"Bagus,” ujar Reiki. Dia menghampiri istri pertamanya yang baru saja tiba dirumah pukul sembilan malam. “Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang. Kelihatan lebih sibuk daripada aku.”
Liora yang ingin naik ke lantai dua, menghentikan langkahnya di anak tangga pertama.
“Jawab!” bentak suaminya.
“Ck!” Wanita bermata coklat emas itu memutar badannya menghadap suami. “Ya, dari cafe lah. Memangnya kemana lagi?”
“Oh, ya? Terus kamu sampai lupa sama suami sendiri?”
“Terus aku harus apa sih, Rei?”
“Ya, harusnya kamu itu sudah di rumah sebelum aku pulang kerja.”
“Buat apa?”
“Kamu lupa akan tugas kamu sebagai istri?”
Liora memalingkan wajahnya ke arah lain. “Bukannya istri kamu itu ada dua? Terus Milen boleh keluyuran sedangkan aku gak?”
“Milen itu masih baru jadi istri. Dia butuh adaptasi dan kamu sebagai istri pertama harusnya bisa jadi contoh buat dia dalam menjalankan tanggung jawab seorang istri.”
Senyum miring terbit di bibir merah muda Liora. “Masih baru? Satu tahun itu bukan waktu yang sebentar, Rei. Seharusnya dia sudah bisa mengurus kamu dari hal terkecil. Ini siapin baju buat berangkat kantor aja masih gak bisa.”
“Makanya kamu ajarin.”
Liora menggeleng. “Sorry, waktuku gak banyak buat menjelaskan ini itu ke dia. Kamu suaminya dan itu tugas kamu.” Liora pun pergi meninggalkan Reiki.
Tiba di kamar dia langsung menghempaskan badan di atas kasur. Merehatkan badan yang terasa capek karena seharian begitu sibuk melayani pelanggan. Sejak suaminya menikah lagi, Liora memutuskan untuk mencari kesibukan di luar rumah. Membuka usaha resto dan cafe dengan konsep kekinian, dirinya seakan menemukan hal baru.
Pernikahan harmonis yang sudah dibina selama satu tahun lebih, mengalami goncangan ketika ibu mertua datang. Membahas permasalahan kenapa dia belum juga kunjung menimang cucu. Dengan sabar Liora mendengarkan keluh kesah mertuanya dan menerima masukkan agar ia dan sang suami segera menjalankan program hamil.
Namun, memiliki anak itu tak semudah yang dikira. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Untuk hasilnya tergantung pada sang pencipta. Dari semua program kehamilan yang dijalani tak satupun yang jadi. Hingga pernikahannya dengan Reiki menginjak usia dua tahun, ibu mertua datang kembali meminta putranya untuk menikah lagi.
Tentu saja dengan tegas Liora menolak dan mengancam akan menggugat cerai jika hal itu sampai terjadi. Tetapi, semua tak seperti yang dipikirkan. Suaminya mau menikah dengan calon pilihan ibunya demi keuntungan bisnis keluarga. Hampir setiap hari didesaknya Reiki untuk menandatangani surat cerai, tapi suaminya itu terus mengelak.
Lelah berdebat, Liora pun memutuskan untuk pasrah. Sejak saat itu dia memilih sibuk di luar rumah. Mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai istri yang selama ini selalu di jalaninya dengan hati ikhlas. Tak peduli bagaimana nanti pandangan suami atau mertua. Baginya, kini dia ingin mencari kebahagian dan kebebasan di luar sana meski kadang tali pernikahan yang masih mengikat memaksanya untuk pulang.
...\=\=\=\=\=...
Sebelum berangkat ke cafe, pagi ini Liora menyempatkan diri untuk menyiapkan sarapan. Setelah semua makanan dan minuman tertata rapi di meja makan dia kembali ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian.
"Ambilin bajunya Mas Reiki." Milen berkata dengan gaya angkuh di depan pintu kamarnya.
"Ambil aja sendiri," jawab Liora. "Bagi-bagi tugas dong. Saya sudah masak sarapan dan kamu yang harusnya urus Reiki."
"Heh, kamu itu disini cuma numpang, jangan berlagak sok jadi ratu." Milen menghampiri istri pertama suaminya. "Rumah sebesar ini bisa di beli Mas Reiki sejak nikah sama saya karena perusahaan papa saya dan papanya bekerja sama. Uang yang kamu pakai buat buka cafe juga berkat kerja sama itu. Jadi, sebaiknya sekarang lakukan tugas kamu dengan benar."
Liora memejamkan mata sambil menarik nafas dalam. Tak ingin suasana pagi ini yang begitu ceria jadi rusak akibat pertengkarannya dengan sang madu lebih baik dia mengalah dan melakukan apa yang diminta.
Bukan takut atau tak berani melawan. Liora sudah lelah beradu mulut dengan Milen sebab ujung-ujungnya dia juga yang akan disalahkan. Reiki pasti membela istri tercintanya itu dan tak segan kadang melayangkan sebuah pukulan padanya.
Belum lagi jika ibu mertua tahu kalau dia dan menantu kesayangannya bertengkar maka akan bertambah lagi penderitaan yang diterima. Dihina, dicaci,,dimaki, dan kadang juga di aniaya.
"Nih." Kembali dari ruang wardrobe, Liora menyerahkan satu stel pakaian suaminya ke tangan Milen.
"Nah, kalau begini kan bagus." Milen membawa baju suaminya masuk ke kamar.
Liora cuma bisa mengelus dada. Sejak perusahaan orang tua Milen dan Reiki bergabung, mereka menjadi satu perusahaan besar. Kini suaminya menjabat sebagai CEO di sana. Pundi-pundi rupiah pun semakin memperkaya keluarga Milen dan Reiki.
Hal itu membuat si istri kedua bersikap semena-mena padanya. Menganggap kemewahan hidup yang dinikmati Liora adalah berkat bersatunya ia dan Reiki. Ditambah sikap mertua yang selalu mendukung tindak-tanduk menantu keduayanya di rumah, membuat Milen semakin jadi dalam menindas si istri pertama.
Tampilannya sudah rapi, Liora keluar dari kamar. Kakinya melangkah menuju meja makan, tapi niatnya untuk menikmati sarapan di urungkan ketika melihat Reiki dan Milen sudah duduk disana sambil bermanja.
Selera makannya hilang entah kemana dan dia pun memutuskan langsung berangkat ke cafe tanpa berpamitan. Namun, baru saja balik badan, sang suami terdengar memanggil namanya.
"Mau kemana kamu?" tanya Reiki.
"Aku langsung berangkat ke cafe aja," jawab Liora.
"Oh, kok gak bilang?"
"Ini tadi mau bilang tapi ada yang ketinggalan jadi balik kamar lagi deh."
"Ya, sudah sana pergi. Jangan lupa sore sudah di rumah dan masak makan malam."
"Kan ada bibik, Rei."
"Nanti malam orang tuanya Milen mau makan malam di sini," jelas Reiki.
"Terus, apa hubungannya sama aku?"
"Ya, kamu harus bantu lah," jawab Milen. "Kalau andelin bibik yang masak kapan selesainya. Lagian tugas kamu di rumah ini ya, masak, siapin semua keperluannya Mas Reiki."
"Lalu tugas kamu apa?"
"Saya?" Milen menunjuk dirinya sendiri. "Tugas saya itu bikin Mas Reiki puas di ranjang. Katanya bagi-bagi tugas, karena sekarang kamu gak mau lagi layanin Mas Reiki soal itu jadi biar saya aja," terangnya dengan gaya manja.
Reiki pun mengangguk tanda membenarkan ucapan istri keduanya itu. "Milen gak perlu kerja yang lain-lain biar gak capek tugas malam. Jadi kamu yang seharusnya lakukan tugas lain."
Malas meladeni, Liora memilih pergi begitu saja.
Terus didesak oleh madunya, Liora terpaksa pulang lebih awal. Tiba di rumah dia langsung di suruh memasak menu spesial untuk makan malam nanti. Bukan hanya orang tua Milen saja yang akan hadir, tapi mertuanya juga ikut datang.
Terpaksa sore ini Liora berkutat dengan alat-alat dapur dan mengolah bahan mentah menjadi makanan enak. Lelah mulai mendera wanita itu pun mendudukkan dirinya di kursi plastik.
"Kalau capek, Mbak, istirahat aja sana," kata Bi Idar. "Biar selebihnya saya yang selesaikan."
Dibuangnya nafas kasar lalu liora menjawab, "Gak papa, Bik. Saya bereskan semuanya sampai terhidang di meja makan baru saya ke kamar. Males nanti nyonya besar marah-marah. Lebih baik capek badan daripada capek hati."
Bi Idar menatap iba pada wanita berusia 32 tahun itu. "Yang sabar, ya, Mbak. Semoga nanti Mbak bisa dapat jodoh yang jauh lebih baik dari Pak Reiki."
Liora menyunggingkan senyuman kecut. Seakan menertawakan nasibnya. "Gimana saya mau bertemu jodoh, Bik. Reiki aja gak mau menceraikan saya. Selamanya saya bakalan jadi pembantu di rumah ini."
"Eh, gak boleh ngomong gitu." Bik Idar menghampiri majikannya itu. "Kita gak tau apa yang akan terjadi nanti dan besok. Berdoa saja semoga Pak Reiki mau menceraikan, Mbak."
"Aamiin." Liora tersenyum. "Yuk, Bik, lanjut tata masakannya di meja."
Bi Idar pun mengangguk.
\=\=\=\=\=
"Ini memang Liora yang masak," jelas Milen. "Tapi aku juga bantu kok."
"Pantesan rasanya lebih enak dari masakan Liora," puji Lena. Di adalah ibu dari Reiki.
"Sejak kapan kamu bisa masak, Mil?" tanya Puri, ibunya Milen.
"Hhmm sejak nikah sama Mas Reiki aku mulai belajar masak, Ma." Wanita itu pintar sekali dalam berkilah.
Liora yang sebenarnya malas bergabung terpaksa ikut, sebab didesak dan diancam oleh Reiki. Melihat kemunafikan istri kedua dari suaminya, ia merasa mual mendengarkan kebohongan itu.
"Wah, kamu sekarang jadi banyak berubah."
"Iya dong, Ma. Semua demi Mas Reiki."
Ayahnya Milen mengacungkan jempol. "Memang seharusnya seperti itu. Papa bangga sama kamu dan Reiki."
Senyum bangga di wajah Reiki pun mekar. "Makasih, Pa."
"Oh, ya, Rei, besok Mama dan Papa mau berangkat ke Bali. Sepupunya Milen ada acara tunangan di sana. Kalau boleh Milen ikut, ya?" izin Puri.
"Boleh dong, Ma. Berapa hari memang?"
"Cuma tiga hari. Apa kamu ikut aja?"
"Kalau Reiki ikut gimana kantor, Ma," sela Joko.
"Gak papa, Besan. Kalau Reiki ikut biar saya yang ke kantor," timpal Malik, ayahnya Reiki.
"Kayaknya aku gak bisa deh, Ma. Soalnya abakalan ada meeting penting dengan klien. Gak enak kalau harus di schedule ulang. Perusahaan kita lagi bagus-bagusnya dan banyak yang mau bekerja sama. Jadi aku mau menunjukkan profesional kita pada mereka."
Joko bertepuk tangan. "Menantu yang membanggakan. Papa setuju, kamu gak perlu datang. Cukup diwakilkan Milen saja. Nanti pas pernikahan baru harus hadir."
"Siap, Pa."
Bagaikan angin lalu, Liora yang duduk di situ tak dianggap sama sekali. Dirinya sudah ingin beranjak dari sana sejak tadi. Namun, tatapan mengancam dari Milen membuatnya tetap bertahan sampai acara ini selesai.
Hingga kedua keluarga besar mengundurkan diri, barulah ia melangkah pergi ke kamar. Mengistirahatkan badan yang sudah lelah bekerja seharian di cafe dan di rumah. Masa bodoh dengan sisa makan malam yang ada di meja makan, ia tak peduli. Toh ada ART yang akan membereskannya.
\=\=\=\=\=
Dirinya sampai bangun kesiangan saking nyenyaknya tidur tadi malam. Liora gegas mandi dan berpakaian rapi lalu keluar dari kamar.
"Mau kemana kamu?" Milen menghadang istri pertama suaminya.
"Ke cafe."
"Selama saya pergi kamu gak boleh tidur di rumah."
"Kenapa?" Liora merasa heran.
"Saya gak rela kamu tidur sama Mas Reiki."
Tak masalah bagi Liora. Memang itu yang selama ini selalu di hindarinya.
"Tolong pagi ini kamu siapkan pakaian kantor Mas Reiki buat tiga hari kedepan. Taruh di dalam kamar. Sekalian baju sehari-hari."
"Oke." Liora melangkah ke ruang wardrobe sedangkan Milen kembali masuk kamar.
Dipilihnya tiga stel baju formal dan tiga stel baju rumahan untuk Reiki dari dalam lemari besar khusus suaminya dan istri kedua. Untuknya sendiri hanya di siapakan satu lemari di dalam kamar.
Kemudian Liora kembali, mengetuk pintu kamar sang suami. Milen keluar menerima pakaian Reiki dari si istri pertama.
"Beres, saya pergi dulu," kata Liora.
"Thank's."
\=\=\=\=\=
Sebelum berangkat kerja, Reiki mengantar kepergian istri dan mertuanya ke bandara.
"Jangan nakal, ya, selama aku gak di rumah." Milen berkata dengan gaya manja pada suaminya.
"Gak mungkinlah. Sama Liora aja aku gak pernah, apalagi sama yang lain," jawab Reiki.
"Nanti kalau kesepian di rumah telpon aku."
"Kayaknya aku bakalan lembur deh. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan."
"Di kantor?"
"Gak. Kerjaannya bisa dibawa ke rumah. Jadi nanti kalau aku gak jawab telpon kamu jangan marah atau negatif thinking."
Milen mengangguk.
"Aku kerja demi perusahaan kita biar berkembang lebih pesat lagi."
"Iya, aku percaya kok."
Mobil yang membawa mereka pun sampai di bandara. Semua turun dan langsung menuju terminal keberangkatan. "Ya udah, aku langsung ke kantor, ya." Reiki memeluk istri keduanya sebelum mereka berpisah.
Milen mengangguk dibalik punggung suaminya.
"Nanti kalau sudah sampai jangan lupa kabari."
"Iya."
Terakhir Reiki bersalaman dengan kedua mertuanya setelah itu kembali ke mobil.
\=\=\=\=\=
Malam ini, Liora akan menginap di cafenya. Beruntung gedung yang dibeli itu ada tiga tingkat bangunan. Jadi, bagian paling atas di jadikan untuk tempatnya beristirahat atau tempat tinggal yang nyaman.
Namun, sadar akan dirinya tadi tak sempat membawa baju ganti, wanita itu memutuskan kembali pulang untuk mengambil beberapa salinan.
"Aku titip cafe, ya," katanya pada karyawan.
"Mau kemana, Mbak?"
"Pulang bentar ambil baju. Baju-bajuku yang disini masih di laundry semua."
"Ooh. Oke deh. Hati-hati."
Liora mengangguk dan tersenyum. Keluar dari cafenya dia segera masuk mobil menuju istana Reiki. Tiba di sana pintu rumah sudah terkunci. Karena punya kunci cadangan dia pun membuka pintu tanpa harus membangunkan Bik Idar.
Kakinya dibawa melangkah menuju kamar di lantai dua. Sampai di depan kamar tangannya langsung memegang handle dan daun pintu terbuka.
"Astaga, Reiki." Liora terpekik saat melihat suaminya sedang asik bercumbu dengan wanita lain di atas tempat tidurnya. "Apa-apaan kamu ini? Siapa dia?"
Reiki yang kaget langsung menarik selimut untuk menutupi tubuh pacarnya nan polos.
"Pakai baju kamu! Aku tunggu penjelasannya di luar." Liora keluar dan menutup pintu dengan sangat keras.
Tak lama suaminya pun datang menghampiri. "Hey, jangan bilang-bilang soal ini sama Milen," pinta Reiki.
"Siapa dia? Selingkuhan kamu?" tanya Liora dengan tegas.
"Dia pacarku."
"Apa? Sudah punya dua istri dan sekarang kamu selingkuh."
"Heh, memangnya kamu pernah melayani aku setelah aku dan Milen menikah? Artinya sama aja aku punya satu istri."
"Ya, itu kan permintaan Milen sama kamu dan kamu juga menyanggupinya. Jadi jangan salahkan aku dong. Lagian aku juga udah di talakkan,"tutur Liora. "Terus ngapain di kamar aku segala sih?”
"Kalau di kamar aku nanti Milen bisa curiga kalau sepreinya diganti. Kamu tau sendirilah gimana dia. Tukang selidik.” Reiki menjelaskan sambil berpangku tangan. “Sekarang katakan! Ngapain kamu pulang, bukannya nginap di cafe?"
"Aku cuma mau ambil baju. Tadi lupa bawanya."
"Kamu gak marah melihat aku begituan tadi?" selidik Reiki.
"Gak! Soalnya aku udah ilfeel sama kamu. Tapi kalau Milen tau dia pasti bakalan marah besar."
Wajah Reiki berubah cemas. "Jangan kasih tau Milen. Cukup kita aja yang tau."
"Memangnya Bik Idar gak tau kalau kamu bawa tuh cewek ke sini."
"Gak. Bik Idar aku suruh ke rumah Mama."
"Oke. Aku gak akan kasih tau masalah ini sama Milen, asalkan … ."
"Asalkan apa? Aku akan kasih apapun yang kamu minta."
"Tanda tangani surat gugatan cerai kita."
"Oke. Itu hal mudah."
"Tapi aku gak mau perceraian kita dipersulit, ya. Kalau gak, aku tunjukkan bukti kalau kamu selingkuh ke Milen."
"Memang ada?"
"Di kamarku ada kamera tersembunyi." Liora sengaja membohongi suaminya agar laki-laki itu percaya dan mudah untuk mengancamnya.
"Oke. Gak masalah. Besok bawa suratnya dan aku tandatangani."
Liora tersenyum lebar. "Besok malam aku datang lagi."
"Iya."
"Kalau begitu boleh aku masuk dan ambil beberapa pakaian?"
"Silahkan, tapi jangan ganggu dia."
"Gak akan. Tapi kalau kenalan boleh lah."
Liora kembali masuk ke kamarnya dan menuju lemari. Diperhatikan selingkuhan suaminya itu tampak sedang asyik bermain ponsel. Pasti untuk menutupi rasa malunya.
"Sudah berapa lama kalian berhubungan,"? tanya Liora.
"Baru tiga bulan," jawab pacar Reiki.
"Siapa nama kamu?"
"Saya, Sena."
"Saya Liora, istri pertamanya Reiki. Tapi kamu gak perlu khawatir, kami akan bercerai."
Sena tersenyum sumringah.
"Tapi kamu harus hati-hati sama istri keduanya Reiki. Namanya Milen, dia sedikit bar-bar."
Sena melihat ke arah pacarnya yang berdiri di ambang pintu.
"Selama kamu gak buka mulut, kami aman," ujar Reiki.
Liora yang sedang mengemasi beberapa bajunya kedalam tas berkata, "Aku gak peduli dengan hubungan kalian. Aku juga gak peduli mau Milen tau atau tidak soal ini. Yang paling penting buat aku kita bercerai dan aku bebas."
"Secepatnya."
Keperluannya selesai, Liora menjinjing tasnya. Sebelum pergi dia mengambil sebuah benda kecil di dekat vas bunga."Ingat, Rei, bukti kesenangan kalian malam ini ada di tanganku," katanya sambil menggoyangkan benda itu. Padahal itu hanya sebuah pajangan saja.
Reiki mengangguk paham.
"Oke. Aku pergi silahkan kalian lanjutkan." Liora keluar dari kamar dan menuruni anak tangga dengan senyum penuh kemenangan.
\=\=\=\=\=
Pagi-pagi Liora menemui seorang pengacara untuk mengurus surat gugatan cerai. Dari sana dia kembali ke cafe. Membantu karyawannya melayani pelanggan yang mulai ramai.
Sedangkan Reiki yang sudah berada di kantor, berusaha mencari tahu lewat sang istri apakah semalam Liora mengatakan tentang ia yang membawa wanita lain ke rumah.
"Liora gak hubungin kamu kan?" katanya lewat Video Call.
"Gak ada," jawab Milen. "Memang kenapa?"
"Soalnya semalam dia pulang ke rumah ambil beberapa pakaian. Aku pikir dia bilang ke kamu."
"Gak ada sih. Tapi dia langsung pergi lagi kan, Mas?"
"Iya. Dia cuma ambil baju habis itu langsung aku usir."
"Bagus itu."
"Terus kapan kamu pulang?"
"Besok siang, Mas. Kamu jemput ke bandara, ya!"
"Pasti dong. Aku udah kangen banget sama kamu."
"Sama, aku juga. Sabar, ya. Besok kita bakalan ketemu." Milen memberikan sebuah kecupan di kamera ponselnya dan Reiki pun melakukan hal yang sama.
"Oke, sayang, aku kerja dulu, ya. Nanti kita telponan lagi."
Milen mengangguk. "Love you."
"Love you to." Layar ponsel Reiki pun berubah gelap. Kemudian dia menghubungi kekasihnya yang semalam. "Hay, honey!"
"Hay," balas Sena dari seberang sana.
"Nanti malam temani aku lagi, ya!"
"Yakin kamu bakalan aman? Nanti ada yang datang lagi gimana."
"Kali ini pasti aman. Cuma Liora yang bakalan datang minta tanda tangan aku."
"Kenapa gak di hotel aja atau di apartemen aku gitu?"
"Kalau di hotel aku takut nanti ketemu rekan bisnis atau teman-temannya Milen. Di apartemen kamu aku masih khawatir takut di sana ada kamera lambe."
"Iya juga sih. Ya, udah, deh nanti jemput aku di restoran D."
"Oke."
"Aku pemotretan dulu. Da Honey. Muach."
"Daa, muach."
Reiki mematikan sambungan Video Call itu lalu dia pun tersenyum bahagia.
\=\=\=\=\=
Tak terasa hari pun sudah beranjak sore. Liora memutuskan mandi dan berganti pakaian. Sebelum berangkat ketemu Reiki dia kembali membantu karyawan lagi sebab pelanggan bertambah ramai di sore hari.
"Katanya mau pergi, Mbak," tanya salah satu karyawan.
"Nanti malam aja. Aku harus bantu kalian dulu."
"Duduk di depan aja, Mbak."
"Gak papa, saya masak aja di dapur."
"Nanti Mbak-nya bau lagi. Kan udah mandi."
"Gak papa. Nanti tinggal mandi lagi aja."
"Ya udah, saya antar pesanan ini ke depan."
"Iya."
Tak lama karyawan yang tadi kembali ke dapur. "Mbak, ada pelanggan yang mau ketemu?"
"Kenapa?" tanya Liora dengan raut wajah bingung.
"Dia suka sama menu kita dan mau ketemu kokinya."
"Ooh, oke kalau begitu." Liora keluar dari dapur. Sebelum menemui pelangannya dia melepas celemek dan rambut yang digulungnya tadi saat memasak dekat pintu dapur.
Hal itu ternyata tertangkap oleh mata seseorang yang seakan sedang melihat sosok bidadari dalam gerakan slowmo. Kini bidadari itu datang menghampirinya.
"Hallo," sapa Liora.
Orang yang disapa tampak terpana melihatnya. Membuat Liora menggoyangkan tangannya di depan wajah pria itu. "Pak, Mas," panggil Liora lagi.
Orang itu mengerjapkan matanya. "Ya?"
"Perkenalkan saya Liora yang tadi memasak menu pesanan, Anda. Kata karyawan saya, Anda mau bertemu."
"Oh, iya. Mari duduk."
Liora menarik satu kursi yang ada di depan pria itu.
"Perkenalkan nama saya Wafi. Saya gak nyangka kalau yang masak menu ini wanita secantik Anda."
Senyum kecil terbit di bibir Liora. "Terima kasih."
"Saya gak bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin bertemu karena penasaran kenapa masakan ini sama persis dengan masakan Almarhum ibu saya."
"Ooh, gak papa santai aja. Senang rasanya jika masakan saya bisa membuat rindu Anda pada beliau sedikit terobati."
"Sangat! Makanya saya pengen sekali bertemu kokinya tadi. Lain kali boleh sesekali saya ajak ke rumah?"
"Buat apa?"
"Biar kakak saya bisa mencicipi masakan Anda."
"Aa, nanti kapan-kapan saya kirim saja dari sini."
"Terima kasih. Boleh saya minta nomor ponselnya?"
Liora merasa keberatan, tapi tak enak jika langsung di tolak. "Anda bisa hubungi nomor cafe ini. Saya akan menjawabnya."
"Oke."
"Kalau begitu saya kembali ke dapur."
"Iya, silahkan."
"Selamat menikmati."
Wafi mengangguk dengan senyuman yang tak luntur dari wajahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!