Semilir angin menyapa kala Rizal, Galang dan Adnan sampai di basecamp gunung "X" sore ini. Mereka tak lekas mengurus simaksi karena Adnan masih ragu untuk mendaki gunung itu. Hal ini dikarenakan rumor yang telah beredar luas di kalangan masyarakat yakni tentang keangkeran dan kesakralan gunung "X". Jika tidak karena tipuan Rizal dan Galang, tidak akan mungkin Adnan berada di sana sekarang.
[ SIMAKSI \= Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi ]
"Yakin nih mau naik?" tanya Adnan dengan wajah memelas.
"Yakinlah," sahut Rizal, cepat.
"Resek ya kalian! kalian tahu kan, ini gunung apa? serem tahu? sakral. Banyak peziarah dengan maksud untuk melakukan pesugihan. Bayangin! ada berapa banyak dedemit di atas sana!"
"Halah! gunung mana saja ya tetap sama saja! pikiran mereka sendiri yang akhirnya membentuk rasa ketakutan. Coba hitung! sudah berapa kali kita mendaki gunung?"
"Hemm.. tujuh, tujuh kali dengan yang akan kita lakukan ini."
"Nah artinya, sudah ada enam kali pendakian yang kita lakukan. Coba sebutin, dari keenam kali pendakian itu, apa kita pernah mengalami gangguan mistis?"
Adnan menghela napas seraya menggelengkan kepalanya.
"Itu dia maksudku, gunung "X" ini juga sama seperti gunung yang lainnya. Jangan berpikir macam-macam!"
"Gak enak banget loh Zal perasaanku. Gimana kalau kita ke gunung "Y" saja? satu jam setelah lah dari sini."
"Adnan-adnan.. Rizal benar. Kamu jangan terlalu berlebihan! yakin deh gak bakalan terjadi apa-apa di atas sana!" timpal Galang.
Adnan tetap gelisah, butuh sekitar setengah jam bagi Rizal dan Galang untuk membujuknya. Pada akhirnya, Adnan bersedia dengan syarat kalau mereka akan melakukan pendakian pagi, di hari berikutnya. Rizal dan Galang menyetujui syarat yang Adnan berikan.
...🍁🍁🍁...
Malam itu, mereka menginap di basecamp. Ngobrol ke sana ke mari menunggu mata hingga mengantuk. Di luar, suasana masih terlihat ramai. Para peziarah datang silih berganti. Tak sedikit yang memilih untuk langsung naik malam itu juga. Menurut rumor yang ada, para peziarah yang memiliki niat untuk mencari pesugihan, akan melakukan pertapaan di sana. Setidaknya selama dua atau tiga hari hingga mendapatkan petunjuk atas permohonan yang mereka lakukan.
Bulan sabit menyempurnakan keindahan malam. Di sekitarnya, bintang-bintang bertaburan. Namun, di dada Adnan, bercokol kegelisahan. Adnan hanya bisa berdoa agar semuanya baik-baik saja. Sehat dan selamat ketika berangkat, pendakian dan juga pulang.
...🍁🍁🍁...
Baru juga terpejam, silau cahaya membangunkan Adnan. Ternyata, itu kejahilan Rizal yang sengaja mengarahkan senter ke wajahnya. Adnan mengerjapkan matanya beberapa kali seraya mengeliat lalu menguap. Kedua temannya terlihat telah siap. Adnan bangkit seraya berjalan ke toilet untuk membasuh mukanya. Mereka memilih untuk memakan beberapa potong roti sebagai pengganjal perut sementara sebelum kemudian mengurus simaksi lalu mulai mendaki.
Meski jam telah menunjukkan pukul tujuh pagi. Namun, kondisi langit belum terlalu terang. Embun masih keluar, kabut turun dan langit kian petang. Mereka bertiga berdiskusi kembali untuk tetap melanjutkan perjalanan atau menunggu sedikit siang. Dalam benak mereka, hujan akan segera datang. Alangkah lebih mudah jika mendaki di kala terang alias ketika tidak hujan. Alhasil, ketiganya memutuskan untuk sarapan sembari menunggu langit kembali bersahabat.
Warung yang berada di sisi kanan basecamp menjadi pilihan mereka untuk sarapan. Tiga porsi nasi pecel lengkap dengan telur dadar dihidangkan. Tiga gelas teh hangat melengkapinya. Tidak lupa dengan kerupuk dan peyek kacangnya.
Di sela-sela agenda makan mereka. Si pemilik warung menasehati agar mereka mengurungkan niat untuk mendaki. Terlebih, dua diantara mereka merasa takabur. Seolah-olah enggan mempercayai kalau alam lain ( alam jin ) itu tidak ada. Rizal berdalih kalau ia bukannya tidak percaya dengan adanya para jin melainkan, dia meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna dan tidak sepatutnya takut kepada mereka. Si pemilik warung lantas tersenyum sinis seraya mengatakan agar Rizal tidak terlampau menyombongkan diri. Melihat keadaan yang mulai tidak kondusif, Adnan lekas menengahi seraya meminta maaf atas ucapan dan perilaku teman-temannya.
...🍁🍁🍁...
Usai makan, mereka kembali mengamati kondisi langit yang masih tidak banyak perubahan. Mereka pun berdiskusi kembali hingga diambillah sebuah keputusan kalau mereka akan lanjut naik dengan persiapan jas hujan. Andai kata, tiba-tiba turun hujan. Mereka pun berdoa bersama lalu memulai langkah pertama pendakian mereka.
...🍁Bersambung... 🍁...
Kali ini, Rizal yang menjadi leader. Galang menjadi sweeper. Sedangkan Adnan, berjalan di tengah. Dengan cuaca yang bisa dibilang mendung, ketiganya tetap melanjutkan perjalanan. Di awal-awal pendakian mereka, ada sebuah gapura bata merah bertuliskan aksara jawa yang berbunyi seperti ini:
"SUGENG RAWUH ING DUSUN GRINGGING"
Sebenarnya, baik Rizal, Galang maupun Adnan, tidak ada yang pandai dalam membaca aksara jawa. Namun, entah kenapa saat itu begitu mudah membacanya. Seolah, mereka telah biasa menggunakan tulisan aksara jawa dalam keseharian mereka.
"Loh, aku kira desa terakhir ya di basecamp tadi. Ternyata, masih ada desa lain ya?" celetuk Adnan.
"Gak tahu juga sih, ada gapura begini ya berarti beneran ada desa lagi di sana," sahut Galang.
"Ya udahlah, sama-sama belum pernah kesini, lanjut deh, jalan lagi!" ajak Rizal.
Mereka pun kembali berjalan, menaiki satu demi satu anak tangga yang terbuat dari bata merah hingga melewati gapura desa Gringging. Langkah pertama mereka disambut angin semriwing membuat bulu kuduk merinding. Langit yang tadinya terlihat mendung menjadi sedikit cerah. Akan tetapi, bukan cerah panas melainkan menyerupai mega merah, temaram seperti saat senja menjelang petang.
"Loh loh loh, kok langitnya cepat sekali berubah?" ujar Galang sembari mengamati langit di atasnya.
Bukannya tidak menyadari keanehan itu. Namun, Rizal berusaha menstabilkan keadaan dengan mengatakan kalau cuaca di gunung memang sering berubah-ubah. Hal itu sudah wajar dan tidak perlu terlalu dipikirkan. Kiranya hanya itu yang bisa ia katakan padahal, batinnya dipenuhi pertanyaan yang sama.
Rizal, Galang dan Adnan pun melanjutkan perjalanan. Belum lama berjalan, mereka melihat banyak sesajen yang diletakkan di beberapa bagian. Ada yang diletakkan di bawah pohon besar, ada juga roncean bunga yang digantungkan di batang-batang pohon yang sebetulnya sangat rindang. Tadi, sewaktu melewati gapura pun juga ada sesajen yang diletakkan di sisi kanan dan kirinya. Hal ini tentu saja menjadi pemandangan yang sangat biasa. Mengingat rumor dan image yang telah berkembang di sana.
"Eh, para peziarah semalam, pada berhenti di mana ya? katanya kan harus bertapa dulu," tanya Galang.
"Nanti juga pasti ketemu," sahut Rizal.
Sayangnya, setelah satu jam berjalan, masih belum ada satu pun peziarah yang mereka temui. Padahal, semalam ada banyak. Jangan kan peziarah, warga desa pun tidak ada. Rumah-rumah perkampungannya juga tidak terlihat.
"Mana perkampungannya ya? di depan kan tulisannya selamat datang di desa Gringging?" celetuk Adnan sembari terus melangkah.
"Ada, pasti ada di depan sana. Namanya juga pedesaan, sudah wajar kalau jarak gapura dengan rumah-rumah penduduknya masih jauh. Apalagi kalau sedikit terpencil begini lokasinya," jawab Rizal.
Jawaban Rizal cukup masuk akal karnanya, Adnan tak lagi mendebat. Perjalanan terus dilanjutkan, masih menanjak dengan sesekali diberikan jalan yang setapak. Tanpa terasa, tiga jam telah berselang. Pertanyaan demi pertanyaan pun mulai bermunculan.
"Ini pos satunya di mana ya? apa kita salah jalan?"
"Kayaknya gak mungkin salah deh Lang, cuma ada satu jalan doang. Sudah benar yang kita lewati ini," sahut Adnan.
"Coba lanjut dikit lagi! mungkin, pos satu ada di depan," ajak Rizal.
"Iya."
Sayangnya, setengah jam berikutnya, mereka masih belum bisa menemukan pos satunya. Hanya ada sebuah rumah yang nyaris rusak di depan sana. Karena tubuh yang sudah lelah, ketiganya memutuskan untuk beristirahat sejenak di pelataran ruman yang entah milik siapa.
"Istirahat di sana saja Zal! kayaknya kita sudah dekat dengan rumah-rumah penduduk desa Gringging."
"Iya Lang ayo!" jawab Rizal.
...🍁 BERSAMBUNG... 🍁...
Rumah yang mereka lihat benar-benar kosong dan nyaris ambruk. Sepertinya, memang telah lama tidak ditinggali. Hendak berteduh di terasnya pun khawatir, takut dinding dan atapnya roboh menimpa diri sendiri. Alhasil mereka memutuskan untuk beristirahat di halaman rumahnya saja. Kebetulan, ada sumur juga di sana. Jernih dan aman untuk dikonsumsi. Galang mengisi persediaan air, sementara Adnan dan Rizal menyiapkan makan siang. Usai makan siang, mereka melanjutkan perjalanan. Meski telah lama berjalan, mereka masih belum menemukan keberadaan pos satu hingga jam menunjukkan pukul setengah lima sore. Alhasil mereka memutuskan untuk mencari lahan yang pas untuk mendirikan tenda dan berencana bermalam di sana.
"Yakin nih buka tenda di sini?" tanya Galang.
"Kalau gak buka tenda, memangnya kamu masih kuat lanjut jalan? kalau aku sih, capek," sahut Adnan.
"Bukan begitu, sudah seharian loh kita jalan tapi belum nemu pos satu. Menurutku sih aneh, aku lebih khawatir kalau kita tersesat. Masih belum terlambat kalau balik arah."
Ucapan Galang membuat Adnan turut menimbang.
"Yah apa pun itu, yang penting kita istirahat dulu semalam! perkara besok mau balik turun, gampang," timpal Rizal sembari menancapkan pasak ke tanah.
"Iya gitu aja, bentar lagi malam, aku gak mau jalan malam-malam," sahut Adnan.
Pada akhirnya, ketiganya tetap membuka tenda untuk bermalam di sana. Kompor dan nasting dikeluarkan untuk memasak makan malam. Tak lupa, kopi susu panas melengkapinya. Api unggun juga dinyalakan guna menghangatkan tubuh yang mulai beradu dengan dinginnya malam. Mereka menyantap makanan sederhana yang terasa begitu nikmat ketika disantap di hutan. Bagaimana tidak, di tengah hutan belantara tanpa dibekali kemampuan berburu, tentu mie instan dengan telur dadar terasa sangat lezat. Setelah berbincang selama beberapa jam, ketiganya pun terlelap.
...🍁🍁🍁...
Rasanya, baru sebentar mata terpejam, angin berembus dengan kencang.
"Blup... blup... blup.."
Tenda yang terus berbunyi sebab tertabrak angin membuat ketiganya terbangun dan kemudian, bangkit perlahan. Galang melongokkan kepalanya ke luar, melihat kondisi sekitar, apakah sedang gerimis atau sekedar berangin saja?
Galang mengamati keadaan dengan seksama dan lekas merinding setelahnya. Hal ini dikarenakan tak ada satu pun pohon yang bergerak. Jangankan pohon, dahan dan ranting pun tetap diam di posisinya. Galang menelan ludahnya kasar seraya kembali memasukkan kepalanya ke dalam tenda.
"Ada apa Lang?" tanya Rizal.
"Gak ada apa-apa kok Zal, hanya angin doang" jawab Galang dengan raut wajah yang terlihat normal.
Bukan tanpa alasan, Galang berkata demikian. Ini dikarenakan pantangan lisan yang telah dibuat untuk seluruh pendaki yakni:
"Jika melihat apa pun yang janggal di gunung (merujuk pada sebuah penampakan ghaib atau segala sesuatu yg mengarah ke sana), dilarang keras untuk membahasnya langsung di tempat. Kejadian itu baru boleh dibahas ketika sudah turun nanti"
Hal ini berkaitan dengan hal tabu yang telah turun menurun dipercayai. Namun, jika dilogikakan, ada benarnya juga sebab, jika masalah seperti ini dibahas ketika masih berada di gunung maka, akan menularkan ketakutan kepada seluruh anggota pendakian dan ini bisa berakibat fatal untuk semuanya. Terlebih jika terjadi kepanikan, para anggota pendaki bisa berlari tanpa arah yang bisa membuat dia tersesat atau bisa juga berlari kencang yang mana akhirnya malah membuatnya terjatuh. Jika hanya tergores akan baik-baik saja. Namun, jika malah jatuh ke jurang, nyawa taruhannya.
...🍁BERSAMBUNG...🍁...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!