NovelToon NovelToon

Terpaksa Turun Ranjang

1. Mau Pindah

“Zey, Mama sudah ngobrol dengan Mbak kamu agar kamu bisa menumpang tinggal saja dengan dia selama di Jakarta.”

Begitu ucap Dian saat menghampiri Zeya yang sedang belajar di kamarnya.

Seketika Zeya memutar kepala menghadap Dian. Mamanya sudah duduk di sudut kasur. Dan Zeya melihat sang Mama dari kursi belajarnya.

“Tinggal bareng Mba Ambar?” Kedua alis Zeya naik. “Maa, nge-kost atau ngontrak aja deh.”

“Ihhh, Mama sudah survei. Kalau nge-kost atau ngontrak lumayan mahal loh, Zey. Itu si Keisha tetangga kita ngekost di apartemen bayarnya lima juta per-bulan.” Mata Mama melotot lebar setiap kali bicara. Benar-benar ciri khas ibu-ibu yang pusing setiap kali membicarakan uang. “Lagipula, suami Ambar itu banyak uang, dia juga nggak keberatan kalau kamu tinggal bersama mereka. Untuk beberapa tahun saja, Zey, menyelesaikan pascasarjana kan, cuma sebentar.”

“Kata Mama cuma sebentar, bagiku luama banget kalau tinggal dengan Mba Ambar dan suaminya. Mama tahu sendiri kan, aku nggak deket dengan suami Mba Ambar yang kaku itu. Dan lagi, suami Mba Ambar itu Dosen di kampus aku nanti, Ma.”

“Loh, bukannya malah bagus ya. Kamu bisa jadi nebeng dengan Digta setiap mau ke kampus.”

“Yee, Mama kalau ngomong mah, enak.”

“Coba deh kamu pikir-pikir lagi. Belum lagi biaya nge-kost, makan sehari-hari, transportasi. Lumayan banyak juga pengeluaran Mama tahu. Kalai tinggal dengan Mba Ambar semuanya geratis.” Dian mulai sewot sambil bersedekap. “Yah, kecuali …. Kamu mau jatah bulanan kamu di potong untuk nge-kost, transportasi dan lain-lain.”

“Ih, Mama ….” Zeya menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil. “Dulu waktu Mba Ambar kuliah di luar kota nggak gini-gini amat. Kenapa giliran aku jadi di anak tirikan, sih?”

“Karena Ambar itu dapat beasiswa, dan dapat jatah bulanan dari kampus, dan juga Ambar itu punya inisiatif untuk cari kerja sendiri. Nggak seperti kamu, kamu mah maunya hidup enak terus.” Dian menyindir sarkastis. Sudah biasa bagi Zeya kalau Mama dan Papanya suka membanding-bandingkan kehebatan Ambar dan dirinya.

Zeya memonyongkan bibirnya.

“Mama tunggu keputusan kamu pukul sepuluh malam ini.”

“Ha?” Zeya menatap jam dinding. “Mama cuma kasih aku waktu berpikir selama setengah jam?”

“Lebih cepet, lebih bagus, Zey. Jadi, Mama dan Papa bisa langsung belikan kamu tiket pesawat. Mumpung lagi promo tahu!”

“Ih, irit sama pelit itu beda tipis, Maaaa!”

“Yang penting kehidupan kamu terjamin, Zey. Yaudah ah, Mama dan Papa tunggu di ruang tamu. Ingat loh, cuma sampai pukul sepuluh malam.” Mama mendipkan sebelah mata sebelum keluar dari kamar Zeya.

Zeya cemberut sembari mengacak-acak rambutnya frustrasi.

Bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Ambar dan suaminya yang kebetulan adalah Dosen di tempatnya kuliah nanti. Ditambah lagi, suami Ambar adalah laki-laki yang jutek, dan kaku. Zeya sendiri bingung menempatkan diri di rumah Ambar nanti. Pasti akan banyak larangan-larangan yang membuat hidup Zeya jadi tidak sebebas saat di sini.

Ahhh, memikirkan Zeya tidak bisa dugem lagi sampai dini hari membuat kepalanya ingin pecah.

Padahal, itu kan, hal yang seru. Huh!

****

Pukul sepulu malam teng! Zeya keluar dari kamar dengan langkah terseok-seok dan wajah sedih ketika menghampiri kedua orangtuanya yang sedang suduk di ruang tamu.

Zeya pun ikut duduk di sofa seberang orangtuanya.

“Gimana?” Tanya Dian sambil menahan tawanya. Sudah cukup selama ini Zeya hidup bebas di sini dan dimanja. Sudah waktunya Zeya hidup tanpa orangtuanya dan tidak bermanja-manja lagi.

“Yaudah,” kata Zeya akhirnya dengan wajah sedih.

“Gimana apanya?” Tanya Agung santai sambil fokus meng-scroll ponselnya dan melihst berita-berita di facebook.

“Aku terima tawaran Mama dan Papa untuk tinggal dengan Mba Ambar. Tapiii….” Zeya membesarkan suaranya di kata terakhir. “Uang jajanku harus nambah ya!”

Agung berhenti menatap ponsel dan menatap Zeya dengan mata menyipit tajam. “Uang jajan ditambah untuk apa? Agar kamu bisa keluyuran nggak jelas di Jakarta? Ingat loh, Dek, kamu pikir kamu bakalan bisa bebas di sana? Digta itu didikannya militer, dia pasti sangat hidup teratur.”

Zeya cemberut. “Iya, paham. Sudah aku bayangkan hidupku menderita di sana.”

“Terus, untuk apa uang jajan ditambah?”

“Papa nggak gaul banget, sih. Di Jakarta banyak toko-toko branded loh. Uangnya untuk belanja keperluan aku pribadi.”

Agung menarik napas dalam-dalam. “Yasudah, oke. Papa setuju.”

Zeya tersenyum semringah. “Papa emang Papa Zey yang terbaik.” Zeya menghampiri Agung dan menggoyang-goyangkan kumis tipis Agung.

“Kalau gitu kita deal dan Papa bisa langsung pesan tiket pesawat kamu untuk berangkat besok ya,” kata Papa lagi.

“Kok cepet banget?”

“Untuk prepare di sana. Bukannya harus daftar ulang ke kampusnya langsung ya?”

“Oh, iya ya. Heheh.”

“Yasudah, ini berangkat pukul sembilan pagi ya.”

“Ih, Papa dan Mama ini memang sengaja mau mengusir aku cepat-cepat dari rumah, kan?”

Dian terkekeh geli. “Bukan begitu, Papa dan Mama juga butuh waktu berdua-duan tanpa anak-anak.”

“Dihhh, geli bangetttt.”

“Hahaha.” Papa tertawa. “Kok syirik, sih.”

“Tau ah, mau beresin barang-barang dulu, agar bisa cepat-cepat pergi dari sini.” Zeya berkelakar sambil memeletkan lidah dan beranjak meninggalkan orangtuanya.

***

Zeya mengeluarkan pakaiannya dari dalam lemari dan menyusunnya di koper. Tapi tetap saja perasaannya tidak tenang.

Zeya mengambil ponsel di kasur dan menghubungi Ambar.

Pada deringan kelima panggilannya baru diangkat.

“Sorry, Ze. Ciya baru tidur,” sahut Ambar setelah tersambung.

“Nggak apa-apa, Mba. Kalau Mas Digta, sudah tidur juga?”

“Um, Mas Dipta belum pulang. Lagi ada urusan dengam dosen lain karena lagi akreditas,” jelas Ambar yang membuat Zeya bernapas lega.

“Ooh, begitu. Syukurlah Mas Digta nggak ada, karena aku lagi mau ngegossipin dia.”

Ambar terkekeh geli. “Mau gossipin apaan, sih?”

“Mba beneran sudah izin ke Mas Digta tentang aku yang akan tinggal di di rumah Mba dan Mas Digta?”

“Iya, sudaah.”

“Mas Digta nggak keberatan?”

“Enggak dong, kenapa harus keberatan?”

“Huf, tapi aku takut harus satu rumah dengan Mas Digta. Sepertinya, dia itu galak ya, Mba?”

Ambar tertawa kecil lagi. “Kamu kan, belum tahu bagaimana sifat aslinya Mas Digta, jadi nggak boleh berasumsi negatif. Mas Digta itu laki-laki yang baik dan lembut.”

“Tapi, Mba tahu nggak…. Aku lihat ulasan di google tentang fakultas kampusku nanti, dan rata-rata mereka komentarin Mas Digta sebagai Dosen galak nggak ada adab.”

“Ah, perasaan kamu saja. Lagipula, kalau kamu tinggal di rumah ini jadi lebih mudah pergi ke kampus. Bisa barengan sekalian dengan Mas Digta.”

Memikirkan pergi bareng Abang Ipar paling jutek bikin Zeya sudah merinding duluan.

“Huh, apa nggak punya pilihan lain selain tinggal dengam Mba Ambar? Pasti ini salah satu rencana Papa dan Mama agar aku nggak bisa hidup bebas di Jakarta, kan? Apalagi, Papa bilang kalau kehidupan Mas Digta itu militer.”

“Hahaha.” Ambar tak berhenti tertawa. “Mba yakin kamu bakal suka dengan Mas Digta, Zey.”

“Ih, kenapa harus suka dengan laki-laki yang sudah beristri.” Zeya mulai ngawur karena otaknya sudah mumet memikirkan hal ini.

2. Pindah

Pagi-pagi sekali, Zeya terpaksa harus bangun dan mandi untuk bersiap-siap berangkat menuju bandara. Padahal biasanya, Zeya selalu bangun siang dan malas mandi. Terutama di hari Minggu.

Selama di perjalanan menuju bandara, Zeya memperhatikan kedua orangtuanya yang bersenandung gembira mengikuti musik dari stereo mobil. Seolah-olah, moment kepergian Zeya adalah moment yang paling mereka tunggu-tunggu.

“Mama dan Papa kelihatan bahagia sekali yaa anaknya pergi.” Zeya bersedekap sambil menyindir kedua orangtuanya.

Papa terkekeh geli sambil menoleh ke belakang sejenak. “Siapa yang nggak bahagia melepas anak bungsunya untuk hidup mandiri.”

“Kalau mau mandiri itu, harusnya nge-kost senditi, hidup sendiri. Bukan bergantung dengan Mba Ambar, Pa. Sama saja dong bohong.”

“Terus kalau hidup sendiri di Jakarta, kamu mau ngapain? Hidup bebas? Mau pergi pagi pulang pagi?”

“Enggak bakalan, Pa. Aku janji!” Zeya membentuk jemarinya menjadi tanda pis.

Mama ikut memutar kepalanya. “Kamu pikir, Mama bakap percaya dengan janji manismu? Sudahlah, Zeya … keputusan kami sudah bulat. Dan percayakan saja semuanya dengan kami.”

“Huh.” Zeya memalingkan wajah ke arah jendela dengan sebal.

Sesampainya di bandara, kedua orangtuanya tidak ada embel-embel menunggu Zeya sampai Zeya masuk ke dalam pesawat. Mereka langsung memeluk Zeya dan mengucapkan selamat tinggal, lalu pulang.

Benar-benar tidak berprike-orangtua-an!

“Bye Zeyaaa, semoga beruntung!” Dian mengepalkan tangan ke udara dan menariknya jadi membentuk semangat.

Zeya hanya manyun dan menarik kopernya masuk ke dalam pintu keberangkatan.

***

Baru duduk di pesawat, Zeya langsung menggunakan headset dan memutuskan untuk memejamkan matanya saja sambil menyandarkan kepala di jendela.

Seseorang menggoncang tubuhnya dan melepaskan sebelah headset Zeya, membuat kelopak mata perempuan itu terbuka.

“Kenapa sih?” Zeya dongkol kepada lelaki yang telah mengganggu tidurnya tersebut.

“Sorry, bukan kah yang kamu duduki itu bangku saya?” Lelaki itu menunjukkan tiket-nya pada Zeya.

Zeya melihat tiket pesawatnya dengan saksama. “Ini kursi saya ada di D, dan kamu F.”

“Tapi, F itu duduk di dekat jendela. Dan D duduk di pinggir dekat jalan.”

Zeya mengernyit. “Sejak kapan peraturannya berubah?”

“Memang seperti itu peraturannya sejak dulu, karena bangku kita berada di sisi kiri badan pesawat. Kalau kamu ragu, kamu bisa lihat kodenya di atas bangku kamu.”

Zeya memejamkan matanya sejenak sambil mengerang kesal. “Ribet!” Lantas ia bangkit dan keluar dari deretan kursi.

Membiarkan lelaki itu menempati kursinya tadi.

“Sorry, aku sedikit mual kalau nggak duduk di dekat jendela,” kata lelaki itu lagi.

“Bodo amat.” Zeya menggerutu dan duduk di kursinya. Zeya kembali menggunakan headset dan tidur.

Sampai akhirnya pesawat lepas landas, dan Zeya enggan menutup matanya sampat pesawat mendarat kembali di bandara Soekarno-Hatta.

Seseorang kembali menggoncang tubuhnya, dan Zeya membuka mata kembali. Ia menoleh ke arah lelaki tadi. Padahal sudah jelas-jelas di antar kursi mereka ada orang duduk, tapi lelaki itu masih bisa memanjangkan tangan untuk mengusi Zeya.

“Apa sih?” Zeya kehabisan kesabaran.

“Sudah sampai,” kata lelaki itu.

Zeya membuka mata, dan orang-orang sudah berdiri untuk mengambil barang mereka di kabin pesawat.

Zeya pun ikut berdiri dan mengambil barangnya. Lantas buru-buru keluar dari pesawat.

Tanpa ia sadar seorang lelaki tadi telah mengikuti langkahnya.

“Hei ….” Kini lelaki itu mensejajarkan langkahnya. “Sorry atas ketidaknyamanan kamu selama terbang tadi. Aku nggak bermaksud mengganggu kamu.”

Zeya menyipit tajam. “Kamu sudah nonton film Taken belum?”

“Yang dibintangi oleh Liam Neeson?”

“Yup. Kamu tahu kenapa anaknya diculik?”

Lelaki itu mengangkat alisnya.

“Kesalahan terbesarnya adalah, berkenalan dengan laki-laki yang tidak dikenal.”

Laki-laki di sebelah Zeya tertawa. “Maksud kamu, aku ini—“ lelaki itu menghentikan omongannya.

“Siapa tahu….” Zeya mengangkat kedua bahu.

“Aku Jerry.” Lelaki itu justru mengulurkan tangan untuk berkenalan.

Zeya tidak menanggapi dan berjalan dengan cepat demi menghindari lelaki bernama Jerry tersebut.

***

“Zeyaaaa!”

Ambar melambaikan tangan setelah melihat Zeya keluar dari pintu kedatangan.

Zeya melangkah cepat sambil menarik kopernya dan langsung memeluk Ambar.

Mungkin sudah hampir tiga tahun merek tidak bertemu, karena kesibukan Ambar dan ditambah lagi masa covid membuat mereka sulit bertemu.

“Ya ampun, kamu sudah langsing ya, sekarang. Perasaan dulu agak gemukan.” Komentar Ambar.

“Aku diet hehehe.” Zeya terkekeh.

Lantas melepaskan pelukannya dari Ambar dan menatap anak kecil berusia tujuh tahun berdiri di sebelah Ambar. “Ini Ciyaa?”

“Iya, Ciya.” Ambar mengelus kepala Ciya.

“Ya ampun, udah gede ya. Padahal dulu masih sering aku gendong-gendong, loh.” Zeya membungkukkan badan agar tingginya dan Ciya sejajar. “Halo Ciya, aku Tantemu, Zeya. Tos dulu dong!” Zeya menunjukkan kelima jarinya.

Ciya masih terlihat takut-takut dan memeluk kaki Ambar.

“Maklum, baru pertama kali ketemu orang baru,” ujar Ambar.

Zeya kembali berdiri. “Mba sendirian aja jemput aku?”

“Berdua doang dengan Ciya. Mas Digta lagi ngajar.”

“Alhamdulillah.” Zeya mengusap dada.

“Loh, kenapa memangnya?”

“Nggak apa-apa, Mba. Aku bingung gimana cara berbaur dengan Mas Digta.”

“Hahaha, santai aja. Sudah aku bilang kalau Mas Digta itu orang yang baik. Kamu pasti suka, deh….”

“Mba pikir aku pelakor ya, main suka-suka dengan laki orang.”

Ambar tertawa lagi. “Beneran kamu bakalan menyukai Mas Digya. Karena dia laki-laki yang baik dan perhatian. Kalau kamu sudah mengenal Mas Digta lebih dalam. Mungkin kriteria calon suamimu seperti Mas Digta.”

“Ih, Mba bisa aja deh.”

“Yaudah, Yuk. Kita langsung pulang saja.”

Mereka pun meninggalkan Bandara.

***

Sesampainya di rumah, Ambar langsung menunjukkan kamar Zeya yang berada di lantai bawah. Kamarnya cukup luas dan nyaman, sangat cocok untuk Zeya yang males naik-turun tangga.

Setelah menaruh semua barang-barangnya di kamar, Zeya pun makan siang di ruang makan yang telah disediakan oleh Ambar.

Ponsel Ambar berdering, ia izin sebentar pergi dari ruang makan untuk menerima telepon dari mamanya.

“Assalamualaikum, Ma,” sahut Ambar setelah berada di halamaj belakang.

“Zeya sudah sampai?”

“Sudah, Ma. Lagi makan siang bareng Ciya.”

Terdengar suara helaan napas yang berat dari seberang sana. “Mama mengkhawatirkan kamu dan adik kamu.”

“Ma, percaya dengan aku. Semuanya akan baik-baik saja dan rencana kita akan berhasil. Asalkan, Mama dan Papa tetap menjaga rahasia.”

Dian terisak. “Mbar, jangan lupa diminum obatnya dan terus rutin kontrol ya. Mama dan Papa belum bisa datang ke Jakarta karena Papa masih sibuk dengan kerjaannya.”

“Nggak apa-apa, Ma. Kita bisa berkumpul saat lebaran nanti.”

Dian masih tersiak. “Mama nggak pernah menyangka kalau kehidupan kamu akan jadi seperti ini, Amba. Kamu perempuan yang baik, istri yang hebat, dan kakak yang tangguh untuk Zeya. Kami semua menyayangi kamu.”

“Aku pun menyayangi kalian semua. Andai aku punya pilihan lain, aku tidak ingin memilih lahir seperti ini. Tapi, semua sudah ketentuan dari yang di atas dan aku hanya bisa menjalani dan menerima dengan lapang dada.”

“Mama mencintai kamu, sayang.”

“Aku juga, Ma.”

Percakapan siang ini diiringi dengan isakan tangis dari keduanya. Sampai nanti isakan tangis ini menjadi senyuman kebahagiaan, ketika Ambar sudah pergi dari kehidupan mereka dengan tenang. Dan lebih tenang lagi disaat hidup akan berjalan sesuai rencananya.

3. Serumah Dengan Ipar Galak

Semenjak tinggal bersama Ambar, Zeya jadi suka mengurung diri di kamar. Apalagi kalau Digta sudah pulang kerja, Zeya benar-benar berada di dalam kandang.

Zeya menghabiskan waktu dengan nonton drama Korea kesukaannya, mumpung kegiatan belajar di kampus belum mulai dan belum ada tugas menumpuk.

Pintu kamarnya diketuk, bertepatan dengan munculnya Ambar di ambang pintu.

“Zey, makan malam dulu yuk.” Ajak Ambar.

Zeya mendongak. “Makan malam bareng-bareng di meja makan ya, Mba?”

“Iya dong, memangnya mau makan di mana?”

“Duluan aja deh, Mba. Aku nggak enak dengan Mas Digta.”

“Loh, kenapa begitu? Makan bareng-bareng lebih seru, Zey.”

Zeya tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginan Ambar. Zeya mengganti pakaiannya menjadi lebih sopan sebelum keluar dari kamar dan ikut duduk di ruang makan.

Digta dan Ciya sudah duduk di ruang makan lebih dulu. Digta sibuk dengan ponselnya, sampai-sampai enggan melihat kehadiran Zeya. Atau sekedar menyapa.

“Besok, Zeya sudah mulai kuliah.” Ambar membuka percakapan.

Tidak ada tanggapan dari Digta. Dan Zeya pun menjadi kaku, mengingat Digta akan menjadi dosennya.

“Mas ….” Panggil Ambar.

“Um, ya?“ Digta akhirnya mendongak. “Sorry, ini aku lagi lihat tugasnya para mahasiswa.”

“Kalau lagi makan, jangan main hp dulu,” kata Ambar lagi.

“Oke-oke, sorry.” Digta menyingkirkan ponselnya seolah menurut dengan Ambar.

“Besok Zeya sudah mulai ke kampus, Mas. Perginya bisa barengan dengan kamu saja, kan?”

Zeya tersedak minumannya. Sedangkan Digta mengangkat kedua alis sembari menatap Zeya.

“Eh, Zeya, halo. Kapan sampainya?” Dan lelaki itu baru menyapanya sekarang setelah Zeya sudah cukup lama duduk di sini.

“Tadi siang, Mas,” jawab Zeya sekenanya.

“Oh iya….” Digta menggaruk pelipis. “Besok harus ke kampus ya. Sudah mulai masuk mata kuliahan?”

“Belum, Mas. Masih registrasi untuk nentuin jadwal kuliah.”

“Ooh…. Kalau gitu, besok bisa pergi bareng. Kebetulan saya ada kelas pagi.”

“I-iya, Mas.”

Zeya melihat ekspresi Ambar yang tersenyum padanya. Seolah Ambar merasa begitu bahagia.

Tidal ada pembicaraan lain saat mereka sedang menikmati makan malam. Hanya hening yang terjadi sampai Digta menghabiskn makanannya dan segera bangkit dari kursi makan.

“Sayang, aku sudah selesai. Aku mau ke ruangan kerja dulu untuk kelas online dengan mahasiswa,” ujar Digta lembut sambil tersenyum pada Ambar.

“Oke, Mas.” Ambar pun juga membalas dengan senyuman.

Setelah Digta pergi dari ruang makan dan mereka semua juga sudah selesai makan. Zeya mengambil beberapa piring kotor dari meja makan dan membawanya ke wastafel.

“Mas Digta baik, kan?” Ambar mendekatinya.

Zeya menyipit. “Baik sih.”

“Jadi, besok kamu bisa berangkat ke kampus bareng Mas Digta ya, Zey.”

Zeya menyiprat air di tangannya ke wastafel. “Mba, sebenarnya aku bisa naik angkutan umum saja. Aku takut merepotkan Mas Digta.”

“Kamu kan, orang baru di sini. Memangnya kamu paham naik angkutan umum? Di Jakarta itu ribet loh, Zey.”

“Tapi, sekarang zaman sudah canggih dan bisa pesen ojek lewat aplikasi. Nanti juga diantar sesuai alamatnya, Mba.”

“Tapi mahal tahu. Apalagi jarak rumah ini ke kampus itu nggak deket.”

Mendengar kata “mahal”, Zeya jadi lebih berpikir panjang. Mungkin sudah benar jalannya kalau dia harus nebeng bareng Digta. Untung-untung bisa menghemat ongkosnya.

***

Zeya mendengar samar-samar suara gedoran pintu di kamarnya dan suara lembut Ambar yang terjs memanggilnya.

Zeya berusaha membuka mata dan mencari jam weker yang sudah hilang dari atas nakas.

Zeya memutuskan untuk memejamkan matanya lagi. Tapi, dia ingat kalau satu jam yang lalu, Zeya baru saja melempar jam wekernya ke lantai karena berisik.

Hal itu membuat Zeya segera terduduk di kasur dan mencari keberadaan ponselnya uang ternyata dihimpit dengam tubuh ya sendiri.

Zeya memperhatikan jam ponsel yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sedangkan seharusnya, Zeya sudah harus berangkat bersama Digta pukul tujuh pagi.

“Mampus!” Zeya beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar.

Ambar sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. “Ya ampun, Zey. Mulutku sampe kering manggil kamu!”

“Ya ampun Mba, maaf. Aku ketiduran. Gimana ini?”

“Lain kali, kamarnya jangan dikunci. Agar aku bisa nyiram kamu pake air dingin atau air panas!” Seru Ambar sarkastis.

“Sorry, Mba, sorry.” Zeya mengerucutkan bibirnya.

“Yaudah buruan mandi. Mas Digta lagi nungguin kamu tuh di teras.”

“Mba, bilangin dengan Mas Digta untuk berangkat duluan saja. Ntar aku nyusul.”

“Nggak, Zey. Mas Digta mau koo nungguin kamu. Kamu buruan mandi dan siap-siap ya.” Ambar mendorong Zeya masuk ke dalam kamar.

Dan Zeya tidak tinggal diam. Pagi ini dia terpaksa tidak mandi dan hanya cuci mula menggunakan keempat jarinya.

Lalu ia menyemprotkan banyak parfum di seluruh tubuh dan mengganti pakaian yang layak untuk ke kampus.

“Aku sudah siap,” ujar Zeya setelah berdiri di depan teras menghampiri Digta dan Ambar yang sudah menunggu.

Digta mengibaskan tangan sembari menutup hidung. Mungkin dia ingin bilang kalau bau parfum Zeya begitu menyengat, tapi sepertinya Digta memutuskan untul diam saja.

“Sudah?” Digta bangkit dari kursi. Lelaki itu melirik jam tangannya. “Ciya jadi terpaksa harus ke sekolah nebeng tetangga karena sudah telat,” ujar Digta berupa sindirian sambil berjalan menuju mobil. “Sudah banyak waktu yang terbuang sia-sia karena menunggu orang lain yang lalai,” sindir Digta lagi secara pedas.

“Mas ….” Ambar menegur. Ia ikut melangkah sambil membawakan tas kerja Digta. Lalu Ambar memberi isyarat kepada Zeya agar segera masuk ke dalam mobil.

Zeya pun langsung duduk di kursi penumpang belakang ketika Digta sudah duduk di kursi kemudi.

“Apakah wajah saya seperti supir?” Digta menatap Zeya dari spion depan.

“Zey, pindah duduk ke depan, di sampingnya Mas Digta.” Pintah Ambar yang berbicara di jendela kaca mobil dekat Digta yang masih terbuka.

Zeya pun buru-buru pindah duduk di kursi depan.

“Maaf, Mas.” Zeya merasa tidak enak hati.

Digta tidak menanggapi dan memilih untul menatap istrinya. “Mas berangkat dulu ya, sayang.”

“Hati-hati, Mas.” Ambar mencium punggung tangan Digta, dan lelaki itu mencium kening Ambar.

Zeya mengerucutkan hidungnya. Bagaimana mungkin Digta bisa selembut dan nurut dengan semua perkataan Ambar. Dan juga sikap Digta begitu manis dengam Ambar.

Berbeda saat Digta bersikap pada Zeya. Begitu ketus, cuek dan sarkastis!

Kemudian, mobil pun melesat meninggalkan rumah dan membelah jalam raya.

Entah mengapa. Suasana di mobil berubah jadi begitu mencekam dan dingin. Bahkan, tidak ada suara penyanyi yang muncul di stereo mobil.

“Melanjutlan S2 itu tidak main-main, kalau hanya untuk gaya-gayaan, lebih baik tidak perlu.” Tiba-tiba suara Digta muncul. “Kalau beneran mau kuliah serius, harus bangun pagi dan datang ke kampus tepat waktu. Bukannya malah lelet begini. Bukan hanya waktu kamu yang sia-sia, waktu saya juga terbuang dengan mahal.” Begitu kalimat yang keluar dari bibir Digta dengan sarkas.

Sampai Zeya kaget mendengarnya.

“M-maaf, Mas.” Hanya itu yang mampu Zeya ucapkan.

“Berdoa saja, saya tidak menjadi Dosen yang mengajar di kelas kamu,” kata Digta lagi.

“Memangnya kenapa, Mas.”

“Karena saya ini dosen killer. Saya sangat totalitas dalam mengajar tanpa kenal status. Jadi, meskipun kamu adik ipar saya, bukan berarti saya akan menjadikan kamu anak emas. Kamu tetap diperlakukn sama dengan mahasiswa lain. Dan, jangan pernah berusaha untuk mendekatkan diri dengan saya demi nilai kamu naik. Karena saya tidak suka penjilat.”

Lagi dan lagi, Zeya harus menelan ludah mendengar ucapan Digta.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!