NovelToon NovelToon

Stasiun

Episode 1

Stasiun

Wanita itu selalu terlihat tiap dua minggu sekali. Ia datang dan mengajak kedua anaknya yang masih kecil untuk melihat kereta. Anak pertamanya seorang bocah perempuan berusia sekitar sembilan tahun, sedangkan adiknya, laki-laki berusia sekitar dua tahun. Setiap kali datang, ia menggendong anaknya yang kecil dan menggenggam tangan anak perempuannya erat.

"Bu, kalau sudah besar, Mina mau naik kereta ya Bu? Mina suka datang ke sini, suka melihat kereta yang panjang."

Celotehan itu sudah berkali-kali diucapkan anak perempuannya dan hanya ia angguki sambil tersenyum. Selain anak perempuan itu, sang adik pun rupanya suka melihat kereta. Bocah laki-laki tersebut selalu senang ketika melihat kereta datang, ia melonjak-lonjak kegirangan dalam gendongan dan terkadang membuat wanita itu kewalahan.

Wanita itu setiap hari selalu ada di sekitar sini untuk berjualan pecel. Kadang terlihat senang karena dagangannya laris manis oleh penumpang yang akan bepergian, kadang juga ia pulang dengan raut sedih dengan bakul yang masih terisi penuh.

"Pokoknya Mina nanti mau naik kereta ya Bu? Sama adek juga," kata anak kecil itu lagi dengan mata berbinar melihat kereta yang sedang diam menunggu penumpang.

"Iya, nanti Mina sama adek naik kereta ya? Doakan jualan ibu laris, biar ibu bisa mengumpulkan uang untuk membeli tiket kereta," ucap wanita itu dengan mata berkaca-kaca.

***

Banyak kisah yang terjadi di sini. Dari pertemuan yang menggembirakan serta perpisahan yang mengundang air mata. Selalu seperti itu, setiap pertemuan akan selalu diikuti dengan perpisahan, hanya soal hitungan waktu kapan perpisahan itu akan terjadi setelah pertemuan yang mengharukan rasa.

***

Hari minggu ini kulihat lagi wanita itu datang dengan kedua anaknya. Dari wajahnya yang berseri-seri, aku bisa menerka jika ada hal yang menyenangkan untuknya.

"Kita ke sana dulu ya Nak? Antri beli tiket," ucapnya lembut.

Perkataannya rupanya menjadi kejutan terindah untuk sang anak. Dengan mata berbinar ia mengucapkan hamdalah dan terima kasih karena sang ibu akan mengajaknya dan adiknya untuk naik kereta. Melihat kegembiraan di wajah anaknya, senyuman wanita itu semakin lebar. Kejutan kecilnya berhasil. Seperti itulah seorang ibu, luar biasa bahagia ketika bisa memenuhi apa yang menjadi keinginan anak. Dengan bergegas, ketiganya menuju ke loket untuk membeli tiket.

***

"Pegang terus tangan Ibu ya Nak?" ucap wanita itu dengan kerepotan. Ia memeluk anaknya yang kecil dengan tangan kiri dan menggenggam erat tangan anak perempuannya yang terlihat kepayahan membawa kantong plastik berisi jajanan murah dan juga air dalam botol plastik usang. Melihat anaknya yang kesusahan, ia berinisiatif mengambil alih kantong plastik yang ternyata cukup berat.

"Ini, pegang baju ibu. Ingat ya Nak, jangan dilepaskan," titahnya lembut.

Anak perempuan itu mengangguk senang. Bisa kuterka, ia sudah tidak sabar untuk segera menaiki kereta.

"Kereta kita yang mana Bu?" tanyanya. Sayangnya, karena situasi yang mulai ramai, pertanyaannya tidak berbalas jawaban. Ketiganya berjalan pelan menuju sisi rel yang masih terlihat lowong.

"Bu, kereta kita yang mana?" tanyanya lagi.

Wanita itu tersenyum dan meletakkan kantong plastik yang dibawanya ke lantai. "Kereta kita belum datang Nak, nanti keretanya akan berjalan pada rel ini," tunjuknya. "Sabar ya?"

Anak itu mengangguk dengan masih memegang ujung baju ibunya.

"Kalung, kalung. Kalung cantiknya untuk anak yang juga cantik," tawar seorang pedagang aksesoris yang melewati mereka. Sontak, wanita itu menatap ke arah wajah putrinya dan melihat jika wajah putrinya itu kembali berbinar.

"Berapa pak?" tanyanya pada penjual.

"Lima ribu saja Bu, untuk penglaris pagi-pagi."

Tanpa menawar, wanita itu mengulurkan uang seharga kalung. Kalung yang ia terima, dipakaikan segera di leher anak perempuannya.

"Makasi ya Bu, kalungnya bagus," ucap bocah itu seraya memegang kalungnya. Lagi-lagi wanita itu tersenyum bahagia melihat kebahagiaan anaknya. Sejatinya, rasa seorang ibu terletak pada anak-anaknya. Mereka bisa merasakan hal yang sama berkali lipat dari yang dirasakan sang anak. Baik itu bahagia ataupun sedih.

***

Kereta yang mereka tunggu sudah terlihat dari jauh, dengan tidak sabar, sang anak menarik baju wanita itu.

"Sabar Nak, tunggu keretanya berhenti ya?" ucap wanita itu lembut.

Kondisi pinggir rel yang tadinya lowong seketika penuh sesak oleh penumpang yang akan naik. Dengan cepat, wanita itu mengambil kantong plastik yang ia letakkan di lantai dengan tangan kiri. Tangan kanannya memindahkan pegangan sang anak dari bajunya ke genggaman.

"Jangan buru-buru ya, sabar saja," ucapnya diantara hiruk pikuk para penumpang.

Penumpang lain yang tidak sabar, mendekati pintu kereta yang baru saja berhenti. Beberapa kali pegangan wanita itu terlepas dari tangan anaknya karena desakan penumpang dari belakang. Arus penumpang yang turun dan yang akan naik semakin membuat mereka terperangkap dalam penumpang yang berdesakan. Karena hal ini juga, bocah laki-laki dalam gendongan wanita itu menangis. Wanita itu kembali memindahkan pegangan sang anak perempuan kembali ke bajunya, dengan tangan yang sekarang kosong, ia mengipasi bocah dalam gendongannya dengan ujung kain gendongan. Tanpa ia sadari, anak perempuannya sudah berjalan mendekati pintu kereta dengan mata berbinar.

***

"Ayo Nak," ucap wanita itu menunduk. Batinnya mencelos saat tidak menemukan sang anak di sampingnya. Dengan panik ia melihat berkeliling dan berjalan menjauhi rel. Ia mengira jika anaknya terbawa arus desakan dari penumpang yang baru saja turun. Ia kembali mencari dan bertanya pada beberapa pedagang asongan. Gelengan yang ia terima membuat matanya mulai berkaca-kaca.

"Tolong pak, anak saya hilang," ucapnya panik pada beberapa pedagang. Dengan sigap, para pedagang itu bangkit dan membantu wanita itu mencari sang anak. Di tengah kepanikannya, Ia berjalan cepat ke sana ke sini untuk mencari.

"Tolong, anak saya hilang! Anak saya hilang!" ucapnya keras.

Para petugas stasiun dan beberapa penumpang yang peduli ikut membantunya mencari, beberapa yang lain menatapnya sinis dan mulai menyalahkan kecerobohannya.

"Ibu bo*doh. Lagi rame gini bukannya dipegang yang bener."

"Anaknya hilang."

"Itu sih ibunya yang salah."

"Ibunya yang gob*log."

"Ibunya bo*doh sih."

Gumaman-gumaman yang ia dengar menghantam dadanya keras. Ia luruh di lantai dengan sang bocah laki-laki yang masih berada dalam gendongan. Tidak lama, peluit tanda kereta akan berangkat berbunyi. Ia menatap nanar ke arah kereta yang sebentar lagi akan bergerak. Membayangkan jika kejutannya berakhir pahit, ia pun histeris dalam tangis.

"Tolong saya, anak saya hilang! Tolong! Anak saya hilang!" ucapnya berkali-kali sebelum akhirnya pingsan.

***

Wanita itu kembali datang ke sini setiap dua minggu sekali dengan anak laki-laki dalam dekapannya. Dengan gontai ia mulai berkeliling menelusuri rel untuk mencari anak perempuannya yang hilang. Ia selalu kembali ke tempat ini. Tempat dimana ia dipisahkan secara paksa dari anak perempuannya tersayang. Sang anak laki-laki, yang semakin lama semakin besar selalu menemani wanita itu.

***

Lima belas tahun berlalu dengan kunjungan setiap dua minggu sekali oleh wanita yang sudah menua itu beserta anaknya. Lima belas tahun sudah dilewatinya dengan harapan dan keyakinan jika ia akan menemukan putrinya yang hilang. Matanya selalu nanar melihat kereta yang datang, seolah berharap anak perempuannya akan datang dan turun dari kereta itu.

***

Kereta dari luar kota memasuki tempat ini dengan perlahan. Wanita itu kembali bangkit untuk melihat jika ada sosok anak perempuannya turun dari kereta. Waktu terasa berhenti untuknya, ia masih membayangkan jika sosok anaknya masih sama seperti saat menghilang. Anak laki-laki yang duduk di kursi tunggu penumpang menggenggam tangannya erat seolah memberi kekuatan. Harapannya terkikis sedikit demi sedikit melihat tidak ada sosok sang anak dari semua penumpang yang turun.

"Pulang Bu?" ajak anak laki-lakinya seraya berdiri. Wanita itu mengangguk dan mulai berjalan menuju pintu keluar saat dengan tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang.

Seorang gadis menunduk memungut barang-barang yang dijatuhkannya, dengan perlahan wanita itu ikut memungut dengan maksud menolong. Matanya terbelalak melihat kalung yang dipakai gadis itu.

"Terima kasih, Bu," gadis itu mengangkat wajahnya dan terkejut.

Tanpa bicara, wanita itu menyentuh dan melihat dengan seksama kalung tersebut dan secara tiba-tiba ingatannya membawa ia kembali ke masa lima belas tahun yang lalu. Kalung itu serupa dengan kalung yang pernah dibelikannya untuk sang anak.

"Nak?" tanyanya lirih.

Gadis di hadapannya menangis dan memeluknya erat. "Akhirnya ketemu," bisiknya terisak. "Bu, ini Mina."

Wanita itu kehilangan kekuatannya dan luruh dalam dekapan sang anak. Lima belas tahun yang dilaluinya dengan nelangsa, mendapat akhir yang membahagiakan. Sang adik ikut memeluk mereka berdua dan larut dalam kesenduan tangis.

***

Setelah hari itu, wanita tersebut tidak pernah lagi datang karena penantiannya sudah berbuah manis. Sudah saatnya dia berhenti dan menikmati waktu bersama anak-anaknya. Tanpa ia tau, aku menjadi saksi bisu bagaimana hampir setiap bulan, gadis bernama Mina itu datang ke sini untuk mencarinya. Selama lima belas tahun, takdir belum mengijinkan mereka untuk bertemu, walaupun nyatanya mereka berada di tempat yang sama dan aku berteriak keras sekuat tenaga untuk memberitahu mereka. Beginilah nasibku, aku ada hanya untuk menjadi saksi bisu atas perjalanan manusia yang diwarnai banyak rasa. Aku, si Stasiun.

Episode 2

Pagi ini sama seperti pagi sebelumnya. Para penumpang hilir mudik mencari kereta yang akan membawa mereka ke tujuan. Entah itu untuk bekerja, menempuh pendidikan atau alasan lain yang tidak pernah kutau. Di antara hiruk pikuk para penumpang, ada beberapa yang dengan jelas menampakkan sisi emosional mereka sebagai manusia. Seperti sepasang suami istri itu.

***

Mereka pertama kali terlihat pada suatu hari yang mendung dengan membawa banyak barang. Beberapa dus dibawa secara bersamaan tanpa meminta bantuan porter stasiun. Di belakangnya, sang istri berjalan pelan di sebelah seorang pemuda yang terlihat kepayahan mengangkat tas. Mereka berhenti di bangku tunggu penumpang dan duduk sejenak.

"Nanti pas turun pakai jasa porter aja ya Nak?" ucap pria itu kepada si pemuda yang kuterka adalah anaknya.

"Iya Abah, nanti pakai jasa porter. Abah sama Ambu ngga usah khawatir ya?" balas pemuda itu seraya merangkul sang ibu.

"Maaf ya, Abah dan Ambu tidak bisa mengantar kamu ke kota. Jaga diri baik-baik, makan yang teratur, kalau ada apa-apa cepat kabari kami."

Kereta yang mereka tunggu sudah terlihat, si pemuda bangkit dan mencocokkan nomor kereta dengan yang tertera dalam tiket. Setelah yakin, ia mengangkat tasnya serta beberapa dus yang tadinya dibawa oleh sang ayah.

"Udah sini, Abah bantuin," ucap pria itu lirih.

Mereka memasuki kereta, dan setelah mendapat tempat duduk, ayah dan anak itu mengatur berbagai barang bawaan dengan rapi di tempat penyimpanan atas kursi. Ketiganya tenggelam dalam haru perpisahan yang menyesakkan dada.

"Jangan tinggalin sholat, usahakan tepat waktu," ucap sang istri lembut pada anak mereka.

***

Pria itu setiap hari mangkal di depan sini. Ia menarik becak tidak peduli keadaan cuaca panas terik atau hujan. Beberapa kali ia terlihat menghitung hasil pendapatan dan mengucapkan hamdalah sebagai rasa syukur. Ia juga terlihat sering melakukan ibadah di mesjid dekat sini. Orang-orang sekitar memang sudah mengenalnya sebagai pria ramah dan juga baik.

***

Hari demi hari terlewati dan aku masih menyaksikan para manusia yang berjalan hilir mudik. Namun hari ini, aku melihat pria itu datang bersama istrinya. Wajah keduanya dipenuhi binar bahagia dan juga rindu. Sepertinya, mereka menunggu kedatangan anak mereka.

"Itu Abah aku," suara seorang pemuda terdengar lantang. Ia berlari memeluk orang tuanya. Di belakang pemuda itu, tiga orang pemuda sepantarannya mendekat dan menyalami sepasang suami istri itu takzim.

Selama beberapa hari setelah kepulangan sang anak, pria itu tetap menarik becak seperti biasa. Ia bahkan mengambil pekerjaan tambahan membersihkan halaman saat tidak ada penumpang yang menggunakan jasanya.

"Butuh uang tambahan buat kuliah anakku," ucapnya tersipu jika ada orang yang bertanya.

***

Pria itu berjalan gontai di sisi sang istri. Netranya menyimpan kepedihan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata, entah apa yang sudah terjadi.

Berkali-kali sang istri mengusap bahunya pelan seolah menyalurkan kekuatan tak kasat mata. Di depan mereka, sang anak berjalan terlebih dahulu bersama dengan teman-temannya.

"Abah, Ambu kami pamit pulang ya?" ucap salah satu teman pemuda itu yang dibalas anggukan oleh keduanya.

Ketiga teman sang anak menyalami sepasang suami istri itu satu-persatu dan berjalan terlebih dahulu menuju kereta.

"Abah dan Ambu jangan terlalu banyak pikiran. Yan bisa kerja sampingan buat nambahin biaya praktek. Yang penting, Abah dan Ambu sehat-sehat di sini. Yan pergi dulu ya?" pamit pemuda itu mencium tangan kedua orang tuanya cukup lama.

"Maafin Abah ya Nak. Abah kurang berusaha sampai-sampai kamu harus mencari tambahan biaya kuliah sendiri," sahut pria itu menyeka air mata yang keluar dengan punggung tangannya.

"Ngga usah dipikirin, Yan bisa kok Abah. Yan pamit ya?" Pemuda itu berjalan menjauh dan melambaikan tangan seraya tersenyum.

***

Pria itu sudah memasuki area stasiun setelah subuh. Dengan gesit, ia menyapu halaman dan mengumpulkan sampah dari beberapa tempat sampah dengan menggunakan gerobak. Pekerjaannya terhenti jika ada orang yang membutuhkan jasanya menarik becak. Setelahnya, ia kembali ke stasiun dan melakukan apapun yang bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah termasuk menjadi porter.

Pria itu bekerja seolah tidak mengenal lelah bahkan terkadang ia melupakan waktu makan. Hampir setiap malam setelah semua pekerjaannya beres, ia duduk di salah satu kursi tunggu penumpang, dan memandang ke arah rel seolah menunggu sosok yang paling ia kasihi datang, dan berwujud di hadapannya.

Selama bertahun-tahun kemudian ia masih melakukan hal yang sama setiap harinya. Tidak peduli sedang sakit, atau saat keadaan cuaca tidak mendukung, ia selalu sigap mencari nafkah dan diakhiri dengan memandangi rel seolah menguatkan harapannya akan sesuatu.

***

Ada yang berbeda pagi ini. Pria itu mengalami kecelakaan saat sedang menyapu area di pinggir rel. Entah karena melamun atau memang sedang tidak fokus, ia terjatuh tepat di tengah-tengah rel kereta api. Untungnya, pada saat itu tidak ada kereta yang lewat. Para petugas stasiun dengan sigap membantunya berdiri dan duduk di kursi tunggu. Seseorang yang entah siapa sudah mengabari sang istri hingga tidak lama kemudian wanita itu masuk ke sini dengan wajah penuh kecemasan.

"Kakinya bapak terkilir," ucap salah seorang petugas stasiun pada sang istri.

Dengan wajah menahan sakit, pria itu berusaha bangkit untuk bangun dengan dipapah sang istri. Namun sayangnya, mereka harus kembali duduk ke tempat semula karena terdengar suara kereta datang. Para penumpang yang merangsek mendekati kereta menghalangi jalan mereka. Dengan sabar, keduanya menunggu sampai akhirnya keadaan sudah tidak terlalu ramai.

"Abah! Ambu!" suara teriakan yang berasal dari pintu kereta terdengar lantang. Sontak keduanya yang sudah berjalan pelan menuju pintu keluar menengokkan kepala.

Pemuda yang merupakan anak mereka menuruni kereta dengan cepat. "Yan sudah pulang Abah, Ambu," ucapnya tercekat.

Penampilan pemuda itu sangat berbeda jauh dari saat terakhir kali ia pulang bersama teman-temannya. Ia terlihat berkelas dan juga elegan dengan jas putih yang dipakainya. Sebuah papan nama kecil bertuliskan 'dr. Yan' tersemat di dada sebelah kiri sang anak.

Air mata mengalir hebat dari mata pria itu beserta istrinya. Melupakan rasa sakit pada kaki, ia menjatuhkan diri dan bersujud. Untaian kalimat syukur tidak henti-hentinya mengalir dari bibir mereka berdua. Doa, tenaga, keringat, dan air mata mereka tidak sia-sia. Semua digantikan oleh sesuatu yang indah tepat pada waktunya.

Dengan perlahan pria itu bangkit dan memeluk pemuda itu erat. "Terima kasih Nak. Terima kasih sudah bertahan, terima kasih sudah berusaha dan terima kasih karena sudah kembali. Hidup Abah tidak sia-sia."

Ketiganya masih berpelukan dengan erat. Beberapa orang yang melihat, ikut menitikkan air mata. Hari ini aku menjadi saksi. Saksi yang menyaksikan kerja keras orang tua untuk sang anak dan saksi yang menyaksikan keberhasilan sang anak untuk membalas semua pengorbanan orang tuanya.

Episode 3

Bocah laki-laki itu mengayunkan kaki kecilnya yang tidak beralas menuju ke kursi tunggu penumpang. Keadaan di sini sekarang sudah cukup sepi karena hujan yang turun dengan derasnya selepas magrib. Beberapa penumpang hilir mudik dengan air yang menetes perlahan dari baju mereka dan meninggalkan jejak tetesan air di lantai. Para petugas stasiun berinisiatif menaruh dus yang sudah dilepas lipatannya, untuk mengantisipasi ada orang yang terpeleset. Seperti itulah hidup, harus terus berjalan apapun yang terjadi. Tanpa peduli dengan cuaca dan keadaan, orang-orang tersebut berada di sini untuk sebuah harapan.

Seperti bocah itu. Ia mengeluarkan tumpukan koran yang usang dari dalam balik kaus lusuhnya. Dengan bagian baju yang masih kering, ia mengusap tetesan air yang terserap kertas korannya. Benda itu seolah menjelma menjadi barang berharga untuk dirinya.

***

"Koran! Korannya, Pak. Korannya, Bu!" Suara lantang bocah itu menggema tertelan keramaian dan hiruk pikuk penumpang saat pagi. Di saat anak lain seusianya pergi sekolah, bocah itu malah terdampar di sini untuk mengais uang recehan dari penumpang yang membeli dagangannya. Di sela-sela waktu, terkadang bocah itu membaca koran yang menjadi alat pencari nafkahnya.

"Aku ingin jadi masinis," ucapnya tersipu pada beberapa porter yang sedang beristirahat.

"Aamiin," serentak semua yang mendengar mengaminkan ucapan yang terlontar dari bibir bocah itu. Di saat semua terasa mustahil, doa akan selalu menjadi jalan keluarnya.

***

Bocah kecil itu berjongkok di sebelah kursi tunggu paling ujung. Seorang porter menyuruhnya duduk di kursi namun ia menolak. Ia tidak berani duduk di atas kursi karena beberapa penumpang berpenampilan bersih sedang duduk di situ. Wajahnya pucat, mungkin karena lapar karena dari pagi aku belum melihatnya makan sesuatu. Koran dalam dekapannya masih menumpuk tinggi. Hari ini, belum ada seorang pun yang membeli koran dagangan bocah itu walaupun dengan alasan kasihan.

"Hei Nak, sini!" seorang petugas stasiun memanggilnya mendekat. Ia menyodorkan mie instant dalam kemasan gelas pada bocah itu yang balas menatapnya tidak mengerti.

"Ini ambil, makan dulu sana. Jangan sampai kamu jatuh sakit, nanti tidak ada yang merawat nenekmu," ucap petugas tersebut.

Dengan mata berkaca, bocah itu mengambil mie instan yang disodorkan padanya. "Terima kasih banyak, Pak," ucapnya lirih. Ia berbalik ke tempatnya berjongkok dan mulai makan. Aksinya dilihat oleh petugas yang memberikan mie instan dengan wajah iba. Saat berbalik, petugas itu merogoh sakunya dan melihat jika tinggal uang koin yang ia miliki.

"Jadi mau pesan mie instan satu lagi, Pak Obi?" tanya penjaga warung.

"Ngga jadi Mbak, saya beli ini aja," jawabnya sambil mengambil segelas air mineral dan memberikan uang yang tersisa.

Seperti itulah manusia. Banyak dari mereka yang mau menolong orang lain tanpa mengingat diri sendiri. Kepahitan hidup menjadikan manusia sebagai sosok yang bisa merasakan kesusahan manusia lainnya. Dalam benak manusia-manusia ini, membantu manusia lain tidak perlu menunggu sampai keadaan mereka sendiri berlebih. Dan mereka percaya, berbuat baik dengan cara menolong serta membantu sesama akan berbalas hal yang serupa walaupun tidak dalam waktu cepat.

***

Sudah beberapa hari ini bocah penjual koran tidak terlihat. Dari pembicaraan para porter, ternyata nenek bocah itu meninggal dunia.

***

Setelah hampir seminggu tidak terlihat, bocah penjual koran kembali datang. Ia membawa setumpuk penuh koran dalam dekapannya. Dengan suara lantang, ia berkeliling menawarkan koran kepada setiap penumpang. Ada yang menolaknya dengan halus, ada juga yang langsung mengibaskan tangan saat ia baru mendekat. Semua itu tidak membuat semangat bocah kecil itu patah.

"Nih, makan dulu," kata Pak Obi pada bocah itu.

"Terima kasih, tapi ngga usah Pak. Bapak sering sekali ngasih saya makanan. Saya ngga mau merepotkan," jawabnya pelan.

Pak Obi tersenyum, "Pamali nolak rejeki. Nanti rejeki ngga mau datang lagi," balasnya seraya menaruh sebuah roti di telapak tangan bocah itu. Setelahnya, pria itu berbalik dan terlihat memasuki kantor stasiun.

***

"Copet! Tolong, ada copet!"

Teriakan seorang wanita memancing perhatian orang-orang sekitar. Di hadapan wanita itu, bocah penjual koran duduk bersimpuh. Beberapa petugas menghampiri mereka dan bertanya kronologi sebenarnya.

"Anak ini mau mencuri dompet saya pak. Saya minta, bawa anak ini ke kantor polisi," kata wanita tersebut menunjuk sang bocah.

Pak Obi mendekati bocah itu dan bertanya lembut, "Apa yang terjadi, Nak?"

"Dompet ibu ini jatuh dan saya mendekat untuk mengembalikannya, Pak. Saat saya menyentuhnya, ibu itu melihat dompetnya yang berada di tangan saya dan langsung berteriak. Ibu itu juga mendorong saya ke lantai," jelasnya pelan. Ketakutan tergambar jelas di wajah kecilnya.

Pak Obi mengangguk mengerti dan berdiri menghadap wanita tersebut, "Sepertinya telah terjadi salah paham. Saya bisa menjamin jika anak ini berkata jujur. Selama ini belum pernah ada kasus kecopetan di stasiun ini. Selain itu, dompet ibu juga sudah kembali. Bisa kita selesaikan kasus ini dengan kekeluargaan?"

"Baik! Saya anggap kasus ini selesai. Jika suatu hari hal ini terjadi kembali, saya tidak akan segan melaporkan stasiun ini karena kurangnya pengamanan," ucap wanita itu sebelum akhirnya berbalik dan pergi.

"Bangun, Nak." Pak Obi menoleh ke arah sang bocah. "Pulang saja ke rumah, kamu pasti kaget, kan?"

Pertanyaan itu dibalas anggukan. Dengan perlahan bocah itu bangkit berdiri, "Terima kasih banyak, Pak." Ia lalu berjalan pelan keluar dari sini.

***

Bocah penjual koran itu terlihat lagi. Kali ini dia bersama dengan dua orang dewasa yang mendampinginya. Sebelum naik ke kereta, bocah itu menghampiri Pak Obi tepat di depan kantor stasiun.

"Pak, saya pamit ya? Paman saya mengajak saya untuk tinggal di kota. Terima kasih banyak ya Pak untuk semua kebaikan Bapak."

Bocah itu maju dan menyalami takzim tangan Pak Obi yang tidak sadar jika matanya sudah berembun.

***

Setelah belasan tahun, sebuah kereta api eksekutif jurusan baru bergerak pelan memasuki stasiun. Setelah kereta berhenti sempurna, dari bagian depan turun seorang pemuda berpakaian seragam khas masinis. Ia berjalan menuju kantor dan bertanya pada petugas sekitar keberadaan kepala stasiun yang baru. Petugas yang ditanya menjawab jika kepala stasiun sedang berada di mushola untuk melaksanakan sholat. Pemuda itupun duduk di kursi tunggu penumpang dan menunggu.

Matanya menatap sosok kepala stasiun dengan sorot bahagia. Dengan perlahan, ia mendekati kepala stasiun itu dari belakang.

"Pak, apa kabar?" ucapnya lembut.

Kepala stasiun menoleh dan mengerutkan kening. "Alhamdulillah baik. Apa ada masalah Nak?" tanyanya.

Pemuda itu tersenyum sekilas sebelum menjawab. "Bapak lupa ya sama saya? Dulu saya sering sekali berada di sini. Saya berjualan koran dari pagi sampai malam dan bapak sering memberi saya makanan."

Mata kepala stasiun terlihat mengembun, dengan perlahan ia maju dan memeluk pemuda itu erat. Setelah puas, ia mendorong pundak sang pemuda dan mulai mengamatinya dari atas kepala sampai ke kaki.

"Akhirnya cita-citamu tercapai, Nak. Bapak ikut bahagia," ucapnya tercekat.

Pemuda itu kembali memeluk Pak Obi erat. "Terima kasih, Pak. Berkat Bapak, saya bisa bertahan hingga seperti sekarang. Terima kasih atas makanan yang selalu Bapak kasih, terima kasih atas pembelaan yang bapak berikan, dan terima kasih atas semua perhatian Bapak."

***

Seperti yang sudah kubilang. Manusia-manusia baik akan mendapat balasan yang juga baik walaupun memakan waktu lama dan dengan cara yang tidak dibayangkan sebelumnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!