"Mama mohon Nak, bantu kakakmu," lirih mama dari belakangku.
Aku menghembuskan nafas kasar, "Sampai kapan Ma? Harus sampai kapan lagi Ava berkorban buat kakak? Sampai Ava ma*ti gitu? Itu mau Mama?"
Keheningan memenuhi atmosfer di ruangan kami berada. Detak jam dinding tertangkap jelas oleh indera pendengaranku.
"Mama sangat menyayangi kakakmu, Ava," ucap beliau yang nyatanya kembali menorehkan sakit di hati.
"Ya. Ava tau, selalu kakak. Hanya kakak yang Mama sayang," aku melengkah menuju pintu dan keluar dari rumah dengan memacu mobilku kencang-kencang.
***
Aku anak kedua sekaligus bungsu di keluarga ini. Namaku Ava dan kakakku bernama Axa. Usia yang tidak terpaut jauh dan wajah yang mirip membuat orang-orang menyangka kami kembar. Tidak, kami berbeda dua tahun. Axa menderita sakit bawaan yang baru diketahui saat ia berusia dua tahun.
Thalasemia. Ya, ia menderita penyakit kelainan darah tersebut. Selama ini kakakku bertahan hidup karena transfusi darah. Si*alnya, karena persediaan darah semakin sulit didapatkan dan ternyata jenis darahku sama dengannya, aku yang kemudian harus rutin mendonorkan darahku untuk memperpanjang hidup saudaraku tersebut.
Pemilik golongan darah seperti kami lumayan jarang di Indonesia. Karena tipe golongan darah yang langka ini, beberapa pemilik golongan darah yang lain rutin mendonorkan darahnya untuk alasan kemanusiaan. Sayangnya, semakin lama semakin sedikit jumlah persediaannya di Indonesia.
Mama dan papa sudah berkali-kali membujukku supaya membantu Axa dengan transplantasi sum-sum tulang. Sampai sejauh ini aku menolak dengan keras dan hanya merelakan darahku saja untuk kuberikan. Entahlah, ada rasa tidak rela melihat Axa sembuh, melihat jika selama ini mama dan papa hanya menomorsatukan dia dan mengabaikanku dari kecil.
***
"Kasih dulu pensil warnanya ke kakak ya? Kakak kan sakit, kasihan nanti nangis."
Nyatanya Mama tidak memintaku, namun memerintahkan. Sebelum aku menjawab, beliau sudah dengan cepat merebut pensil warna kesayanganku hadiah dari nenek untuk kemudian diberikan pada Axa. Ketika aku tidak menuruti perintah beliau, aku harus bersiap menerima pukulan di kaki.
"Mainnya di rumah aja, kasian kakak nanti mau ikut." Lagi dan lagi aku yang kembali harus berkorban. Aku harus merelakan hilangnya waktu bermain dengan teman-temanku sepulang sekolah hanya karena untuk menjaga perasaan Axa.
Pernah suatu hari aku kabur lewat jendela belakang. Saat pulang, papa sudah berdiri menatapku dengan mata melotot. Seperti yang kuduga sebelumnya, cubitan papa mampir ke betis kecilku.
***
"Axa lagi?" tanya Gea
Aku mengangguk pelan.
"Masalah transplantasi?"
"Iya, masih masalah yang sama dan aku juga masih harus tetap rutin mendonorkan darah," ucapku lirih.
Gea mengangguk-angguk mengerti.
"Aku egois ngga sih?" tanyaku
"Egois karena ngga mau bantuin Axa?"
"Iya," jawabku.
"Mungkin menurut orang tua kamu sih iya, kamu egois."
"Kalau menurut kamu?" tanyaku lagi.
"Ngga. Karena kamu juga menderita setiap kali selesai donor darah."
"Tapi Papa sama Mama ngga ngerti. Keluarga besar juga pada bilang kalau aku egois," aku membuang pandangan ke arah lain.
"Ya itulah, mereka ngga mau ngerti karena prioritas mereka itu Axa, bukan kamu."
Ucapan Gea kubenarkan dalam hati.
***
Mataku menangkap sosok Mama yang berdiri tepat di pintu kamarku. Entah sejak kapan beliau berdiri di situ, karena aku baru menyadarinya saat melipat mukena dan sajadah.
"Percuma kamu berdoa. Doa kamu ngga akan pernah didengar atau bahkan dikabulkan karena kamu seorang anak yang egois dan hanya mementingkan diri kamu sendiri," ucapnya sambil berbalik pergi.
Kata-kata mama tersebut sontak menikam kembali hatiku yang sudah dipenuhi luka.
***
"Baju ini lebih cocok aku pakai daripada kamu." Kalimat yang keluar dari mulut Axa sontak membuatku menoleh.
"Itu punya aku!" seruku. Entah kenapa aku selalu kehilangan kendali jika sedang berbicara dengan Axa.
"Ya terus? Belinya juga pake uang Mama sama Papa kan?"
"Kata siapa? Itu hadiah ulang tahun aku dari Gea," balasku sengit.
"Ngga peduli, kamu ngga cocok pake ini."
Aku menarik nafas panjang, "Kenapa kamu selalu mau apapun barang yang aku punya?"
Axa menyeringai sejenak, "Simpel aja sih. Aku ngga suka ngelihat kamu lebih bahagia dari aku. Aku sering terkurung di rumah tanpa teman karena penyakit sialan ini. Sedangkan kamu? Kamu dengan bebas bisa melakukan apapun semau kamu!"
"Oh," aku berkata pendek.
"Apa?" tanyanya.
"Bukan karena penyakit itu kamu harus selalu diem di rumah dan ngga punya temen. Tapi karena pribadi kamu."
"Maksudnya?" tanyanya lagi.
"Maksudnya, selain penyakit si*alan itu, kepribadianmu juga sama si*alannya. Itu kenapa kamu ngga punya temen untuk sekedar menengok kamu."
Plak!
Papa menamparku setelah dengan kasar menarik tanganku agar berbalik menghadapnya.
"Anak kurang ajar! Tega kamu sama kakak kamu sendiri?! Tega kamu nyakitin kakak kamu dengan ucapan kamu?!"
Aku menyentuh pipiku yang terasa panas. " Terus? Aku harus bersyukur gitu? Punya saudara kandung yang selalu iri hati!"
"Ava!" Mama membentakku. "Jangan sampai Mama menyesal sudah melahirkan kamu karena tingkah laku kamu yang kurang ajar ini!"
Aku tersenyum getir, "Maksud Mama apa? Bukannya emang kelahiran aku ngga diharapkan sampai akhirnya Mama sama Papa sadar kalau cuma aku yang bisa nolong Axa."
Bukan sekali dua kali mama bercerita jika beliau kebobolan saat Axa masih kecil. Di tengah-tengah kebahagiaan mereka mengurus Axa, Mama dinyatakan hamil.
Aku sangat-sangat dibedakan dengan kakakku sendiri. Awalnya aku mengira jika ini hanya perasaanku saja. Tapi, Nenek —satu-satunya orang yang tulus menyayangiku— juga merasa demikian. Dari cerita beliau, papa pernah berkata jika kehadiranku hanya membawa sial. Saat Axa lahir, karir papa sedang pada puncaknya sedangkan saat aku lahir, kemalangan datang bertubi-tubi. Mulai dari Axa yang didiagnosa menderita Thalasemia, hingga menurunnya perekonomian mereka. Sebenarnya masuk akal jika perekonomian mereka menurun, karena mereka harus membawa Axa rutin untuk transfusi darah. Tapi mereka menyalahkan semuanya karena kehadiranku.
"Aku bisa iklas bukan karena aku hebat, tapi karena aku terbiasa," - Ava
***
"Axa udah ngga kuat lagi Ma, cape terus-terusan bolak-balik ke rumah sakit buat transfusi."
Tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan kakakku dengan Mama.
"Mama harus gimana lagi buat ngebujuk Ava, Xa? Adik kamu itu keras kepala."
"Mama bujuk dong, atau apalah. Gimana pun caranya. Axa pengen hidup normal, Ma. Ava bisa dengan seenaknya menjalani hidup dia. Sedangkan Axa? Dari kecil Axa udah harus berjuang untuk hidup. Ini ngga adil Ma. Axa lelah!" suara kakakku meninggi.
"Nanti Mama coba bicara lagi sama Ava ya? Kamu tenang, jangan banyak pikiran. Biar ini jadi urusan Mama."
***
Tok tok tok!
Aku tau siapa yang sedang berdiri di luar pintu kamarku.
"Mama mau bicara."
Betul 'kan dugaanku. "Mau bicara apa lagi Ma? Mama cuma bicara sama Ava kalau sedang butuh sesuatu," ucapku lirih.
"Tentang transplantasi itu. Kamu tidak mau memikirkannya?" tanya Mama.
Aku menatap matanya lekat, "Masih perlu Ava pikirin?"
"Kenapa aku bisa melahirkan anak yang sangat egois seperti kamu, Ava?"
"Takdir Ma. Jika boleh memilih, Ava juga akan memilih terlahir dari rahim wanita lain selain Mama," balasku. "Jangan salahkan Ava atas semua yang menimpa anak kesayangan kalian itu."
Mama menatapku tajam.
"Kenapa? Apa yang Ava bilang benar kan?" tanyaku. "Lupakan saja tentang transplantasi itu. Mungkin besok atau entah kapan Ava akan berubah pikiran."
Mama masih berdiri terdiam. Karena tidak melihat tanda-tanda beliau akan berlalu dari kamarku, aku bangkit dan keluar menuju dapur.
***
"Pergilah ke UTDRS ( Unit Transfusi Darah Rumah Sakit ) untuk melihat stok darah. Sudah hampir tiba waktunya untuk Axa melakukan transfusi," ucap papa pada saat ia melihatku sedang sarapan.
Aku tetap melanjutkan sarapanku dalam diam. Papa yang masih berdiri seketika berjalan mendekat dan mencengkeram rahangku keras. "Kalau Papa sedang bicara, setidaknya tunjukkan sopan santunmu, Ava!"
"Maaf Pa, iya nanti Ava ke rumah sakit," ucapku menahan sakit.
Papa menghempaskan tangannya kasar, "Jangan banyak tingkah! Jadilah sedikit berguna untuk kakakmu yang berharga itu!"
Mataku yang berkaca-kaca tidak menyurutkan muka bengis Papa. Dengan menyentakkan kakinya, beliau berbalik dan pergi meninggalkanku dengan luka yang semakin dalam.
***
Aku menangis tersedu-sedu di samping Gea. Sahabatku itu hanya diam dan mengusap punggungku pelan. Selama beberapa saat hanya suara tangisku yang terdengar. Suara tangis yang berkali-kali kuperdengarkan padanya. Suara tangis yang semakin lama semakin sering kuungkapkan. Sakit.
***
Papa dan Mama sudah duduk tepat menghadap pintu masuk. Dari posisi mereka, aku sudah tau jika mereka berdua menunggu kedatanganku.
Plak!
Mama menamparku keras sesaat setelah beliau melihatku masuk. Ia menutup pintu dengan kasar lalu menarik tanganku kuat-kuat ke kamar Axa.
"Lihat! Lihat dia! Karena keegoisanmu dia harus menjadi begini!" teriak Mama.
Axa terbaring lemah di tempat tidurnya menatapku tanpa ekspresi. Papa menghampiriku dan kembali melayangkan tam*paran berulang-ulang.
"Anak sia*lan. Tidak tau diri! Tidak tau diuntung! Kamu mau membu*nuh kakak kamu sendiri!?" makinya keras.
Seakan emosinya belum tersalurkan, Mama ikut melayangkan beberapa pu*kulan sehingga aku luruh ke lantai. Dengan melindungi kepalaku dengan kedua tangan, aku bisa melihat jika untuk sesaat Axa tersenyum sinis padaku.
"Ampun Ma... Sakit...," rintihku dalam tangis.
Pu*kulan yang kuterima tidak juga berakhir. Fisikku sakit, tapi luka di hatiku terasa paling sakit. Bahkan rintihan kesakitanku pun tidak membuat mereka menaruh belas kasihan dan berhenti.
"Ampun Pa... Tolong berhenti... Sakit Papa...."
Selama beberapa saat aku berulang kali memohon mereka untuk berhenti, namun mereka sama sekali tidak mengindahkanku dan terus menyiksaku tanpa batas.
"Hei gadis bo*doh, bangun! Bangun dan balaskan semua rasa sakitmu! Bangun dan buat mereka semua menyesal! Keluarga atau bukan, intinya mereka selalu menyiksa mental dan batinmu. Bangun, angkat dagumu dan lawan!"
***
Aku terbangun dengan rasa sakit di seluruh badan. Dengan gerakan perlahan, aku mencoba menggerakkan tubuhku yang terasa kaku. Untuk berdiri pun aku membutuhkan perjuangan yang luar biasa. Penasaran, aku berjalan selangkah demi selangkah seperti robot menuju ke depan cermin. Refleksi bayanganku di cermin membuatku kembali menangis.
Kondisiku sangat kacau. Mata bengkak, lebam di pelipis dan tulang pipi, bahkas terdapat sisa darah di bawah hidung serta ujung bibir. Air mataku kembali membayang memikirkan kondisiku yang diakibatkan oleh Mama dan Papa. Denga cepat, aku terjatuh ke lantai. Dengan mencengkeram rambutku dengan kedua tangan, aku menaruh kepalaku di antara dua lutut.
"Hei bo*doh! Bangun!" Sebuah suara yang mirip dengan suaraku memanggilku keras.
Untuk sesaat aku mengira jika ini adalah efek samping yang terjadi akibat pukulan Mama dan Papa.
"Hei! Disini bo*doh! Berdiri dan lihat ke dalam cermin!"
Aku kembali berusaha untuk berdiri tepat di depan cermin. Tidak ada bayangan siapapun selain diriku yang terpantul di sana.
"Lihat baik-baik bo*doh!"
Aku menatap diriku di dalam cermin dan tersentak saat bayanganku di dalam sana menyeringai.
"Akhirnya kau menemukanku! Ah bukan, lebih tepatnya, aku yang menemukanmu."
Mataku terbelalak, tapi anehnya bayanganku di cermin tidak melakukan hal yang sama. "Siapa kamu?" tanyaku dengan rasa takut yang mulai mendominasi.
"Aku? Tentu saja kamu. Aku adalah kamu, dan kamu adalah aku. Bedanya, kamu bo*doh dan aku pintar."
Aku mengusap wajahku pelan, "Jadi kamu juga Ava?"
"Secara teknis iya. Tapi sebenarnya hubungan kita lebih rumit daripada itu. Bisa dibilang, aku bagian dari dirimu yang selama ini tertidur."
"Siapa kamu?" tanyaku lagi.
"Aku Lara. Aku adalah bagian darimu Ava yang bo*doh!"
"Aku bo*doh?" tanyaku spontan.
"Tentu saja! Lihat luka-luka konyol itu. Kamu mendapatkannya karena kamu tidak punya keberanian untuk melakukan apa yang menjadi keinginanmu secara lebih tegas. Kamu hanya bisa membangkang tanpa melakukan aksi apa-apa. Kamu hanya bisa bicara tanpa bertindak! Setidaknya lakukanlah sesuatu, jangan hanya garang dalam bicara. Payah!"
"Aku harus bagaimana?" aku menatap sepasang mata yang terlihat tajam di dalam cermin. Aku menyangsikan jika sosok itu adalah aku. Ia terlihat sangat berbeda dan aku bisa melihat jika auranya cukup menekan.
"Kamu harus bertindak. Lakukan sesuatu pada Mama, Papa dan Kakak si*alanmu itu! Sudah cukup mereka menghancurkan dan mengoyak hatimu!"
"Tapi mereka keluargaku...," ucapku pelan.
"Omong kosong! Tidak ada keluarga yang menyakiti dengan sengaja!"
"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanyaku lirih.
"Cukup diam dan jangan lakukan apa-apa. Serahkan semua padaku. Beristirahatlah, tubuhmu letih dan batinmu lelah. Tidurlah sejenak sampai saatnya aku membangunkanmu.
***
LARA
" Menyenangkan sekali akhirnya bisa keluar," aku berkata lirih seraya menatap cermin.
Akhirnya aku punya kuasa penuh atas tubuh ini. Dan Ava, sang pembangkang yang hanya bisa bicara sudah tidur. Akan kutunjukkan bagaimana caranya bergerak dan bertindak.
Aku adalah sisi lain dari Ava. Sisi lain yang terlahir ketika dia tertekan serta terintimidasi. Sisi lain yang nyatanya jauh lebih pintar, lebih cerdas dan juga mungkin lebih kejam. Akan kubereskan semua situasi rumit ini untuk Ava.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!