NovelToon NovelToon

Sha & Sha

Prolog

"Wah, mimpi buruk apalagi ini? Aku aja nggak pernah pacaran sama orang. Terus tiba-tiba dituduh hamil sekitar 5 bulan. Padahal perut aku rata. Siapa sih yang ngejebak?"

"Bayangkan pemirsa, aku harus menikah secara mendadak sama orang yang nggak saling cinta. Mana aku cuman pengganti pengantin dari kembaranku lagi. Ini nggak lucu, ini terlalu sadis. Argh ...." Kataku terus marah-marah tidak jelas didepan cermin di kamarku. Rambutku sudah ikut acak-acakan tidak jelas karena habis menangis.

Setiap makhluk individu memiliki perjalanan hidup yang berbeda. Namun seringkali ketika kita berada dititik masalah, kita selalu menganggap hidup itu tidak pernah adil. Padahal kenyataannya hidup selalu berdampingan, antara bahagia dan sedih, antara masalah dan solusi, antara bersyukur dan kufur. Apapun yang kita lalui itulah perjalanan kita. Allah telah berfirman, Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat."

Bagiku, akan sangat sulit menerima sesuatu yang selalu bertentangan denganku. Aku memiliki saudara kembar non identik, namanya Alesha Adnan. Kami lahir hanya berbeda sekitar 7 menit. Hampir semua yang ada dalam diri kami itu berbeda, tidak ada kesamaan sedikitpun. Kesamaan kami hanya terletak pada hari, tanggal, dan tahun kelahiran yang sama. Cara kasarnya, yang aku suka dia benci begitupun sebaliknya. Yang dia suka aku tidak menyukainya.

Bahkan, keberadaanku hanyalah bayangan yang tak pernah diinginkan oleh orang tuaku sendiri. Aku merasa hanya menumpang di rahim Mama. Setelah lahir, aku pun hidup tanpa kasih sayang dari mereka. Hidup ku menjadi Alisha Adnan merupakan kesedihan terberat.

Aku tumbuh menjadi seorang yang ambisius dalam segala hal, hanya karena aku ingin diakui oleh orang tuaku. Sampai sahabatku selalu memperingatkanku agar tidak memforsir semua tenagaku.

"Ck, Al,"

"Alisha Adnan, tolong dengerin aku dulu!" kamu nggak capek apa, belajar terus? Kita yang cuman modal ngeliatin kamu aja udah capek banget." Kata Azura sudah berdecak kesal sedari tadi. Sepertinya mereka salah memilihku sebagai sahabatnya. Mereka yang terlalu santai condong ke malas, sementara aku orang yang sangat ambis. Kami sama-sama cerdasnya, namun caranya saja yang berbeda. Mereka nafas saja langsung paham apa yang dijelaskan oleh dosen. Sementara aku sangat memerlukan fokus untuk memahami materi yang dijelaskan oleh para dosen. Kami sedang memasuki semester ketiga jurusan Fashion Designer di salah satu Universitas swasta ternama.

"Belum, baru juga tiga jam." Jelasku tanpa memandang wajah mereka sekaligus menjawabnya dengan santai.

"Lagian ya Al, hari minggu itu diadakan untuk istirahat, bukan malah ambis belajar. Kalau kamu belajar terus, kapan istirahatnya?" Akhirnya Sabiya buka mulut setelah berhasil menghabiskan kuaci satu toples ukuran 200 mili.

"Namanya juga orang ambis," kataku.

"Dahlah, capek aku ngomongin kamu untuk berhenti belajar. Kamu tuh orang paling aneh di dunia tau nggak? Orang lain tuh pada alergi belajar, nah kamu malah hobi belajar." Kata Azura menimpali Sabiya. Aku tuh sengaja membuat mereka mengomel seperti itu, tandanya mereka perhatian sama aku. Karena dirumah tidak ada yang memperhatikan aku. Hal aneh yang aku pernah inginkan ialah, aku menginginkan Mama ataupun Papa menyuruhku belajar. Tapi sayangnya, aku hanya bayangan mereka.

"Bukannya belajar itu bagus? apalagi literasi orang Indonesia itu rendah banget. Bahkan menurut data UNESCO orang Indonesia yang suka baca itu hanya 0,001 persen. Bayangin aja, kalau misalnya kita nggak belajar, otomatis bakalan malas membaca."

"Setidaknya aku termasuk manusia dalam persentase langka 0,001 persen." Jelasku, mereka berdua mengangguk bukan paham, melainkan pasrah.

"Terserah kamu Al, terserah." Kata Sabiya berhasil membuat aku terkekeh.

"Jangan terlalu ambis banget deh Al, belajar boleh sampai cerdas, tapi istirahat itu diperlukan. Kalau kamu maksain diri kayak gini terus, bisa-bisa kamu jatuh sakit." Kata Azura-Si manusia penasehat di antara pertemanan kami.

"Ingat, semua yang berlebihan itu nggak baik. Waktu itu aku pernah ngeliat video siswi atau mahasiswi meninggal, akibat kebanyakan belajar." Kata Sabiya, kenapa dia mengatakan saja, jangan racuni aku untuk belajar Al, aku terlalu alergi untuk melihat setiap materi desain. Anehnya anak itu malah terjun di dunia fashion. Padahal ketika di kampus selalu tidur atau memijat kepala. Ajaibnya lagi, ketika ada kuis atau ujian mendadak, nilainya selalu tinggi.

"Terus, kamu mau doain aku meninggal? Sahabat macam apa kalian berdua ini?" Kataku merapikan buku binder dan bolpoin serta handphone di tas ransel denim berwarna biru dongker.

"Baiklah, karena kebetulan leherku juga udah pegal, aku selesai. Terima kasih atas tumpangan rumahnya Azura yang baik hati. Sebelum kalian usir aku dari rumahnya kamu, aku berterima kasih atas semuanya." Kataku sangat dramatis.

"Aku sangat menghormati nasehat kalian. Tapi kali ini aku minta maaf, karena aku nggak akan dengerin ucapan kalian. Kalian selalu kesal kenapa aku selalu mati-matian belajar, mati-matian ingin menjadi yang terbaik, aku akan berikan alasannya."

"Kita bosan dengar alasan kamu yang membuat kita makin emosi," Kata Azura.

"Kali ini nggak, aku akan bilang yang sebenarnya. Yang kalian nggak tau apapun yang sebenarnya terjadi sama aku." Kataku membuat mereka berdua langsung memasang wajah serius mendengarkan lanjutan penjelasanku.

"Aku ngelakuin semua ini karena aku pengen terlihat di mata Mama dan Papa, kalau aku juga anaknya." Jelasku membuat mereka seketika terdiam tak berkutik. Aku memang kalah telak dari Alesha, kembaranku. Alesha itu cantik, cantik banget malah. Cerdas, disukai banyak orang termasuk anak emas Mama dan Papa. Tingginya sekitar 175 senti, hidungnya benar-benar mancung tidak bengkok. Kulitnya putih agak kemerahan, apalagi ketika tersorot matahari, dia akan terlihat sangat menawan seperti orang bule.

Aku hanya bayangan di antara kehidupan orang di sekitarku, seperti bayangan yang tidak akan pernah dianggap spesial. Itulah aku,

...Sha & Sha...

..._______...

...Terima kasih sudah berkenan mampir dan membaca, semoga suka. Kalau suka tolong beri vote, komen sekali lagi aku ucapkan terima kasih....

1. Kekesalan Alisha

Ketika akhir pekan tiba, biasanya aku tidur sampai siang. Hanya bangun untuk sholat Subuh. Namun tidur ku kali ini tidak terlalu nyenyak, dikarenakan dering telepon yang berbunyi sejak tadi. Padahal hari ini merupakan nikmat besar bagiku untuk tidur sesuai keinginanku, dikarenakan sedang mendapat tamu bulanan. Menutup bantal di telinga hanya membuat kesabaran semakin terkuras. Aku beranjak dari tidur sambil mencari handphone di nakas. Benda pipih persegi panjang berwarna coklat tua itu bergetar, tertera nama 'princess Alesha' di layar handphone.

Bisakah anak itu sekali saja membuat hidupku tenang? aku hanya ingin tidur nyenyak. Itu aja nggak lebih.

Aku langsung menggeser panel hijau, lalu wajah Alesha langsung muncul di layar handphone ku. Sepertinya anak itu sengaja melakukan panggilan video whatsapp, hanya untuk memastikan jika kembarannya tidak berbohong ketika dia ingin meminta bantuan. Alesha sekalinya menghubungi ku bukan karena dia perhatian. Melainkan sengaja membuat hidupku kesulitan. Itulah hobi terburuknya yang orang lain tidak tahu.

"Ada apa sih, pagi-pagi udah video call? Aku bukan driver pribadi kamu." Tanyaku ketika panggilan video berlangsung.

"Paginya kamu jam segini, siangnya jam berapa Al?" Alesha malah bertanya balik.

"Udah deh nggak usah berbelit-belit, cepetan mau jemput dimana?" tanyaku agak emosi. Setiap hari Minggu pagi Alesha memiliki jadwal pemotretan majalah. Wajah sekaligus tinggi badan Alesha memang sangat mendukung untuk menjadi seorang model. Dia malah terkekeh pelan.

"Aku belum bilang aja, kamu udah tahu." Katanya. Aku hanya berdecak kesal.

"Kamu buang nafas aja, aku tau apa yang kamu pikirkan." Kataku.

"Cepat, tolong kirim alamatnya!" kataku. Dia mengangguk setuju dan menutup panggilan video secara sepihak. Alesha mengirimkan alamat lewat pesan whatsapp.

^^^Princess Alesha : Arka Studi*, di Jl. Palbatu IV No.8, RT.10/RW.4, Menteng Dalam, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan. ^^^

Aku langsung mengambil celana jeans berwarna hitam dan black biker jacket. Setelah itu aku ke kamar mandi untuk mandi. Aku bukan perempuan yang suka lama untuk melakukan sesuatu. Setelah lima menit berlalu, aku sudah memakai pakaian sekaligus sepatu boots warna hitam yang masih bersih. Sementara rambutku sengaja aku kepang di bagian atas kanan sampai ujung dekat telinga, lalu membiarkan rambut ku yang curly tergerai.

FYI, Alesha tidak bisa mengendarai motor ataupun mobil. Jadi kemana-mana jika ada urusan mendadak dia menjadikan aku sebagai sopir pribadinya yang tidak dibayar. Dia tidak mampu mengemudi karena dia tidak mau belajar. Alhasil dia menjadi seorang princess yang tidak memiliki darah bangsawan kerajaan.

Ketika di lantai bawah aku mencari kunci mobil, "cari apa Mbak Alisha?" tanya Bibi Nika yang tiba-tiba sudah berada dibelakangku. Entah kenapa ketika orang menghampiriku tanpa aba-aba aku langsung terkejut. Anehnya lagi, ketika orang itu memberikan aba-aba lebih dulu agar tidak mengejutkanku, aku tetap masih terkejut. Beliau merupakan salah satu pekerja terlama di rumah kami semenjak Kak Hanzal Adnan masih berada di dalam kandungan.

"Bibi liat kunci mobil yang sering aku bawa nggak?" tanyaku sambil mencari kunci mobil di semua nakas.

"Mobil lagi nggak ada di rumah semua, Mbak Alisha."

"Apa Mama hari ini juga nggak libur?"

"Katanya ada urusan mendadak,"

"Baiklah, aku pakai motor aja. Kalau Mama atau Papa misalnya nyariin aku, tolong bilangin, kalau aku jemput Alesha." Jelasku. Aku benar-benar melupakan sesuatu, jika aku bukan bagian penting dari mereka.

"Tapi kayaknya Mama atau Papa nggak akan nyariin aku. Karena aku cuman bayangan mereka aja." Lanjutku dengan nada yang cukup pelan.

"Mbak Alisha jangan ngomong kayak gitu." Kata Bibi Nika.

"Tapi itu kenyataannya, Bi. Kalau gitu, aku langsung berangkat. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," Aku langsung berlari ke garasi untuk memanaskan motor terlebih dahulu. Aku mengambil dua helm, satunya aku pakai dan satunya lagi aku taruh di belakang jok motor Kawasaki Ninja 250 SE ABS. Motor ini bukan milikku, tapi motornya Kak Hanzal. Biasanya kami memanggilnya dengan panggilan Kak Anzal. Pria itu memang suka sekali dengan motor ninja. Terkadang aku menyayangkan sikap Mama kepada kedua anak kesayangan mereka. Yang menjadikan mereka berdua menjadi anak yang manja dan bergantung kepada orang tuanya. Untukku berbeda, aku sangat sulit untuk mendapatkan apa yang aku mau. Aku langsung mengeluarkan motor dari garasi.

Motor membelah jalanan depan rumah, sampai akhirnya aku melajukan motor dengan kecepatan yang agak tinggi. Ketika sampai di tempat tujuan dengan waktu tempuh sekitar 20 menitan, aku melihat Alesha berdiri di depan pintu masuk studio bersama Mama. Sepertinya Mama baru datang. Terlihat dari caranya memeluk Alesha dan mencium kening serta kedua pipinya. Mama memakai hijab yang dipadukan dengan kebaya berwarna mocca. Mama juga memakai high heels setinggi tujuh senti, padahal tinggi Mama tergolong tinggi sekitar 168 senti.

Bagi Mama, Alesha itu seperti satu badan dengan Mama. Kemanapun Mama pergi, disitulah ada Alesha. Alesha benar-benar tumbuh menjadi anak emas dari Mama dan Papa. Aku melajukan motor untuk menghampirinya. Sekalipun hati aku agar tergores sedikit. Seharusnya aku tidak merasakan iri, mengingat aku tumbuh tanpa kasih sayang dari kedua orang tuaku.

"Alisha, kamu disini juga?" tanya Mama agak terkejut. Aku mencabut kunci motor kemudian menstandar motor. Sekalipun aku orang yang selalu bersikap cuek, bukan berarti aku menghilangkan tata krama ke semua orang, apalagi untuk orang tuaku.

"Tadinya Alesha meminta aku untuk jemput kesini. Tapi karena kebetulan ada Mama disini, jadi aku nggak perlu jemput Alesha." Kataku. Keberadaan Mama yang sebenarnya bukanlah kebetulan, tapi kesengajaan. Mama selalu mengantar jemput Alesha kemanapun dia pergi.

"Tunggu," kata Mama menghentikan langkahku. "Kalau saya nggak kesini, apa kamu mau jemput Alesha dengan motor ninja itu? Apa kamu nggak kasihan, jika kulitnya terbakar. Alesha itu seorang model, seharusnya tanpa saya peringatkan kamu sadar itu." Katanya, aku hanya diam tanpa menjawab apapun terkecuali kata Mama yang aku lontarkan. Itupun dengan nada yang cukup rendah. Sementara Alesha hanya terdiam dengan memasang wajah polos nan menyebalkan seperti tidak berdosa.

"Saya nggak mau memperpanjang masalah." Kata Mama. "Ayo sayang, kita pulang! Mama nggak mau kulit kamu kenapa-napa, nanti bisa berdampak buruk dengan karir model kamu." Kata Mama dengan menggandeng tangan Alesha, mereka berjalan ke mobil milik Mama. Mereka pergi begitu saja tanpa bilang sesuatu. Mama selalu menggunakan panggilan saya ketika berbicara dengan semua orang terkecuali keluarga kami. Apa Mama juga menganggapku sebagai orang lain? Entahlah. Semakin memikirkannya, hanya akan terasa menyakitkan.

"Emang dia vampir apa, kulitnya bisa kebakar? Percuma banget aku kesini, kalau orang yang dijemput, bukannya ngomong maaf kek atau apa kek. Malah ditinggal pergi gitu aja." Kataku bermonolog setelah mereka berdua pergi jauh dariku. Aku benar-benar kesal setiap melihat tindakannya yang begitu tidak peduli, seolah dia tidak melakukan kesalahan. Satu lagi, ketika Mama berbicara denganku, beliau selalu memanggil dirinya dengan kata Saya. Disini aku merasa seperti bukan anaknya.

Aku kembali melajukan motor lalu pulang ke rumah. Orang asing berpikir jika memiliki saudara kembar sangat menyenangkan. Namun yang aku dapatkan hanyalah pengasingan. Aku sangat bagi mereka. Terkadang rasa cemburu aku terhadap mereka semua membuat aku semakin cuek tidak peduli apapun. Orang sekitar selalu menganggapku sebagai orang yang cuek dan tidak memiliki perasaan. Padahal aku orang yang perasa sekaligus cepat tanggap dengan menjaga perasaan orang lain.

...__________...

Setelah sampai dirumah aku langsung masuk ke dalam rumah setelah memasukan motor di garasi. Aku tidak melihat mobil yang dipakai Mama. Mungkin mereka sedang pergi. Tapi aku melihat mobil asing di garasi ada sekitar tiga. Ketika aku masuk setelah mengucap salam, semua pria yang mungkin usianya sebaya dengan Kak Hanzal langsung menjawab salam ku dan menoleh ke arahku cukup kompak. Saat ditatap seperti itu, apalagi tatapan mereka seperti menyimpan beribu pertanyaan. Aku langsung enyah dari ruang tamu.

Saat aku berjalan ke dalam rumah, sekilas aku mendengar mereka saling melontar pertanyaan ke Kak Hanzal.

"Dia adik lo atau bukan?"

"Iya dia adik gue, kenapa?"

"Cakep juga, gue pikir lo cuman punya Alesha."

"Nggak dapat Alesha bisalah dapat dia."

"Boleh lah gue deketin?"

"Boleh, ambil aja sana." Kata Kak Hanzal begitu santai. Saat itu aku benar-benar marah. Jika Alesha begitu dilindungi, kenapa aku tidak? Seakan aku hanya orang asing yang dibiarkan mati ketika ada hewan buas ingin memakanku.

"Baiklah, siapa namanya?"

"Alisha,"

"Alisha? Mereka kembar atau bukan."

"Iya mereka kembar." Setelah itu aku langsung melanjutkan langkahku menaiki anak tangga. Aku hanya menghela nafas pasrah. Aku menyalakan AC setelah itu aku berbaring sampai akhirnya tertidur pulas.

...___________...

...To be continoude ...

...Aku akan coba updet setiap hari Sabtu dan Minggu...

...Semoga suka...

...Semoga kalian nggak keblibet dengan nama mereka. ...

...Alisha harus banyakin sabar, dan Alesha tingkatin kepekaannya. ...

2 Kesarkasan Alisha Adnan

...____________...

Berusaha untuk diakui oleh orang terdekat hanya membuat pikiran kita semakin  tidak waras. Ketika obsesi merasuki pikiran serta hati kita, maka, disitulah kita akan berhadapan dengan jurang kestressan. Beberapa orang sekitarku sering mengatakan, 

"Nggak perlu ambis banget deh Al, nggak semua hal, harus kamu capai. Kamu masih manusia, bertindaklah layaknya manusia. Didunia ini nggak ada manusia yang sempurna selain Rasulullah."

"Semakin kamu memaksakan diri untuk menjadi sempurna, kamu hanya akan membuat diri kamu sengsara." Aku hanya diam menanggapi setiap nasehat baik dari siapapun itu. Tapi setelah waktu yang aku lalui dan akhirnya aku mampu berpikir dengan baik. Ucapan mereka semua memang benar, semakin aku berusaha diakui oleh orang terdekatku, hanya ada rasa melelahkan di dalamnya yang tak mampu aku dapatkan. 

Sewaktu masih sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, ada banyak orang yang membandingkan aku dengan Alesha. Kata mereka, Alisha itu tidak pantas untuk menjadi kembarannya Alesha. Dia terlalu gemuk dan jelek untuk menjadi saudaranya Alesha. Jika diibaratkan, Alesha itu seperti bintang dimalam hari yang berkelip di musim kemarau, sementara Alisha hanya rembulan yang muncul di musim hujan dan kabut. 

Semenjak SMP aku mulai menurunkan berat badanku. Namun sayangnya aku gagal mendapatkan berat badan yang ideal. Karena aku harus dilarikan ke rumah sakit akibat asam lambung ku tiba-tiba naik. Cara diet aku benar-benar tidak sehat, semua kebodohan orang dimuka bumi sepertinya terkumpul dalam pikiranku. Aku ingin kurus, namun cara yang aku lakukan salah total. Mama dan Papa tidak tahu jika aku sedang melakukan diet. Saat aku dilarikan di rumah sakit karena asam lambung ku tiba-tiba naik. Ketika mereka datang bukan perasaan kasih sayang yang mereka perlihatkan. Justru sebaliknya, aku mendapat amarah besar dari kedua orang tuaku. 

"Apa kamu nggak bisa berhenti mencari masalah Alisha? Lama-kelamaan saya  benar-benar muak dengan  tingkah kamu." Kata Mama saat itu. 

"Kenapa kamu selalu membuat kami khawatir, Alisha? Coba kamu lihat Alesha, dia bisa menjadi role model hidup kamu. Coba contoh dia!" Kata Papa mulai membandingkan aku dengan kembaranku.

"Alesha … Alesha … dan Alesha, apa Mama pernah ngeliat aku sebagai putri Mama dan Papa?" tanyaku begitu emosional. Namun tidak disangka jika tangan Papa lebih cepat melayang ke pipi kananku. Aku hanya meringis kesakitan. 

"Jangan melawan kalau orang tua bicara."

"Dan untuk apa kamu diet, kalau akhirnya kamu sendiri harus dilarikan ke rumah sakit?" tanya Papa begitu kesal.

"Aku diet biar kurus, biar Mama sama Papa nggak malu ngakuin aku sebagai anak Papa dan Mama." Jawabku dengan nada meninggi. Perkataanku berhasil membuat mereka berdua mematung. Aku menahan diri agar tidak menangis. Sekalipun air mata sudah tidak mampu lagi aku bendung. Kemudian Mama dan Papa langsung keluar dari kamar inap ku.

Aku memiliki segudang inner child yang cukup buruk. Aku tumbuh tidak mendapat kasih sayang dari orang tua, banyaknya larangan, tidak pernah mendapat gift dari orang tua setelah mendapat penghargaan, bullying SD sampai SMA. Kemudian, setelah masuk SMP aku tumbuh menjadi orang yang ambis, orang yang dingin, dan tidak begitu tertarik dengan relationship. Jika Alesha diam-diam sering gonta-ganti pacar, aku malah tidak sekalipun pernah pacaran. Sekalinya aku menyukai seseorang, orang itu malah menyukai Alesha. Miris sekali bukan. Dia terlalu sempurna untuk menjadi sainganku. 

"Eh Alisha, apa kamu nggak nyadar suka sama Affan? Lihat deh badan kamu! Badan kamu itu mirip gajah." Kata seorang laki-laki temannya Affan mengejekku.

"Affan itu lebih cocok sama Alesha dibanding dengan kamu." 

"Mana ada gajah sama pangeran tampan." Katanya lagi. Selama ini aku cukup diam tanpa membalas perlakukan mereka. Namun sekalinya aku membalas mereka, mereka malah diam tak berkutik. Aku menendang alat vital mereka bertiga secara bergantian membuat mereka meringis kesakitan.

"Masih ada nggak, kata-kata dari kalian yang lebih menyakitkan? Siapa tau aja, saya bisa menghilangkan aset berharga masa depan kalian." Kataku membuat mereka seperti tidak percaya. Akhirnya aku kembali menendang alat vital mereka secara bergantian sampai membuat mereka bertiga jatuh ke lantai. Aku sengaja berlatih taekwondo setiap hari sekalipun badanku lumayan besar, setidaknya ketika momen seperti ini aku bisa menghajar mereka secara tepat. Setiap ucapan di masa lalu aku selalu mengingatnya secara detail. Ada rasa ingin sekali  melupakan namun semakin aku berusaha melupakan maka semakin mengingat sesuatu itu.

"WOI Alisha, bengong aja." Kata Raffasya sengaja berteriak di samping telinga ku. Yang membuat jantungku berdebar cukup kencang. 

"Bisa nggak sih, kalau ngomong nggak usah teriak-teriak? Kuping aku masih normal." Kataku agak kesal namun membuat anak itu terkekeh. Raffasya itu memiliki hobi mengganggu ketenangan orang.  

"Kalau masih normal, kenapa diam aja? Noh lihat! ruangan kelas udah sepi." Katanya menyadarkanku jika ruangan ini sudah tidak ada penghuni selain kami berdua. 

"Kok kelas udah pada bubar?" tanyaku begitu santai. 

"Bengong mulu dari tadi, tolong minggir, mau lewat." Katanya. Aku langsung beranjak dari tempat duduk. Lalu kami berdua keluar dari ruang kelas. Teman kami selalu mengatakan, jika kami lebih layak seperti saudara kandung dibanding dengan seorang sahabat. 

"Al, boleh aku tanya sama kamu?"

"Tanya aja, kayaknya serius banget." 

"Kenapa kamu nggak pacaran?"

"Ya karena aku seorang muslim, sekaligus nggak butuh yang namanya pacaran." Jawabku begitu santai. Pria di sebelahku ini hanya tersenyum smirk. 

"Kamu bilang, kamu seorang muslim. Tapi kenapa nggak pake hijab? Bukannya itu perintah yang diwajibkan bagi seorang muslimah?" tanyanya saat kami berjalan ke arah parkiran fakultas tata busana. Azura dan Hafizha sudah berada disana. Kedua anak itu sedang mengipas wajahnya dengan kipas tangan.

"Gini ya Raff, nggak semua hal yang haram harus aku lakukan." Kataku. Di dalam persahabatan kami selalu menggunakan aku-kamu. Sekalipun kami tinggalnya di Jakarta. 

Mungkin bagi sebagian orang Jakarta menggunakan aku-kamu yang tidak memiliki relationship ataupun relation lainnya akan terdengar tabu. Awalnya aku juga merasa seperti itu, aku hanya menggunakan kata aku-kamu hanya didalam keluarga. Selebihnya aku menggunakan kata saya-kamu atau saya-Anda untuk semua orang asing. Saat pertama kali kami bertemu di kampus, aku selalu menggunakan kata saya-kamu, alhasil orang yang menjadi sahabatku saat ini terasa kaku mendengarnya. Karena mereka lebih menggunakan lo-gue. Tapi pada akhirnya mereka malah cepat beradaptasi karena aku sering keceplosan menggunakan aku-kamu. Dan saat ini kami malah menggunakan langgan aku-kamu hanya di setiap lingkungan terdekat kami. 

"Kamu sering minum alkohol?" tanya Raffasya agak ragu. 

"Apa wajahku terlihat peminum yang handal ya?" Bukannya menjawab, aku malah bertanya balik.  

"Emang ada ya, wajah yang mencerminkan dia pemabuk handal?"

"Justru itu aku nanya sama kamu."

"Kamu beneran nggak mabuk atau jarang mabuk?" tanya Raffasya lebih mengintrogasiku. Dia seperti Papa yang tidak mudah percaya denganku. 

"Sama sekali aku nggak pernah mabuk. Kenapa, masih nggak percaya?" tanyaku lagi. Dia hanya menggeleng lemah. 

"Aku emang beberapa kali mengikuti balap motor ilegal, tapi bukan berarti aku harus minum alkohol. Aku punya prinsip yang kuat. Sekali aku memutuskan sesuatu, aku nggak akan goyah dalam prinsip sudah aku ambil."

"Menurutku haram ya akan tetap haram. Nggak akan tiba-tiba bisa jadi halal karena melakukannya diawali di basmalah."  

"Lagian lambung ku juga nggak akan mendukung kalau aku sering minum alkohol." Jelasku. Raffasya mengangguk paham dengan penjelasanku.

"Apa kamu ada niatan untuk memakai hijab, kapanpun waktunya?" 

"Doain aja yang terbaik. Lihat tuh, Azura lagi baca mantra!" kataku. 

"Itu bukan baca mantra, Al. Tapi, dia lagi ngomongin kita." Katanya agak emosi. Kami menghampiri mereka berdua. 

"Gila ya lama banget. Ngapain aja sih? Kenapa sih harus lama? Hidup itu emang nggak perlu buru-buru, tapi nggak harus kelamaan juga." tanya Azura langsung membaca mantra tidak jelas. Ia menarik lengan tanganku setelah mengatakan,

"Duluan, dah." Katanya begitu singkat disertai amarah yang terpendam. 

"Azura, calm down. Nggak semua amarah harus diledakan, nggak semua masalah harus dikeluhkan, dan nggak semua orang harus tahu tentang apa yang sedang kita lakukan." Kataku membuat anak itu menyeret lengan tanganku lebih kasar lagi hingga memasukkan ku  ke mobil milik Azura. Dia sengaja memintaku agar mengemudi mengantarkan dia sampai ke rumahnya. Raffasya memberiku julukan sebagai  unpaid personal favorite driver.

"Aku baru diputusin, Beb." Kata Azura mengeluh hebat secara dramatis ketika mesin mobil sudah berhasil aku nyalakan. Aku melihat sekeliling untuk memarkirkan mobil keluar meninggalkan area parkiran.

"Terus aku harus apa? Bilangin kamu dengan nasehat yang baik? Buang-buang waktu aja. Kalau akhirnya kamu juga lebih memilih balik lagi tuh sama mantan kamu."

"Sia-sia aku ngeluarin kata ajaib, kalau akhirnya kamu malah kembali memilih untuk disakiti." Kataku sengaja sarkas. Satu lagi julukan dari orang sekitar ku terutama yang dekat, Alisha Sarcasm Adnan. 

"Nggak gitu juga Alisha Adnan. Karena aku cinta sama dia, aku bingung kalau mau ninggalin dia. Dia selalu minta maaf juga kalau udah ngelakuin sesuatu yang salah, jadi aku nggak tega. Dia juga baik banget." Sempat-sempatnya Azura masih memuji orang yang telah menyakiti. Azura terus berbicara, sementara aku hanya diam tanpa menggubris ucapannya. 

Karena seseorang akan lelah ketika menasehati orang bucin karena otaknya telah dipensiunkan. Kata ajaib apapun tidak akan pernah sampai pada otaknya. Yang aku lakukan hanya mendengarkan saja, tanpa perlu menjawab curhat mellow darinya. Itu cukup membuat lebih baik bagi orang yang sedang mengeluh karena masalah. Perempuan jika sedang mengalami masalah kemudian, dia bercerita panjang lebar, mereka tidak memerlukan kata bijak, mereka hanya membutuhkan pelukan atau penenang orang lain kepada dirinya. Terutama pada orang yang memiliki love language physical touch.

"Tolong dengerin ya, kamu itu udah disekolahin sampai 13 tahun. Harusnya mikir, kalau disakiti, diselingkuhin, ya kamu tinggalin lah! Ngapain bertahan? Kamu cuman buang-buang waktu buat nyari penyakit." 

"Tolong deh buka mata, buka hati, dan buka pikiran! Kamu nggak kasihan sama kedua orang tua kamu itu, mereka itu susah-susah cari uang buat kamu, biar anaknya jadi orang yang cerdas dan sukses. Bukan buat jadi orang bodoh karena jatuh cinta." Sepertinya mulutku tidak bisa direm. Sekalinya aku kesal, kata-kataku hanya menjadi tamparan seperti memberikan racun untuk orang lain. Terlalu pahit untuk dikonsumsi yang akhirnya membuat perdebatan.

"Ngerti apa kamu tentang cinta? Pacaran nggak pernah." Kata Azura tidak terima dengan pernyataanku. Aku tahu aku salah, seharusnya aku tidak mengucapkan kata sarkas bagi Azura yang perasaannya cukul sensitif.

"Oh mohon maaf yah, aku berpengalaman nggak perlu terjun langsung untuk yang melakukan sesuatu apalagi sesuatu kesalahan. Pengalaman itu belajar dari sudut pandang banyak hal."

"Tolong ingat hal ini! seorang suhu nggak perlu terjun langsung dalam banyaknya masalah, dia bisa dapat memahami sesuatu secara cepat." Jelasku lebih tenang. Namun ucapanku tetap saja menusuk seperti ujung pedang yang menusuk ke jantung.

"Al, bisa nggak sih, kalau ngomong jangan bener terus. Apa aku harus kena tampar sama omongan kamu terus." Katanya. Aku hanya terkekeh ketika anak itu mulai menerima apa yang aku ucapkan. Ini pertama kalinya aku.terlalu sarkas pada Azura. Sebelum-sebelumnya aku memberikan nasehat terlalu lembut. Hingga ketika dia kebal akan  ucapan lembutku, aku malah melempar perkataan yang begitu sadis.

"Percuma ngerasa kena tampar, kalau kamu nggak pernah sadar diri."

"Huaaaaa … sedih banget punya sahabat bikin mental." Katanya. Aku langsung meminta maaf atas semua perkataanku tadi. Dia malah memelukku membuat badanku membeku. Karena faktanya aku kurang nyaman dipeluk oleh siapapun. Aku bukan  Alesha yang selalu diberikan kasih sayang baik verbal maupun fisik seperti pelukan. 

"Aku lagi nyetir, tolong jangan buat aku mati karena pelukanmu itu." Kataku membuat Azura terdiam denga  likirnanya yanb tidak baik.

"Maksudnya?" tanya Azura dengan nada tinggi.

"Kayaknya aku phobia dengan sentuhan fisik siapapun itu." Jelasku membuat anak itu diam mencerna penjelasan terakhirku. 

...___________...

...To be continoude ...

...Sabar Al, sabar. Jangan sampai mental Azura jatuh. ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!