Terdengar detak jam dinding, menggema di sebuah minimarket yang hening. Arah jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam tepat. Sudah saatnya para karyawan menutup tempat itu dan bergegas pulang.
Itulah yang dilakukan seorang gadis dengan rambut coklat keemasan yang terurai sebahu. Dia tampak sibuk berkemas dengan salah seorang karyawati lainnya.
"Annette" Yang baru saja memanggil adalah Laura. Wanita dengan rambut dikucir, yang berperawakan penuh energetik itu lima tahun lebih tua dari Annette.
"Ya?" Annette melirik sekilas kearah Laura.
"Apa kau mendengar berita yang cukup menggemparkan ibukota akhir-akhir ini?" Sambil berbincang, kedua tangan Laura sibuk memasukkan barang-barangnya kedalam tas.
"Tidak" Geleng Annette.
"Memangnya apa itu?" Tampak mata hitam besar Annette berkedip penasaran.
"Serius kau tidak tahu?" Sepasang mata Laura membulat lebar, menunjukkan ekspresi tak percaya.
"Berita itu bahkan sudah beredar luas di sosial media, bagaimana mungkin kau tidak tahu?"
"Yeah, kak Laura tau sendiri kan?" Tampak Annette berkedik bahu, "Aku yang super duper sibuk ini mana punya waktu berselancar di dunia maya"
"Hum, aku mengerti" Laura menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu biar ku beritahu" Lanjutnya.
Annette menanti dengan penasaran.
"Jadi begini, baru-baru ini ditemukan sebuah mayat dengan gigitan dileher tepat di kota J kita yang terkenal aman ini"
"Apa?" Annette cukup terkejut mendengarnya, "Gigitan di leher?"
Itu terdengar cukup aneh. 'Mungkinkah itu patokan ular?' Sangka Annette dalam hati.
"Eum"
"Orang-orang bahkan sekarang menggunakan ular beracun sebagai senjata pembunuhan?" Annette menggelengkan kepalanya tak percaya, "Sungguh tak dapat dipercaya"
"Ular?" Laura menatap Annette bingung, "Menurutmu itu perbuatan ular?"
"Ya terus apa lagi?" Annette membalas tatapan bingung yang sama, "Jangan katakan itu gigitan harimau? Apa mereka punya waktu untuk repot-repot mencuri binatang buas itu di taman binatang atau memburunya di hutan?"
Laura yang mendengar itu mendesah pelan. Ya itu wajar Annette berpikir begitu. Karena Annette tidak tau berita panas itu secara keseluruhannya seperti apa.
"Masalahnya, dokter forensik sudah menyelidikinya, itu bukan gigitan ular seperti katamu"
"Apa?" Annette membelalak kan matanya kaget, "Kakak serius? Kalau bukan gigitan ular ya gigitan apa lagi? Kakak pasti sedang bercanda kan?"
"Hah" Laura mendesah pelan.
"Apa kau pernah melihat ku bercanda?"
Annette diam beberapa saat dan berpikir, 'Yeah, sejauh ini aku tidak pernah sekalipun melihatnya bercanda'.
"Dan satu lagi, katanya ini bukan kasus pembunuhan. Tapi murni karena ulah binatang buas. Hanya belum di ketahui binatang apa penyebabnya.." Jabar Laura lagi.
Mendengar itu, mau tak mau Annette merasa merinding membayangkan binatang apa itu! Yang menggigit leher sampai membuat seseorang itu mati begitu saja.
"Tapi, binatang buas mana yang berkeliaran di kota metropolitan seperti ini?"
Di tambah lagi akan fakta kawasan kota J yang letaknya cukup jauh dari hutan. Semakin Annette memikirkannya, semakin itu terdengar tidak masuk akal.
"Nah itu masalahnya!" Tukas Laura, suaranya terdengar cemas, "Sampai hari ini binatang apa itu masih misteri. Tapi bagian kepolisian masih bekerja keras untuk menyelidikinya"
Laura menggigit bibir bawahnya cemas. Tindakannya itu tertangkap jelas dalam retina Annette.
"Ah betapa gilanya!" Laura mendesah frustasi, "Memikirkan itu membuat ku takut berjalan pulang di malam hari"
"Sebentar" Sesaat Annette memikirkan sesuatu, "Bagaimana jika itu bukan binatang buas, tapi gigitan manusia?"
"..." Mendengar itu Laura ter-pelongo di tempat.
"Ya bisa saja kan? Siapa tau orang-orang akhir ini mulai membunuh dengan gigi tumpul mereka" Ujar Annette lagi.
"Apa menurutmu itu mungkin?"
"Haah.." Annette sejenak mendesah dengan imajinasi liarnya. Jelas itu tidak mungkin. Orang bodoh mana yang akan melakukannya? Biar bagaimanapun, Annette merasa sulit memikirkan bagaimana taring tumpul digunakan sebagai pemutus nyawa.
Jelas itu sangat tidak efisien dan menghabiskan banyak waktu. Seseorang yang digigit pun akan lebih dulu melawan mencoba melepaskan diri sebelum gigitan itu mengeluarkan darah segar.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menggagalkan aksi lawan, seperti menendang, memukul atau mungkin balas menggigit. Begitulah yang Annette pikirkan.
"Tapi menurutku, sekalipun ini terdengar konyol, mungkinkah itu.." Laura tampak menjeda kalimatnya.
"Itu apa?" Seru Annette penasaran.
"Itu.." Laura masih terlihat ragu menyuarakan asumsinya.
"Ya itu apa?" Annette terdengar tak sabar.
"Vampir?"
"Apa?" Annette mengedipkan matanya tak percaya, lalu setelahnya...
"Pftt" Annette tergelak.
Vampir?
Bagaimana mungkin makhluk mitos seperti itu muncul di era modern yang sangat realistis ini.
"Kenapa kau tertawa? Ini bukannya tidak mungkin kan"
"Ya tapi tetap saja, itu makhluk mitologi" Kata Annette di sela tawanya, "Apa menurut kakak hal seperti itu benar-benar ada?"
"Hal seperti itu bisa saja benar, mengingat itu 'gigitan di leher'" Ujar Laura, "Kemungkinan konyol ku ini bisa menjadi sangat logis bukan?"
"Ya tetap saja.." Balas Annette, "Kemungkinan itu gigitan binatang buas masih jauh lebih logis ketimbang makhluk mitologi yang kakak sebutkan tadi"
"Ah, perset*n gigitan apa itu!" Laura mengambil tasnya, "Aku hanya ingin segera pulang sekarang"
Annette pun juga ikut melakukan yang sama. Mengambil tasnya dan mereka berjalan keluar dari minimarket. Sebelum pergi, Laura tak lupa mengunci pintu minimarket dan kemudian menoleh pada Annette.
"Saran ku pulang lah naik angkutan umum" Ujar Laura, menatap Annette cemas, "Berjalan kaki di malam buta seperti ini sangat tidak aman mengingat apa yang baru saja ku katakan tadi"
"Tidak kak, aku pulang jalan kaki saja" Geleng Annette, "Bagaimanapun aku harus menghemat pengeluaran ku. Lagi pula masih banyak orang yang berlalu lalang, jadi aku yakin pasti akan baik-baik saja"
"Begitukah?" Laura masih mencemaskan gadis muda nan cantik itu.
"Eum" Annette mengangguk mantap, tersenyum menyakinkan.
"Baiklah, kalau begitu hati-hati!"
Annette sekali mengangguk dan tersenyum. Laura pun melambai kan tangannya menghentikan taxi yang baru saja lewat di depan. Taxi berhenti dan Laura segera naik. Annette melambaikan tangannya seraya tersenyum, sampai ketika taxi itu lenyap dari pandangannya...
Kesunyian malam disekitarnya mau tak mau membuat Annette memeluk tubuhnya erat dengan rasa takut.
"Tenang Annette, kau harus tenang!"
Angin malam berhembus, dinginnya menusuk hingga ke ke pori-pori kulit. Annette merapatkan jacket merah mudanya dan mempercepat langkah kakinya.
Rumah yang Annette tempati berada di kawasan yang sama dengan minimarket tempatnya bekerja. Hanya butuh sekitar sepuluh menit berjalan kaki, Annette akan melihat rumahnya yang merupakan rumah atap dari kejauhan.
Itu adalah rumah sewa dengan harga termurah yang ia dapatkan.
Dulunya Annette hidup sebagai anak panti asuhan yang kemudian memutuskan untuk keluar dan mencoba hidup mandiri. Annette berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S1 nya dan dengan uang saku bulanan yang ia dapatkan setiap semester, ia gunakan untuk membayar uang sewa rumah.
Karena itu ia bekerja paruh waktu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya yang lain sebagai seorang pelajar dan seorang gadis yang hidup sebatang kara. Sedikit demi sedikit, kehidupan membuatnya belajar hidup hemat dan pandai mengatur keuangan.
Walau jujur saja...
Kehidupan kerapkali membuatnya lelah dan jenuh tapi..
"Sejauh ini aku sudah cukup bahagia dengan kehidupan yang ku miliki ini" Annette menghela nafas panjang.
Menengadahkan kepalanya ke langit malam, Annette memandangi rembulan yang tampak begitu menawan mata. Sinar keperakan itu jatuh begitu indah di atas wajah cantik Annette yang putih bersih. Annette masih memandang dan kedua sudut bibirnya tertarik..
"Cantiknya..."
Annette tersenyum memandangi rembulan yang bertakhta dengan megahnya di langit malam. Mendapati tidak ada gemintang di sekitarnya, Annette tiba-tiba merasa..
"Tidak hanya aku yang kesepian malam ini"
Annette berhenti melongok ke atas dan kembali fokus pada langkah didepannya.
Annette melihat gang dan terus berbelok masuk ke sana. Lagi-lagi Annette merasakan angin yang berhembus kian liarnya.
"Dingin"
Membuat Annette harus berkali-kali menggosok telapak tangannya dan menangkup kan ke kedua belah pipinya yang lembab dan dingin.
Sesekali terdengar suara binatang malam yang tak lagi asing. Annette tampaknya sudah terbiasa dengan itu. Nyanyian malam yang selalu menemani jalannya pulang ke rumah.
Setelah melewati gang panjang, tepat ketika Annette hendak melangkah ke lorong yang menuju tepat dimana rumahnya berada.
Sesuatu yang tidak terduga...
Terjadi.
"Emph—"
......................
Asap menguar dari cerutu. Gelombang putih itu tak hentinya membumbung tinggi ke udara, mendominasi sebuah ruang kerja dengan pencahayaan minim dari lilin-lilin yang menggantung di setiap sudut dinding.
Tampak sebuah lengan kokoh nan adil, yang sesekali datang mengangkat tangannya untuk menghisap ujung tembakau. Mata merahnya yang pekat seperti darah, sepintas berkilat di bawah sentuhan cahaya lilin yang berpendar, "Aku akan menikah dan menghasilkan keturunan, tapi.."
Sekali lagi pria bermata merah itu menghisap ujung cerutu dan menghembus kan asap dari mulutnya, kemudian berkata, "Aku tidak akan melakukannya dengan bangsa ku"
Seorang pria berambut hitam legam dan cepak, menautkan jari-jemarinya dan bertanya, "Lalu, pada siapa kau akan melakukannya?" Sesaat pria itu menahan nafasnya, tatkala asap putih yang sangat mengusik itu menusuk ke dua lubang hidungnya.
"Coba tebak!" Pria dengan mata merah sedingin es itu menyungging kan senyum tipis dibibir, "Pada siapa aku akan melakukannya?" Sekilas mata merah itu mengerling dengan tatapan tak terbaca.
"Pada manusia, hum?" Suara serak si pria berambut cepak terdengar malas. Agaknya ia sudah menduga itu sejak awal.
"Em" Menjepit ujung cerutu di bawah lipatan bibirnya, pria dengan kontur rahang yang tajam itu menghisap dengan sorot mata menggelap.
"Jadi.." Cerutu di tarik dan asap melambung keluar dari bibir merah kecoklatannya yang cantik, "Bantu aku siapkan!"
Alih-alih meminta bantuan, itu lebih terdengar seperti sebuah titah yang jatuh dari lidah kaisar.
"Egbert" Tatapan mata pria berambut cepak itu berubah menjadi sangat serius.
"Kau bercanda hum?" katanya. Sedikit terdengar kesal.
"Menikah?"
"Dengan manusia?"
Pria itu berdecak bosan dan memutar bola matanya jengah.
"Jangan konyol!"
"Sean" Ebert menatap tajam lawan bicaranya, "Apa sikap serius ku ini seperti candaan di matamu?"
Sean dapat merasakan seperti sesuatu yang dingin memercik dalam pupil matanya. Sean mendesah berat.
"Baik" Sean memperbaiki postur duduknya, "Aku tau kau serius" Tatapan Sean fokus tertuju pada Egbert.
"Mungkin jika kau hanya menikahi gadis manusia itu masih dalam jangkauan" Ujarnya, "Tapi jika sejauh mengandung anakmu..." Sean menautkan jari-jemarinya dan sorot matanya yang sedikit ngambang itu melirik lawan bicaranya.
"Apa kau yakin tubuh manusia yang lemah itu dapat melakukannya?"
"Kenapa tidak?" Egbert berkedik bahu, menunjukkan betapa santainya ia sampai tidak mempermasalahkan hal itu.
"Sekarang ini tidak hanya manusia yang hidup dengan teknologi serba canggih, bangsa kita pun begitu" Ucapnya kemudian, "Jadi, apa yang harus kau khawatirkan?"
Kali ini Sean mendesah panjang. Ia tidak punya sesuatu yang dapat dikatakan sebagai bantahan, karena melakukannya pun percuma. Temannya satu itu sejak awal terlahir untuk tidak mendengarkan perkataan orang lain.
"Kalau begitu katakan alasanmu" Sean melipat kedua tangannya di atas paha, "Kenapa harus manusia?" Tanya Sean seraya setengah memiringkan kepalanya.
Tepat ketika asap putih itu kesekian kalinya datang mengganggu indra penciumannya, Sean yang tak dapat menahannya lagi, segera mengangkat punggungnya dan berpindah duduk ke sudut sofa. Hanya untuk sedikit menjauhi sofa tunggal di mana asap putih itu terus berdatangan dari lawan bicaranya.
Egbert yang menonton reaksinya itu, hanya menatap diam. Itu bukan kali pertama ia melihat Sean yang konservatif datang dengan sikap berterus terang betapa tersiksanya ia dengan cerutu favoritnya.
"Alasannya cukup sederhana" Egbert memukul ujung puntung ke atas asbak.
"Aku tidak bisa mempercayai bangsa ku lagi" Mengatakan itu, mata merahnya yang menatap ke asbak yang penuh debu kelabu itu tampak dingin dan mencekam.
"Cukup sekali aku di khianati oleh seorang wanita dalam hidupku" Lanjutnya lagi. Sesaat tatapannya redup dengan penuh siksaan akan pengkhianatan.
Egbert terlahir dan bertumbuh dengan jutaan musuh di sekelilingnya. Tapi sepanjang mimpi buruk tergelap yang ia miliki, tak pernah membayangkan cinta pertamanya akan berakhir menjadi musuhnya yang paling kejam.
Masih tersimpan dalam memori di otaknya, bagaimana jari-jemari lentik yang dulu diciuminya penuh khidmat...
Suatu hari datang mencekik lehernya di pertengahan malam tidurnya.
Itu...
Adalah mimpi terburuk dari jutaan bunga tidur yang ia punya.
"Baik, aku akan membantumu" Lama melihat Egbert terdiam, ia dapat melihat secercah aura melankolis yang dingin melapisi sorot matanya yang apatis.
Sean sadar...
Pria yang pernah bersikap begitu hangat dan romantis pada cinta pertamanya itu, kini hanya tersiksa sepi dalam jutaan penyesalan, kebodohan dan kenaifan.
Agaknya, itulah yang ia rasakan dari Egbert sekarang ini.
"Katakan preferensi mu, kau ingin yang seperti apa?"
Egbert berdeham dan memperbaiki posisi duduknya. Sorot mata merahnya telah kembali seperti semula. Itu dingin yang membosankan.
"Aku tak mau membuat ini sulit" Tukasnya seraya mengulum bibirnya yang masih tersisa aroma pekat tembakau.
"Jadi ambil saja satu gadis manusia yang hidup sebatang kara diluar sana" Katanya setelah penuh pertimbangan, "Dengan begitu, tidak akan runyam jika aku menikahinya"
Klise nya...
Itu membuatnya tidak perlu berurusan dengan keluarga mempelai, tapi cukup dengan pengantin wanitanya saja.
"Baik aku mengerti" Angguk Sean.
"Hanya mungkin wanita yang ku pilihkan ini bukan sosok sensual bergairah yang dapat menarik minat mu, apa tidak masalah?" Tidak di dunianya dan tidak di dunia manusia, Sean selalu kekal abadi dengan sikap konservatif nya.
Dia menjauhi rokok dan wine, karena menurutnya itu tidak bagus untuk di konsumsi. Dia pun sangat menjaga batasan-batasan antara pria dan wanita, seperti tidak berhubungan intim jika belum menikah. Dengan pemikiran yang seperti itu, ia pun selalu menjauhi hubungan ataupun relasi yang akan membawanya pada hal-hal yang bertentangan dengan prinsip hidupnya.
Ia pun menghabiskan hari-hari ternyaman nya di perpustakaan dan larut dengan jutaan buku. Berinteraksi dengan para tetua di akademi dan mendalami beraneka ilmu dan sastra.
Egbert tak habis pikir, bagaimana ia bisa berteman akrab dengan pria membosankan seperti Sean?
"Yeah maksudku, aku mengenal beberapa gadis manusia. Hanya mereka polos dan sedikit naif. Bagaimana?"
"Tidak masalah" Egbert tersenyum klise. Ia tidak terlalu peduli pada siapa ia akan menikah. Karena yang terpenting baginya adalah...
Menikah dan memiliki keturunan yang sah untuk memperkuat kedudukannya.
"Karena yang aku butuhkan adalah keturunan, bukan percintaan"
......................
Sean telah kembali ke apartemennya. Tentu saja sebelum pulang ia sudah menyuruh seseorang untuk membawa gadis manusia yang nantinya akan menjadi pengantin Egbert.
Keluar dari kamar mandi, Sean terlihat segar dalam balutan jubah mandi abu-abu longgar. Bagian atasnya samar-samar menonjolkan tata letak ototnya yang berharga hasil dari olahraga rutinnya.
Drtt...
Terdengar suara ponsel bergetar tepat di atas nakas samping ranjang. Bergegas Sean mengambilnya.
"Ya?" Meletakkan ponsel itu di samping telinga kanannya, Sean pun berjalan ke depan jendela besar yang mengungkapkan keindahan dunia malam di bawah sana yang tampak gemerlap oleh jutaan lampu.
"Kau sudah mendapatkan gadis itu?" Bicara Sean melalui talian.
"Ya. Aku sudah mendapatkannya bos"
Itu adalah anak buahnya Sean. Sama seperti Egbert, ia tidak lagi mempercayai bangsanya untuk bekerja dengannya. Jadi ia memperkejakan manusia sebagai gantinya.
"Kalau begitu bawa gadis itu kemari" Tukas Sean.
"Jangan lupa tutup mata gadis itu. Aku tidak mau ketika dia sadar, dia akan terkejut mendapati siapa yang menculiknya" Tambahnya lagi.
"Baik bos, saya mengerti"
Dengan begitu talian pun berakhir. Sean menatap layar ponselnya tersenyum puas.
Sekitar sepuluh menit berlalu, tepat ketika arah jarum jam berada di pukul dua belas. Terdengar bel apartemennya berbunyi nyaring. Sean yang saat itu tampak larut dengan buku ditangannya. Ia langsung menutup buku tersebut dan menarik kacamata dari pangkal hidungnya.
"Cepat sekali" Sean pun beranjak dari ruang bacanya dan pergi membukakan pintu.
Tapi sebelum tangannya menarik gagang pintu, tak lupa ia menoleh pada layar monitor untuk memastikan siapa yang datang. Sean dapat melihat di sana ada seorang pria berkacamata hitam dengan masker menutupi separuh wajah.
Berdiri dengan menggendong seorang gadis yang tak lagi asing di matanya. Sean pun segera membuka pintu dan berkata, "Cepat bawa dia masuk kedalam!"
"Baik bos" Pria itu mengangguk dan langsung berjalan masuk kedalam.
"Baringkan saja gadis itu di sofa" Sean menunjuk ke salah satu sofa panjang yang dimilikinya.
"Baik"
Pria itu pun bergegas meletakkan gadis muda yang digendongnya ke sebuah sofa panjang yang ditunjukkan Sean.
"Ada hal lain yang harus saya kerjakan bos?" Tanyanya kemudian pada Sean.
"Tidak ada" Sean menggelengkan kepalanya.
Setelahnya Sean mengeluarkan sebuah amplop tebal dari saku jubah tidurnya dan menyerahkannya pada pria itu.
"Bayaran mu"
"Terimakasih bos" Suara pria itu terdengar cukup senang ketika menerima amplop yang diberikan Sean.
"Kalau begitu saya pergi bos, permisi" Pamitnya sopan kepada Sean, sebelum meninggal apartemen mewah itu.
"Em" Sean hanya mengangguk dan menatap punggung pria itu yang telah berjalan kearah pintu.
Pria itupun pergi meninggalkan apartemen Sean tanpa mengetahui bahwa dirinya baru saja bekerja dengan seseorang yang bukan...
Manusia.
"Maaf sekali nak, dari sekian banyak gadis aku harus memilihmu untuk menjadi pengantin wanita temanku" Ucap Sean. Matanya yang sipit dan dalam itu menatap tubuh kecil Annette yang tergeletak tak sadarkan diri di sofa.
Untuk mencegah keributan kecil yang bisa saja terjadi, Sean bergegas mengambil dasi dan mengikat kedua tangan gadis itu.
Ketika Sean menyentuh pergelangan tangan Annette, ia dapat merasakan betapa halus dan rapuhnya. Seakan sedikit saja ia bergerak lebih kasar, kulit putih itu akan lecet dan pergelangan tangan itu bisa patah.
"Aku ragu dengan tubuh se-rapuh ini..."
Selesai mengikat kedua tangan Annette, Sean pergi membelai jari-jemarinya yang kurus dan kecil.
"Kau dapat menanggung benih dari bangsa kami"
"Haah"
Sean mendesah berat dan baru saja akan beranjak dari ruang tengah untuk kembali ke kamarnya. Hanya mendengar sebuah suara...
"Ini di mana?"
Langkah Sean terus terhenti.
"Aku sekarang ada dimana?" Annette mengerutkan keningnya pusing. Tepat ketika kesadarannya pulih sempurna, perlahan ia membuka kedua matanya dan...
Segala hal gelap menyambut indra penglihatannya. Annette tak dapat melihat apapun. Itu karena kain hitam yang menutup matanya, mencegahnya dari melihat dimana keberadaannya saat ini.
Seketika Annette menegang dan panik.
"Hey!" Serunya kemudian.
"Apa ada orang di sana?"
"Katakan di mana kalian membawa ku?"
"..." Sean hanya bergeming. Mata sipitnya menonton gadis muda yang cemas itu tanpa ekspresi khusus.
"Haah" Annette menghela nafas berat.
"Apa sungguh tak ada orang disini?" Kali ini suaranya terdengar lirih dan putus asa.
"Jahat sekali" Dalam sekejap suaranya berganti menjadi rengekan.
"Sudah menculik ku dan sekarang meninggalkan aku seorang diri seperti ini?"
Entahlah itu sebuah keluhan atau tidak. Tapi Sean dapat menangkap suara gadis itu yang sedikit bergetar seperti akan menangis.
Satu detik...
Dua detik...
Tiga detik...
Sean tanpa sadar menghitung waktu. Tepat di detik keempat, gadis muda itu meraung keras dengan isak tangis yang cukup menyayat hati pria manapun yang mendengarnya. Namun itu tidak berlaku untuk Sean yang masih berdiri di tempat dengan penampilan acuh tak acuhnya.
Sean melipat kedua tangannya di depan dada, membungkam rapat mulutnya dan memilih diam memperhatikan.
"Kenapa mereka munculik ku?"
"Huhu..huu"
"Memangnya apa salahku?"
"Huhuu..huu"
Terus saja Sean menautkan sepasang alisnya dengan sorot mata tak suka. Tangisan kecil itu perlahan seperti lengkingan suara rusa di malam buta yang cukup mengganggu.
Sean pun memutuskan untuk segera pergi ke kamarnya dan membiarkan Annette terus menangis menyedihkan di ruang depan.
Setiba di kamarnya, Sean mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Cepat sekali menghubungiku"
Talian langsung saja tersambung dan suara bariton Egbert terdengar.
"Apa kau sudah mendapatkannya?"
"Em" Sean berdehem sebagai jawaban.
"Jadi cepatlah datang kemari dan bawa dia pergi" Ujar Sean, suaranya yang tak sabaran itu terdengar begitu kentara.
"Tangisannya sungguh jelek seperti anak rusa di hutan"
"Itu cukup berisik" Keluhnya begitu saja pada Egbert.
"Em" Egbert hanya berdeham acuh.
"Besok aku akan ke sana dan mengambilnya" Lanjutnya kemudian.
Jelas itu bukan jawaban yang diinginkan Sean.
"Apa katamu?"
"Besok?"
"Kau ini yang benar sa—"
Tutt..tut..
Talian sudah diputus sebelah pihak.
"Haah" Sean membuang nafas kasar.
"Sial!" Sean melempar ponselnya ke atas ranjang dan berdecak kesal.
Malam ini sepertinya...
Ia harus tidur bersama suara yang tak kalah jauh dari tangisan anak rusa di hutan.
......................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!