NovelToon NovelToon

Doa Dari Tanah Kepada Langit

Episode 1

"Pergi saja dari sini! Lahir batin saya menyesal telah melahirkan kamu Nona! Anak durhaka, anak yang tidak bisa menyenangkan hati orang tua!"

Aku terpana mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulut ibuku. Untaian kalimat itu memasuki gendang telingaku bagai busur panah yang menancap tepat di sasaran, yaitu hatiku.

"Pergi dari sini dan ikutlah dengan papamu yang tidak tau diri itu! Mau dikasih enak malah nolak, anak durhaka!" beliau masih saja memakiku.

"Iya Ma, Nona pergi dari sini. Maaf kalau selama ini Nona sering merepotkan Mama," aku beranjak untuk menuju ke kamarku.

"Berhenti! Mau kemana kamu?! Jangan sekali-kali membawa apapun dari rumah ini! Pergilah sekarang!"

Ucapan Mama membuatku menoleh, "Maaf Ma, tapi ada beberapa barang pribadiku yang bukan berasal dari Mama. Semoga Mama mengerti dan cukup tau diri untuk tidak mengakui jika barang-barang tersebut berasal dari Mama."

"Kurang aj*ar! Anak durhaka! Sampai kapanpun kamu jangan lupa jika surgamu ada di telapak kaki saya! Tanpa ridho saya, kamu tidak akan bisa masuk ke sana!"

Aku terbatuk sebelum menjawab, "Dan semoga Mama juga ingat, salah satu dari 3 amal jariyah adalah anak sholeh atau sholehah yang mendoakan orang tuanya. Setelah apa yang Mama perbuat pada Nona, Mama pikir Nona akan mendoakan Mama kelak?"

Seraut wajah itu membuang pandangannya ke samping. Dengan bergegas aku ke kamar, mengambil ransel yang tergantung di belakang pintu serta memasukkan barang-barang yang kubeli sendiri.

"Mama haramkan rumah ini untuk kamu injak!" seru Mama menepis tanganku, saat aku bermaksud untuk mencium tangannya.

"Ngga masalah Ma, Assalamualaikum." Ucapanku dibalas dengan bantingan pintu tepat saat aku masih berdiri di teras.

***

Namaku Shannon, biasa dipanggil Nona. Aku anak tunggal dari orang tua yang sama-sama memiliki ego tinggi. Mungkin karena mereka juga sama-sama anak tunggal yang berasal dari keluarga terpandang. Mamaku berasal dari keluarga ningrat yang memiliki banyak usaha, dan papaku berasal dari keluarga pedagang yang juga memiliki usaha. Sayangnya usia pernikahan mereka bertahan hanya sampai aku lulus SMA. Mereka kalah oleh ego dan memilih membubarkan diri dari ikatan pernikahan.

Selepas mereka bercerai, aku tinggal di berbagai tempat. Terkadang aku tinggal di kost yang kusewa, terkadang di rumah Mama dan terkadang di rumah Papa. Tergantung suasana hati saja. Sebenarnya aku memiliki rumah kecil hadiah dari mereka saat aku berulang tahun ke dua puluh satu. Sayangnya rumah itupun kemudian dijual oleh mama karena alasan usahanya yang terpuruk. Mau tidak mau aku membiarkannya karena jika aku menentang keinginan Mama, beliau tidak akan segan mengataiku anak durhaka. Bahkan saking seringnya, sampai aku merasa kebal sendiri.

Saat aku lulus kuliah, mama dan papa memutuskan untuk kembali menikah dengan pilihan mereka masing-masing. Dan lagi-lagi, mereka masih menganggapku anak kecil yang tidak perlu dimintai pendapat. Tidak masalah, toh selama ini aku terbiasa dengan diriku sendiri. Sudah dari kecil aku merasa lebih dekat dengan ART di rumah. Aku terbiasa mandiri tanpa bantuan siapapun. Jadi, ada atau tidaknya mereka, tidak berpengaruh banyak untukku.

Pengusiranku hari ini dikarenakan keinginan mama untuk menjodohkanku dengan salah satu temannya. Yap benar, teman. Artinya seseorang yang berumur sepantaran mamaku. Dengan tegas aku menolak sehingga makian kembali kudapat. Beberapa hari yang lalu, tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan dengan temannya tersebut. Beliau menjanjikan untuk membantu usaha Mama kembali stabil jika bisa menikah denganku. Kasarnya, Mama berusaha membarterku dengan uang. Miris? Ya, tapi aku sudah terbiasa.

Papaku pun tidak berbeda jauh dengan Mama. Aku diharuskan mengikuti semua perintahnya, suka ataupun tidak.

"Kamu harus nurut sama Papa, Nona! Kamu masih tanggung jawab Papa. Jika kamu membangkang, sampai ma*ti Papa ngga akan pernah mau jadi wali kamu saat menikah kelak!" ucapnya seminggu sebelum Mama mengusirku dari rumahnya.

"Ngga masalah Pa. Nona sama sekali ngga keberatan kalaupun harus ngga nikah seumur hidup," jawabku santai saat menolak keinginan beliau yang kembali meminta uang untuk menopang kehidupan keluarga barunya karena semua usahanya gulung tikar.

"Anak durhaka! Jangan pernah kembali ke sini lagi untuk alasan apapun!"

Aku mengangguk mengerti dan keluar tanpa pamit. Selama ini aku diwajibkan untuk membiayai kedua orang tuaku beserta keluarga mereka masing-masing. Untungnya, aku sudah bekerja dengan gaji yang lebih dari cukup setiap bulannya. Mama memintaku tinggal di rumahnya agar lebih mudah menguasaiku. Puncaknya, saat beliau kehilangan akal sehatnya dan mau menikahkan aku dengan temannya.

***

Sesampainya di tempat kost, aku segera membersihkan diri dan mengambil perlengkapan sholat.

"Ya Allah, ampuni hamba yang sudah lancang melawan perintah orang tua hamba. Ampuni hamba yang tidak bisa menjadi anak berbakti untuk mereka. Tolong kuatkan hati hamba agar tidak mudah sedih melihat perlakuan mereka kepada hamba. Kuatkan fisik hamba agar hamba tidak sampai harus meminta pertolongan dari mereka. Cukupkan rejeki hamba agar hamba bisa menghidupi diri hamba sendiri. Dan untuk orang tua hamba, ampunilah semua dosa dan khilaf mereka. Lembutkanlah hati mereka. Sayangi dan lindungilah mereka berdua. Aamiin."

Aku mengusapkan kedua tanganku ke wajah yang sudah penuh dengan air mata yang mengalir.

Episode 2

"Para orang tua terlalu gampang melabeli anak-anak mereka dengan kata-kata anak durhaka. Mereka lupa, jika mereka sebagai orang tua pun bisa dzalim." - Nona

***

"Minta uang!"

Baru saja memasuki halaman tempat kost, aku sudah ditodong oleh istri papa. Tanpa menjawab, aku melepas sepatu dan membuka pintu. Sosok di belakangku ikut masuk dan duduk di sofa.

"Kost kamu mewah juga. Harusnya kamu pindah ke tempat yang lebih kecil, kan uang lebihnya bisa dikirim ke papamu!" Dia berdiri dan mengamati tempat tinggalku. "Heh bi*su! Denger ngga? Saya ke sini disuruh papa kamu buat ambil uang!"

"Ngga ada uang lagi, saya belum gajian!" ucapku ketus.

Wajah istri papa memerah mendengar perkataanku, "Anak durhaka kamu! Papamu sendiri minta uang ngga mau kamu kasih! Kamu bisa jual barang berharga kamu buat papa kamu! Jangan jadi anak gak tau balas budi dong!"

Aku menghembuskan nafas kasar, "Jadi intinya kalau saya ngga mau ngasi uang karena saya sendiri juga ngga punya uang, tandanya saya durhaka?"

"Iyalah! Dulu juga papa kamu bela-belain banyak buat ngerawat kamu. Tau diri dong, seumur hidup, kamu ngga akan bisa balas jasa papa kamu!" tambahnya lagi.

"Mohon maaf, tapi dari dulu saya terbiasa mengurus diri saya sendiri dengan bantuan pembantu daripada orang tua saya. Jadi, budi mana yang harus saya balas?" ucapku penuh penekanan. "Seharusnya papa ngga mengambil keputusan menikah dengan anda, jika untuk membiayai dirinya sendiri saja beliau tidak mampu. Jangan dikira saya bodoh, saya tau uang pemberian saya digunakan oleh anda dan putri anda untuk bersenang-senang."

"Lancang kamu! Saya mama sambung kamu, yang artinya kamu harus hormat dan patuh terhadap saya!"

"Saya selalu hormat pada orang yang bersikap baik pada saya walaupun bukan keluarga dan akan patuh pada orang yang tulus menyayangi saya. Sayangnya, saya ngga melihat kedua hal itu dalam diri anda. Jadi, yang harusnya tau diri di sini itu adalah anda. Silakan pulang, dan beritahu papa, semenjak dia mengusir saya dari rumahnya saat terakhir kali saya berkunjung ke sana, saat itu pula saya hentikan semua pembiayaan yang selama ini saya tanggung. Atau anda dan papa lebih suka jika di sebut benalu?" Aku masih berusaha menahan emosi dalam nada suaraku.

"Benar-benar anak durhaka!" ucapnya geram.

"Ngga masalah. Allah Maha Mengetahui, jika saya memang anak durhaka, saya akan mendapat ganjarannya dan itu bukan urusan anda. Silakan pulang, karena anda sudah sangat mengganggu."

Istri papa menuju pintu keluar dengan muka merah padam. Dengan sekuat tenaga ia menutup pintu sehingga kaca jendela ikut bergetar. Aku duduk di sofa, berusaha meredakan amarah yang hampir tidak bisa kutahan.

***

"Ya Allah, hamba sangat menyayangi kedua orang tua hamba. Tapi kenapa perlakuan mereka selalu membuat hamba sedih, selalu membuat hamba sakit... Hati ini sakit... Hamba harus bagaimana? Hamba harus bersandar pada siapa?" Aku kembali mengadu pada Tuhan Semesta Alam untuk kejadian yang tadi sore kualami.

Masih dengan mengenakan mukena, aku bangkit dan duduk dipinggir tempat tidur. Memoriku memutar cerita dari almarhum nenek dari pihak mama. Beliau mengatakan jika kedua orang tuaku dijodohkan. Mungkin karena itulah, keduanya bersikap biasa saat aku hadir dan cenderung tidak mengurusku. Dan sekarang, mereka menuntutku untuk membalas budi.

***

[Kirim uang sekarang!]

Sebuah pesan dari nomor baru membuyarkan lamunanku.

[Siapa ini?]

[Ini Mama, anak sia*lan!]

[Oh Mama. Maaf Ma, Nona ngga ada uang. Minta aja ke suami Mama, jangan bisanya jadi benalu yang cuma tau makan, tidur dan buang-buang uang]

[Heh, anak si*al! Jaga bahasa kamu! Seharusnya kamu senang Mama mengirim pesan, karena tandanya Mama membuka pintu maaf buat kamu! Seharusnya kamu ikutin perkataan Mama!]

Aku mengusap air mata yang kembali tumpah.

[Dan seharusnya Mama cukup tau diri. Minta uang kok sama anak sia*lan. Minta aja ke suami Mama.]

Aku langsung memblokir nomor tersebut dan berniat untuk mengganti nomor besok.

***

Aku terbangun dengan kepala berdenyut karena menangis semalaman, untungnya kacamata membuat mata sembabku agak tersamarkan. Dengan melewatkan sarapan, aku bergegas pergi ke kantor.

***

Sepulang kerja, aku bertemu dengan seorang lelaki seumuran papa yang duduk di kursi teras.

"Maaf, cari siapa ya pak?" tanyaku penasaran.

Lelaki itu menatapku dengan ramah, "Saya Wito, mau bertemu dengan ananda Nona."

"Iya pak, saya Nona. Tunggu sebentar, saya ambilkan minum dulu. Maaf, saya ngga bisa mempersilakan bapak masuk, ngga enak sama penghuni lain," aku bergegas membuka pintu dan masuk ke dalam.

"Jadi, ada keperluan apa ya pak?" tanyaku setelah menyajikan secangkir teh di hadapan beliau.

"Saya temannya Bu Ratih dan bermaksud untuk menjemput Nak Nona," jawabnya seraya meraih cangkir teh. "Saya sudah meminang ananda, dan memberikan uang seratus juta pada Bu Ratih."

Aku membeku mendengar ucapan lelaki ini, ternyata dia adalah teman mama yang ingin menikahiku. Dengan tergesa aku mengambil ponsel dan seketika memaki dalam hati saat menyadari jika nomor baru mama sudah ku hapus.

"Ngga usah repot-repot menelepon Bu Ratih, beliau dan suaminya sudah pergi liburan ke Bali."

Kata-kata lelaki itu membuatku lemas dan kehilangan kekuatan menopang tubuh. Dengan bunyi yang nyaring, aku terduduk di lantai.

Episode 3

"Aku sudah terlalu lelah untuk menghindar. Aku putus asa. Apa yang harus terjadi, terjadilah. Aku sudah menyerah!" - Nona

***

Aku bisa saja lari. Aku bisa saja bersembunyi. Tapi nyatanya, aku tidak melakukan keduanya. Aku cukup lelah dengan semua tekanan yang selalu membebani pundakku. Itulah kenapa, saat ini aku sedang duduk diam di dalam mobil yang berjalan entah ke mana. Pak Wito yang duduk di sebelah supir berkali-kali menanyakan jika aku membutuhkan sesuatu, dan berkali-kali juga kujawab dengan gelengan. Hatiku luar biasa sedih dan tidak percaya, jika mama tega melakukan ini dengan imbalan uang.

***

"Bagaimana jika saya menolak?" tanyaku setelah mendengar berita jika mama sedang liburan ke Bali dengan uang pemberian Pak Wito.

"Nak Nona harus mengganti uang yang sudah saya keluarkan."

Badanku semakin lemas mendengar perkataan Pak Wito.

"Satu-satunya cara, Nak Nona terima pinangan saya," tambahnya lagi.

Cukup lama aku diam dan berpikir sampai akhirnya aku mengangguk. Aku sudah menyerah, aku sudah kalah. Jika ini memang jalan takdirku, aku akan menerimanya dengan berbesar hati.

***

Dari papan penunjuk arah di jalan tol aku tahu jika kami sedang menuju ke Bandung. Ingatan masa kecilku kembali hadir dan memberikan kilasan seperti tayangan film. Dulu aku dan kedua orang tuaku sering sekali berkunjung ke rumah teman mama di kota itu. Dan sekarang aku menebak, jika Pak Wito-lah teman mama yang dulu sering kami kunjungi.

***

Mataku terbuka tepat saat mobil sedang antri di gerbang keluar tol Buah Batu. Sesaat aku terpana melihat gemerlapnya kota ini. Bandung. Ya, dari dulu aku memang menyukai kota yang berhawa sejuk ini. Mataku masih melihat ke sisi jalan yang kami lewati saat Pak Wito bertanya,

"Nak Nona mau makan di luar atau nanti di rumah saja?"

"Saya tidak lapar Pak Wito, terima kasih untuk tawarannya," ucapku pelan.

Mobil melaju pelan dan berbelok di sebuah komplek perumahan yang di dominasi rumah-rumah mewah. Tidak jauh dari pintu gerbang, mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah besar berlantai dua. Setelah pak supir membuka pagar, mobil kembali melaju dan parkir tepat di carport.

Aku turun dan mengikuti Pak Wito yang berjalan ke arah pintu. Tas yang berisi pakaianku, dibawakan oleh pak supir.

Setelah menekan bel dua kali, pintu dibuka oleh seorang wanita seumur mama yang cantik dan anggun. Begitu melihatku, beliau langsung menangis dan memelukku erat.

"Ini istri saya," ucap Pak Wito padaku.

Aku membeku dalam pelukan wanita itu. Istri? Itu berarti aku akan dijadikan istri kedua. Menyadari fakta ini, aku kembali lemas. Akumulasi dari kelelahan, shock dan belum makan dari siang membuat tubuhku ambruk dan penglihatanku gelap.

***

"Non, minum dulu yuk?" suara seseorang membuatku yang setengah terjaga menjadi fokus.

Dengan perlahan, seorang wanita tua menyuapiku teh manis panas. Aku terpana menatap wajahnya dan berusaha keras menggali ingatanku tentangnya.

"Bi Mumun...?" tanyaku lirih.

Suapan wanita itu terhenti. Dengan suara keras, beliau menaruh kembali sendok di gelas dan memelukku erat.

"Alhamdulillah, Non Nona masih inget Bibi," ucapnya menangis.

Aku memeluk Bi Mumun dan mengusap punggungnya. Bisa bertemu dengannya di rumah ini merupakan kejutan baru bagiku. Tapi setidaknta, aku lebih tenang, karena ada seseorang yang kukenal di sini.

Bi Mumun dulunya adalah Asisten Rumah Tangga orang tuaku. Beliau sudah merawatku dari sejak aku bayi. Itulah kenapa, aku jauh lebih dekat dengan beliau dibandingkan dengan mama. Saat mama dan papa memutuskan berpisah, mereka memberhentikan semua pekerja di rumah termasuk Bi Mumun.

"Non ngga nyangka bisa ketemu Bibi di sini," aku ikut menangis. Tangis karena rindu setelah sekian lama tidak bertemu, juga karena lega mengetahui jika beliau baik-baik saja.

"Sebentar ya Non, Bibi ambil makan. Non pasti lapar, tunggu sebentar."

Aku mengangguk dan melihat hingga Bi Mumun keluar dari kamar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!