Hallo Guys, jumpa lagi dengan Othor Kalem Fenomenal.
Karya Othor kali ini Othor persembahkan untuk sahabat Othor dari 'Genk Ternak Duda'. Spesial untuk mereka juga untuk kalian semua.
Sebelum masuk ke cerita kita kenalan dulu dengan para pemain ini yuk. Kebetulan mereka penulis sini semua jadi kalian bisa mampir ke karya mereka nih
Bidadarinya GTD.
Catarina Suketi Ceres — Tufa Hans
Olivia Zaenab Estella — Rita Tatha
Eloise Sumiatun Harlow — Sokhibah El Jannata
Louella Markonah Odette(Martu) — Dj'Milano
Markonah Brielle Eden(Marwa)— Maria Regolinda
Arrabella Juminten Marlow — Realrf
Clementine Zubaedah Addison — Bae Lla
Chloe Juleha Galellea — Lin•UlinNuha
Selamat membaca, semoga suka 😘
Kisah mereka Othor lanjutkan di sini ya 🤗
•••
Di sebuah kafe ternama yang digandrungi anak muda—terletak di pusat kota—duduklah dua gadis cantik sedang menikmati secangkir coffe latte sebagai penghangat perut. Mereka tampak asyik mengobrol dan bersenda gurau. Walaupun hanya berdua, tetapi mereka terlihat begitu menikmati waktu bersama, meski tanpa pacar karena hilal jodoh mereka belum terlihat.
"Mas! Jangan tinggalin aku!"
Perhatian mereka terarahkan ke sudut kafe. Seorang lelaki dan perempuan terlihat sedang bertengkar. Lelaki itu tampak tidak acuh, sedangkan si wanita terlihat begitu memohon-mohon.
"Enggak punya malu tuh orang. Berantem di muka umum," celetuk Markonah Dua, yang biasa dipanggil Marwa.
"Biarin napa sih, Mar. Daripada muka dua. Elu jadi orang julidah banget." Juminten tampak kesal. Sahabatnya itu senang sekali mengomentari apa pun yang ada di sekitar. Setiap hal selalu saja dikomentari seperti orang kurang kerjaan.
"Gue 'kan ngomong bener, Jum. Kalau gue malu-lah, apalagi tuh cewek kayak ngemis-ngemis gitu. Kaya enggak ada laki-laki lain aja. Di mana harga diri sebagai seorang wanita, coba." Marwa masih belum puas. Matanya menatap dua orang tersebut dengan seksama.
"Tapi cowoknya cakep, Mar. Lihat noh, bulu halus di dagu pasti bikin gelisah tuh." Juminten memangku wajah dan membayangkan lelaki tampan. Otaknya berkelana.
"Dodol! Jangan bilang gelisah itu geli-geli basah." Marwa menonyor kepala Juminten hingga gadis itu hampir terjengkang. Marwa tahu ke mana pikiran Juminten saat ini. Karena Juminten lebih pantas disebut sebagai cucu Kakek Sugi*no.
"Hust! Hust!" Juminten mendesis ke arah Marwa. Menyuruh gadis itu untuk diam karena dua orang tadi sedang berjalan mendekati mereka.
"Mas! Aku mohon, kita rujuk ya." Wanita itu tampak memegang lengan sang lelaki dengan erat.
"Tidak ada kata rujuk! Hubungan kita sudah berakhir! Aku paling benci dengan pengkhianat!" Suara lelaki itu terdengar tegas dan penuh penekanan.
"Tapi aku masih sayang kamu, Mas." Wanita itu berpura-pura menangis keras untuk menarik simpati. Bahkan beberapa pengunjung ikut melihat ke arah mereka meskipun tidak ada yang berani melerai.
"Air mata buaya!" cibir Marwa. Dengan santai dia menyeruput kopi di depannya tanpa peduli pada pelolotan wanita berambut panjang berwarna merah kecoklatan tersebut.
Juminten menyenggol lengan Marwa menyuruh untuk diam, tetapi Marwa justru mengendikkan kedua bahu. "Elu enggak usah ikut ngomong bisa enggak, Mar!" Gigi Juminten sampai gemerutuk saking kesalnya dengan sang sahabat. Marwa pun akhirnya diam dan kembali makan kentang goreng dicocol sambal tomat. Namun, telinganya masih menyimak pertengkaran dua orang itu.
"Mas ... aku mohon maafkan aku. Aku janji tidak akan mengulangi lagi. Aku tidak akan—"
"Lepaskan! Atau aku akan berteriak kalau kamu berniat jahat padaku!" teriak lelaki itu mengancam.
"Oh no! Oh no! Oh no no no!"
Mereka terkejut saat mendengar sound Oh no - Kreepa, menggema dari saku celana Juminten. Mengalihkan perhatian mereka termasuk dua orang yang sedang bertengkar itu hingga pertengkaran tersebut pun terhenti seketika.
Juminten menunjukkan rentetan gigi putihnya sembari menunjuk tanda damai, sedangkan satu tangannya merogoh saku untuk mengambil ponsel dan melihat siapa yang sedang menghubungi saat ini. Ya, meskipun tanpa dilihat Juminten sudah tahu siapa yang menghubungi dirinya.
"Maaf, iklan. Monggo, sok atuh dilanjutkan." Tangan Juminten mengarah ke dua orang yang sudah tampak kesal karena terganggu. Lalu mengangkat panggilan dari sahabatnya dengan santai. Seolah tidak bersalah sama sekali.
"Apa! Elu jatuh cinta sama duda!" pekik Juminten hingga mengejutkan semua orang. Marwa yang berada di samping Juminten sampai mengusap telinga yang berdenging. Suara Juminten benar-benar seperti toa.
"Elu kalau teriak kira-kira dong, Jum." Marwa mencebik kesal. Namun, bukannya meminta maaf, Juminten justru terkekeh.
"Habis ini gue pulang. Bentar lagi nikmatin pertunjukan dua orang yang enggak punya malu berantem di muka umum. Udah cowoknya sadis, eh si cewek kegenitan kek ular kasur eh uler keket! Sakit, Mar!" Juminten berteriak saat Marwa menginjak kakinya dengan cukup kencang.
Marwa memberi kode kalau orang yang Juminten bicarakan masih berada di samping. Juminten pun menelan ludah kasar saat melihat dua orang tersebut sedang melayangkan tatapan tajam ke arahnya. Mata Juminten memberi kode untuk segera pergi dari sana, Marwa pun mengangguk mengiyakan.
"Satu ... dua ... tiga!" Mereka bangkit berdiri lalu berlari kencang.
"Oe! Bayar makanan kalian!" teriak karyawan kafe tersebut.
"Katanya mau dibayarin Om itu karena kita udah puasin dia!" teriak Marwa tanpa malu lalu kembali berlari pergi dari sana, sedangkan lelaki itu membulatkan mata penuh mendengar teriakan Marwa.
Brak!
Juleha yang sedang duduk di kursi ruang tamu sampai terjengkit karena terkejut mendengar suara pintu yang tertutup kencang. Bahkan, dia hampir saja tersedak kacang atom yang baru saja dimasukkan ke mulut. Kening Juleha mengerut dalam saat melihat Marwa dan Juminten berdiri bersandar pintu dengan napas tersengal.
"Gue ... capek banget. Seperti habis diajak nanjak." Juminten berusaha mengatur napas.
"Mulut elu pengen gue sumpal pakai sambel, Jum!" Marwa menepuk kencang bahu Juminten hingga membuat gadis itu mengaduh kesakitan.
"Gila elu, Mar. Sakit badan gue, remuk redam."
"Astaga, elu lebay banget, Jum. Udah gede juga kek anak TK," cibir Marwa. Juminten tidak menjawab, hanya melirik Marwa sekilas lalu mendengkus kasar.
"Kalian kenapa, sih? Dateng-dateng ribut mulu perasaan. Kaya orang enggak punya kerjaan," ujar Juleha.
"Emang kita enggak punya kerjaan!" sahut Marwa dan Juminten bersama. Juleha menggeleng sembari tersenyum sinis ke arah dua orang itu.
"Ke mana si Esteller? Katanya dia dapet duda." Juminten celingukan mencari keberadaan sahabatnya.
"Zaenab? Dia baru keluar sama si Suketi. Katanya mau nyari duda," papar Juleha. Kembali memakan kacang atom yang masih tersisa setengah toples.
"Tadi dia telepon katanya jatuh cinta sama duda. Kenapa sekarang dia lagi nyari duda?" tanya Juminten terheran.
"Mana aku tahulah," sahut Juleha.
Juminten pun mendudukkan tubuhnya secara kasar di kursi dekat Juleha. Dia bahkan meminum es teh milik Juleha dalam sekali tenggak tanpa peduli pada teriakan Juleha yang marah karena minumannya dirampas.
"Gue mau mandi dulu." Marwa melenggang ke kamar miliknya, merasa sudah tidak sabar ingin membersihkan diri karena tubuhnya terasa sangat lengket, bekas keringat setelah berlarian tadi.
Hampir sepuluh menit berada di kamar mandi, Marwa keluar dengan tubuh yang sudah terlihat segar. Handuk kecil melilit di atas kepala. Membungkus rambut basah yang menguarkan bau wangi. Dia mengambil setelan baju tidur berbahan satin dari dalam lemari pakaian lalu memakainya.
Baru saja selesai mengancingkan baju tersebut, ponsel Marwa yang berada di atas nakas terdengar berdering. Marwa segera meraih ponsel tersebut lalu melihat siapa yang sedang memanggil. Kening Marwa mengerut dalam saat melihat nomor baru tertera di layar.
Marwa menaruhnya kembali. Tidak berniat mengangkat karena tidak mau berhubungan dengan orang tidak penting. barangkali nomor tersebut hanya akan nge-prank dirinya untuk meminta pulsa atau transferan uang. Namun, seolah tanpa lelah, ponsel tersebut terus saja berdering bahkan sampai lima panggilan tidak terjawab.
"Hallo, ini siapa? Maaf! Aku tidak menerima nomor salah sambung!" Marwa berbicara ketus lalu mematikan panggilan itu secara sepihak.
Akan tetapi, nomor itu kembali memanggil dan terus memanggil. Saking kesalnya, Marwa mematikan ponsel tersebut dan membanting ke atas tempat tidur. Dia ingin sekali membanting ke lantai, tetapi masih sayang ponsel butut tersebut. Jangankan untuk membeli yang baru, kalau rusak saja Marwa tidak yakin bisa memperbaikinya.
"Mar! Oe!"
Suara Juminten terdengar nyaring diiringi gedoran pintu berkali-kali. Baru saja hendak bernapas lega, Marwa sudah kembali mendes*h kasar. Padahal Marwa sudah ingin istirahat, tetapi sahabatnya justru mengganggu.
"Apa, Jum?" tanya Marwa ketus saat pintu kamar baru saja terbuka.
"Ada yang nyariin elu," sahut Juminten.
"Siapa?" Alis Marwa terlihat saling bertautan karena bingung. Dalam hati juga menerka siapa orang yang sudah mencari dirinya. Kalau pacar sepertinya tidak mungkin karena Marwa tidak memiliki pacar saat ini.
"Pria tampan tadi yang di restoran."
"What!" sela Marwa. Matanya membulat sempurna karena tidak percaya. "Kenapa dia nyariin gue?"
"Mana gue tahu!" Juminten sewot sendiri.
Marwa dengan langkah lebar berjalan ke luar rumah untuk memastikan ucapan Juminten. Benar saja, ketika Marwa baru saja sampai di ambang pintu, dirinya langsung berhadapan dengan lelaki tampan yang sedang menatap lekat ke arahnya.
"A-ada perlu apa kamu ke sini?" tanya Marwa tergagap.
"Kamu masih bertanya untuk apa aku ke sini? Tentu saja untuk menagih hutangmu." Lelaki itu tersenyum sinis. Melihat wajah Marwa yang sangat terkejut, begitu menggemaskan menurutnya.
"Hutang? Kapan aku hutang sama kamu?" Marwa bingung sendiri. "Bukankah kita baru bertemu tadi. Itu aja kita tidak saling bertegur sapa."
"Bayar makanan di kafe tadi. Kamu bilang sudah puasin aku maka sekarang waktunya aku akan menagih ucapanmu. Kamu belum memuaskanku sama sekali." Tatapan lelaki itu seolah hendak menelanj*ngi Marwa hidup-hidup. Dengan susah payah Marwa berusaha menelan ludahnya. Bayangan anu mulai menari dalam otak hingga membuat tubuh Marwa meremang seketika. Apalagi suara des*han yang tiba-tiba terngiang membuat Marwa menggeleng cepat untuk mengusirnya.
Astaga. Masa gue belum nikah udah anu duluan. Selamatkan aku, Tuhan.
Di ruang tamu rumah gadis-gadis cantik itu, lelaki yang mencari Marwa tadi sedang duduk santai di kursi, sedangkan Marwa dengan bibir cemberut memijat kedua bahu lelaki tersebut. Merasa nikmat dengan pijatan Marwa, lelaki tersebut hampir saja terlelap kalau saja Marwa tidak mengeraskan pijatannya.
"Auh! Sakit! Bisakah kamu memijat dengan pelan? Tenagamu seperti kuli bangunan," omel lelaki itu. Sedikit menoleh untuk mendelik ke arah Marwa.
Marwa hanya memutar bola mata malas tanpa rasa takut lalu memelankan pijatannya. Sebenarnya, tangan Marwa sudah lelah karena hampir setengah jam memijat dan dia belum boleh beristirahat sama sekali.
"Astaga. Kenapa kamu loyo sekali? Kamu seperti orang yang belum makan seminggu," omelnya lagi. Kali ini Marwa tidak bisa bersabar lagi dan langsung menghentikan pijatannya.
"Lalu aku harus gimana? Kamu tuh laki, tapi kaya emak-emak. Mulut nyerocos mulu, gini salah, gitu salah, kenapa aku serba salah? Bunuh aku, saja! Bunuuhhh!" Marwa menggaruk kepala cukup kencang untuk meluapkan kekesalan.
Bukannya marah, tetapi lelaki tersebut justru terkekeh melihat Marwa, "Itu hukuman karena kamu tidak mau mengangkat panggilanku."
"Apa? Jadi, tadi kamu yang nelepon aku?" Suara Marwa begitu melengking. Lelaki tersebut mengangguk cepat. "Dapat nomor aku dari mana?" Marwa memajukan wajahnya hingga begitu dekat dengan lelaki tersebut.
Merasa jantungnya berdebar kencang, lelaki itu memundurkan tubuhnya karena takut lepas kendali berjarak dekat dengan gadis cantik di depannya. Dirinya takut khilaf.
"Kamu tidak perlu tahu." Lelaki itu bangkit berdiri dan bersiap untuk pergi. "Jangan lupa kamu simpan nomorku dengan nama Leonard S Erlangga," sambungnya.
"Kenapa ada huruf S di tengahnya. Memangnya S itu apa?" tanya Marwa heran.
"Sabeni," jawabnya santai tanpa malu. Sementara Marwa awalnya menutup mulut untuk menahan tawa, tetapi setelahnya gelakan keras terdengar menggema di sana.
"Kenapa kamu tertawa?"
"Enggak apa-apa, Om Sabeni. Aku cuma seneng aja akhirnya selesai mijetin kamu," dalih Marwa meskipun masih berusaha menahan tawanya. Namun, Leo tidak percaya dan justru menatap Marwa lekat hingga membuat gadis itu salah tingkah.
Marwa makin merasa gugup saat Leo bukannya pergi dan justru maju mendekati dirinya. Bahkan, jarak mereka begitu dekat—sangat dekat. Jemari Marwa saling meremas dan terasa dingin oleh keringat yang mengalir tanpa izin. Jujur, baru kali ini Marwa berada dalam jarak sedekat itu dengan seorang lelaki apalagi yang tampan seperti Leo.
Marwa bergeming saat Leo memajukan wajahnya. Wajah yang kian dekat makin membuat Marwa menelan ludah susah payah. Keberanian dan kejulidan yang biasa menggelora, kini seolah tercekat di tenggorokan lalu lenyap begitu saja, seperti tukang ghosting. Dia merasa lumpuh saat tatapan matanya terpaku pada bibir Leo yang tampak begitu seksi dan menggoda. Pikiran liar Marwa mulai bermain apalagi saat napas Leo terasa hangat menerpa pipinya.
Marwa memejamkan mata supaya lebih bisa menikmati sentuhan bibir sesuai apa yang ada di otaknya saat ini. Bulu halus di seluruh tubuhnya makin terasa meremang. Marwa begitu pasrah dan menyerah atau bisa saja dia justru yang akan menaklukan seorang Leonard.
Saking liarnya pikiran Marwa, gadis itu tanpa sadar mengerucutkan bibir dan bersiap untuk mencium bibir seksi milik Leo. Namun, baru saja menempel, Marwa terdiam karena merasa asing. Bibir itu tidak senikmat dalam bayangannya. Ketika Marwa membuka mata, gadis itu terkejut saat berhadapan langsung dengan seekor kucing yang saat ini sedang dipegang oleh Zaenab.
"Esteller!" pekik Marwa kesal. Zaenab tergelak keras dan hampir membuat telinga Leo yang saat ini sudah berdiri di sampingnya itu merasa tuli. "Elu jahat banget sama gue!"
"Meow ... meow ...." Kucing itu seolah menjawab dan justru mendusel di bawah kaki Marwa saat Zaenab baru saja melepaskannya.
"Astaga, ngapain elu bawa kucing ke sini, Zae?" Marwa berusaha menghindar, tetapi kucing tersebut terus saja mengejar. Ke mana kamu berlari maka aku akan terus mengejar. Begitulah kira-kira kata hati kucing.
"Sengaja biar elu enggak mesum di sini. Enak aja mau ciuman di depan gue, menodai mata suci gue sebagai jomlo aja elu, Mar." Zaenab membersihkan kaosnya dari bulu kucing yang mungkin masih menempel di sana.
"Yaelah. Mana ada mata suci tiap hari yang ditonton bok*p," cibir Marwa. Namun, dia langsung terdiam saat Zaenab melotot ke arahnya.
"Gue ke kamar dulu. Ati-ati, Om. Dia suka sama yang mateng dan brewokan kaya kamu." Zaenab menepuk dada Leo. "Bersiaplah untuk ditaklukkan di atas ranjang sama si Edan." Zaenab berlalu begitu saja sebelum teriakan Marwa yang melengking merusak gendang telinganya.
"Esteller! Nama gue Markonah Brielle Eden bukan edan! Elu itu yang edan!" Marwa bersungut-sungut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!