dengan gembira, pedang itu bersinar terang.

Air menyeringai dan bahagia melihat sahabatnya berhasil, dia pun tidak mau kalah dan mencoba hal itu. Setelah lima belas kali percobaan akhirnya Air pun berhasil. Kedua pria itu saling memeluk satu sama lain, guru Wija menyeringai bangga melihat mereka berdua.

"Setelah kalian menguasai Dasa, kalian harus terus melatihnya agar energi yang di keluarkan terkendali dan tidak berbalik menyerang kalian ataupun membuat kekacauan!" Seru Guru wija.

Air dan Candrasa pun mengangguk. 2 dari 30 orang hari itu langsung berhasil melakukannya, sisanya akan terus mencoba berlatih sendiri setiap hari.

Setelah latihan selesai, Candrasa dan guru Wija pun berjalan beriringan.

"Kau anak yang berbakat," Guru Wija menepuk pundak Candrasa, Candrasa hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Dia tumbuh menjadi anak yang tidak banyak bicara, tapi kemampuannya tidak bisa diragukan.

Air datang dengan pedang ditangannya, Dia memberi salam kepada Candrasa dan Guru Wija. Di luar itu mereka bersahabat baik dan bersikap santai layaknya rekan.

"Baiklah Guru, kami akan kembali ke Asrama, terimakasih banyak atad pelatihan hari ini." imbuh Candrasa sembari memberi hormat kepada Gurunya diikuti oleh Air. setelah guru Wija mengangguk keduanya pergi dari sana.

Air mendekatkan tubuhnya ke Candrasa, "Aku harus pergi ke rumah hiburan cusak." Bisik Air, Candrasa pun menatapnya tajam.

"Untuk apa kau kesana?"

"Tenang saja aku tidak akan melakukan apapun, aku hanya mengantar makanan untuk Guru Raga. " Air tersenyum ke arah Candrasa.

"Sedang apa Guru Raga di sana?" Tanya Candrasa.

"Aku tidak tahu," mereka kembali ke Asrama Pria, dari kejauhan terlihat para murid wanita yang sedang berlatih pedang. Air dan Candrasa meluangkan waktunya untuk memperhatikan mereka, kemudian pandangan Candrasa terpusat ke salah seorang dari mereka.

"Siapa dia?" Candrasa memperhatikan Gadis itu dari kejauhan.

"Dia murid baru, kudengar dia adalah rakyat Nahdara yang kabur untuk mempelajari ilmu sihir." Air berbisik pada Candrasa, mereka memperhatikan setiap gerakannya yang indah. Liukannya saat memainkan pedang begiru terlihat sempurna.

Mengetahui Candrasa dan Air memperhatikan mereka, para wanita lain yang sedang berlatih jadi hilang fokus. Mereka mencoba mendapatkan perhatian keduanya dengan melambaikan tangan pada dua pria itu. Kecuali, wanita tadi tentunya.

Bulu kuduk Candrasa dan Air langsung berdiri. Mereka terlihat tidak biasa dengan hal itu. Kemudian, mereka pun melanjutkan perjalanan nya ke Asrama Putra dan mengabaikan para wanita tadi. Mereka bertemu dengan kepala asrama wanita bernama Guru Manta.

Sambil melihat para gadis berlatih, Candrasa dan Air memerhatikan gerak gerik mereka yang lugas. Tak lama. Suara dari seorang guru yang hampir setengah abad itu menghampiri keduanya.

"Selamat siang Pangeran," Guru itu memberi hormat kepada Candrasa, Candrasa pun balik memberinya salam.

Gadis yang Candrasa perhatikan sebelumnya, kini berjalan menghampiri mereka. Caranya berjalan jauh dari kata elok, tapi kenapa dedaunan yang dilewatinya berjoget seakan menyambut kedatangan wanita itu. Gadis itu memberi hormat kepada gurunya.

"Salam Guru," Kata gadis itu. Candrasa dan Air tertegun saat melihatnya secara dekat.

"Hanada, Perkenalkan ini Putra Mahkota Amarata dan Air." Guru Manta memperkenalkan kedua pemuda itu.

"Salam Pangeran dan Tuan Muda," Hanada menunduk.

"Salam, kalau begitu kami akan kembali ke Asrama," Candrasa merasa gugup setelah mendapat sapaan dari gadis itu, dia pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya untuk ke asrama bersama Air.

Mereka berjalan santai sampai ke asrama, lalu bergabung dengan rekan seperguruan yang lain.

"Kau lihat murid baru itu? Parasnya sangat cantik, terlihat seperti dewi dari kayangan." Juna dengan mata berbinar mengobrol bersama yang lain. Kemudian, Candrasa dan Air pun menghampiri mereka,

"Salam Pangeran," kata orang-orang itu.

"Kalian sedang membicarakan apa?" Tanya Air sambil menyeringai ke arah temannya.

"Murid baru di asrama putri itu, kau sudah melihatnya kan kemarin? Aku tidak percaya bahwa dia hanya rakyat biasa." Juna Melihat ke arah teman-temannya.

"Itu bisa saja terjadi, jika dia bukan rakyat biasa sudah pasti para pengawal Nahdara sudah memboyongnya pulang, buktinya tidak ada satupun dari mereka yang datang kesini." Ucap salah seorang lainnya dengan lugas.

"Perempuan Nahdara memang terkenal cantik-cantik bukan?" Air menepuk pundak Juna.

Guru Bela diri Tera menghampiri mereka, dia pun menjewer telinga Juna. "Tugasmu di sini belajar Ilmu Sihir dan Pedang, kenapa kau malah membicarakan seorang gadis huh?"

"Aduh ampun guru, kami hanya mengobrol saja," Juna beralasan.

"Lagi pula kalian masih anak-anak, contohlah Putra Mahkota kita. Dia tidak banyak tingkah, maka nya ilmu nya cepat naik bertahap. Kalian baru saja sampai tingkat satu itupun masih dalam pengawasan, tapi sudah membicarakan seorang gadis. Cepat sekarang pergi latihan lagi!" Guru Tera menatap mereka tajam.

Mereka langsung bubar dan pergi untuk latihan, Guru Tera menyapa Putra Mahkota dengan senyuman. Ekspresinya berubah seketika saat melihat Candrasa.

"Salam Pangeran," Guru Tera tersenyum.

"Salam guru, kau tidak harus mencaci mereka seperti itu, mereka hanya mengobrol." Kata Putra Mahkota Candrasa.

"Aku terkesima denganmu yang bijaksana, mereka harus banyak belajar dari mu. Jika tidak diawasi, mereka pasti hanya bermain-main. Padahal Yang Mulia Raja Jira II sudah menyediakan tempat ini secara sukarela." Guru Tera, memutarkan badannya untuk menunjukan tempat disekelilingnya,

Air dan Candrasa menunduk menahan tawa mereka, "Baiklah lakukanlah sesuai tugasmu, aku pamit dulu. Aku dan Air harus kembali ke asrama." Candrasa memberi salam kepada gurunya lalu mulai melanjutkan perjalanan kesana.

Sesampainya di asrama... Candrasa dan Air masuk ke ruangan dengan bilik kayu yang kokoh, kemudian mereka pun beristirahat di sana.

"Semua orang sangat mengagumi Putra Mahkota kita." Air mengganti menaruh pedangnya di samping temapt tidur. Sedangkan Candrasa merebahkan tubuhnya di tempat tidur nya sendiri.

"Kalau begitu, aku ke Cusak dulu." Air kembali pergi setelah menaruh barangnya di kamar. Sedangkan Candrasa menatap langit-langit sembari mengingat wajah wanita yang baru saja dia temui tadi.

Setiap kamar di Asrama terdapat dua tempat tidur, di isi oleh dua orang. Untuk fasilitas asrama, semuanya mendapat hak yang rata. Bahkan Candrasa tidak mendapatkan fasilitas spesial apapun. Di dalam Akademi Sihir Maharaja semua nya berstatus sebagai murid.

...****************...

...****************...

Bab 3 : Tingakatan Sata

...8 TAHUN KEMUDIAN...

Kini, usia Candrasa sudah beranjak 18 tahun. Dia dan Air sama-sama sudah melewati masa remajanya. Semakin hari, ilmu mereka bertambah tingkatan. Candrasa sudah mencapai tingkatan Sata, dimana dia bisa mengendalikan energi dengan sangat baik.

Candrasa bisa mengendalikan energi besar dalam tubuhnya. Energi itu bisa bergerak tanpa kendali dan mencelakai orang lain serta diri sendiri jika belum mencapai Ilmu Sata. Karena itulah seorang penyihir Maharaja harus sampai tahapan Sata untuk bisa menggunakan kekuatannya.

Kadang pula mereka berlatih sendiri di luar akademi bersama salah seorang murid wanita, bernama Hanada. Gadis itu adalah wanita yang mereka temui delapan tahun lalu. Kini, mereka bertiga bersahabat bagaikan kepompong.

~

Hanada sedang berjalan di pasar tradisional membeli bahan makanan untuk stok di dapur asrama wanita. Dia melihat kesekeliling, mencari bahan makanan yang akan dia beli. Hanada berhenti di pedagang wortel.

"Aku akan membeli ini," Dia menggunakan koin kerajaan Amarata untuk membayarnya.

"Kerajaan Nahdara kau terkutuk! kalian penyebab wabah ini melanda!" Seorang pria dengan kondisi kulit tubuh dan wajah yang sangat mengerikan mengutuk Kerajaan Nahdara sambil menunjuk ke arah langit.

Semua orang di sana hanya memperhatikan pria itu, Hanada menunduk, dia langsung pergi dari situ dan melanjutkan perjalananya.

Di tengah jalan, Hanada dihadang oleh sekelompok bandit berbau miras.

"Hai nona manis," Ucap salah seorang bandit itu.

Hanada mundur beberapa langkah, menjauhi mereka. Hanada bisa saja melawan mereka, tapi tingkat sihir Hanada belum mencapai yamg tertinggi sehingga dia dilarang keras untuk menggunakan ilmunya di luar Akademi.

Hanada berbalik berniat kabur, tapi tangan pria itu dengan cepat menarik pakaian Hanada.

"Berani sekali seorang Nahdara ke wilayah sini!" Pria itu berbisik di telinga Hanada.

"Lepaskan aku!" Hanada memberontak.

"Mari kita bersenang-senang, atau aku akan memberitahu semua orang bahwa seorang Nahdara ada di Amarata hahaha." Pria itu mengancam Hanada dengan melingkarkan lengannya di leher Hanada.

"Persetan dengan mu!" Hanada memukul wajah pria itu, Dia berhasil keluar dari jeratan pria itu dengan ilmu bela diri yang dia miliki.

Kemudian seseorang dengan sigap berlari menghadang preman itu dan berdiri di hadapan Hanada,

"Candrasa!" Kata Hanada.

"Menjauh darinya!" Kata Candrasa kepada preman itu, tidak lama , Air yang selalu berada di samping Candrasa pun bergabung dengannya.

"Kau yang jangan ikut campur!" Para bandit itu maju mendekati Candrasa.

Candrasa menoleh ke arah Air lalu mengangguk menandakan siap menyerang.

Candrasa dan Air maju untuk menyerang para bandit itu, para durjana itu pun balik menyerang Candrasa dan Air. Pertarungan mereka tidak bisa dihindari, Hanada yang ada di belakangnya, mundur menjauh, dia hanya memperhatikan Candrasa dan Air bertarung.

Dia melihat ke arah kakinya, dia memakai sepatu berlambang Nahdara. Pantas saja bandit-bandit itu mengetahui bahwa dia adalah orang Nahdara.

Bandit itu mengeluarkan pedangnya, Candrasa berhasil menahan serangan itu lalu mengalirkan energi ke pedangnya.

Para bandit itu pun terjungkal.

"Sialan... Siapa kau? Apa kalian komplotan kerajaan terkutuk itu?" Ketua bandit itu menunjuk Candrasa.

"Jaga ucapanmu!" Air dengan sigap mengayunkan pedangnya ke leher pria itu.

"Berani-berani nya kau menyerang Putra Mahkota dengan pedangmu!" Air maju selangkah.

"Putra Mahkota? Kenapa seorang Putra Mahkota melindungi orang Nahdara? Mereka adalah orang-orang keji yang membuat rakyat mu seperti ini!" Salah seorang bandit itu berteriak.

Air tidak segan untuk mengibaskan pedangnya, tapi Candrasa langsung menghadang Air untuk tidak melakukan itu. Dia mengangguk lalu mundur selangkah dari Candrasa, "Tidak apa-apa!" Candrasa meyakinkan Air.

"Seorang Amarata tidak boleh menuduh tanpa bukti!" Kata Candrasa.

"Wanita itu jelas-jelas memakai sepatu lambang Nahdara!" Penjahat itu menunjuk sepatu Hanada yang sedang berdiri di belakang Candrasa.

"Mana? Aku hanya memakai sepatu polos ini, mungkin penglihatan mu yang buram!" Hanada mengangkat sebelah alisnya.

"Aku yakin dia memakai sepatu berlambang Nahdara tadi !" Bandit itu tetap bersikeras.

"Minta maaf lah padanya!" Kata Candrasa kepada bandit itu.

"Minta maaf !" Tegas Air.

"Baiklah, maafkan aku nona karena udah salah paham," Para pmbandit itu menunduk, mereka tidak bisa melawan Putra Mahkota. Tapi, mereka berjanji jika ada kesempatan dan melihat wanita itu lagi, mereka akan menyerangnya.

"Jika aku mendengar kalian mengacau di sini lagi, akan kupastikan kau dikirim ke penjara!!" Air mengancam. Namun Candrasa yang tenang menepuk pundak Air. Mereka berbalik dan berjalan bersama Hanada,

Mereka langsung pergi meninggalkan tempat itu.

"Sudah kubilang, berpencar adalah ide yang buruk." kata Air.

"Aku menyarankan itu agar tugas kita cepat selesai." Hanada mendengus tapi ada rasa sesal di hatinya.

"Seharusnya kau tidak memakai sepatu itu! " Candrasa menatap Hanada.

"Sepatuku yang lain basah, jadi aku terpaksa memakai sepatu itu, aku terpaksa membeli sepatu ini diam-diam dengan uang yang guru Manta berikan." Hanada menunduk, dia pergi membeli sepatu secara diam-diam saat Air dan Candrasa bertarung.

"Aku akan menggantinya," Candrasa mengeluarkan satu kantong uang koin lalu memberikannya kepada Hanada.

"Terimakasih," Hanada tersenyum,

Air menepuk pundak Candrasa, "umtunglah kita punya Putra Mahkota hahaha." Air menggodanya.

Candrasa berjalan lebih dulu dengan pipi yang memerah, "Ya kau benar, Candrasa adalah kartu keberuntungan kita." Hanada dan Air tertawa, pria yang ada di depan mereka hanya bisa menyeringai menahan tawanya.

Mereka berjalan kembali ke asrama, saat berada di sana semua orang berkumpul menyaksikan sesuatu. Candrasa menatap tajam ke arah Guru Wija yang berjalan masuk ke dalam.,

"Ada apa?" Candrasa bertanya pada Juna.

"Iblis bayangan mencoba merusak tabir pelindung asrama." Kata Juna.

Candrasa dan Air saling bertukar pandangan, sedangkan Hanada bergabung bersama teman wanitanya dari kejauhan , mereka juga sedang menyaksikan apa yang terjadi.

Guru Wija menghampiri semuanya dan menenangkan semua orang. "Semuanya kembali ke dalam dan berlatih, kalian tidak perlu cemas , kalian sudah melihat sendiri kekuatan tabir sihir kita." Guru Wija membentangkan tangannya. Semuanya berangsur kembali ke tempat pelatihan, menyisakan Candrasa dan Air.

"Ada apa Guru?" Candrasa berjalan beriringan dengan Guru Wija dan Air.

"Iblis bayangan itu menerobos masuk." Kata Guru Wija dengan wajah khawatir.

"Untuk apa?" Tanya Air,

"Aku tidak tahu, tapi setelah beratus tahun, Aku baru melihat pasukan iblis itu mengganggu Manusia lagi, pasti ada sesuatu yang telah terjadi." Guru Wija menerangkan.

"Apa kita dalam bahaya?" Tanya Candrasa.

"Kau tidak perlu khawatir, kita akan segera menemukan penyebabnya." Guru Wija berjalan dengan tangan kebelakang.

"Mari kita berlatih." Guru Wija mengajak Candrasa dan Air kembali ke tempat pelatihan sihir.

Setelah sampai, Candrasa diminta menunjukan perkembangan ilmu sihirnya,

"Ayahmu mengumumkan pesta untuk ulang tahunmu besok." Kata Guru Wija.

"Ayah?" Tanya Candrasa.

"Iya, Yang Mulia mengirim surat padaku, meminta semua orang menikmati pestanya di rumah hiburan." Guru Wija tersenyum.

"Apa itu tanda bahwa kami sudah boleh minum??" Air sangat bersemangat.

Guru Wija mengangguk. Air pun sangat senang, dia melirik Candrasa lalu tersenyum, ada pesan tersirat dibalik lirikannya. Pangeran maju menunjukan bakatnya, Semua guru dan murid pria berkumpul untuk menunjukan perkembang Ilmu mereka.

Candrasa menjadi murid pertama yang menunjukan perkembangan sihir dan pedang, melakukan ancang-ancang sebelum menunjukan bakat bela diri dan pedangnya.

Dia memegang dua pedang lalu mengayunkan pedangnya dengan sangat apik dan luar biasa. Pemuda itu mengalirkan energi ke pedangnya dan menjadikan senjata itu bersinar dengan sihir.

BRAK

Pecahan batu besar berhamburan di sana, pria itu berhasil membelah batu besar di depan dengan kemampuan sihirnya. Semua orang terkejut dan menyoraki Candrasa, Air dan teman yang lain langsung menghampiri pria itu untuk mengucapkan selamat.

"Kau luar biasa, kau sudah mencapai tingkat Panca!" Kata Air lalu memeluk Candrasa, pemuda itu hanya tersenyum tipis lalu mengucapkan terimakasih atas ucapan selamat semua orang.

Guru Wija menghampiri Candrasa, "Selamat, ini hari yang penuh kebahagiaan, aku akan segera mengirim pesan ke Istana." Guru Wija dan yang lain berbangga melihat perkembangan itu.

Dilanjut dengan menunjukan perkembangan Air. dia sama hebatnya sekarang dia sudah mencapai Ilmu tingkat 3 Sata.

...****************...

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!