NovelToon NovelToon

Semua Tentang Rindu

Waktunya akan tiba

***

Beberapa pasang mata menatap iba pada wanita yang duduk di sisi jendela kaca. Bus antar kota itu sedang melaju di jalan tol. Perjalanan akan ditempuh lebih dari dua belas jam. Gadis kecil dalam pangkuan wanita itu telah tertidur lelap. Barulah dia membiarkan air matanya terjun bebas ke pipi. Menumpahkan segala kesedihan akan penderitaannya selama beberapa tahun ini.

"Kamu kenapa, Nak?" tanya seorang wanita paruh baya yang duduk di bangku sisi lain.

Wanita yang menangis tanpa suara itu menoleh. Bunyi tarikan hidung terdengar karena pernapasannya terganggu. Dia pun menghapus air mata dengan punggung tangannya. "Tidak apa-apa, Bu. Maaf."

"Lagi ada masalah, ya? Kamu mau kemana?" tanya wanita paruh baya itu lagi. Sepertinya dia punya jiwa keingintahuan khas ibu-ibu.

Wanita itu—Rindu tersenyum tipis. Iya, memang dia sedang ada masalah, pelik. Namun, dia juga tidak berkeinginan untuk menceritakan masalahnya pada siapapun. Apalagi pada orang yang baru dia kenal. Maka Rindu hanya menjawab seperlunya saja. "Saya mau pulang ke Jakarta, Bu."

Ibu itu seolah paham kalau Rindu tak ingin terbuka. "Apapun masalah kamu, yang sabar, ya. Tuhan pasti akan kasih jalan yang terbaik. Lapangan dada, ikhlas, semoga dengan begitu tuhan akan memberi ganti yang lebih."

"Makasih, Bu, nasehatnya." Rindu lalu tersenyum paksa membalas kebaikan si ibu. Perkataan ibu itu mungkin hanya basa basi. Tapi Rindu sedikit senang ada yang memperhatikannya.

Percakapan di telepon beberapa jam yang lalu kembali dia ingat. Yang akhirnya membuat Rindu yakin menaiki Bus ini.

"Mas, kamu seharusnya bisa menilai bagaimana sikap ibu kamu padaku. Aku sangat menghargai beliau sebagai ibumu. Bahkan aku menganggap seperti ibuku sendiri, tapi kamu lihat, aku selalu diabaikan. Aku tidak pernah diajak berdiskusi. Kamu juga, apa kamu peduli pada perasaanku. Kamu tidak mau memberikan aku tempat tinggal yang nyaman. Aku bahkan merasa tidak dianggap di rumah ibumu."

"Jadi, kamu benar-benar gak mau tinggal di sini lagi?"

"Mas aku mau, tapi tidak sekarang. Mamaku lebih membutuhkan aku. Kamu aku ajak tinggal di sini sementara, kamu menolak."

"Aku tidak mungkin meninggalkan ibu sendiri!"

"Aku ingat janjimu padaku, jika kondisi sudah tidak memungkinkan kamu mau ikut aku pulang. Di sini peluangnya lebih bagus. Kita bisa mencicil dan menabung lagi. Tapi akhirnya kamu lupa janjimu. Aku mengalah dan ikut pindah ke rumah ibu. Syarat yang kamu janjikan juga kamu lupakan."

Hening.

"Mas, kamu memang tidak bisa mau mengerti keadaan ku. Kamu mengabaikan tanggung jawab kepada istri dan anakmu. Kamu lebih memilih tinggal dengan ibu dan terpisah dari istri juga anakmu."

"Ahhh… sudahlah!" Suara itu terdengar lantang. Tidak lama pertengkaran itu berakhir.

Rindu memutuskan untuk tidur saja sebelum pemberhentian selanjutnya. Tubuhnya juga sudah merasa lelah. Walau ngantuk belum datang, karena terlalu larut dalam pikiran yang kusut. Namun, Rindu akan berusaha istirahat. Putri kecil dalam pangkuan, butuh perhatian. Jika dia sakit, siapa yang akan membantu dalam keadaan seperti ini.

Rindu harus kuat, demi buah hatinya ini.

***

Beberapa bulan kemudian.

"Sayangku ... bunda pulang …!"

Gadis kecil itu berlari dan tertawa riang menghampiri ibunya. Rindu berjongkok membentangkan tangan menangkap putri kesayangannya.

"Ahhh, sayang bunda, kangen ya?" Rindu menciumi wajah gadis kecilnya gemas, dia mendaratkan kecupan di pipi kiri dan kanan.

"Maafkan bunda ya, bunda nggak bisa menemani kamu bermain," ucapnya seraya membelai rambut sang putri. Gadis kecil itu mengoceh entah apa. Sangat mungil, begitu lucu dan cantik. Kulit putih seperti ibunya. Matanya bulat, hidungnya pesek, pipi tembem ada lesung pipi bila tersenyum, sangat menggemaskan.

Rindu bangkit seraya menggendong gadis kecil itu dan menghampiri sang mama. Wanita paruh baya itu menyambut kedatangan Rindu di teras rumah. Kanaya, si gadis kecil bertepuk tangan melonjak kegirangan di gendongan. Rindu

tersenyum, melihat kebahagiaan di wajah putrinya. Dia memastikan putrinya tidak akan kekurangan satu apapun walau tanpa kehadiran sang ayah di sisinya.

Dahlia mendekap Rindu dengan rasa haru. Dia bangga dengan perjuangan putri satu-satunya ini. Selain membiayai kebutuhan keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya hingga kuliah. Rindu juga harus merawat putri kecilnya dan memberikan kasih sayang yang cukup.

Sebenarnya Dahlia tak ingin Rindu terlalu bekerja keras. Namun, anak itu bersikeras, karena mengingat dulu beberapa tahun ini dia tak bisa membantu keuangan keluarganya. Hidup Rindu sebelumnya tidak begitu baik.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini, Rin?" tanya Dahlia lembut dengan nada keibuan.

"Seperti biasa, Ma."

"Kamu lelah, Sayang. Jika ada waktu luang beristirahatlah. Jangan terlalu lelah, kesehatanmu sangat penting. Ada anak yang harus kamu jaga."

"Iya, Ma. Rin pasti ingat pesan, Mama." Rindu memberikan senyuman terbaik, memberi ketenangan untuk mamanya.

"Oya, Ma. Rin dapat tawaran pekerjaan di sebuah Cafe. Jadwalnya Sabtu dan Minggu malam. Sebagai pekerja paruh waktu. Tapi sepertinya Rin hanya mau ambil yang hari Sabtu aja."

"Apa kamu bisa Sayang? pekerjaanmu sekarang sudah sangat berat."

"Bisa Ma ... cuma seminggu sekali aja kok, hari minggunya Rin masih bisa istirahat. Dan itu waktu untuk menemani gadis kecil kesayanganku ini," ucap Rindu sambil mencium pipi putrinya gemas.

"Ya sudah kalau gitu ... tapi kamu harus janji sama mama, jika kamu tidak sanggup kamu harus berhenti. Jangan memaksakan diri ya, Sayang."

"Iya Ma ...." Rindu mengecup pipi mamanya.

"Mama bersyukur mempunyai putri seperti kamu."

"Rindu juga bersyukur, Mama adalah Mama Rindu, Mama yang penyayang dan perhatian. Mama tempat aku berlindung, tempatku mencurahkan segalanya. Mama yang selalu membuatku kuat. Rindu sayang Mama, banyak, banyak sekali ... sebanyak ini!" Rindu tidak henti hentinya mengecup pipi Dahlia. Membuat nenek dari Kanaya itu kegelian.

"Ooww ... anak kesayangan mama."

Mereka saling merangkul, Kanaya yang berada di gendongannya menggeliat di tengah mereka. Gadis kecil itu mengoceh seperti mengatakan sesuatu. Rindu dan Dahlia tertawa gemas dan mencubit pipi tembem milik Kanaya. Untuk sekarang ini, Kanaya adalah kekuatan terbesar Rindu saat menghadapi kenyataan hidup.

Dahlia, wanita paruh baya itu sebenarnya sangat merasa kasihan dengan putri satu-satunya. Walaupun Dahlia selalu melihat senyuman di wajah Rindu. Namun, ia mengerti bahwa putrinya itu sangat tersiksa. Tapi selalu terlihat tetap tegar. Rindu adalah anak yang baik, selalu peduli dengan orang disekitarnya. Sangat menyayangi keluarga dan bisa menempatkan dirinya. Dahlia hanya bisa memberi dukungan, apapun keputusan yang Rindu ambil untuk kebahagiaannya.

Disisi lain, dari dalam sebuah mobil yang terparkir tidak jauh dari rumah Rindu. Seorang pria sedang melihat pemandangan bahagia. Dia terus memperhatikan hingga kedua wanita dan gadis kecil itu masuk ke dalam rumah. Dia melihat dengan rasa haru.

Dialah sosok pria tampan yang jarang sekali memperlihatkan senyuman. Pria hebat yang selalu bersikap dingin. Ini pertama kali baginya kembali melihat Rindu setelah sekian lama. Dia hanya bisa melihat dari kejauhan. Merasa tidak berhak untuk menghampiri. Sebenarnya ia Ingin berlari dan segera memeluk Rindu. Melepaskan rasa yang selama ini dia pendam.

Pria itu seperti pengecut yang bersembunyi di dalam mobilnya. Wajahnya terlihat lelah, matanya memerah, tangannya mengepal. Sekuat tenaga dia menahan gejolak di dalam hatinya. Penyesalannya masih tersisa. Sangat ingin melangkah maju. Namun, begitu takut menghadapi kemungkinan buruk nantinya.

Bayangan masa lalu kembali terlintas di benaknya. Tentang kenangan indah yang sulit dilupakan selama ini. Hidupnya selalu dibayangi akan kenangan itu. Ia seperti terperangkap di dalamnya. Kata-kata maaf terus terucap dalam hatinya. Dia ingin segera maju untuk segera melindungi Rindu. Saat ini dia hanya perlu bersabar, sebentar lagi waktunya akan tiba.

"Jalankan mobilnya!"

***

Ingat lagu ini

"Ardi, lihatlah ini."

Sebuah komputer tablet di arahkan ke hadapan Ardian oleh asisten kepercayaannya. Matanya melirik sekilas lalu melihat foto di layar tablet itu. Ardian yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaannya tertarik untuk melihat. Ia mengulurkan tangan meminta tablet itu. Setelah menggeser dua foto di layar itu bolak balik sebanyak tiga kali, lalu kembali diserahkan pada asistennya. Terlihat senyum tipis di sudut bibir pria itu.

"Apa yang akan kamu lakukan?" Eja, sang asisten kepercayaan memulai pembicaraan.

"Kapan foto itu diambil?" tanyanya datar menopang punggung tangannya ke dagu.

"Tadi siang, Dika kebetulan berada di sana dan mengambil beberapa foto."

"Jadi, dia telah bebas? Apakah sudah ada keputusan?"

"Dari informasi yang Dika dapat, hari ini adalah hari putusan terakhir. Dan bisa dipastikan bahwa hakim menyetujui segala tuntutan."

Ardian tersenyum tipis, akhirnya waktu ini datang juga. Harapannya sebentar lagi akan terwujud. Rasa percaya dirinya mulai bangkit.

"Terus awasi dia. Laporkan setiap kegiatannya sesegera mungkin. Cukup pastikan dia baik-baik saja," titah Ardian dingin dengan tubuhnya yang tegap.

"Baiklah, saya keluar dulu." Eja pun keluar meninggalkan ruangan.

Eja adalah asisten juga

sahabat Ardian semenjak kuliah, dia sangat mengerti dengan jelas bagaimana sepak terjang Ardian selama ini. Cara kerja Ardian terkesan santai namun terstruktur dengan rapi. Tidak pernah gegabah mengambil keputusan yang membuat Ardian berhasil menjadikan perusahaan ini semakin berkembang.

Semenjak menjalin pertemanan dengan Ardian, Eja setia menjadi tempat curhat sang 'Big Bos'. Hingga akhirnya dia dipercaya menjadi asisten yang membantu segala pekerjaan di kantor hingga urusan pribadi.

'EM entertainment', satu diantara lima agensi hiburan terbesar di Indonesia. Pencapaian ini semua berkat kerja keras Ardian dan campur tangan Eja yang pintar mengatur segalanya. Ardian resmi diangkat sebagai CEO perusahaan ini tiga tahun yang lalu oleh ayahnya.

Setelah Eja keluar dari ruangan, Ardian membuka laci meja kerjanya. Mengambil selembar foto yang terselip di dalam sebuah buku. Lalu menelepon sekretarisnya yang berada di luar.

"Bawakan pigura ukuran 4R segera." Panggilan itu ditutup tanpa banyak kata.

Lima belas menit kemudian sang sekretaris membawakan permintaannya. Lalu Ardian memasangkan foto yang tadi diambil dari buku ke dalam pigura itu. Kemudian meletakkan foto di meja menghadap padanya. Supaya bisa dia lihat foto ketika sedang bekerja.

Ardian tersenyum melihat foto di hadapannya. Terkenang saat dia menyimpan sebuah momen di masa silam. Setelah sekian lama foto itu akhirnya bisa dipajang. Kali ini dia bisa melihat sepuas hati. Sebentar lagi sosok yang ada di foto tersebut akan ada di hadapannya.

Pikiran Ardian mulai menjelajah ke masa lalu. Masa dimana kenangan manisnya di mulai ketika masih duduk di bangku SMA. Dari awal pertemuan hingga akhirnya kehilangan kontak dengan sang sahabat. Delapan tahun sudah Ardian menyimpan kisah hidup yang telah merubahnya. Kekecewaan dan penyesalan kembali menyelimuti hatinya. Selama delapan tahun, kenangan indah itu selalu dia ingat.

Ardian mendekap fotonya bersama Rindu saat di taman hiburan dulu. Dia bersandar di kursi kebesarannya menengadah ke langit-langit. Perlahan cairan bening meluncur dari pelupuk matanya. Dia memejamkan mata memutus aliran air hangat itu. Dia seorang laki-laki hebat yang bisa menjadi lemah karena Cinta.

"Delapan tahun, waktu yang aku habiskan tanpa dirimu tidaklah mudah, Rindu. Selama delapan tahun ini juga aku memendam rasa cinta yang semakin lama semakin dalam. Aku menyesali kebodohanku yang terlambat menyadari cinta yang sebenarnya. Aku sangat merindukan kamu. Saat aku tau kamu telah bahagia, aku menyerah. Mencoba melupakan dan menyimpan baik-baik kenangan kita. Ternyata kamu begitu menderita selama ini. Andai saja aku menemukan kamu lebih awal, mungkin sekarang kita sudah bahagia dengan keluarga kecil kita."

***

Beberapa hari kemudian.

Semua karyawan yang ada di lobi kantor Big entertainment menunduk memberi hormat kepada atasan mereka. Ardian berjalan tanpa menoleh pada siapa pun. Tubuhnya proporsional tegap dan atletis. Ekspresi wajahnya selalu terlihat dingin tidak pernah tersenyum. Namun, wajah dingin itu semakin memancarkan aura ketampanan. Pengagumnya kebanyakan adalah karyawan wanita.

"Tujuannya kemana, Bos?" tanya Eja sang asisten. Mereka sudah berada di mobil.

"Cafe biasa," jawab Ardian datar.

Sang asisten mengangguk lalu memberi perintah pada sang sopir untuk segera jalan. Ardian bersandar memejamkan mata mengusir lelahnya hari ini.

Sesampainya di cafe yang dimaksud Ardian, dia memerintahkan kedua bawahannya untuk pulang dan meninggalkan mobil. Kemudian Ardian mengacak-acak rambutnya yang panjang hingga menutupi kuping dan kening. Lalu mengambil kacamata berbingkai tebal dan memakainya. Dalam hitungan menit dia mengubah penampilan agar tidak ada yang mengenali.

Ardian memasuki cafe dan duduk di meja paling belakang dekat jendela. Dia mengedarkan pandangan mencari sosok wanita yang sudah bekerja selama sebulan di cafe ini. Selama sebulan ini juga Ardian selalu datang walau hanya sekedar melihat wajah wanita itu.

Tidak lama seorang waiters wanita datang menghampirinya. Setelah memesan makan ringan dan minum dari menu, dia sempat bertanya tentang keberadaan Rindu. Hari ini jadwal kerja part time Rindu di Cafe ini.

"Kak Rindu belum datang, Pak," jawab waiters itu, dia berpikir mungkin pelanggan yang ini adalah penggemarnya Rindu.

Ardian mengangguk dan berterimakasih.

Hampir satu jam Ardian menunggu. Namun, Rindu tak kunjung datang. Pengunjung juga sudah mulai banyak.

Tidak lama Rindu datang menaiki panggung dan disambut sorak sorai pengunjung. Rindu bekerja sebagai penyanyi di Cafe itu. Hanya malam Minggu, hari dimana anak-anak muda keluar bersantai.

Musik pun dimainkan. Rindu menyanyikan lagu pertamanya. Dengan tenang Ardian mendengarkan. Suara Rindu masih seperti dulu, malahan sekarang lebih indah di pendengarannya. Lalu Ardian memanggil waiters tadi meminta kertas dan pulpen dan menuliskan request lagunya. Ardian menyerahkan dua lembar kertas, satunya tertulis judul lagu permintaanya. Dan satu lagi untuk diberikan pada penyanyi saat lagu itu selesai.

Saat membaca kertas pertama, Rindu terdiam seakan memikirkan sesuatu. Dia sempat bertanya siapa yang memintanya menyanyikan lagu itu. Mereka menolak memberi tahu sebelum lagu itu selesai. Rindu mengedarkan pandangannya menebak orangnya. Tidak lama dia pun mulai menyanyi.

Kekasih bayangan by Cakra Khan

Padamu pemilik hati yang tak pernah ku miliki

Yang hadir sebagai bagian dari kisah hidupku

Engkau aku cinta dengan segenap rasa di hati

Slalu ku mencoba menjadi seperti yang engkau minta

Aku tahu engkau sebenarnya tahu

Tapi kau memilih seolah engkau tak tahu

Kau sembunyikan rasa cintaku

Di balik topeng persahabatanmu yang palsu

Kau jadikan aku kekasih bayangan

Untuk menemani saat kau merasa sepi

Bertahun lamanya kujalani kisah cinta sendiri

Ardian membatin.

"Kamu ingat lagu ini, Rin? Lagu yang pernah kamu nyanyikan untukku dulu. Lagu yang membuat aku menyadari cintaku padamu. Kamu benar, cinta akan membawa kebahagiaan dan juga kesakitan. Cinta itu tidak bisa ditebak, datang dan pergi tanpa permisi. Cinta yang sebenarnya akan mengikat jiwa, memenuhi semua pikiran, cinta memiliki ruang tersendiri di dalam hati."

"Kamu harus tahu sekarang, cinta itu benar-benar mengikat jiwaku, memenuhi semua pikiranku akan dirimu. Kamu bilang mungkin cinta itu sudah datang padaku tapi aku tidak sadar. Benar, aku tidak menyadarinya. Cintaku datang terlambat Rindu, sekarang aku siap mendatangimu."

Pandangan Ardian tidak lepas dari Rindu. Dia memuji kecantikan wanita itu sama seperti dulu, hanya saja sekarang terlihat lebih dewasa. Tergores kesedihan di wajah Rindu, dia menghayati setiap bait lagu yang dinyanyikan.

Tepukan tangan bergemuruh dari pengunjung di akhir lagu. Suara Rindu mampu menyihir telinga pendengarnya, sama seperti dulu. Tidak ada kata bosan bagi mereka yang mengaguminya. Kemudian Rindu menerima secarik kertas lagi. Kertas kedua yang diberikan Ardian. Rindu membaca.

'Aku disini. Di meja paling ujung dekat jendela, cewek galak.'

'Dodol resek.'

Tidak merindukanku?

Rindu mengerutkan keningnya. Lalu memandang ke arah dimana Ardian berada. Tatapan mereka bertemu, Ardian memandang Rindu penuh harap lalu tersenyum padanya. Rindu tiba-tiba turun dari panggung dan berjalan tergesa-gesa ke arah belakang. Melihat itu Ardian panik dan berlari mengikutinya.

Hah ... syukurlah Rindu masih ada di belakang. Di ruang istirahat untuk staf. Ardian pikir Rindu akan pergi lagi setelah tahu keberadaannya. Baru saja hendak menemui Rindu. Owner Cafe yang mengenali Ardian, datang menghampiri. Sepertinya si owner bisa mengenalnya walau dalam samaran.

"Pak Ardi?" sapa si pemilik mengulurkan tangan, Ardian menyambutnya.

"Oo ya, Pak David."

"Saya tidak menduga, Pak Ardian mau datang berkunjung ke cafe ini."

"Iya, tentu saja Pak David, saya juga perlu bersantai, pekerjaan di kantor sangat memusingkan, tidak ada salahnya kan saya merefreshkan otak saya ini?"

"Hahaha, tentu saja tidak salah … oya, ada perlu apa Pak Ardi ke sini?" tanya David tanpa basa-basi lagi.

"Ooo… begini pak David. Saya tertarik kepada penyanyi bapak yang tadi. Boleh saya bicara dengannya sebentar?"

"Rindu maksud Bapak?" tanya David menerka, yang dia lihat masuk ke dalam hanyalah wanita itu.

"Iya, boleh saya menemuinya?"

"Tentu saja boleh. Wanita itu sangat berbakat. Sangat bagus kalau bapak tertarik pada suaranya dan ingin merekrutnya. Apalagi kecantikan nya itu, benar-benar wanita sempurna. Bodynya membuat pria manapun menggila!"

Ardian menaikkan sebelah alisnya. Mulai tidak suka dengan gaya bicara orang di hadapannya. Untuk sementara ini ia abaikan, jika sudah bertemu Rindu, dia akan membawanya keluar dari tempat ini. Gelagat pemilik cafe ini sudah tidak beres, jangan sampai sesuatu terjadi pada wanitanya di sini.

Pintu ruangan itu dibuka dengan perlahan. Rindu sedang duduk sofa untuk istirahat. Saat menoleh kebelakang, ia kaget dan sontak berdiri melihat kedatangan Ardian. Raut wajahnya tegang, bingung harus lari kemana lagi. Ardian pun menghampirinya, Rindu terdiam melihatnya.

Ardian mendekat lalu berbisik di telinga wanita itu. "Hai … Rindu, lama tidak bertemu, kamu apa kabar?" Suara itu terdengar lembut di telinganya, bulu halus di lehernya bergetar.

"A–Ardian?"

Mereka saling berhadapan, sangat dekat. Jantung Rindu rasanya akan melompat, Ardian tersenyum sangat manis. Senyuman yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta.

"Ada apa dengan ekspresi aneh itu? Kamu tidak merindukanku?"

"A–aku …." Lidahnya tercekat, sulit untuk menjawab.

"Sudahlah, aku sangat merindukanmu." Secepat kilat Ardian menarik tubuh wanita itu ke dalam pelukannya. Rindu yang tidak siap terbelalak.

Cukup lama ia terdiam, kemudian Rindu membalas pelukan hangat itu. Ia pun merasakan hal yang sama, merindukan Ardian. Sosok sahabat baik di masa remajanya, cinta pertamanya.

"Ardi … aku …," ucapnya lirih. Dadanya mulai sesak, pelukan Ardian sangat kuat hingga menekan di sana.

"Aahh, Maaf." Ardian melepaskan. Menangkupkan telapak tangannya di bahu Rindu."Kamu kemana saja selama ini?"

Ardian bertanya seolah tidak tahu apa-apa. Sebenarnya di mengetahui semua mengenai Rindu, kecuali waktu wanita itu menghilang delapan tahun yang lalu. Setidaknya tiga tahun terakhir ini ia tahu semuanya.

"Aku … aku …."

"Baiklah, ayo duduk dulu." Ardian menarik lengan Rindu dan duduk berhadapan. "Sekarang mari kita bicara. Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik-baik saja," jawabnya datar.

"Delapan tahun yang lalu kamu pergi kemana?" Ardian berusaha tetap tenang.

"Aku ikut tanteku yang ada di Jerman."

"Kamu tahu? Aku kebingungan waktu itu, kamu tiba-tiba menghilang. Aku mencarimu mengelilingi setiap tempat di bandara."

"Tentu saja aku tahu Ardi, dan kamu seperti orang gila. Sebab itulah aku menjadi takut untuk menemui kamu," jawab Rindu dalam hati.

"Hei, kamu dengar? Kamu tidak ingin tahu bagaimana kabarku? Bagaimana kehidupanku setelah delapan tahun lalu?"

"Tidak, aku memutus semua komunikasi waktu itu. Aku bahkan baru saja tahu kejadian delapan tahun lalu," jawab batin Rindu lagi, mulutnya masih berat untuk bicara.

"Hei, bicaralah, kenapa kamu diam?"

"Emm … Ardi, maaf," Rindu menundukkan kepalanya. Hanya kata itu yang mampu keluar.

Ardian seakan di hempas gelombang yang mendorongnya, ia tidak bisa menahannya lagi. Ardian pun kembali menarik Rindu kepelukannya. Kali ini air mata bercucuran begitu saja. Dikecup puncak kepala wanita yang sangat dirindukannya itu.

"Tidak, Sayang ... kamu tidak perlu minta maaf. Aku yang seharusnya bilang maaf. Maaf atas kebodohanku. Maaf, maaf, Rindu, cintaku datang terlambat." Suaranya yang khas terdengar parau.

Tanpa sadar Rindu pun menangis. Pengakuan Ardian membuatnya tersentuh. Cinta pertamanya sedang menangis di puncak kepalanya. Kulit kepalanya terasa basah dan hangat. Rindu melingkarkan kedua tangannya ke punggung Ardin, mendekap dengan erat. Lelaki itu pun menenggelamkan kepalanya ke ceruk leher Rindu.

Cukup lama mereka berpelukan melepas kerinduan mereka selama ini. Hingga akhirnya terdengar suara ketukan pintu, membuat mereka tersentak. Lalu melerai pelukan masing-masing.

"Pak Ardian, apakah saya mengganggu?"

"Ahh, tidak apa-apa?" Ardian berucap datar. "Ya sangat mengganggu." Sambungnya dalam hati.

"Rindu… bisa kamu tampil sekarang?" tanya si pemilik kafe pada Rindu. Namun, matanya melihat Rindu dari atas hingga bawah. Membuat Ardin tak suka dengannya.

"Bisa, Pak."

"Pak, Ardi ... maaf saya harus bekerja." Rindu beralih pada Ardi. Tatapannya seolah berkata, "Sebaiknya kamu pergi saja. Lain kali kita bicara lagi."

Ardian mengerutkan keningnya, raut wajahnya masam. Ada kemarahan di sana, ia menolak untuk pergi.

"Pak David, mulai hari ini Rindu tidak bekerja lagi di cafe ini. Saya akan mengirim seseorang untuk menggantikan Rindu malam ini. Saya tidak menerima penolakan," ucap Ardian dengan wajah dindingnya, tegas dan sedikit menakutkan. Nadanya penuh ancaman.

"Ardi, maksud kamu apa? Jangan seenaknya kamu!" bisik Rindu mendekat ke pria itu.

Namun, tiba-tiba. "Ba–baiklah, Pak Ardian." Kemudian si owner menoleh pada karyawannya. "Rindu, kamu boleh berhenti bekerja. Untuk bayaran kamu malam ini saya akan transfer."

"Hahh, tapi pak?" Rindu terperangah. "Apa yang terjadi? Kenapa Pak David begitu patuh pada Ardi?" batinnya kebingungan.

"Baik, kalau begitu saya permisi." Si owner keluar dari ruangan.

Ardian tampak tidak merespon sama sekali. Rindu yang keheranan membulatkan mata, membuka mulut tak percaya dengan yang baru saja terjadi. Ardian lalu mengambil ponsel dari kantong celananya dan menghubungi seseorang.

"Dalam waktu sepuluh menit kirim seseorang untuk bekerja di sini malam ini." Panggilan dimatikan, lalu menyimpan ponselnya kembali.

Ardian menoleh pada Rindu. "Ambil barang-barang kamu, kita pergi sekarang!" Perintahnya tiba.

"Apa apaan sih kamu? Main perintah seenaknya? Aku masih butuh pekerjaan ini!" protes Rindu tidak terima.

Ardian tidak menggubrisnya, dia pun fokus mencari tas Rindu dengan ekor mata. Setelah melihat ada tas di pojokan sofa, langsung diambilnya.

"Hanya ini barang milikmu?"

"Iya."

Sudah cukup kesabaran Ardian sampai disini. Pergelangan tangan Rindu ditarik keluar dari tempat menyebalkan ini. Bisa jadi karena emosinya, bangunan cafe ini dia runtuhkan.

"Hei, Ardi ... pelan-pelan."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!